“Kenalin, Mas ... saya ....”
“Eh, kenapa malah ke sini, sih? Kita pulang saja!” potong perempuan yang tiba-tiba muncul dari belakang. Pria itu tidak boleh bertemu dengan Mas Hadri.
Della! Syukurnya perempuan itu lebih peka. Jika tidak, maka permasalahan akan jadi lebih runyam.
“Kirana, kamu pulang diantar siapa? Mana sopirmu?” desak Mas Hadri yang membuatku kesulitan untuk menjawab.
Aku langsung memberi kode pada Della agar dia menyeret pria tinggi di sebelahnya. Mereka harus pergi sekarang, jangan sampai permasalahan yang harusnya hanya antara aku dan Mas Hadri melebar ke orang lain.
“Kir, aku balik dulu, ya? Ayuk, Lam!” desak Della lagi.
Berkat bantuannya, pria tinggi itu berhasil dikeluarkan dari rumah. Meski kudengar dia protes pada Della karena dipaksa pergi saat aku dan Mas Hadri sedang beradu mulut.
Beberapa saat setelah Della dan pria itu pergi, aku langsung mengunci pintu rapat-rapat. Saat berbalik, Mas Hadri sudah tidak lagi berdiri di tempatnya. Dia berjalan cepat menuju kamar kami, meninggalkanku sendiri dengan rasa penasaran yang tidak terbendung sama sekali.
--
Seminggu setelah kejadian itu, aku terus dilingkupi perasaan curiga pada Mas Hadri. Sikapnya aneh, bahkan dia tidak meminta jatah malamnya padaku.
Pagi itu, aku memilih untuk menginterogasi satu-satunya orang lain yang ada di rumah ini.
“Fan, selama tinggal di sini, kamu pernah lihat yang aneh-aneh enggak?” tanyaku pada asisten rumah tangga yang baru saja kembali dari rumahnya.
Perempuan itu masih muda, ibu mertua yang mengusulkannya untuk bekerja di rumah ini. Menurutnya, aku butuh seseorang yang gesit dan sanggup bekerja mengurus rumah luas yang kubeli setelah menikahi Mas Hadri.
“I-iya, Bu? Aneh seperti apa, Bu?” balasnya sembari mencuci gelas di wastafel.
Aku berdiri di dekat kulkas, menatap ke arah Fani yang seperti kikuk. Dia berhenti menggosok gelas bekas minum Mas Hadri, tangannya dibiarkan berbalut busa, Fani tertekan.
“Pernah lihat hantu di rumah ini? Perempuan rambut panjang dan pakaiannya seksi!” ucapku pada Fani.
“Pe-perempuan? Ada hantu di rumah ini, Bu?” Fani terkejut.
Dia menoleh ke arahku. Matanya melotot besar, bahkan mulutnya membola. Perempuan yang memakai kaos lengan panjang dan celana training itu berhenti berbicara, dia menungguku memberi respon atas pertanyaannya barusan.
Melihat gelagatnya yang seperti itu, aku menghela napas. Mungkin memang ini hanyalah kegelisahanku semata. Kami masih pengantin baru, tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Mas Hadri dan Fani.
“Fani, kalau aku kerja di luar kota, kamu tetap pulang ke rumahmu. Jangan kembali sampai aku menghubungi!” tegasku sekali lagi.
Fani menganggukkan kepala. Selama ini, aku selalu meminta Fani kembali agar tidak tinggal berdua dengan Mas Hadri setiap kali aku dinas, semua ini demi menjaga keharmonisan pernikahan kami, serta menjauhkan diri dari fitnah.
Tapi ....
Aku mencoba menepis kegelisahan, semalaman tidak bisa tidur membuat seluruh tubuhku kehilangan tenaga.
“Kirana, kamu mau berangkat sekarang? Mas bawa mobil sendiri, ya?” ucap Mas Hadri saat keluar dari kamar.
Pria itu sudah rapi dengan kemeja dan celana bahannya. Dia juga menyemir rambut hingga mengkilap, bahkan aroma parfumnya menyeruak sampai ke meja makan.
“Tumben!” balasku padanya. Selama ini, Mas Hadri selalu menumpang mobilku, dia suka menyetiri mobil mahal milikku.
“Iya, lagi pengen bawa mobil sendiri. Sudah, ya ... Mas berangkat dulu ke kantor!” ujarnya sembari melambaikan tangan.
Mas Hadri pergi begitu saja, bahkan tidak mendengar sahutan dari perkataannya barusan. Aku menatap pria itu sampai dia masuk ke dalam mobil, membiarkannya pergi dan langsung menyusul dengan mobil milikku.
Kuhela napas sepanjang perjalanan. Misteri perihal gaun tidurku yang selalu ada di keranjang kotor saja sulit untuk dipecahkan, kini malah muncul masalah baru.
Hantu? Apa hantu itu benar-benar ada dan suka menampakkan dirinya terang-terangan seperti semalam?
“Aku harus ngurangin kerjaan, lama-lama jadi halusinasi begini,” batinku sembari menyetir mobil merci ke kantor.
Tiga puluh menit di jalan, aku tiba di halaman sebuah gedung pencakar langit. Kehadiranku langsung disambut oleh petugas gerbang. Mereka menyapa, melempar senyum ramah bahkan mengarahkanku saat memarkirkan mobil.
Begitu turun, aku menenteng sebuah tas dari brand besar. Tidak lupa membenarkan rok span setumit dan blouse satin putih nan idah, lalu menyisipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinga.
“Bu, tumben sendiri?” sapa sekuriti yang sudah mengenalku dengan baik itu.
“Suami saya sudah datang?” balasku.
“Sudah, Bu. Tadi Pak Hadri langsung naik.”
“Terima kasih, saya naik dulu!”
Aku merasa sedikit lega karena mendengar penjelasannya barusan. Kejadian yang janggal di rumah akhir-akhir ini membuatku curiga dan berkhayal. Bahkan, aku sempat membayangkan hubungan panas antara Mas Hadri dan Fani.
Tiba di ruangan, aku menghempas tubuh di kursi putar. Meja luas, komputer yang masih mati menyambut, namun ada satu cangkir kopi susu yang sudah tersedia. Entah siapa yang melakukannya.
“Kirana, semoga kamu suka!” Kudengar seruan itu tiba-tiba. Saat aku menengadahkan kepala, Mas Hadri berdiri di ambang pintu kantorku, menatap ke dalam dengan sorot mata yang hangat. “Mas minta dibuatkan lebih pekat, kamu suka kopi yang kental dan kuat!” sambungnya lagi.
Aku tersenyum, sudah pasti orang yang tahu sedetail ini hanyalah Mas Hadri. Hal yang membuat keraguanku padanya menjadi lemah, adalah sikapnya yang begitu romantis. Dia tahu, dia peduli, dia juga manis dan baik.
“Iya, Mas. Aku suka!”
Mas Hadri mengulas senyum. “Nanti malem kita makan menu kesukaanmu, ya?”
“Oke!” sahutku lagi.
Setelah itu Mas Hadri beranjak dari ambang pintu ruanganku. Dia kembali ke kubikelnya yang berada tepat di seberang ruanganku, bersatu dengan beberapa tim lain dibawah naunganku.
Sepeninggal Mas Hadri, aku melirik meja kerja. Cangkir kopi yang isinya masih mengepulkan asap itu terlihat menarik, Mas Hadri pasti memesannya di kafe lantai pertama gedung ini, lalu membawanya ke sini dengan terburu-buru. Hal itu membuatku mengulas senyum tanpa sadar, membawaku kembali ke dalam kenangan pertemuan dan pendekatan kami sebelum menikah.
“Kir ....”
Aku terhenyak. Panggilan serta suara gaduh yang tiba-tiba terdengar itu membuat seluruh anganku tentang Mas Hadri menghilang tanpa jejak.
“Ada apa?” balasku pada perempuan yang memakai jilbab super modis itu. Della muncul terburu-buru, bahkan belum menyimpan tasnya di kubikel.
Namun, aku belum sempat berbicara kalimat lain saat Della mulai berdiri bingung, lalu air mata mengucur deras di kedua pipinya. Perempuan itu menangis!
“Suamiku, dia beneran selingkuh, Kir! Aku enggak percaya ini beneran terjadi. Dia lebih milih ninggalin aku dan anak kami,” lirihnya dengan suara yang perlahan menjadi sengau.
Aku melirik ke luar ruangan dari pintu, beberapa karyawan yang sudah datang tertarik dengan apa yang dilakukan Della. Alhasil, aku beranjak dari kursi kebesaran, kemudian berjalan cepat menuju pintu.
Baru saja hendak menutup, kudapati Mas Hadri berdiri di depan mesin fotokopi. Benda persegi panjang besar itu sedang bekerja keras saat Mas Hadri berbicara dengan salah satu karyawan magang baru.
Sejenak, aku diam ... tangisan Della tidak lagi menjadi tujuan. Aku terus menautkan pandangan pada Mas Hadri dan gadis yang memiliki dada besar tersebut. Bahkan, terlihat sekali jika dirinya berusaha mencuri perhatian Mas Hadri.
“Kir, kamu dengar aku enggak, sih?” Della protes keras. “Ternyata, suamiku punya fantasi aneh, Kir. Maunya dia kami berhubungan bertiga dengan si pembantu di rumah!”
Deg! Apa yang baru saja dikatakan oleh Della? Fantasi?
Aku masih menatap, perasaan ini semakin bergejolak hebat. Bulan lalu, orang tua Mas Hadri pernah sesumbar pada tetangganya jika suamiku adalah pria yang bisa menarik perempuan manapun karena bisa menikahi atasannya sendiri.
“Anakku itu, duh ... semua perempuan juga kepincut, Mbak. Mau dokter, perawat, pramugari, semua naksir anakku. Makanya, Hadri bisa nikahin Kirana! Kalau bukan karena Hadri maksa buat nikah sama Kirana, kami juga enggak akan setuju, Mbak. Kirana itu sudah berumur, pasti susah hamil, mana sibuk kerja, gajinya enggak seberapa.”
“Makasih banyak, Mas.” Anak magang itu melambaikan tangannya pada Mas Hadri, mereka bertukar senyum, kemudian berpisah.
Tiba-tiba saja, aku jadi ingin memeriksa misteri gaun malam yang terus muncul di keranjang kotor. Mas Hadri akhir-akhir ini terlalu sering sendiri, bisa saja ....
“Hahh ....”
“Lagi!” Aku membelalak melihat sepotong gaun malam berwarna merah muncul di keranjang baju kotor.Seingatku, kemarin Fani sudah membersihkan semua cucian, tapi kenapa benda ini masih juga muncul?Aku berdiri di depan keranjang baju kotor, memandangi isinya yang tidak banyak. Padahal, semenjak pulang dinas, aku dan Mas Hadri belum terlibat hubungan sama sekali, apa lagi sampai memakai baju seperti ini.Perasaanku menjadi gelisah, semuanya jadi tidak karuan. Kenapa sesuatu yang tidak pernah kupakai selalu muncul di keranjang baju kotor? Berbau dan juga sedikit koyak.“Fan!” seruku sembari melongok ke arah ruang keluarga. Sesaat lalu, Fani sedang menyapu di sana.Ini sudah jam tujuh pagi, aku harus berangkat bekerja tapi malah berakhir memeriksa keranjang baju. Setelan kantor mewah di badan juga tidak cocok dengan apa yang kulakukan saat ini.“Fani!” panggilku sekali lagi.Perempuan muda itu muncul tergesa-gesa, wajahnya berpeluh dan tangannya masih memegang sapu hijau. Fani berdiri goya
“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....“Kamu juga sel
“Kirana, kamu bicara apa? Suara apa yang kamu bahas dari tadi?” tegur ibu mertua ke arahku.Meski demikian, aku tidak bergeming. Jelas baru saja kudengar suara perempuan memekik dari dalam kamar Mas Hadri, ditambah lagi ada sesuatu yang terjatuh dengan keras. Bukankah itu berarti ada seseorang di sana?“Ibu enggak dengar? Mas, kamu juga enggak dengar?” tanyaku pada dua orang itu secara bergantian. Mana mungkin mereka tidak mendengar apa-apa saat suara yang muncul barusan memekakkan telinga. Kecuali keduanya punya masalah pendengaran, pasti mereka bisa mendengar suara itu.“Kamu halusinasi lagi, Kirana!” Mas Hadri berkata yakin. Dia menatap diriku, membujuk agar kami menjauh dari pintu kamarnya yang tetap saja tertutup rapat. “Di rumah ini hanya ada Ibu, beliau tinggal sendirian di rumah. Kalau memang ada orang lain di sini, mana mungkin kita tidak dikenalkan.”Aku menatap ke arah Mas Hadri, manik matanya tetap, tidak bergetar, parasnya juga tidak tanpa kegelisahan. Sepertinya, mereka
Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seor
“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di d
“Mas, aku jalan dulu, ya?” lirihku pada Mas Hadri dengan suara mendayu pagi itu.Mobil kantor yang bertugas menjemput sudah berhenti di depan pagar. Seorang pria duduk di dalamnya, memakai setelan sopir dari perusahaan.Mas Hadri tersenyum padaku. Dia mengulur tangan, aku sambut dengan mengecup punggung tangannya sebagai baktiku selaku istri.“Hati-hati, Sayang. Maaf Mas enggak bisa temenin kamu pergi sejauh itu. Kalau Mas pergi, kerjaan Mas bakalan berantakan, di rumah juga sepi.” Mas Hadri menjelaskannya lagi.Aku hanya mengiyakan ucapannya. Penjelasan itu sudah kudengar hingga muak rasanya. Dari awal, aku menawarkan banyak hal, termasuk menjamin cuti dan pekerjaannya di kantor agar Mas Hadri bersedia ikut denganku selama dua minggu. Nyatanya, Mas Hadri menang dan aku harus pergi sendiri.“Iya, Mas. Sampai jumpa dua minggu lagi!” ucapku padan
“Kenapa kamu ada di sini?” Aku berteriak hingga urat leher bermunculan di balik kulit.Mata ini membelalak, tidak menyangka jika sosok yang selama ini terus membuatku gelisah benar-benar ada di rumah saat dia sudah kupastikan pulang. Sungguh, hal yang saat ini menyambut kepulanganku benar-benar membuat diri ini kehabisan kata-kata.“Kenapa kamu ada di rumah, Fan?” pekikku kembali.Meski kehadiran Fani sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua kegundahanku. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang, tidak terbalut emosi, apa lagi sampai bertindak anarkis.“Sayang, kenapa kamu teriak begini? Apa salahnya Fani kerja di rumah? Mas capek makan nasi warung, sedangkan kamu tidak pernah masak, selalu bekerja sampai meninggalkan Mas berminggu-minggu!” bantah Mas Hadri dari belakangku.“Mas, kamu diam dulu! Aku bicara sama Fani.” Lidahku berke
“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas