Ya. Aku ingin move on dari Boy. Itu hakku. 'Tapi... Kok kayaknya aku nggak tau diri banget, ya? Seenaknya aja mau nempel-nempel ke Romi sementara aku lagi hamil anaknya cowok lain begini?' pikirku. Aku lesu lagi. Kedua bahuku turun lagi. Suatu kesadaran bahwa aku bukan cewek single biasa menderaku. Aku ini cewek single berbadan dua. Rasanya aku bakal tak adil pada Romi, bahkan untuk sekedar menyukainya sekalipun. - Kayaknya aku nggak mau mikirin cowok lagi deh, Va. Udah cukup aku pusing sama cowok satu yang br*ngsek itu. Aku cuma mau hidup damai sama anakku. Aku bisa tanpa cowok kok. - ketikku. Lalu ku kirimkan pada Nava sambil mengembuskan napas berat. - Ya, Ris. Terserah kamu aja. 'Kan kamu yang menjalani. Kamu yang tau mana yang terbaik buat kamu mana yang jangan dilakuin. Aku sebagai sahabat cuma bisa dukung keputusan kamu aja, Ris. Lagian, kita jadi cewek emangnya nggak bisa survive tanpa cowok, huh? Tapi tetep doaku kamu segera ketemu jodoh kamu. - Banyak emotikon hati berw
"Kemaren kamu udah minum susunya?" Satu kalimat pertanyaan itu membuatku diam mematung di bangku yang ku duduki. Apakah Romi tahu susu ibu hamil itu untuk ku konsumsi sendiri? Hanya memikirkannya saja mampu membuat bulu kudukku meremang. "Hmm?" cecar Romi saat aku tak kunjung menjawabnya. "Ssshhh! Diem, Rom! Aku mau konsen nyatet penjelasannya Pak Iyan nanti. Kamu jangan berisik terus dong!" Teguran keras Febri pada Romi menyelamatkanku dari tuntutan cowok itu.'Dek. Maafin Ibu, ya. Ibu kaget denger pertanyaan om Romi barusan, jadinya Ibu deg-degan banget. Kamu pasti terganggu, ya?' Diam-diam aku mengajak bicara si kecil di dalam perut. Romi tak bertanya ataupun mengatakan apapun lagi kepadaku. Bahkan sampai kelas dibubarkan oleh Pak Iyan. Cowok itu hanya berjalan keluar dari ruangan. Mungkin dia ingin ke toilet atau malah ke kantin menunggu jam mata kuliah berikutnya yang memang terjeda sekitar 90 menit lagi baru dimulai. "Rom! Mau ke mana?" panggil Febri. "Mau keluarlah," jaw
"Iyakah? Wow! Itu tandanya dia suka sama kamu 'kan, Ris!" kata Nava antusias. Dia menanggapi ceritaku tentang kejadian tadi siang di kampus. Soal Romi yang menanyakan apakah aku sudah meminum susu ibu hamil yang ku beli dan Romi yang membelikan gorengan untukku dan Febri cs. "Tapi aku nggak mau GR, Va. Bisa aja yang dia lakuin itu nggak ada maksud apa-apa ya, 'kan?" cetusku. "Tapi aku curiga itu ada apa-apanya. Biasanya bener. Buktinya pas dulu kamu sama..." Nava menghentikan ucapannya. Dia mungkin sadar hendak menyebutkan nama yang tabu itu. "Aku tau diri aja, Va. Aku nggak kayak cewek kebanyakan. Misalnya Romi suka beneran sama aku sekalipun, aku bakal nolak dia. Aku sadar aku nggak level sama dia," kataku. Sedih. Tapi berusaha mengatur intonasi agar terdengar tegar. "Ris..." lirih Nava. Sepertinya dia tahu beban sebesar apa yang tengah mengelayuti hatiku saat ini. "Kuliah kamu gimana, Va?" tanyaku untuk mengalihkan topik pembicaraan. Sekalian aku memang ingin mengetahui kabar
Aku menatap Romi dengan tatapan takjub plus terharu. Haruskah aku bilang 'Terima kasih, orang baik!'? "Habisin makannya. Kalau masih ada sisa di piring kamu, nanti aku bilangin ke semua temen kamu," tukas Romi. "Bilangin apa?" tanyaku panik. Katanya aku tak punya rahasia apapun? Kenapa sekarang dia mengancam? "Bilangin kalau kamu kayak bocil. Makan sepiring ajanggak dihabisin," timpal Romi. Matanya menatapku tajam. Tapi entah kenapa ada kilatan usil juga di sana. Aku tersenyum malu. Ketahuan deh, aku sudah berprasangka buruk padanya. "Masih bisa senyum-senyum kamu? Kalau punya waktu buat cengengesan mending habisin nasinya sekarang juga," celetuk Romi. Aku tahu, dia cuma bersikap sok galak. "Ya..." sahutku riang sembari melanjutkan makanku yang sempat tertunda karena pembicaraan penting barusan. Terima kasih, Tuhan. Engkau sudah mempertemukan aku dengan banyak orang baik seperti Nava, Febri cs, dan juga Romi. Pakde Joko dan keluarganya juga baik terhadapku dengan cara mereka s
Pagi itu mbak Poppy muntah-muntah. Hampir setiap pagi dia begitu. Begitu pula saat dia mencium bau bumbu masakan, atau bau nasi matang di magic com, atau apapun juga yang baunya tak enak bagi indera penciumannya. Aku pernah menyeduhkan teh hangat yang manis untuk diminum mbak Poppy sehabis dia memuntahkan semua isi perutnya di kamar mandi. Tapi dia malah muntah lagi. Bahkan bau teh juga membuat kakak sepupuku itu mual. Berbanding terbalik denganku yang doyan semua makanan sampai-sampai aku merasa tidak enak sendiri karena takut tanpa sadar sudah menghabiskan jatah makanan untuk mbak Poppy, meski aku kadang-kadang aku membeli makanan di luar sebagai tambahan. "Setiap orang hamil itu beda-beda, Nduk. Poppy tiap pagi muntah-muntah kayak gitu bukan berarti dia atau bayinya lemah, bukan juga kandungannya bermasalah," kata Bude Rahmi dengan tajam seperti sedang menegurku."Ya, De," sahutku singkat. Meskipun pikiran ingin sekali membantah ucapan bude. Aku tidak sedang membandingkan kandunga
Bu Wirya mengangguk sembari tersenyum lebar menanggapi ucapan Bude Rahmi. Sementara aku mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan yang diduduki olehnya dan Bu Wirya dengan badan gemetar dan kikuk. Aku menatap dua wanita paruh baya di hadapanku dengan perasaan campur baur. Tersinggung, jelas ada. Belum lagi marah, bingung, malu, kecewa, sedih, dan lain sebagainya. Semuanya berdesakan di dalam dadaku. Ternyata Bude Rahmi membelikanku dan memintaku memakai gaun cantik sepanjang lutut ini untuk membuatku tampil memikat di depan Bu Wirya dan anaknya. "Nama kamu siapa, Nduk?" tanya Bu Wirya hangat. Selayaknya seorang ibu terhadap anak perempuannya. Namun, Aku yang sedang terluka menerima sikapnya itu sebagai hal yang sangat menakutkan.Hampir semalaman aku tak bisa tidur. Jika tidak teringat kehidupan lain di perutku, pasti aku akan begadang. Seperti biasanya, pagi ini aku mesti menunggu mbak Poppy selesai muntah di kamar mandi baru aku pergi mandi."Risa, Bu..." sahutku lirih.
"Habis muntah ya, Ris?" tanya Bude Rahmi yang sedang menggoreng ikan gurameh. "Ya, De," jawabku lirih. Badanku masih terasa lemas setelah habis-habisan di kamar mandi. Setelahnya aku melanjutkan mandi pula demi bisa tetap berangkat ke kampus. "Duduk dulu. Aku bikinin teh hangat apa susu? Pilih aja," kata Bude Rahmi. Aku menurut duduk di kursi dapur. Sekalian mengistirahatkan fisik yang mendadak kurang daya ini. "Muntah kamu?" cetus mbak Poppy yang lewat hendak ke kamar mandi. Wajahnya tampak senang. Tanpa dia tutup-tutupi lagi. Aku tak menjawab pertanyaan yang sepertinya hanya retorika saja. "Ya gitu deh rasanya morning sick, Ris," ujar mbak Poppy jumawa sembari tetap melangkah menuju ke kamar mandi. 'Keterlaluan banget kamu, Mbak. Nggak nyangka, kamu bakal setega itu sama aku.' batinku perih. "Gimana?" tegur Bude Rahmi. "A... Aku bikin sendiri aja susunya, De. Cuma mau duduk bentar buat ngilangin gemetarku," sahutku te
"Kalau telepon liat-liat tempat. Kamu ganggu tidurku," kata Romi sambil berjalan keluar dari ruang kelas di belakang bangku yang aku duduki. Rambutnya sedikit acak-acakan dan mukanya kusut khas orang baru bangun tidur, meskipun hal itu tidak mengurangi ketampanannya sama sekali. Demi apa coba? Kok bisa aku bertemu dengan Romi di sudut kampus yang sepi ini? Bukankah kata Febri dia sedang mendaki Gunung X? "Katanya Febri... Kamu lagi naik gunung..." cetusku spontan. Bercampur dengan rasa panik dan syok juga. Apakah Romi mendengar pembicaraanku dengan Nava barusan? Semuanya??? "Aku baru pulang tadi. Tapi aku nggak bisa tidur di sana. Berisik. Makanya aku tidur di sini. Tapi barusan aku bangun gara-gara denger suaramu," sahut Romi dengan nada mengeluh. Dia menggaruk-garuk kepalanya sehingga rambutnya menjadi semakin awut-awutan. Tapi anehnya malah membuat Romi terlihat seksi. 'Kalau cewek-cewek penggemarnya pada liat dia yang rambutnya gitu, Kira-kira pada jatuh pingsan nggak ya?' ba
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend