“Kenalin, Mas ... saya ....”
“Eh, kenapa malah ke sini, sih? Kita pulang saja!” potong perempuan yang tiba-tiba muncul dari belakang. Pria itu tidak boleh bertemu dengan Mas Hadri.
Della! Syukurnya perempuan itu lebih peka. Jika tidak, maka permasalahan akan jadi lebih runyam.
“Kirana, kamu pulang diantar siapa? Mana sopirmu?” desak Mas Hadri yang membuatku kesulitan untuk menjawab.
Aku langsung memberi kode pada Della agar dia menyeret pria tinggi di sebelahnya. Mereka harus pergi sekarang, jangan sampai permasalahan yang harusnya hanya antara aku dan Mas Hadri melebar ke orang lain.
“Kir, aku balik dulu, ya? Ayuk, Lam!” desak Della lagi.
Berkat bantuannya, pria tinggi itu berhasil dikeluarkan dari rumah. Meski kudengar dia protes pada Della karena dipaksa pergi saat aku dan Mas Hadri sedang beradu mulut.
Beberapa saat setelah Della dan pria itu pergi, aku langsung mengunci pintu rapat-rapat. Saat berbalik, Mas Hadri sudah tidak lagi berdiri di tempatnya. Dia berjalan cepat menuju kamar kami, meninggalkanku sendiri dengan rasa penasaran yang tidak terbendung sama sekali.
--
Seminggu setelah kejadian itu, aku terus dilingkupi perasaan curiga pada Mas Hadri. Sikapnya aneh, bahkan dia tidak meminta jatah malamnya padaku.
Pagi itu, aku memilih untuk menginterogasi satu-satunya orang lain yang ada di rumah ini.
“Fan, selama tinggal di sini, kamu pernah lihat yang aneh-aneh enggak?” tanyaku pada asisten rumah tangga yang baru saja kembali dari rumahnya.
Perempuan itu masih muda, ibu mertua yang mengusulkannya untuk bekerja di rumah ini. Menurutnya, aku butuh seseorang yang gesit dan sanggup bekerja mengurus rumah luas yang kubeli setelah menikahi Mas Hadri.
“I-iya, Bu? Aneh seperti apa, Bu?” balasnya sembari mencuci gelas di wastafel.
Aku berdiri di dekat kulkas, menatap ke arah Fani yang seperti kikuk. Dia berhenti menggosok gelas bekas minum Mas Hadri, tangannya dibiarkan berbalut busa, Fani tertekan.
“Pernah lihat hantu di rumah ini? Perempuan rambut panjang dan pakaiannya seksi!” ucapku pada Fani.
“Pe-perempuan? Ada hantu di rumah ini, Bu?” Fani terkejut.
Dia menoleh ke arahku. Matanya melotot besar, bahkan mulutnya membola. Perempuan yang memakai kaos lengan panjang dan celana training itu berhenti berbicara, dia menungguku memberi respon atas pertanyaannya barusan.
Melihat gelagatnya yang seperti itu, aku menghela napas. Mungkin memang ini hanyalah kegelisahanku semata. Kami masih pengantin baru, tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Mas Hadri dan Fani.
“Fani, kalau aku kerja di luar kota, kamu tetap pulang ke rumahmu. Jangan kembali sampai aku menghubungi!” tegasku sekali lagi.
Fani menganggukkan kepala. Selama ini, aku selalu meminta Fani kembali agar tidak tinggal berdua dengan Mas Hadri setiap kali aku dinas, semua ini demi menjaga keharmonisan pernikahan kami, serta menjauhkan diri dari fitnah.
Tapi ....
Aku mencoba menepis kegelisahan, semalaman tidak bisa tidur membuat seluruh tubuhku kehilangan tenaga.
“Kirana, kamu mau berangkat sekarang? Mas bawa mobil sendiri, ya?” ucap Mas Hadri saat keluar dari kamar.
Pria itu sudah rapi dengan kemeja dan celana bahannya. Dia juga menyemir rambut hingga mengkilap, bahkan aroma parfumnya menyeruak sampai ke meja makan.
“Tumben!” balasku padanya. Selama ini, Mas Hadri selalu menumpang mobilku, dia suka menyetiri mobil mahal milikku.
“Iya, lagi pengen bawa mobil sendiri. Sudah, ya ... Mas berangkat dulu ke kantor!” ujarnya sembari melambaikan tangan.
Mas Hadri pergi begitu saja, bahkan tidak mendengar sahutan dari perkataannya barusan. Aku menatap pria itu sampai dia masuk ke dalam mobil, membiarkannya pergi dan langsung menyusul dengan mobil milikku.
Kuhela napas sepanjang perjalanan. Misteri perihal gaun tidurku yang selalu ada di keranjang kotor saja sulit untuk dipecahkan, kini malah muncul masalah baru.
Hantu? Apa hantu itu benar-benar ada dan suka menampakkan dirinya terang-terangan seperti semalam?
“Aku harus ngurangin kerjaan, lama-lama jadi halusinasi begini,” batinku sembari menyetir mobil merci ke kantor.
Tiga puluh menit di jalan, aku tiba di halaman sebuah gedung pencakar langit. Kehadiranku langsung disambut oleh petugas gerbang. Mereka menyapa, melempar senyum ramah bahkan mengarahkanku saat memarkirkan mobil.
Begitu turun, aku menenteng sebuah tas dari brand besar. Tidak lupa membenarkan rok span setumit dan blouse satin putih nan idah, lalu menyisipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinga.
“Bu, tumben sendiri?” sapa sekuriti yang sudah mengenalku dengan baik itu.
“Suami saya sudah datang?” balasku.
“Sudah, Bu. Tadi Pak Hadri langsung naik.”
“Terima kasih, saya naik dulu!”
Aku merasa sedikit lega karena mendengar penjelasannya barusan. Kejadian yang janggal di rumah akhir-akhir ini membuatku curiga dan berkhayal. Bahkan, aku sempat membayangkan hubungan panas antara Mas Hadri dan Fani.
Tiba di ruangan, aku menghempas tubuh di kursi putar. Meja luas, komputer yang masih mati menyambut, namun ada satu cangkir kopi susu yang sudah tersedia. Entah siapa yang melakukannya.
“Kirana, semoga kamu suka!” Kudengar seruan itu tiba-tiba. Saat aku menengadahkan kepala, Mas Hadri berdiri di ambang pintu kantorku, menatap ke dalam dengan sorot mata yang hangat. “Mas minta dibuatkan lebih pekat, kamu suka kopi yang kental dan kuat!” sambungnya lagi.
Aku tersenyum, sudah pasti orang yang tahu sedetail ini hanyalah Mas Hadri. Hal yang membuat keraguanku padanya menjadi lemah, adalah sikapnya yang begitu romantis. Dia tahu, dia peduli, dia juga manis dan baik.
“Iya, Mas. Aku suka!”
Mas Hadri mengulas senyum. “Nanti malem kita makan menu kesukaanmu, ya?”
“Oke!” sahutku lagi.
Setelah itu Mas Hadri beranjak dari ambang pintu ruanganku. Dia kembali ke kubikelnya yang berada tepat di seberang ruanganku, bersatu dengan beberapa tim lain dibawah naunganku.
Sepeninggal Mas Hadri, aku melirik meja kerja. Cangkir kopi yang isinya masih mengepulkan asap itu terlihat menarik, Mas Hadri pasti memesannya di kafe lantai pertama gedung ini, lalu membawanya ke sini dengan terburu-buru. Hal itu membuatku mengulas senyum tanpa sadar, membawaku kembali ke dalam kenangan pertemuan dan pendekatan kami sebelum menikah.
“Kir ....”
Aku terhenyak. Panggilan serta suara gaduh yang tiba-tiba terdengar itu membuat seluruh anganku tentang Mas Hadri menghilang tanpa jejak.
“Ada apa?” balasku pada perempuan yang memakai jilbab super modis itu. Della muncul terburu-buru, bahkan belum menyimpan tasnya di kubikel.
Namun, aku belum sempat berbicara kalimat lain saat Della mulai berdiri bingung, lalu air mata mengucur deras di kedua pipinya. Perempuan itu menangis!
“Suamiku, dia beneran selingkuh, Kir! Aku enggak percaya ini beneran terjadi. Dia lebih milih ninggalin aku dan anak kami,” lirihnya dengan suara yang perlahan menjadi sengau.
Aku melirik ke luar ruangan dari pintu, beberapa karyawan yang sudah datang tertarik dengan apa yang dilakukan Della. Alhasil, aku beranjak dari kursi kebesaran, kemudian berjalan cepat menuju pintu.
Baru saja hendak menutup, kudapati Mas Hadri berdiri di depan mesin fotokopi. Benda persegi panjang besar itu sedang bekerja keras saat Mas Hadri berbicara dengan salah satu karyawan magang baru.
Sejenak, aku diam ... tangisan Della tidak lagi menjadi tujuan. Aku terus menautkan pandangan pada Mas Hadri dan gadis yang memiliki dada besar tersebut. Bahkan, terlihat sekali jika dirinya berusaha mencuri perhatian Mas Hadri.
“Kir, kamu dengar aku enggak, sih?” Della protes keras. “Ternyata, suamiku punya fantasi aneh, Kir. Maunya dia kami berhubungan bertiga dengan si pembantu di rumah!”
Deg! Apa yang baru saja dikatakan oleh Della? Fantasi?
Aku masih menatap, perasaan ini semakin bergejolak hebat. Bulan lalu, orang tua Mas Hadri pernah sesumbar pada tetangganya jika suamiku adalah pria yang bisa menarik perempuan manapun karena bisa menikahi atasannya sendiri.
“Anakku itu, duh ... semua perempuan juga kepincut, Mbak. Mau dokter, perawat, pramugari, semua naksir anakku. Makanya, Hadri bisa nikahin Kirana! Kalau bukan karena Hadri maksa buat nikah sama Kirana, kami juga enggak akan setuju, Mbak. Kirana itu sudah berumur, pasti susah hamil, mana sibuk kerja, gajinya enggak seberapa.”
“Makasih banyak, Mas.” Anak magang itu melambaikan tangannya pada Mas Hadri, mereka bertukar senyum, kemudian berpisah.
Tiba-tiba saja, aku jadi ingin memeriksa misteri gaun malam yang terus muncul di keranjang kotor. Mas Hadri akhir-akhir ini terlalu sering sendiri, bisa saja ....
“Hahh ....”
“Lagi!” Aku membelalak melihat sepotong gaun malam berwarna merah muncul di keranjang baju kotor.Seingatku, kemarin Fani sudah membersihkan semua cucian, tapi kenapa benda ini masih juga muncul?Aku berdiri di depan keranjang baju kotor, memandangi isinya yang tidak banyak. Padahal, semenjak pulang dinas, aku dan Mas Hadri belum terlibat hubungan sama sekali, apa lagi sampai memakai baju seperti ini.Perasaanku menjadi gelisah, semuanya jadi tidak karuan. Kenapa sesuatu yang tidak pernah kupakai selalu muncul di keranjang baju kotor? Berbau dan juga sedikit koyak.“Fan!” seruku sembari melongok ke arah ruang keluarga. Sesaat lalu, Fani sedang menyapu di sana.Ini sudah jam tujuh pagi, aku harus berangkat bekerja tapi malah berakhir memeriksa keranjang baju. Setelan kantor mewah di badan juga tidak cocok dengan apa yang kulakukan saat ini.“Fani!” panggilku sekali lagi.Perempuan muda itu muncul tergesa-gesa, wajahnya berpeluh dan tangannya masih memegang sapu hijau. Fani berdiri goya
“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....“Kamu juga sel
“Kirana, kamu bicara apa? Suara apa yang kamu bahas dari tadi?” tegur ibu mertua ke arahku.Meski demikian, aku tidak bergeming. Jelas baru saja kudengar suara perempuan memekik dari dalam kamar Mas Hadri, ditambah lagi ada sesuatu yang terjatuh dengan keras. Bukankah itu berarti ada seseorang di sana?“Ibu enggak dengar? Mas, kamu juga enggak dengar?” tanyaku pada dua orang itu secara bergantian. Mana mungkin mereka tidak mendengar apa-apa saat suara yang muncul barusan memekakkan telinga. Kecuali keduanya punya masalah pendengaran, pasti mereka bisa mendengar suara itu.“Kamu halusinasi lagi, Kirana!” Mas Hadri berkata yakin. Dia menatap diriku, membujuk agar kami menjauh dari pintu kamarnya yang tetap saja tertutup rapat. “Di rumah ini hanya ada Ibu, beliau tinggal sendirian di rumah. Kalau memang ada orang lain di sini, mana mungkin kita tidak dikenalkan.”Aku menatap ke arah Mas Hadri, manik matanya tetap, tidak bergetar, parasnya juga tidak tanpa kegelisahan. Sepertinya, mereka
Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seor
“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di d
“Mas, aku jalan dulu, ya?” lirihku pada Mas Hadri dengan suara mendayu pagi itu.Mobil kantor yang bertugas menjemput sudah berhenti di depan pagar. Seorang pria duduk di dalamnya, memakai setelan sopir dari perusahaan.Mas Hadri tersenyum padaku. Dia mengulur tangan, aku sambut dengan mengecup punggung tangannya sebagai baktiku selaku istri.“Hati-hati, Sayang. Maaf Mas enggak bisa temenin kamu pergi sejauh itu. Kalau Mas pergi, kerjaan Mas bakalan berantakan, di rumah juga sepi.” Mas Hadri menjelaskannya lagi.Aku hanya mengiyakan ucapannya. Penjelasan itu sudah kudengar hingga muak rasanya. Dari awal, aku menawarkan banyak hal, termasuk menjamin cuti dan pekerjaannya di kantor agar Mas Hadri bersedia ikut denganku selama dua minggu. Nyatanya, Mas Hadri menang dan aku harus pergi sendiri.“Iya, Mas. Sampai jumpa dua minggu lagi!” ucapku padan
“Kenapa kamu ada di sini?” Aku berteriak hingga urat leher bermunculan di balik kulit.Mata ini membelalak, tidak menyangka jika sosok yang selama ini terus membuatku gelisah benar-benar ada di rumah saat dia sudah kupastikan pulang. Sungguh, hal yang saat ini menyambut kepulanganku benar-benar membuat diri ini kehabisan kata-kata.“Kenapa kamu ada di rumah, Fan?” pekikku kembali.Meski kehadiran Fani sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua kegundahanku. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang, tidak terbalut emosi, apa lagi sampai bertindak anarkis.“Sayang, kenapa kamu teriak begini? Apa salahnya Fani kerja di rumah? Mas capek makan nasi warung, sedangkan kamu tidak pernah masak, selalu bekerja sampai meninggalkan Mas berminggu-minggu!” bantah Mas Hadri dari belakangku.“Mas, kamu diam dulu! Aku bicara sama Fani.” Lidahku berke
“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas
“Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a
“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny
“Assalamualaikum, Bu?” ucapku sembari mengetuk pelan daun pintu.Ini hampir subuh dan aku baru saja tiba di rumah bapak dan ibu. Memakai gaun panjang, rambut acak-acakan dan wajah sembab karena beberapa kali melawan air mata yang terus mengalir tanpa izin. Entah bagaimana reaksi bapak dan ibu saat melihat hadirku di rumahnya membawa luka yang tidak pernah mereka duga.“Bapak? Ibu ... ini Kirana!” Aku berseru lagi.Suasana begitu sepi di luar rumah. Pedesaan ini tidak lagi ramai seperti saat aku kecil dulu. Banyak pemuda dan pemudinya memilih keluar dari desa, mencari rezeki ke kota, tidak ubahnya diriku.“Belum ada yang jawab juga, Kir?” Itu suara Della.Perempuan berhijab itu mengantarku ke desa. Sendirian? Tentu saja tidak. Ada Alam yang lagi-lagi bersedia direpotkan. Dia menyetir di tengah malam hingga akhirnya kami tiba ke rumah orang tuaku.“Waalaikumsalam! Siapa di luar?” sambut ibu.Mendengar suaranya, hatiku bergetar. Bagaimana kalau ibu syok melihatku? Haruskah aku pergi lagi
“Apa maksudmu bocah? Aku bukan bocah!” Perempuan itu menyahut lagi.Sebelum aku menyambar perkataannya, Alam tiba-tiba saja melempar selimut tebal dari kamarku ke arah perempuan itu. Membuatnya terperangah, kesal dan juga tersinggung. Tapi, Alam tetap dengan pendiriannya sendiri.“Tutupi tubuhmu. Tidak ada yang akan tergoda dengan itu kecuali pria pengkhianat!” cela Alam yang membuat Della terkikik di sebelahku.Bahkan aku terkejut melihatnya. Sesaat lalu Alam masih duduk di sofa, entah kapan dia bangkit lalu membawa selimut dari kamarku.“Apa katamu? Jangan asal bicara padanya!” Mas Hadri menyalak. Jelas sekali jika dia tersinggung dengan perkataan Alam. “Pria pengkhianat? Lalu apa kata yang pantas untuk pria yang sibuk mengejar istri orang lain?”“Setidaknya, aku tidak bermain api di atas ranjang milik istriku sendiri!” Alam menyahut lagi.Hal itu membuatku menyadari sesuatu, jika selama ini Mas Hadri tidak pernah berdiri untuk membelaku. Dia membiarkan orang-orang mengomeliku, meng
“Ini bukan suara hantu!” Alam berbicara. “Kalian di belakang, jangan mendahului,” ucapnya kemudian.Aku mencoba tegar, sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi sesaat lagi.Begitu Alam menerjang ke depan, sempat aku melirik ke arah dapur. Tempat di dekat dispenser itu selalu dihantui oleh sosok yang memakai gaun minim setiap kali aku pulang dari dinas dalam keadaan lelah. Tapi, malam ini posisi itu kosong. Tentu saja, sebab sosok itu sedang beradu erang dengan Mas Hadri di dalam kamarku.“Kir?” panggil Della. Dia meraih tanganku, menggenggamnya begitu erat.Della menyalurkan begitu banyak kata penguat, bahkan dia tidak beranjak meski hanya selangkah, tetap bersamaku di belakang Alam. Della juga berkata jika semuanya akan segera berlalu dan aku tidak akan remuk hanya karena hal seperti ini.“Tidak apa, aku bisa!” balasku dengan intonasi yang sangat rendah.Alam mendengarnya, hanya menoleh sedikit. Dia sudah berdiri di depan pintu kamar dengan dua tangan yang mengepal. Della di bel
Ruangan ruas, ballroom yang menjadi tempat berlangsungnya acara ulang tahun perusahaan yang ke-50 terasa tenang. Beberapa kali terdengar denting pisau dan garpu, juga suara obrolan yang sangat kecil dari setiap meja berbentuk lingkaran.Ada puluhan, ah ... lebih dari dua ratus orang hadir malam ini. Perusahaan membuat perayaan yang jauh lebih megah dibanding sebelumnya. Aku melihat banyak sosok yang wajahnya mondar-mandir di layar tv di beberapa meja, mereka sepertinya sangat akrab dengan rekan satu meja.Kuhela napas, ini sudah yang kesekian kalinya. Mungkin gaun panjang, atau headpiece yang mengganggu, rasanya sangat menyesakkan.Steak dari daging terbaik hanya nganggur di piring, bahkan belum tersentuh oleh ujung pisau. Sedangkan Della, perempuan itu sudah menikmati dessertnya.Sret ...Aku melirik cepat, sebuah suara yang bahkan membuat duniaku teralihkan. Rupanya Alam pelakunya.“Alam, apa yang kamu lakukan?” tegurku sembari menarik piring agak menjauh.Tanpa izinku, dia sudah me
Malam menjelang, aku tiba di rumah tepat jam tujuh. Sendirian, tidak ada yang menyambut.Aku masuk ke dalam rumah dengan kunci pegangan, berharap banyak agar tidak melihat hantu perempuan yang selalu mengganggu ketenanganku akhir-akhir ini. Syukurnya, begitu pintu terbuka, Fani muncul lebih dulu.“Bu?” panggilnya santun. Dia tersenyum tipis.Perempuan rajin yang memakai kardigan kesayangannya itu kikuk melihatku. Mungkin, mungkin saja ... aku juga tidak bisa membaca isi hatinya. Mungkin saja Fani khawatir aku akan marah karena dirinya kembali ke rumah sebelum kuberi perintah.“Baru sampai?” tanyaku sembari melepas sepatu, lalu tas yang menemani perjalanan mengantar ibu dan bapak ke desa.Fani menganggukkan kepala. Tindakannya membuat jilbab bergo biru gelapnya itu berguncang lembut. Lalu, jatuh kembali menutupi dada.Kulihat semuanya dalam diam. Lalu, sebersit tanya menembus angan.Apa rasanya berhijab? Apa rasanya berpakaian tertutup seperti ini?Kenapa aku masih belum bisa melakukan
“Hadri, Ibu dan Bapak balik dulu ke kampung. Ibu titip Kirana, ya? Anak Ibu satu-satunya.” Ibu berbicara lembut sembari menggenggam erat tangan Mas Hadri.Terlihat jelas pancaran harapan dari kedua manik matanya yang sayu. Ibu pasti benar-benar percaya dengan apa yang diucapkan Mas Hadri padanya, perihal rumah tangga kami yang baik-baik saja, yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Hal itulah yang membuat Ibu begitu yakin untuk segera kembali ke desa.Aku berdiri di belakang ibu dan bapak, melipat dua tangan di dada. Sudah berpakaian rapi, menyandang tas kecil serta mengikat rambut. Bibirku kelu, tidak berkata apa pun. Malah membuang muka ke arah pintu pagar karena jemputan kami sudah datang.Ya ... aku meminta bantuan dari sopir kantor untuk mengantar Ibu dan Bapak ke desa. Bukan tanpa alasan, ini semua karena Mas Hadri yang tiba-tiba banyak cerita.“Kir, aku harus ketemu teman l