Aku duduk di dalam ruang kelas yang sudah terisi oleh beberapa orang sembari mengamati semua hal yang tertangkap oleh pandangan mataku. Segerombol cewek yang baru masuk memilih bangku di dekatku. Salah satu dari mereka melirikku sekilas kemudian tersenyum. Aku membalas senyumnya itu dengan canggung karena aku masih belum cukup beradaptasi dengan tempat dan suasana di sekitarku itu. "Mbak, kayaknya aku belum pernah liat kamu deh di kampus ini. Kamu mahasiswa baru, ya?" tanya cewek yang tersenyum padaku tadi. Teman-temannya ikut menoleh ke arahku. Ada yang menyunggingkan senyum ramah, ada yang memasang ekspresi wajah datar saja. "Idih, sok gaul. Emangnya kamu tau muka semua mahasiswa di kampus ini?" celetuk temannya meledek. Yang lain tertawa geli, sementara cewek tadi tetap setia menunggu jawabanku tanpa mempedulikan mereka. "Iya, aku baru pindah ke sini." Cewek tadi bangkit dari bangkunya, lalu dia duduk di bangku kosong yang berada di sebelahku. "Aku Febri, Mbak," kata cewe
"Lisa!" Ada seseorang yang berseru di belakangku saat aku berjalan di selasar sehabis dari toilet. Aku cuek saja berjalan, sebab tak merasa bernama Lisa. Tapi, suara itu masih saja terdengar, bahkan semakin mendekat. "Lisa!" Romi menjajari langkahku. Aku menoleh kepadanya dengan kikuk. 'Jadi 'Lisa' yang dia panggil-panggil itu aku?' batinku. "Na... Namaku Risa," ralatku. "Ya. Risa. Lisa. Mirip sih. Kamu mau ke kelas, 'kan?" cetus Romi acuh tak acuh. "Ya," jawabku dengan volume suara yang ku naikkan sedikit. Takut dikerjai lagi olehnya seperti kemarin. "Kalau gitu, tolong kamu bilangin ke temen-temen, dosennya lagi pergi. Jam kuliahnya kosong," kata Romi. Dia menepuk pundakku dengan ekspresi wajah seolah-olah bilang 'aku percaya kamu bisa melaksanakan perintahku ini'. Aku diam sejenak, berusaha mencerna perkataannya dulu. "Oke," timpalku pelan setelah data terkumpul di kepala. Aku sungguh merasakan firasat yang tak mengenakkan tentang cowok di hadapanku itu. Namun, aku juga tak
1 bulan kemudian... "Nduk, kamu kok keliatan gendutan ya sekarang?" celetuk Bude Rahmi saat aku melintas di dapur hendak pergi ke kamar mandi. "Oh ya, De? Aku malah nggak sadar, lho. Berarti berat badanku pasti naik nih," kataku kikuk karena mendadak fisikku dikomentari. "Ya bagus 'kan Bu'e, berarti Risa banyak makan. Lebih sehat dibanding sebelumnya yang suka lupa makan," timpal Pakde Joko. Dia sedang duduk sembari menyeruput kopinya di dekat meja termos air panas. "Ya. Emang bagus itu," sahut Bude Rahmi. Tapi, entah kenapa, nada bicaranya seperti menyiratkan keraguan. Dia menatapku dengan aneh. Seperti sedang menaksir-naksir sesuatu pada diriku. 'Emangnya kenapa kalau aku tambah gendut?' pikirku kebingungan. Toh, aku sendiri tak mempermasalahkan berat badanku mau naik atau turun. "Aku berangkat dulu ya, De." Aku berpamitan pada Pakde Joko dan Bude Rahmi begitu keluar dari kamar mandi. Aku berusaha mengabaikan tatapan mata Bude Rahmi yang memindai badanku dari atas ke bawah, be
Dengan petunjuk yang aku berikan pada Romi, akhirnya kendaraan roda dua cowok itu berhenti tepat di depan rumah Pakde Joko. "Makasih ya, Rom," ucapku saat sudah memijakkan kaki di jalan aspal. "Ya," sahut Romi datar. Sementara kedua matanya sibuk memindai segala yang ada di sekitar rumah pakdeku. "Ini helm-nya," kataku sambil mengulurkan helm yang tadi dipinjam dari satpam kampus. Romi menerimanya tanpa mengatakan apapun. Aku yang bingung mesti berbicara apa lagi kepada Romi pun hanya bisa diam, berharap Romi saja yang akan mengatakan sesuatu untuk memecah suasana canggung ini. Terutama canggung untukku. Bagi Romi sepertinya biasa-biasa saja. "Udah, ya. Aku pergi dulu," kata Romi. Dia menatapku sebentar, lalu menyalakan mesin motor sepeda motornya dan pergi begitu saja sebelum aku sempat menjawab ucapan pamitnya. "Yang barusan itu siapa, Ris?" tanya mbak Poppy yang rupa-rupanya sudah berdiri di teras, entah sejak kapan. Dia memakai pakaian kerjanya. "Temen sekampus, Mbak," jawa
"Owalah...! Padahal kamu udah diperingatin sama aku dan pakdemu, lho. Kok bisa kamu tetep lanjut sama pacarmu itu, Ris?" ucap Bude Rahmi emosional. Aku yang masih menunduk sembari bercucuran air mata hanya menjawab dengan isakan. Rasanya sangat berat untuk sekedar menceritakan kebenaran pada Bude Rahmi yang sudah terlanjur menghakimiku. Apalagi kami sedang berada di rumah Bidan Wati, bukannya di rumah sendiri. Aku malu jika Bidan Wati ikut mendengar penuturanku. Meskipun ada hubungan saudara, tetap saja dia orang luar, dan hal yang akan aku ungkapkan pada Bude Rahmi adalah aib. Aku tidak ingin menambah luka di hatiku dengan memberinya kesempatan untuk ikut mengomentari atau malah merasa berhak menghakimiku karena terinspirasi sikap Bude Rahmi terhadapku. "Tenang, Wa. Ini 'kan belum jelas. Belum tentu Risa emang lagi hamil, 'kan. Nanti aku kasih test pack ya, Wa. Biar Risa disuruh pakai terus nanti bisa diliat hasilnya. Jadinya nanti ada kepastian, nggak cuma berdasarkan perasaan kit
"Lho, kok kamu malah mau pergi dari sini, Nduk? Aku ini walimu lho sekarang. Aku yang bertanggung jawab kalau kamu kenapa-napa. Ya sebenernya nggak apa-apa kalau kamu mau nge-kost. Tapi, aku khawatir sama kondisi kamu itu. Coba, dipikirin baik-baik lagi, Ris. Misalnya kamu nggak mau nikah sama Boy, ya paling nggak kamu di sini aja. Di sini 'kan ada budemu sama kakakmu, Poppy, yang bisa nemenin kamu pergi ke bidan dan bantu-bantu kamu ngurus bayimu nanti kalau udah lahir," ujar Pakde Joko, mencegah niatku. Laki-laki itu tampak terkejut mendengar niatku untuk tidak tinggal lagi di rumahnya lagi."Pak'e! Ya nggak mungkinlah aku ada tenaga untuk itu. Apalagi kalau nanti Poppy hamil terus lahiran, pasti aku yang mesti ngurusin bayinya," sanggah Bude Rahmi tanpa basa-basi. Lantas dia melengos lagi setelah mengutarakan penolakannya itu. "'Kan Poppy belum hamil. Misalnya udah juga Risa dulu 'kan yang lahiran. Kamu gimana sih?" cecar Pakde Joko. Istrinya mendengkus kesal, kemudian berpaling k
"Bukan gitu, Mbak. Tapi... Apa mbak Poppy nggak ada kata-kata lain yang lebih enak didenger? Toh aku sebenernya nggak pengin begini, Mbak," kataku sembari menurunkan pandangan mata lagi. Menghindari tatapan mbak Poppy yang seperti ingin menelanku hidup-hidup. "Nggak pengin begini tuh maksudnya nggak pengin hamil jadi nggak ketauan udah nakal sama pacar kamu itu. Ya, 'kan? Licik kamu, Ris. Padahal pakde sama budemu udah baik banget mau nampung kamu di sini. Bahkan kuliah kamu dibayarin bapakku. Tapi apa balesannya? Kamu malah ngasih aib buat keluarga ini. Keterlaluan!" ujar mbak Poppy memberang. "Udah, Pop. Jangan marah-marah kayak gitu. Kalau kamu betulan hamil, nanti bayimu kenapa-napa gimana?" Bude Rahmi menegur mbak Poppy. Mbak Poppy tak mengucapkan apapun. "Ya udah, Ris. Aku sama Poppy cuma mau ngasih tau itu aja," kata Bude Rahmi sembari bangkit dari tempat tidurku dan melangkah keluar dari kamar itu diikuti oleh mbak Poppy yang mengembuskan napas kasar saat melewatiku.***Mb
"Habis ini kamu ikut ke tempat karaoke ya, Ris. Kamu wajib liat biduan kita, si Devi Sukaesih, yang mau manggung. Kamu cukup nonton aja. Marwah sama Nela juga kerjaannya cuma duduk-duduk sama makan jajan aja kok di sana," kata Wawa begitu dosen yang baru saja mengajar di kelas kami keluar dari ruangan. "Devi Sukaesih?" kutipku geli. "Iya. Nonton aku nyanyi, ya. Sama Febri tuh, suaranya bagus. Bagus banget dia kalau lagi nyanyi lagu campur sari. Nggak kayak Wawa. Suaranya kayak ember plastik meledak," timpal Devi sembari mencibir ke arah Wawa. "Emangnya kamu tau bunyi ember plastik meledak kayak apa? Sok tau lu," sambar Wawa dengan bibir dimonyongkan. "Ya udah deh, nanti aku ikut. Tapi aku nggak bisa lama-lama," cetusku.Sorak-sorai ramai terdengar dari mulut Febri cs. Mereka menyambut kesediaanku ikut ke tempat karaoke bersama mereka dengan senang. "Nah, gitu dong, Ris. Tenang aja, ukhti kita tercinta yang bayarin semuanya," celetuk Febri. "Apaan sih?" dengkus Marwah. Tetapi dia