“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.
Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.
“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.
Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.
“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”
Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....
“Kamu juga selalu turutin semua kemauan Kirana. Makanya istrimu jadi begini, Hadri!” tegur Ibu mertua seraya mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Bu, sudahlah!”
“Hadri, kamu itu laki-laki, kamu itu sosok suami. Jangan sampai kamu yang diatur sama istrimu. Di kantor, boleh Kirana yang jadi atasan, di rumah kamulah kepala keluarganya!” tegas ibu mertua lagi yang membuat senyumku semakin mengkerut.
Apa beliau harus selalu mempersoalkan kesibukanku selama ini? Bukankah beliau juga tahu bagaimana sibuknya aku bekerja sebelum jadi menantunya?
“Bu ....” Mas Hadri hendak menjawab lagi.
“Bu, kalau aku tidak bekerja seperti ini, kehidupan kami juga pasti akan berubah. Aku tahu kalau Mas Hadri punya penghasilan, tapi Ibu juga tahu kan kalau di antara kami berdua, gajiku jauh lebih besar, walaupun Ibu tidak mau mengakuinya,” balasku sembari menekan nada bicara agar tidak menyinggung ibu mertua.
Ibu mertuaku langsung terdiam. Beliau memutar bola mata sampai bibirnya tersungging sinis.
Alhasil, aku menundukkan kepala. Sudah cukup dulu sampai di sini menjawabnya, aku tidak mau menyakiti perasaan Mas Hadri.
Kami selesai makan malam sepuluh menit kemudian. Tidak ingin disindir, aku berinisiatif membersihkan piring dan hendak membawanya ke dapur.
Baru saja berdiri dengan dua piring di tangan, Ibu mertua bergegas menghadang. Perempuan itu berseru keras hingga aku terkejut, “Biar di situ, biar saja di situ, tidak perlu di bawa ke belakang.”
“Bu, tapi aku ....”
“Tidak perlu, Kirana! Kamu ini ....” Ibu mertua menggertakkan gigi dengan mata melotot ke arahku. Jilbab hijau lumutnya terayun, tangannya terangkat di udara dengan telunjuk mengarah padaku.
Melihat tanggapannya yang tidak lazim itu, aku melirik ke arah Mas Hadri. Pria itu malah santai, meneguk air mineral dari gelas seolah ibu mertua dan aku tidak terlibat pertikaian.
“Iya, Bu.”
Kuletakkan kembali piring di tangan ke meja, kemudian beranjak meninggalkan semua orang usai berterima kasih untuk makan malamnya. Mas Hadri tidak berpindah, Ibu mertua juga masih mengurus anak kesayangannya.
Langkah demi langkah, aku menyusuri dapur menuju kamar. Perlahan, melewati beberapa ruang yang kosong, sebab ibu mertua hanya tinggal sendiri di rumah ini semenjak suaminya meninggal dunia.
Beberapa kali aku mendengar canda dan tawa antara Mas Hadri dengan ibunya meski dari kejauhan. Mereka gembira, bertukar cerita saat aku tidak ada di sana.
Namun, hal itu tidak membuatku terluka. Sudah biasa saat seorang menantu tidak disukai oleh mertuanya, apa lagi aku telah membuat Mas Hadri angkat kaki dari rumah ini, pindah ke rumah kami yang baru.
Saat hendak masuk ke dalam kamar Mas Hadri, aku berhenti sejenak. Sayup-sayup terdengar suara seseorang berdendang dari arah dalam. Padahal, di rumah ini hanya ada tiga kamar, milik ibu mertua, milik Mas Hadri dan satunya lagi telah diubah menjadi gudang, dan di antara tiga kamar itu hanya milik Ibu mertua yang berpenghuni.
“Apa ada orang di dalam?” batinku sembari mengernyitkan kening.
Aku menekan knop pintu, namun tidak ada yang terjadi. Daun pintu tidak merenggang, bahkan tidak terbuka seperti yang aku maksud.
“Apa ada orang di dalam kamar ini?” seruku lantang. Tidak mungkin Mas Hadri mengunci pintu kamar saat tidak ada orang lain di sini. Selama ini, pintu kamarnya selalu dibiarkan terbuka, aku bebas keluar masuk setiap kali pulang ke rumah ini.
Tidak berhenti sampai di situ, aku juga menggedor pintu. Anehnya, tidak ada sahutan dari arah dalam, padahal jelas aku mendengar suara seseorang.
“Ada orang di dalam, kan?”
Nihil! Tidak ada yang berubah.
“Astaga ....”
“Kirana?” Mas Hadri tiba-tiba saja muncul.
Aku berbalik arah, langsung menemukan kehadiran Mas Hadri dan ibu mertua. Keduanya sudah berdiri, memandangiku dengan tatapan yang tidak kumengerti.
“Kenapa kamu teriak-teriak begitu, sih?” tegur ibu mertua. Beliau berkacak pinggang, memasang wajah bengis. “Kamu kira ini hutan? Ini rumahku, rumah mertuamu!”
“Maaf, Bu ... barusan aku dengar ada suara dari dalam kamar. Aku kira ....”
“Kamu berhalusinasi lagi, Kirana? Mana mungkin kamar kosong ada orangnya.” Mas Hadri menjelaskan seraya beranjak ke arahku.
Pria itu berusaha menenangkan diri ini dengan meraih kedua tanganku, menggenggamnya begitu erat. Wajahnya yang bersih itu membuat gelisahku seketika menguap.
“Kamarnya terkunci,” jelasku pada Mas Hadri.
“Kamu mau cari apa di kamar ini, Sayang? Kita mau pulang, kalau mau mandi atau bersih-bersih, di rumah saja, bagaimana?” bujuk Mas Hadri tanpa melepaskan genggaman tangannya dariku.
Tatapan matanya sungguh menenteramkan, bahkan bibirnya tersenyum tulus saat membujuk agar aku bersedia pulang. Dia terus meyakinkan jika diriku hanya sedang kelelahan hingga akhirnya bingung dan berakibat halusinasi.
“Iya, Mas. Kita pulang saja,” balasku seraya menatap balik pria itu.
Saat Mas Hadri berpamitan pada ibu mertua, aku melirik ke arah pintu kamarnya sekali lagi. Jelas sekali terdengar suara seseorang bersenandung di dalam sana, bahkan pintunya terkunci rapat begini.
Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah hantu yang selalu disebut Mas Hadri itu juga mengikuti kami sampai ke sini?
Ah, rasanya tidak mungkin.
“Sayang?” Mas Hadri memanggil lagi. Barulah aku tersadar jika ibu mertua mengulurkan tangannya.
“Hati-hati pulangnya, ya?” Ibu mertuaku bertutur lembut, jauh berbeda dengan sesaat lalu.
Dibimbing Mas Hadri, aku berjalan menjauh dari pintu kamar. Kami akan kembali ke rumah sesuai dengan kesepakatan meski sebenarnya rasa penasaranku menyalak tidak tertahankan.
“Kita langsung pulang, Kirana. Mas sudah cape!” keluhnya.
Aku mengangguk, kini pasrah sembari menahan diri untuk tidak lagi penasaran.
Namun, tiba-tiba saja aku mendengar suara benda terjatuh yang disertai pekikan dari arah kamar.
Brak!
“Argh!”
“Apa itu?” tanyaku seraya melepas diri dari rangkulan Mas Hadri.
Seketika pria itu kalang-kabut. Dia mengejar saat melihatku terus mendekat ke arah pintu kamar.
“Siapa di dalam sana?” pekikku sembari menekan knop pintu dengan keras.
“Kirana! Apa yang kamu lakukan di rumah Ibu? Kamu itu harusnya sopan dan jaga sikap!” tegur ibu mertua.
Aku belum hilang akal, kutekan sekali knop pintu. “Mas, berikan kuncinya ... aku mau lihat ada apa di dalam kamar ini!” ancamku seraya menatap nyalang ke arah Mas Hadri.
“Kirana, kamu bicara apa? Suara apa yang kamu bahas dari tadi?” tegur ibu mertua ke arahku.Meski demikian, aku tidak bergeming. Jelas baru saja kudengar suara perempuan memekik dari dalam kamar Mas Hadri, ditambah lagi ada sesuatu yang terjatuh dengan keras. Bukankah itu berarti ada seseorang di sana?“Ibu enggak dengar? Mas, kamu juga enggak dengar?” tanyaku pada dua orang itu secara bergantian. Mana mungkin mereka tidak mendengar apa-apa saat suara yang muncul barusan memekakkan telinga. Kecuali keduanya punya masalah pendengaran, pasti mereka bisa mendengar suara itu.“Kamu halusinasi lagi, Kirana!” Mas Hadri berkata yakin. Dia menatap diriku, membujuk agar kami menjauh dari pintu kamarnya yang tetap saja tertutup rapat. “Di rumah ini hanya ada Ibu, beliau tinggal sendirian di rumah. Kalau memang ada orang lain di sini, mana mungkin kita tidak dikenalkan.”Aku menatap ke arah Mas Hadri, manik matanya tetap, tidak bergetar, parasnya juga tidak tanpa kegelisahan. Sepertinya, mereka
Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seor
“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di d
“Mas, aku jalan dulu, ya?” lirihku pada Mas Hadri dengan suara mendayu pagi itu.Mobil kantor yang bertugas menjemput sudah berhenti di depan pagar. Seorang pria duduk di dalamnya, memakai setelan sopir dari perusahaan.Mas Hadri tersenyum padaku. Dia mengulur tangan, aku sambut dengan mengecup punggung tangannya sebagai baktiku selaku istri.“Hati-hati, Sayang. Maaf Mas enggak bisa temenin kamu pergi sejauh itu. Kalau Mas pergi, kerjaan Mas bakalan berantakan, di rumah juga sepi.” Mas Hadri menjelaskannya lagi.Aku hanya mengiyakan ucapannya. Penjelasan itu sudah kudengar hingga muak rasanya. Dari awal, aku menawarkan banyak hal, termasuk menjamin cuti dan pekerjaannya di kantor agar Mas Hadri bersedia ikut denganku selama dua minggu. Nyatanya, Mas Hadri menang dan aku harus pergi sendiri.“Iya, Mas. Sampai jumpa dua minggu lagi!” ucapku padan
“Kenapa kamu ada di sini?” Aku berteriak hingga urat leher bermunculan di balik kulit.Mata ini membelalak, tidak menyangka jika sosok yang selama ini terus membuatku gelisah benar-benar ada di rumah saat dia sudah kupastikan pulang. Sungguh, hal yang saat ini menyambut kepulanganku benar-benar membuat diri ini kehabisan kata-kata.“Kenapa kamu ada di rumah, Fan?” pekikku kembali.Meski kehadiran Fani sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua kegundahanku. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang, tidak terbalut emosi, apa lagi sampai bertindak anarkis.“Sayang, kenapa kamu teriak begini? Apa salahnya Fani kerja di rumah? Mas capek makan nasi warung, sedangkan kamu tidak pernah masak, selalu bekerja sampai meninggalkan Mas berminggu-minggu!” bantah Mas Hadri dari belakangku.“Mas, kamu diam dulu! Aku bicara sama Fani.” Lidahku berke
“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas
“Mas, kamu apa-apaan, sih?” Aku lebih dulu berbicara sebelum Mas Hadri kembali berkata.Pria yang kunikahi belum lama ini terus menerjang ke depan, memandang Alam sebagai musuh utama yang harus dituntaskan olehnya. Sungguh, kondisi ini di luar kendaliku, sebab selain kami masih di kantor, Mas Hadri dan Alam belum saling mengenal satu sama lain. Pertemuan pertama mereka dalam kondisi yang tidak menyenangkan hingga Mas Hadri langsung menganggapnya sebagai lawan.“Kamu yang kenapa, Kir! Aku lihat dia di rumah malam itu, kalian pulang bersama. Sekarang, pria ini juga ke kantor. Apa kalian punya hubungan yang tidak aku tahu? Semua teman-temanmu aku kenal, kecuali pria ini.”“Mas, kamu salah paham. Kenapa aku harus memperkenalkan kamu sama seseorang yang juga asing buat aku.”“Asing? Tapi pria yang kamu bilang asing ini sudah dua kali muncul sama kamu!”
Sesuai dengan keputusan awal, aku kembali dinas sendirian. Mas Hadri mengantar sampai ke bandara, berbisik tanpa henti kalau aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya. Ibu mertua akan terus datang untuk membantunya karena Fani tetap kuminta pulang.Aku berangkat, terbang dengan pesawat milik negara ini, membawa perasaan gelisah yang tidak terbendung sama sekali. Kali ini, jauh lebih risau dibanding sebelumnya.Wajah Mas Hadri saat kami berpisah, jelas sekali jika dia berpura-pura sedih karena tidak bisa menemaniku bepergian. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang mendalam, sebab tindakan Mas Hadri sejak dia tahu kalau aku akan pergi jauh membenarkan semua tuduhan Alam dan Della padanya.Helaan napasku mengudara kembali. Aku melempar pandang lewat jendela oval pesawat yang mengantarku pergi. Saat pulang nanti, entah apa yang akan terjadi.--“Begini Mbak Kiran
“Eh, itu ....”Aku melenggang di antara deretan kubikel-kubikel berwarna biru elektrik. Para penghuninya menoleh ke arahku, menyunggingkan mulut, mencolek teman sebelah atau bahkan mengirimkan pesan lewat aplikasi chat.Mereka melakukan ini semua bukan tanpa alasan. Sudah sebulan lamanya sejak aku melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Pengacara yang kubayar mahal agar bisa membungkam Mas Hadri dan keluarganya sudah memastikan kalau pengadilan mendapatkan semua bukti perselingkuhan Mas Hadri, penipuan yang dilakukan olehnya dan ibunya, serta semua hal busuk yang mereka lakukan di belakangku.Seharusnya, aku cukup tenang sampai di titik itu. Tapi ....“Kudengar, memang Bu Kirana sih yang nge-godain Hadri. Maklum, umur sudah banyak tapi belum ada yang ngajak nikah. Sekalinya kenal sama brondong langsung dipikat!” cecar seorang perempuan yang mencepol rambutnya.Dia menutup mulut usai berkata demikian. Temannya yang menyimak terkikik geli, lalu buru-buru mengatur ekspresi karena a
“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny
“Assalamualaikum, Bu?” ucapku sembari mengetuk pelan daun pintu.Ini hampir subuh dan aku baru saja tiba di rumah bapak dan ibu. Memakai gaun panjang, rambut acak-acakan dan wajah sembab karena beberapa kali melawan air mata yang terus mengalir tanpa izin. Entah bagaimana reaksi bapak dan ibu saat melihat hadirku di rumahnya membawa luka yang tidak pernah mereka duga.“Bapak? Ibu ... ini Kirana!” Aku berseru lagi.Suasana begitu sepi di luar rumah. Pedesaan ini tidak lagi ramai seperti saat aku kecil dulu. Banyak pemuda dan pemudinya memilih keluar dari desa, mencari rezeki ke kota, tidak ubahnya diriku.“Belum ada yang jawab juga, Kir?” Itu suara Della.Perempuan berhijab itu mengantarku ke desa. Sendirian? Tentu saja tidak. Ada Alam yang lagi-lagi bersedia direpotkan. Dia menyetir di tengah malam hingga akhirnya kami tiba ke rumah orang tuaku.“Waalaikumsalam! Siapa di luar?” sambut ibu.Mendengar suaranya, hatiku bergetar. Bagaimana kalau ibu syok melihatku? Haruskah aku pergi lagi
“Apa maksudmu bocah? Aku bukan bocah!” Perempuan itu menyahut lagi.Sebelum aku menyambar perkataannya, Alam tiba-tiba saja melempar selimut tebal dari kamarku ke arah perempuan itu. Membuatnya terperangah, kesal dan juga tersinggung. Tapi, Alam tetap dengan pendiriannya sendiri.“Tutupi tubuhmu. Tidak ada yang akan tergoda dengan itu kecuali pria pengkhianat!” cela Alam yang membuat Della terkikik di sebelahku.Bahkan aku terkejut melihatnya. Sesaat lalu Alam masih duduk di sofa, entah kapan dia bangkit lalu membawa selimut dari kamarku.“Apa katamu? Jangan asal bicara padanya!” Mas Hadri menyalak. Jelas sekali jika dia tersinggung dengan perkataan Alam. “Pria pengkhianat? Lalu apa kata yang pantas untuk pria yang sibuk mengejar istri orang lain?”“Setidaknya, aku tidak bermain api di atas ranjang milik istriku sendiri!” Alam menyahut lagi.Hal itu membuatku menyadari sesuatu, jika selama ini Mas Hadri tidak pernah berdiri untuk membelaku. Dia membiarkan orang-orang mengomeliku, meng
“Ini bukan suara hantu!” Alam berbicara. “Kalian di belakang, jangan mendahului,” ucapnya kemudian.Aku mencoba tegar, sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi sesaat lagi.Begitu Alam menerjang ke depan, sempat aku melirik ke arah dapur. Tempat di dekat dispenser itu selalu dihantui oleh sosok yang memakai gaun minim setiap kali aku pulang dari dinas dalam keadaan lelah. Tapi, malam ini posisi itu kosong. Tentu saja, sebab sosok itu sedang beradu erang dengan Mas Hadri di dalam kamarku.“Kir?” panggil Della. Dia meraih tanganku, menggenggamnya begitu erat.Della menyalurkan begitu banyak kata penguat, bahkan dia tidak beranjak meski hanya selangkah, tetap bersamaku di belakang Alam. Della juga berkata jika semuanya akan segera berlalu dan aku tidak akan remuk hanya karena hal seperti ini.“Tidak apa, aku bisa!” balasku dengan intonasi yang sangat rendah.Alam mendengarnya, hanya menoleh sedikit. Dia sudah berdiri di depan pintu kamar dengan dua tangan yang mengepal. Della di bel
Ruangan ruas, ballroom yang menjadi tempat berlangsungnya acara ulang tahun perusahaan yang ke-50 terasa tenang. Beberapa kali terdengar denting pisau dan garpu, juga suara obrolan yang sangat kecil dari setiap meja berbentuk lingkaran.Ada puluhan, ah ... lebih dari dua ratus orang hadir malam ini. Perusahaan membuat perayaan yang jauh lebih megah dibanding sebelumnya. Aku melihat banyak sosok yang wajahnya mondar-mandir di layar tv di beberapa meja, mereka sepertinya sangat akrab dengan rekan satu meja.Kuhela napas, ini sudah yang kesekian kalinya. Mungkin gaun panjang, atau headpiece yang mengganggu, rasanya sangat menyesakkan.Steak dari daging terbaik hanya nganggur di piring, bahkan belum tersentuh oleh ujung pisau. Sedangkan Della, perempuan itu sudah menikmati dessertnya.Sret ...Aku melirik cepat, sebuah suara yang bahkan membuat duniaku teralihkan. Rupanya Alam pelakunya.“Alam, apa yang kamu lakukan?” tegurku sembari menarik piring agak menjauh.Tanpa izinku, dia sudah me
Malam menjelang, aku tiba di rumah tepat jam tujuh. Sendirian, tidak ada yang menyambut.Aku masuk ke dalam rumah dengan kunci pegangan, berharap banyak agar tidak melihat hantu perempuan yang selalu mengganggu ketenanganku akhir-akhir ini. Syukurnya, begitu pintu terbuka, Fani muncul lebih dulu.“Bu?” panggilnya santun. Dia tersenyum tipis.Perempuan rajin yang memakai kardigan kesayangannya itu kikuk melihatku. Mungkin, mungkin saja ... aku juga tidak bisa membaca isi hatinya. Mungkin saja Fani khawatir aku akan marah karena dirinya kembali ke rumah sebelum kuberi perintah.“Baru sampai?” tanyaku sembari melepas sepatu, lalu tas yang menemani perjalanan mengantar ibu dan bapak ke desa.Fani menganggukkan kepala. Tindakannya membuat jilbab bergo biru gelapnya itu berguncang lembut. Lalu, jatuh kembali menutupi dada.Kulihat semuanya dalam diam. Lalu, sebersit tanya menembus angan.Apa rasanya berhijab? Apa rasanya berpakaian tertutup seperti ini?Kenapa aku masih belum bisa melakukan
“Hadri, Ibu dan Bapak balik dulu ke kampung. Ibu titip Kirana, ya? Anak Ibu satu-satunya.” Ibu berbicara lembut sembari menggenggam erat tangan Mas Hadri.Terlihat jelas pancaran harapan dari kedua manik matanya yang sayu. Ibu pasti benar-benar percaya dengan apa yang diucapkan Mas Hadri padanya, perihal rumah tangga kami yang baik-baik saja, yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Hal itulah yang membuat Ibu begitu yakin untuk segera kembali ke desa.Aku berdiri di belakang ibu dan bapak, melipat dua tangan di dada. Sudah berpakaian rapi, menyandang tas kecil serta mengikat rambut. Bibirku kelu, tidak berkata apa pun. Malah membuang muka ke arah pintu pagar karena jemputan kami sudah datang.Ya ... aku meminta bantuan dari sopir kantor untuk mengantar Ibu dan Bapak ke desa. Bukan tanpa alasan, ini semua karena Mas Hadri yang tiba-tiba banyak cerita.“Kir, aku harus ketemu teman l