Share

Bab 4

“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.

Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.

“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.

Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.

“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”

Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....

“Kamu  juga selalu turutin semua kemauan Kirana. Makanya istrimu jadi begini, Hadri!” tegur Ibu mertua seraya mengunyah makanan di dalam mulutnya.

“Bu, sudahlah!”

“Hadri, kamu itu laki-laki, kamu itu sosok suami. Jangan sampai kamu yang diatur sama istrimu. Di kantor, boleh Kirana yang jadi atasan, di rumah kamulah kepala keluarganya!” tegas ibu mertua lagi yang membuat senyumku semakin mengkerut.

Apa beliau harus selalu mempersoalkan kesibukanku selama ini? Bukankah beliau juga tahu bagaimana sibuknya aku bekerja sebelum jadi menantunya?

“Bu ....” Mas Hadri hendak menjawab lagi.

“Bu, kalau aku tidak bekerja seperti ini, kehidupan kami juga pasti akan berubah. Aku tahu kalau Mas Hadri punya penghasilan, tapi Ibu juga tahu kan kalau di antara kami berdua, gajiku jauh lebih besar, walaupun Ibu tidak mau mengakuinya,” balasku sembari menekan nada bicara agar tidak menyinggung ibu mertua.

Ibu mertuaku langsung terdiam. Beliau memutar bola mata sampai bibirnya tersungging sinis.

Alhasil, aku menundukkan kepala. Sudah cukup dulu sampai di sini menjawabnya, aku tidak mau menyakiti perasaan Mas Hadri.

Kami selesai makan malam sepuluh menit kemudian. Tidak ingin disindir, aku berinisiatif membersihkan piring dan hendak membawanya ke dapur.

Baru saja berdiri dengan dua piring di tangan, Ibu mertua bergegas menghadang. Perempuan itu berseru keras hingga aku terkejut, “Biar di situ, biar saja di situ, tidak perlu di bawa ke belakang.”

“Bu, tapi aku ....”

“Tidak perlu, Kirana! Kamu ini ....” Ibu mertua menggertakkan gigi dengan mata melotot ke arahku. Jilbab hijau lumutnya terayun, tangannya terangkat di udara dengan telunjuk mengarah padaku.

Melihat tanggapannya yang tidak lazim itu, aku melirik ke arah Mas Hadri. Pria itu malah santai, meneguk air mineral dari gelas seolah ibu mertua dan aku tidak terlibat pertikaian.

“Iya, Bu.”

Kuletakkan kembali piring di tangan ke meja, kemudian beranjak meninggalkan semua orang usai berterima kasih untuk makan malamnya. Mas Hadri tidak berpindah, Ibu mertua juga masih mengurus anak kesayangannya.

Langkah demi langkah, aku menyusuri dapur menuju kamar. Perlahan, melewati beberapa ruang yang kosong, sebab ibu mertua hanya tinggal sendiri di rumah ini semenjak suaminya meninggal dunia.

Beberapa kali aku mendengar canda dan tawa antara Mas Hadri dengan ibunya meski dari kejauhan. Mereka gembira, bertukar cerita saat aku tidak ada di sana.

Namun, hal itu tidak membuatku terluka. Sudah biasa saat seorang menantu tidak disukai oleh mertuanya, apa lagi aku telah membuat Mas Hadri angkat kaki dari rumah ini, pindah ke rumah kami yang baru.

Saat hendak masuk ke dalam kamar Mas Hadri, aku berhenti sejenak. Sayup-sayup terdengar suara seseorang berdendang dari arah dalam. Padahal, di rumah ini hanya ada tiga kamar, milik ibu mertua, milik Mas Hadri dan satunya lagi telah diubah menjadi gudang, dan di antara tiga kamar itu hanya milik Ibu mertua yang berpenghuni.

“Apa ada orang di dalam?” batinku sembari mengernyitkan kening.

Aku menekan knop pintu, namun tidak ada yang terjadi. Daun pintu tidak merenggang, bahkan tidak terbuka seperti yang aku maksud.

“Apa ada orang di dalam kamar ini?” seruku lantang. Tidak mungkin Mas Hadri mengunci pintu kamar saat tidak ada orang lain di sini. Selama ini, pintu kamarnya selalu dibiarkan terbuka, aku bebas keluar masuk setiap kali pulang ke rumah ini.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga menggedor pintu. Anehnya, tidak ada sahutan dari arah dalam, padahal jelas aku mendengar suara seseorang.

“Ada orang di dalam, kan?”

Nihil! Tidak ada yang berubah.

“Astaga ....”

“Kirana?” Mas Hadri tiba-tiba saja muncul.

Aku berbalik arah, langsung menemukan kehadiran Mas Hadri dan ibu mertua. Keduanya sudah berdiri, memandangiku dengan tatapan yang tidak kumengerti.

“Kenapa kamu teriak-teriak begitu, sih?” tegur ibu mertua. Beliau berkacak pinggang, memasang wajah bengis. “Kamu kira ini hutan? Ini rumahku, rumah mertuamu!”

“Maaf, Bu ... barusan aku dengar ada suara dari dalam kamar. Aku kira ....”

“Kamu berhalusinasi lagi, Kirana? Mana mungkin kamar kosong ada orangnya.” Mas Hadri menjelaskan seraya beranjak ke arahku.

Pria itu berusaha menenangkan diri ini dengan meraih kedua tanganku, menggenggamnya begitu erat. Wajahnya yang bersih itu membuat gelisahku seketika menguap.

“Kamarnya terkunci,” jelasku pada Mas Hadri.

“Kamu mau cari apa di kamar ini, Sayang? Kita mau pulang, kalau mau mandi atau bersih-bersih, di rumah saja, bagaimana?” bujuk Mas Hadri tanpa melepaskan genggaman tangannya dariku.

Tatapan matanya sungguh menenteramkan, bahkan bibirnya tersenyum tulus saat membujuk agar aku bersedia pulang. Dia terus meyakinkan jika diriku hanya sedang kelelahan hingga akhirnya bingung dan berakibat halusinasi. 

“Iya, Mas. Kita pulang saja,” balasku seraya menatap balik pria itu.

Saat Mas Hadri berpamitan pada ibu mertua, aku melirik ke arah pintu kamarnya sekali lagi. Jelas sekali terdengar suara seseorang bersenandung di dalam sana, bahkan pintunya terkunci rapat begini.

Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah hantu yang selalu disebut Mas Hadri itu juga mengikuti kami sampai ke sini?

Ah, rasanya tidak mungkin.

“Sayang?” Mas Hadri memanggil lagi. Barulah aku tersadar jika ibu mertua mengulurkan tangannya.

“Hati-hati pulangnya, ya?” Ibu mertuaku bertutur lembut, jauh berbeda dengan sesaat lalu.

Dibimbing Mas Hadri, aku berjalan menjauh dari pintu kamar. Kami akan kembali ke rumah sesuai dengan kesepakatan meski sebenarnya rasa penasaranku menyalak tidak tertahankan.

“Kita langsung pulang, Kirana. Mas sudah cape!” keluhnya.

Aku mengangguk, kini pasrah sembari menahan diri untuk tidak lagi penasaran.

Namun, tiba-tiba saja aku mendengar suara benda terjatuh yang disertai pekikan dari arah kamar.

Brak!

“Argh!”

“Apa itu?” tanyaku seraya melepas diri dari rangkulan Mas Hadri.

Seketika pria itu kalang-kabut. Dia mengejar saat melihatku terus mendekat ke arah pintu kamar.

“Siapa di dalam sana?” pekikku sembari menekan knop pintu dengan keras.

“Kirana! Apa yang kamu lakukan di rumah Ibu? Kamu itu harusnya sopan dan jaga sikap!” tegur ibu mertua.

Aku belum hilang akal, kutekan sekali knop pintu. “Mas, berikan kuncinya ... aku mau lihat ada apa di dalam kamar ini!” ancamku seraya menatap nyalang ke arah Mas Hadri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
pasang cctv dong agar bisa menguak misteri gaun tidur itu....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status