"Owalah...! Padahal kamu udah diperingatin sama aku dan pakdemu, lho. Kok bisa kamu tetep lanjut sama pacarmu itu, Ris?" ucap Bude Rahmi emosional. Aku yang masih menunduk sembari bercucuran air mata hanya menjawab dengan isakan. Rasanya sangat berat untuk sekedar menceritakan kebenaran pada Bude Rahmi yang sudah terlanjur menghakimiku. Apalagi kami sedang berada di rumah Bidan Wati, bukannya di rumah sendiri. Aku malu jika Bidan Wati ikut mendengar penuturanku. Meskipun ada hubungan saudara, tetap saja dia orang luar, dan hal yang akan aku ungkapkan pada Bude Rahmi adalah aib. Aku tidak ingin menambah luka di hatiku dengan memberinya kesempatan untuk ikut mengomentari atau malah merasa berhak menghakimiku karena terinspirasi sikap Bude Rahmi terhadapku. "Tenang, Wa. Ini 'kan belum jelas. Belum tentu Risa emang lagi hamil, 'kan. Nanti aku kasih test pack ya, Wa. Biar Risa disuruh pakai terus nanti bisa diliat hasilnya. Jadinya nanti ada kepastian, nggak cuma berdasarkan perasaan kit
"Lho, kok kamu malah mau pergi dari sini, Nduk? Aku ini walimu lho sekarang. Aku yang bertanggung jawab kalau kamu kenapa-napa. Ya sebenernya nggak apa-apa kalau kamu mau nge-kost. Tapi, aku khawatir sama kondisi kamu itu. Coba, dipikirin baik-baik lagi, Ris. Misalnya kamu nggak mau nikah sama Boy, ya paling nggak kamu di sini aja. Di sini 'kan ada budemu sama kakakmu, Poppy, yang bisa nemenin kamu pergi ke bidan dan bantu-bantu kamu ngurus bayimu nanti kalau udah lahir," ujar Pakde Joko, mencegah niatku. Laki-laki itu tampak terkejut mendengar niatku untuk tidak tinggal lagi di rumahnya lagi."Pak'e! Ya nggak mungkinlah aku ada tenaga untuk itu. Apalagi kalau nanti Poppy hamil terus lahiran, pasti aku yang mesti ngurusin bayinya," sanggah Bude Rahmi tanpa basa-basi. Lantas dia melengos lagi setelah mengutarakan penolakannya itu. "'Kan Poppy belum hamil. Misalnya udah juga Risa dulu 'kan yang lahiran. Kamu gimana sih?" cecar Pakde Joko. Istrinya mendengkus kesal, kemudian berpaling k
"Bukan gitu, Mbak. Tapi... Apa mbak Poppy nggak ada kata-kata lain yang lebih enak didenger? Toh aku sebenernya nggak pengin begini, Mbak," kataku sembari menurunkan pandangan mata lagi. Menghindari tatapan mbak Poppy yang seperti ingin menelanku hidup-hidup. "Nggak pengin begini tuh maksudnya nggak pengin hamil jadi nggak ketauan udah nakal sama pacar kamu itu. Ya, 'kan? Licik kamu, Ris. Padahal pakde sama budemu udah baik banget mau nampung kamu di sini. Bahkan kuliah kamu dibayarin bapakku. Tapi apa balesannya? Kamu malah ngasih aib buat keluarga ini. Keterlaluan!" ujar mbak Poppy memberang. "Udah, Pop. Jangan marah-marah kayak gitu. Kalau kamu betulan hamil, nanti bayimu kenapa-napa gimana?" Bude Rahmi menegur mbak Poppy. Mbak Poppy tak mengucapkan apapun. "Ya udah, Ris. Aku sama Poppy cuma mau ngasih tau itu aja," kata Bude Rahmi sembari bangkit dari tempat tidurku dan melangkah keluar dari kamar itu diikuti oleh mbak Poppy yang mengembuskan napas kasar saat melewatiku.***Mb
"Habis ini kamu ikut ke tempat karaoke ya, Ris. Kamu wajib liat biduan kita, si Devi Sukaesih, yang mau manggung. Kamu cukup nonton aja. Marwah sama Nela juga kerjaannya cuma duduk-duduk sama makan jajan aja kok di sana," kata Wawa begitu dosen yang baru saja mengajar di kelas kami keluar dari ruangan. "Devi Sukaesih?" kutipku geli. "Iya. Nonton aku nyanyi, ya. Sama Febri tuh, suaranya bagus. Bagus banget dia kalau lagi nyanyi lagu campur sari. Nggak kayak Wawa. Suaranya kayak ember plastik meledak," timpal Devi sembari mencibir ke arah Wawa. "Emangnya kamu tau bunyi ember plastik meledak kayak apa? Sok tau lu," sambar Wawa dengan bibir dimonyongkan. "Ya udah deh, nanti aku ikut. Tapi aku nggak bisa lama-lama," cetusku.Sorak-sorai ramai terdengar dari mulut Febri cs. Mereka menyambut kesediaanku ikut ke tempat karaoke bersama mereka dengan senang. "Nah, gitu dong, Ris. Tenang aja, ukhti kita tercinta yang bayarin semuanya," celetuk Febri. "Apaan sih?" dengkus Marwah. Tetapi dia
"Ng... Nggak kok, Feb. Aku baik-baik aja," jawabku gugup. Diam-diam aku berupaya keras menahan diri agar tak memegang-megang perutku lagi untuk mengajak bicara bayiku. "Ya udah, aku mau pipis dulu, ya. Tolong tungguin, Ris. Ntar kita bareng balik ke ruangannya," kata Febri. Dia berdiri dan berjalan ke salah satu bilik toilet. 'Maaf ya, Dek. Mungkin Ibu nanti nggak bisa sering-sering ngajak kamu ngobrol kalau lagi ada temen Ibu. Soalnya Ibu bakal otomatis pegang perut Ibu kalau ngajak ngobrol kamu. Yang penting kamu tau 'kan Ibu sayang kamu, Dek?' Aku mengusap sekilas perutku sementara Febri masih berada di dalam bilik toilet. Ketika cewek itu sudah selesai buang air kecil, aku sudah selesai juga berkomunikasi dengan anakku. "Yuk," ujar Febri. Lagi-lagi dia menggamit lenganku selama kami berjalan bersama menyusuri sebuah lorong melewati banyak ruangan tempat karaoke seperti ruangan yang sedang kami tuju. "Kalian pipis apa boker sih? Lama amat," ceplos Wawa begitu melihatku dan Febr
Serentetan kelas hari itu sudah selesai. Tapi Febri cs masih juga membahas keseruan kami di tempat karaoke kemarin. "Risa, kemaren kamu keren banget, deh. Penghayatan kamu itu, lho. Berhasil bikin kita nyesek," cetus Nela. "Doi masih inget soalnya kemaren dia sampai mewek," celetuk Wawa sambil mengedikkan dagu ke arah Nela dengan tampang mengejek. "Marwah juga kok, bukan cuma aku!" kelit Nela. "Ya jelaslah aku sampai mewek. Emang Risa dari hati banget sih nyanyinya," timpal Marwah kalem. "Iya, setuju!" ceplos Devi menyela. "Kapan-kapan kalau kita ke karaokean lagi berarti kamu ikut lagi, ya. Oke?" kata Febri. "Ya. Moga-moga aja pas aku nggak lagi harus pulang cepet," sahutku. "Amiiinnn...!" timpal teman-temanku kompak. Kemudian kami berenam tertawa riang. Bahkan di saat kami berpisah jalan pun masih ada sisa tawa yang terdengar. Itu hakku. "Kamu pulang sama aku aja, Ris?" tawar Wawa. Dia menghentikan mobilnya di depanku yang sedang menunggu ojek online pesananku. "Nggak usah
Ya. Aku ingin move on dari Boy. Itu hakku. 'Tapi... Kok kayaknya aku nggak tau diri banget, ya? Seenaknya aja mau nempel-nempel ke Romi sementara aku lagi hamil anaknya cowok lain begini?' pikirku. Aku lesu lagi. Kedua bahuku turun lagi. Suatu kesadaran bahwa aku bukan cewek single biasa menderaku. Aku ini cewek single berbadan dua. Rasanya aku bakal tak adil pada Romi, bahkan untuk sekedar menyukainya sekalipun. - Kayaknya aku nggak mau mikirin cowok lagi deh, Va. Udah cukup aku pusing sama cowok satu yang br*ngsek itu. Aku cuma mau hidup damai sama anakku. Aku bisa tanpa cowok kok. - ketikku. Lalu ku kirimkan pada Nava sambil mengembuskan napas berat. - Ya, Ris. Terserah kamu aja. 'Kan kamu yang menjalani. Kamu yang tau mana yang terbaik buat kamu mana yang jangan dilakuin. Aku sebagai sahabat cuma bisa dukung keputusan kamu aja, Ris. Lagian, kita jadi cewek emangnya nggak bisa survive tanpa cowok, huh? Tapi tetep doaku kamu segera ketemu jodoh kamu. - Banyak emotikon hati berw
"Kemaren kamu udah minum susunya?" Satu kalimat pertanyaan itu membuatku diam mematung di bangku yang ku duduki. Apakah Romi tahu susu ibu hamil itu untuk ku konsumsi sendiri? Hanya memikirkannya saja mampu membuat bulu kudukku meremang. "Hmm?" cecar Romi saat aku tak kunjung menjawabnya. "Ssshhh! Diem, Rom! Aku mau konsen nyatet penjelasannya Pak Iyan nanti. Kamu jangan berisik terus dong!" Teguran keras Febri pada Romi menyelamatkanku dari tuntutan cowok itu.'Dek. Maafin Ibu, ya. Ibu kaget denger pertanyaan om Romi barusan, jadinya Ibu deg-degan banget. Kamu pasti terganggu, ya?' Diam-diam aku mengajak bicara si kecil di dalam perut. Romi tak bertanya ataupun mengatakan apapun lagi kepadaku. Bahkan sampai kelas dibubarkan oleh Pak Iyan. Cowok itu hanya berjalan keluar dari ruangan. Mungkin dia ingin ke toilet atau malah ke kantin menunggu jam mata kuliah berikutnya yang memang terjeda sekitar 90 menit lagi baru dimulai. "Rom! Mau ke mana?" panggil Febri. "Mau keluarlah," jaw