"Tadi... Apa yang bude bilang itu... Beneran atau..." kataku saat aku dan Boy sudah melepas helm masing-masing di area parkir kampus. Di sepanjang perjalanan barusan aku terus-menerus terpikir ucapan Bude Rahmi tentang Cinta yang akan melanjutkan kuliah di negara dan kampus yang sama dengan Boy setelah kami lulus nanti. Tetapi, aku baru berani menanyakannya pada Boy sekarang. "Ya," sahut Boy acuh tak acuh. Membuat emosiku campur-aduk tak karuan. "Kenapa kamu cuma bilang sama Pakde Joko? Apa aku... Nggak boleh tau soal itu?" cetusku terluka. Boy yang sedang menggantungkan helm-nya di kaca spion kendaraannya dengan sikap sembarangan menoleh ke arahku dengan raut muka heran. "Soalnya aku tau itu bakal bikin kamu kepikiran. Padahal kita mau ujian. Aku ngasih tau om kamu karena dia yang tanya-tanya melulu. Kenapa? Kamu cemburu, ya? Nggak usah. Aku tetep nggak mau kok sama dia," kata Boy sambil berjalan mendahuluiku. 'Gimana aku nggak cemburu, Boy? Dulu, waktu aku masih sebatas penggagu
"Aku udah janji sama om kamu bakal langsung nganterin kamu pulang sehabis dari kampus," kata Boy. Sejak tadi memang aku menampakkan raut muka keheranan ketika dia melajukan sepeda motornya ke arah rumahku. Bukankah dia minta lukanya diobati? Bukan berarti aku ngotot menuntut harus ada sesuatu yang romantis bakal terjadi sih. Cuma heran saja, kok dia malah mengantarku pulang. "Ya..." sahutku sambil turun dari kendaraan roda dua itu. "Kamu bisa telpon aku kalau butuh apa-apa," pesan Boy. Aku hanya mengangguk, tak sanggup bersuara karena tenggorokanku tercekat. Ada sebuah rasa tercekik sehubungan dengan semua situasi yang melingkupiku saat ini. "Udah sana, buruan kamu masuk. Nanti om kamu pikir aku nyulik kamu, 'kan bahaya," ujar Boy. Aku bergeming. Terlalu banyak pikiran membuatku jadi lamban bergerak. "Ada apa? Perlu aku temenin masuk ke rumah?" tanya Boy. "Ng... Nggak usah," jawabku. "Terus kenapa kamu masih berdiri di situ?" celetuk Boy keheranan. 'Aku belum mau pula
- Jangan cari tau siapa aku. Aku cuma orang yang tau siapa Boy yang sebenarnya. Dia ngebohongin kamu selama ini. Kamu cewek b*go, Risa! -Dahiku mengernyit membaca pesan singkat itu.'Maksudnya apa?' batinku bingung. Aku memikirkan setiap kata-kata di dalam pesan itu, bahkan ketika aku sudah sampai di rumah. "Kamu kenapa, Nduk? Kok kamu keliatan kayak orang bingung gitu?" tegur Bude Rahmi. "Ng... Nggak kenapa-napa, Bude. Aku cuma capek," jawabku. "Owalah! Kamu kecapekan habis ujian, ya. Yo wes (ya udah), istirahat sana, Ris," kata Bude Rahmi. "Ya, De," sahutku sembari melangkah masuk ke kamar. Tapi rupanya di sana ada mbak Poppy yang sedang rebahan di atas tempat tidur. Dia tampak asyik memainkan ponselnya hingga tak menyadari kehadiranku. Aku memutuskan untuk mengambil baju ganti di lemari, kemudian keluar untuk pergi ke kamar mandi membawa baju itu. "Kamu udah pulang, Ris?" sapa mbak Poppy saat aku masuk lagi ke kamar dengan memakai setelan kulot berbahan santung favoritku. "
“Kirain kamu nggak dibolehin nginep di sini,” kata Nava riang saat aku tiba di rumahnya. "Tadinya aku pikir juga gitu, Va. Tapi ternyata Pakde Joko ngijinin," timpalku sambil melangkah masuk mengikuti Nava ke ruang tengah. "Kita nonton serial Korea sampai pagi, yuk. Aku udah d******d sampai tamat. Serial yang lagi viral dibahas di Freshbook itu lho." Nava mengajakku duduk di sofa yang berseberangan dengan meja prasmanan tempat televisi. "Itu 'kan yang katanya romantis banget tapi juga lucu," sahutku. "Iya, itu. Cemilannya juga udah komplit nih. Yuk, kita nonton sekarang kalau kamu mau," ujar Nava antusias. "Tapi aku belum mandi, Va," kataku jujur. "Pantesan masih bau asem," canda Nava. “Kamu juga belum mandi, kan?” celetukku balik. Kali ini Nava bertanya-kekeh mengiyakan. "Habis mandi baru kita nonton itu deh," cetusku. "Oke," jawab Nava. Aku membayangkannya. Tiba-tiba teringat pesan misterius dari nomor asing. "Ada apa?" tanya Nava penuh perhatian. Aku menceritaka
"Boy! Kamu kenapa?" Aku mengguncang-guncang badan Boy yang seperti tak bernyawa itu dengan seribu satu pikiran negatif yang membuatku hilang kendali. Aku mendengar suara seperti menggumam keluar dari mulut Boy. Ku dekatkan telingaku ke sana. Betul saja, Boy memang menggumamkan sesuatu barusan. Aku berniat menghubungi rumah sakit untuk minta dikirim mobil ambulans ke tempat ini. Namun, baru juga aku merogoh tas hendak mengambil ponsel, tangan Boy tiba-tiba saja mencekal pergelangan tanganku. Boy menggumam lagi. Aku mendekatkan telinga ke dekat mulutnya lagi agar bisa mendengar apa dikatakannya dengan jelas. "Per... gi..." ucap Boy dengan susah payah. "Pergi? Ke mana?" tanggapku heran. Boy hanya menggerakkan badannya, seperti ingin bangun tapi sulit. Melihatnya aku buru-buru menolongnya beringsut sampai dia duduk.Namun, sorot mata itu... 'Dia nggak lagi mabuk miras, 'kan?' pikirku saat mencium bau menyengat yang menguar dari tubuh Boy yang tengah ku bantu naik ke tempat tidur. A
"Ayo, Nava. Aku pamit dulu ya." Pakde Joko menyalami Nava sambil tangan yang bebas menepuk pelan pundak sahabatku itu. "Iya Pakde. Hati-hati," sahut Nava. Kemudian dia juga bersalaman dengan Bude Rahmi dan yang lainnya. Aku yang sengaja berpamitan paling akhir dengannya, segera memeluknya erat-erat begitu mendapat giliran.Bukan alasan tanpa aku berpura-pura seolah-olah aku dan Nava tidak akan pernah bertemu lagi. Sebab, tanpa sepengetahuan Nava, aku memang berniat tak akan kembali ke rumah lagi setelah keberangkatan ini. Aku bermaksud membicarakan hal itu dengan Pakde Joko sehingga kami sampai di Yogyakarta nanti. Misalnya aku kembali pun hanya sebentar, untuk mengurus surat administrasi untuk pindah universitas. 'Maaf, Va. Aku nggak bisa balik lagi ke sini setelah semua yang udah dia lakuin ke aku.' batinku. Tanpa terasa air mataku merebak. "Jangan pikirin cowok br*ngsek itu lagi, Ris. Demi kamu sendiri. Oke? Eh, siapa tau di Jogja kamu bisa ketemu cowok yang lebih cakep dan leb
Aku duduk di dalam ruang kelas yang sudah terisi oleh beberapa orang sembari mengamati semua hal yang tertangkap oleh pandangan mataku. Segerombol cewek yang baru masuk memilih bangku di dekatku. Salah satu dari mereka melirikku sekilas kemudian tersenyum. Aku membalas senyumnya itu dengan canggung karena aku masih belum cukup beradaptasi dengan tempat dan suasana di sekitarku itu. "Mbak, kayaknya aku belum pernah liat kamu deh di kampus ini. Kamu mahasiswa baru, ya?" tanya cewek yang tersenyum padaku tadi. Teman-temannya ikut menoleh ke arahku. Ada yang menyunggingkan senyum ramah, ada yang memasang ekspresi wajah datar saja. "Idih, sok gaul. Emangnya kamu tau muka semua mahasiswa di kampus ini?" celetuk temannya meledek. Yang lain tertawa geli, sementara cewek tadi tetap setia menunggu jawabanku tanpa mempedulikan mereka. "Iya, aku baru pindah ke sini." Cewek tadi bangkit dari bangkunya, lalu dia duduk di bangku kosong yang berada di sebelahku. "Aku Febri, Mbak," kata cewe
"Lisa!" Ada seseorang yang berseru di belakangku saat aku berjalan di selasar sehabis dari toilet. Aku cuek saja berjalan, sebab tak merasa bernama Lisa. Tapi, suara itu masih saja terdengar, bahkan semakin mendekat. "Lisa!" Romi menjajari langkahku. Aku menoleh kepadanya dengan kikuk. 'Jadi 'Lisa' yang dia panggil-panggil itu aku?' batinku. "Na... Namaku Risa," ralatku. "Ya. Risa. Lisa. Mirip sih. Kamu mau ke kelas, 'kan?" cetus Romi acuh tak acuh. "Ya," jawabku dengan volume suara yang ku naikkan sedikit. Takut dikerjai lagi olehnya seperti kemarin. "Kalau gitu, tolong kamu bilangin ke temen-temen, dosennya lagi pergi. Jam kuliahnya kosong," kata Romi. Dia menepuk pundakku dengan ekspresi wajah seolah-olah bilang 'aku percaya kamu bisa melaksanakan perintahku ini'. Aku diam sejenak, berusaha mencerna perkataannya dulu. "Oke," timpalku pelan setelah data terkumpul di kepala. Aku sungguh merasakan firasat yang tak mengenakkan tentang cowok di hadapanku itu. Namun, aku juga tak
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend