Beranda / Romansa / My 'Bad' Boyfriend / BAB 58 - Minta Maaf Pada Nava

Share

BAB 58 - Minta Maaf Pada Nava

Penulis: Kanita Faraya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-23 18:20:14
"Lisa!" Ada seseorang yang berseru di belakangku saat aku berjalan di selasar sehabis dari toilet.

Aku cuek saja berjalan, sebab tak merasa bernama Lisa. Tapi, suara itu masih saja terdengar, bahkan semakin mendekat.

"Lisa!" Romi menjajari langkahku. Aku menoleh kepadanya dengan kikuk.

'Jadi 'Lisa' yang dia panggil-panggil itu aku?' batinku.

"Na... Namaku Risa," ralatku.

"Ya. Risa. Lisa. Mirip sih. Kamu mau ke kelas, 'kan?" cetus Romi acuh tak acuh.

"Ya," jawabku dengan volume suara yang ku naikkan sedikit. Takut dikerjai lagi olehnya seperti kemarin.

"Kalau gitu, tolong kamu bilangin ke temen-temen, dosennya lagi pergi. Jam kuliahnya kosong," kata Romi. Dia menepuk pundakku dengan ekspresi wajah seolah-olah bilang 'aku percaya kamu bisa melaksanakan perintahku ini'.

Aku diam sejenak, berusaha mencerna perkataannya dulu.

"Oke," timpalku pelan setelah data terkumpul di kepala. Aku sungguh merasakan firasat yang tak mengenakkan tentang cowok di hadapanku itu. Namun, aku juga tak
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 59 - Pertanyaan Mereka

    1 bulan kemudian... "Nduk, kamu kok keliatan gendutan ya sekarang?" celetuk Bude Rahmi saat aku melintas di dapur hendak pergi ke kamar mandi. "Oh ya, De? Aku malah nggak sadar, lho. Berarti berat badanku pasti naik nih," kataku kikuk karena mendadak fisikku dikomentari. "Ya bagus 'kan Bu'e, berarti Risa banyak makan. Lebih sehat dibanding sebelumnya yang suka lupa makan," timpal Pakde Joko. Dia sedang duduk sembari menyeruput kopinya di dekat meja termos air panas. "Ya. Emang bagus itu," sahut Bude Rahmi. Tapi, entah kenapa, nada bicaranya seperti menyiratkan keraguan. Dia menatapku dengan aneh. Seperti sedang menaksir-naksir sesuatu pada diriku. 'Emangnya kenapa kalau aku tambah gendut?' pikirku kebingungan. Toh, aku sendiri tak mempermasalahkan berat badanku mau naik atau turun. "Aku berangkat dulu ya, De." Aku berpamitan pada Pakde Joko dan Bude Rahmi begitu keluar dari kamar mandi. Aku berusaha mengabaikan tatapan mata Bude Rahmi yang memindai badanku dari atas ke bawah, be

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-24
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 60 - Pergi Ke Rumah Bidan Wati

    Dengan petunjuk yang aku berikan pada Romi, akhirnya kendaraan roda dua cowok itu berhenti tepat di depan rumah Pakde Joko. "Makasih ya, Rom," ucapku saat sudah memijakkan kaki di jalan aspal. "Ya," sahut Romi datar. Sementara kedua matanya sibuk memindai segala yang ada di sekitar rumah pakdeku. "Ini helm-nya," kataku sambil mengulurkan helm yang tadi dipinjam dari satpam kampus. Romi menerimanya tanpa mengatakan apapun. Aku yang bingung mesti berbicara apa lagi kepada Romi pun hanya bisa diam, berharap Romi saja yang akan mengatakan sesuatu untuk memecah suasana canggung ini. Terutama canggung untukku. Bagi Romi sepertinya biasa-biasa saja. "Udah, ya. Aku pergi dulu," kata Romi. Dia menatapku sebentar, lalu menyalakan mesin motor sepeda motornya dan pergi begitu saja sebelum aku sempat menjawab ucapan pamitnya. "Yang barusan itu siapa, Ris?" tanya mbak Poppy yang rupa-rupanya sudah berdiri di teras, entah sejak kapan. Dia memakai pakaian kerjanya. "Temen sekampus, Mbak," jawa

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-25
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 61 - Garis

    "Owalah...! Padahal kamu udah diperingatin sama aku dan pakdemu, lho. Kok bisa kamu tetep lanjut sama pacarmu itu, Ris?" ucap Bude Rahmi emosional. Aku yang masih menunduk sembari bercucuran air mata hanya menjawab dengan isakan. Rasanya sangat berat untuk sekedar menceritakan kebenaran pada Bude Rahmi yang sudah terlanjur menghakimiku. Apalagi kami sedang berada di rumah Bidan Wati, bukannya di rumah sendiri. Aku malu jika Bidan Wati ikut mendengar penuturanku. Meskipun ada hubungan saudara, tetap saja dia orang luar, dan hal yang akan aku ungkapkan pada Bude Rahmi adalah aib. Aku tidak ingin menambah luka di hatiku dengan memberinya kesempatan untuk ikut mengomentari atau malah merasa berhak menghakimiku karena terinspirasi sikap Bude Rahmi terhadapku. "Tenang, Wa. Ini 'kan belum jelas. Belum tentu Risa emang lagi hamil, 'kan. Nanti aku kasih test pack ya, Wa. Biar Risa disuruh pakai terus nanti bisa diliat hasilnya. Jadinya nanti ada kepastian, nggak cuma berdasarkan perasaan kit

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-26
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 62 - Pasca Garis Dua

    "Lho, kok kamu malah mau pergi dari sini, Nduk? Aku ini walimu lho sekarang. Aku yang bertanggung jawab kalau kamu kenapa-napa. Ya sebenernya nggak apa-apa kalau kamu mau nge-kost. Tapi, aku khawatir sama kondisi kamu itu. Coba, dipikirin baik-baik lagi, Ris. Misalnya kamu nggak mau nikah sama Boy, ya paling nggak kamu di sini aja. Di sini 'kan ada budemu sama kakakmu, Poppy, yang bisa nemenin kamu pergi ke bidan dan bantu-bantu kamu ngurus bayimu nanti kalau udah lahir," ujar Pakde Joko, mencegah niatku. Laki-laki itu tampak terkejut mendengar niatku untuk tidak tinggal lagi di rumahnya lagi."Pak'e! Ya nggak mungkinlah aku ada tenaga untuk itu. Apalagi kalau nanti Poppy hamil terus lahiran, pasti aku yang mesti ngurusin bayinya," sanggah Bude Rahmi tanpa basa-basi. Lantas dia melengos lagi setelah mengutarakan penolakannya itu. "'Kan Poppy belum hamil. Misalnya udah juga Risa dulu 'kan yang lahiran. Kamu gimana sih?" cecar Pakde Joko. Istrinya mendengkus kesal, kemudian berpaling k

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-27
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 63 - Kehidupan Di Dalam Perutku

    "Bukan gitu, Mbak. Tapi... Apa mbak Poppy nggak ada kata-kata lain yang lebih enak didenger? Toh aku sebenernya nggak pengin begini, Mbak," kataku sembari menurunkan pandangan mata lagi. Menghindari tatapan mbak Poppy yang seperti ingin menelanku hidup-hidup. "Nggak pengin begini tuh maksudnya nggak pengin hamil jadi nggak ketauan udah nakal sama pacar kamu itu. Ya, 'kan? Licik kamu, Ris. Padahal pakde sama budemu udah baik banget mau nampung kamu di sini. Bahkan kuliah kamu dibayarin bapakku. Tapi apa balesannya? Kamu malah ngasih aib buat keluarga ini. Keterlaluan!" ujar mbak Poppy memberang. "Udah, Pop. Jangan marah-marah kayak gitu. Kalau kamu betulan hamil, nanti bayimu kenapa-napa gimana?" Bude Rahmi menegur mbak Poppy. Mbak Poppy tak mengucapkan apapun. "Ya udah, Ris. Aku sama Poppy cuma mau ngasih tau itu aja," kata Bude Rahmi sembari bangkit dari tempat tidurku dan melangkah keluar dari kamar itu diikuti oleh mbak Poppy yang mengembuskan napas kasar saat melewatiku.***Mb

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-28
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 64 - Kebiasaan Baru

    "Habis ini kamu ikut ke tempat karaoke ya, Ris. Kamu wajib liat biduan kita, si Devi Sukaesih, yang mau manggung. Kamu cukup nonton aja. Marwah sama Nela juga kerjaannya cuma duduk-duduk sama makan jajan aja kok di sana," kata Wawa begitu dosen yang baru saja mengajar di kelas kami keluar dari ruangan. "Devi Sukaesih?" kutipku geli. "Iya. Nonton aku nyanyi, ya. Sama Febri tuh, suaranya bagus. Bagus banget dia kalau lagi nyanyi lagu campur sari. Nggak kayak Wawa. Suaranya kayak ember plastik meledak," timpal Devi sembari mencibir ke arah Wawa. "Emangnya kamu tau bunyi ember plastik meledak kayak apa? Sok tau lu," sambar Wawa dengan bibir dimonyongkan. "Ya udah deh, nanti aku ikut. Tapi aku nggak bisa lama-lama," cetusku.Sorak-sorai ramai terdengar dari mulut Febri cs. Mereka menyambut kesediaanku ikut ke tempat karaoke bersama mereka dengan senang. "Nah, gitu dong, Ris. Tenang aja, ukhti kita tercinta yang bayarin semuanya," celetuk Febri. "Apaan sih?" dengkus Marwah. Tetapi dia

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-29
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 65 - Menikmati Kebersamaan

    "Ng... Nggak kok, Feb. Aku baik-baik aja," jawabku gugup. Diam-diam aku berupaya keras menahan diri agar tak memegang-megang perutku lagi untuk mengajak bicara bayiku. "Ya udah, aku mau pipis dulu, ya. Tolong tungguin, Ris. Ntar kita bareng balik ke ruangannya," kata Febri. Dia berdiri dan berjalan ke salah satu bilik toilet. 'Maaf ya, Dek. Mungkin Ibu nanti nggak bisa sering-sering ngajak kamu ngobrol kalau lagi ada temen Ibu. Soalnya Ibu bakal otomatis pegang perut Ibu kalau ngajak ngobrol kamu. Yang penting kamu tau 'kan Ibu sayang kamu, Dek?' Aku mengusap sekilas perutku sementara Febri masih berada di dalam bilik toilet. Ketika cewek itu sudah selesai buang air kecil, aku sudah selesai juga berkomunikasi dengan anakku. "Yuk," ujar Febri. Lagi-lagi dia menggamit lenganku selama kami berjalan bersama menyusuri sebuah lorong melewati banyak ruangan tempat karaoke seperti ruangan yang sedang kami tuju. "Kalian pipis apa boker sih? Lama amat," ceplos Wawa begitu melihatku dan Febr

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-01
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 66 - Romi

    Serentetan kelas hari itu sudah selesai. Tapi Febri cs masih juga membahas keseruan kami di tempat karaoke kemarin. "Risa, kemaren kamu keren banget, deh. Penghayatan kamu itu, lho. Berhasil bikin kita nyesek," cetus Nela. "Doi masih inget soalnya kemaren dia sampai mewek," celetuk Wawa sambil mengedikkan dagu ke arah Nela dengan tampang mengejek. "Marwah juga kok, bukan cuma aku!" kelit Nela. "Ya jelaslah aku sampai mewek. Emang Risa dari hati banget sih nyanyinya," timpal Marwah kalem. "Iya, setuju!" ceplos Devi menyela. "Kapan-kapan kalau kita ke karaokean lagi berarti kamu ikut lagi, ya. Oke?" kata Febri. "Ya. Moga-moga aja pas aku nggak lagi harus pulang cepet," sahutku. "Amiiinnn...!" timpal teman-temanku kompak. Kemudian kami berenam tertawa riang. Bahkan di saat kami berpisah jalan pun masih ada sisa tawa yang terdengar. Itu hakku. "Kamu pulang sama aku aja, Ris?" tawar Wawa. Dia menghentikan mobilnya di depanku yang sedang menunggu ojek online pesananku. "Nggak usah

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-02

Bab terbaru

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 110 - Nostalgia Nasi Goreng Kampung

    "Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 109 - Hadiah Kecil Untuk Diri Sendiri

    "Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 108 - Tante Bella

    "Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 107 - Arisan

    "Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 106 - Apakah Ini Cinta? Atau ...

    "Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 105 - CEO

    Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 104 - Makan Malam Bersama Calon Mertua

    "Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 103 - Papa

    Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 102 - Runtuh Tetapi Belum Luruh

    Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend

DMCA.com Protection Status