Share

Bab 2

“Kenalin, Mas ... saya ....”

“Eh, kenapa malah ke sini, sih? Kita pulang saja!” potong perempuan yang tiba-tiba muncul dari belakang. Pria itu tidak boleh bertemu dengan Mas Hadri.

Della! Syukurnya perempuan itu lebih peka. Jika tidak, maka permasalahan akan jadi lebih runyam.

“Kirana, kamu pulang diantar siapa? Mana sopirmu?” desak Mas Hadri yang membuatku kesulitan untuk menjawab.

Aku langsung memberi kode pada Della agar dia menyeret pria tinggi di sebelahnya. Mereka harus pergi sekarang, jangan sampai permasalahan yang harusnya hanya antara aku dan Mas Hadri melebar ke orang lain.

“Kir, aku balik dulu, ya? Ayuk, Lam!” desak Della lagi.

Berkat bantuannya, pria tinggi itu berhasil dikeluarkan dari rumah. Meski kudengar dia protes pada Della karena dipaksa pergi saat aku dan Mas Hadri sedang beradu mulut.

Beberapa saat setelah Della dan pria itu pergi, aku langsung mengunci pintu rapat-rapat. Saat berbalik, Mas Hadri sudah tidak lagi berdiri di tempatnya. Dia berjalan cepat menuju kamar kami, meninggalkanku sendiri dengan rasa penasaran yang tidak terbendung sama sekali.

--

Seminggu setelah kejadian itu, aku terus dilingkupi perasaan curiga pada Mas Hadri. Sikapnya aneh, bahkan dia tidak meminta jatah malamnya padaku.

Pagi itu, aku memilih untuk menginterogasi satu-satunya orang lain yang ada di rumah ini.

“Fan, selama tinggal di sini, kamu pernah lihat yang aneh-aneh enggak?” tanyaku pada asisten rumah tangga yang baru saja kembali dari rumahnya.

Perempuan itu masih muda, ibu mertua yang mengusulkannya untuk bekerja di rumah ini. Menurutnya, aku butuh seseorang yang gesit dan sanggup bekerja mengurus rumah luas yang kubeli setelah menikahi Mas Hadri.

“I-iya, Bu? Aneh seperti apa, Bu?” balasnya sembari mencuci gelas di wastafel.

Aku berdiri di dekat kulkas, menatap ke arah Fani yang seperti kikuk. Dia berhenti menggosok gelas bekas minum Mas Hadri, tangannya dibiarkan berbalut busa, Fani tertekan.

“Pernah lihat hantu di rumah ini? Perempuan rambut panjang dan pakaiannya seksi!” ucapku pada Fani.

“Pe-perempuan? Ada hantu di rumah ini, Bu?” Fani terkejut.

Dia menoleh ke arahku. Matanya melotot besar, bahkan mulutnya membola. Perempuan yang memakai kaos lengan panjang dan celana training itu berhenti berbicara, dia menungguku memberi respon atas pertanyaannya barusan.

Melihat gelagatnya yang seperti itu, aku menghela napas. Mungkin memang ini hanyalah kegelisahanku semata. Kami masih pengantin baru, tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Mas Hadri dan Fani.

“Fani, kalau aku kerja di luar kota, kamu tetap pulang ke rumahmu. Jangan kembali sampai aku menghubungi!” tegasku sekali lagi.

Fani menganggukkan kepala. Selama ini, aku selalu meminta Fani kembali agar tidak tinggal berdua dengan Mas Hadri setiap kali aku dinas, semua ini demi menjaga keharmonisan pernikahan kami, serta menjauhkan diri dari fitnah.

Tapi ....

Aku mencoba menepis kegelisahan, semalaman tidak bisa tidur membuat seluruh tubuhku kehilangan tenaga.

“Kirana, kamu mau berangkat sekarang? Mas bawa mobil sendiri, ya?” ucap Mas Hadri saat keluar dari kamar.

Pria itu sudah rapi dengan kemeja dan celana bahannya. Dia juga menyemir rambut hingga mengkilap, bahkan aroma parfumnya menyeruak sampai ke meja makan.

“Tumben!” balasku padanya. Selama ini, Mas Hadri selalu menumpang mobilku, dia suka menyetiri mobil mahal milikku.

“Iya, lagi pengen bawa mobil sendiri. Sudah, ya ... Mas berangkat dulu ke kantor!” ujarnya sembari melambaikan tangan.

Mas Hadri pergi begitu saja, bahkan tidak mendengar sahutan dari perkataannya barusan. Aku menatap pria itu sampai dia masuk ke dalam mobil, membiarkannya pergi dan langsung menyusul dengan mobil milikku.

Kuhela napas sepanjang perjalanan. Misteri perihal gaun tidurku yang selalu ada di keranjang kotor saja sulit untuk dipecahkan, kini malah muncul masalah baru.

Hantu? Apa hantu itu benar-benar ada dan suka menampakkan dirinya terang-terangan seperti semalam?

“Aku harus ngurangin kerjaan, lama-lama jadi halusinasi begini,” batinku sembari menyetir mobil merci ke kantor.

Tiga puluh menit di jalan, aku tiba di halaman sebuah gedung pencakar langit. Kehadiranku langsung disambut oleh petugas gerbang. Mereka menyapa, melempar senyum ramah bahkan mengarahkanku saat memarkirkan mobil.

Begitu turun, aku menenteng sebuah tas dari brand besar. Tidak lupa membenarkan rok span setumit dan blouse satin putih nan idah, lalu menyisipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinga.

“Bu, tumben sendiri?” sapa sekuriti yang sudah mengenalku dengan baik itu.

“Suami saya sudah datang?” balasku.

“Sudah, Bu. Tadi Pak Hadri langsung naik.”

“Terima kasih, saya naik dulu!”

Aku merasa sedikit lega karena mendengar penjelasannya barusan. Kejadian yang janggal di rumah akhir-akhir ini membuatku curiga dan berkhayal. Bahkan, aku sempat membayangkan hubungan panas antara Mas Hadri dan Fani.

Tiba di ruangan, aku menghempas tubuh di kursi putar. Meja luas, komputer yang masih mati menyambut, namun ada satu cangkir kopi susu yang sudah tersedia. Entah siapa yang melakukannya.

“Kirana, semoga kamu suka!” Kudengar seruan itu tiba-tiba. Saat aku menengadahkan kepala, Mas Hadri berdiri di ambang pintu kantorku, menatap ke dalam dengan sorot mata yang hangat. “Mas minta dibuatkan lebih pekat, kamu suka kopi yang kental dan kuat!” sambungnya lagi.

Aku tersenyum, sudah pasti orang yang tahu sedetail ini hanyalah Mas Hadri. Hal yang membuat keraguanku padanya menjadi lemah, adalah sikapnya yang begitu romantis. Dia tahu, dia peduli, dia juga manis dan baik.

“Iya, Mas. Aku suka!”

Mas Hadri mengulas senyum. “Nanti malem kita makan menu kesukaanmu, ya?”

“Oke!” sahutku lagi.

Setelah itu Mas Hadri beranjak dari ambang pintu ruanganku. Dia kembali ke kubikelnya yang berada tepat di seberang ruanganku, bersatu dengan beberapa tim lain dibawah naunganku.

Sepeninggal Mas Hadri, aku melirik meja kerja. Cangkir kopi yang isinya masih mengepulkan asap itu terlihat menarik, Mas Hadri pasti memesannya di kafe lantai pertama gedung ini, lalu membawanya ke sini dengan terburu-buru. Hal itu membuatku mengulas senyum tanpa sadar, membawaku kembali ke dalam kenangan pertemuan dan pendekatan kami sebelum menikah.

“Kir ....”

Aku terhenyak. Panggilan serta suara gaduh yang tiba-tiba terdengar itu membuat seluruh anganku tentang Mas Hadri menghilang tanpa jejak.

“Ada apa?” balasku pada perempuan yang memakai jilbab super modis itu. Della muncul terburu-buru, bahkan belum menyimpan tasnya di kubikel.

Namun, aku belum sempat berbicara kalimat lain saat Della mulai berdiri bingung, lalu air mata mengucur deras di kedua pipinya. Perempuan itu menangis!

“Suamiku, dia beneran selingkuh, Kir! Aku enggak percaya ini beneran terjadi. Dia lebih milih ninggalin aku dan anak kami,” lirihnya dengan suara yang perlahan menjadi sengau.

Aku melirik ke luar ruangan dari pintu, beberapa karyawan yang sudah datang tertarik dengan apa yang dilakukan Della. Alhasil, aku beranjak dari kursi kebesaran, kemudian berjalan cepat menuju pintu.

Baru saja hendak menutup, kudapati Mas Hadri berdiri di depan mesin fotokopi. Benda persegi panjang besar itu sedang bekerja keras saat Mas Hadri berbicara dengan salah satu karyawan magang baru.

Sejenak, aku diam ... tangisan Della tidak lagi menjadi tujuan. Aku terus menautkan pandangan pada Mas Hadri dan gadis yang memiliki dada besar tersebut. Bahkan, terlihat sekali jika dirinya berusaha mencuri perhatian Mas Hadri.

“Kir, kamu dengar aku enggak, sih?” Della protes keras. “Ternyata, suamiku punya fantasi aneh, Kir. Maunya dia kami berhubungan bertiga dengan si pembantu di rumah!”

Deg! Apa yang baru saja dikatakan oleh Della? Fantasi?

Aku masih menatap, perasaan ini semakin bergejolak hebat. Bulan lalu, orang tua Mas Hadri pernah sesumbar pada tetangganya jika suamiku adalah pria yang bisa menarik perempuan manapun karena bisa menikahi atasannya sendiri.

“Anakku itu, duh ... semua perempuan juga kepincut, Mbak. Mau dokter, perawat, pramugari, semua naksir anakku. Makanya, Hadri bisa nikahin Kirana! Kalau bukan karena Hadri maksa buat nikah sama Kirana, kami juga enggak akan setuju, Mbak. Kirana itu sudah berumur, pasti susah hamil, mana sibuk kerja, gajinya enggak seberapa.”

“Makasih banyak, Mas.” Anak magang itu melambaikan tangannya pada Mas Hadri, mereka bertukar senyum, kemudian berpisah.

Tiba-tiba saja, aku jadi ingin memeriksa misteri gaun malam yang terus muncul di keranjang kotor. Mas Hadri akhir-akhir ini terlalu sering sendiri, bisa saja ....

“Hahh ....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status