“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
Gaun malam yang tidak terpakai karena sibuk dinas keluar kota sering kutemukan di keranjang baju kotor. Berbau busuk, bahkan koyak, seolah-olah ada yang memakainya. Lalu, rumah kami mendadak angker, seorang perempuan dengan gaun terbuka sering muncul di tengah malam, lalu menghilang tanpa jejak. Ternyata ...."Mas?" Aku memanggil lembut. Seisi rumah hanya diterangi oleh lampu remang kekuningan.Sejujurnya, tubuh ini merinding setiap kali berjalan sendirian di malam hari meski di rumah sendiri. Mas Hadri selalu mengingatkanku jika ada sosok misterius yang berkeliaran saat malam, berpakaian terbuka dan selalu menutup wajah dengan rambut panjang. Rasanya ingin segera aku masuk ke kamar. Namun, langkah ini terpaksa berhenti dan beralih menuju dapur. Aku haus, pulang dari jauh dan kelelahan. Mas Hadri tidak kukabari karena ingin sekali memberinya kejutan. Kami masih tergolong pengantin baru, sudah pasti kepulanganku sangat ditungguSelangkah, dua langkah, aku mendekat ke dapur. Tiba-tib
“Kenalin, Mas ... saya ....”“Eh, kenapa malah ke sini, sih? Kita pulang saja!” potong perempuan yang tiba-tiba muncul dari belakang. Pria itu tidak boleh bertemu dengan Mas Hadri.Della! Syukurnya perempuan itu lebih peka. Jika tidak, maka permasalahan akan jadi lebih runyam.“Kirana, kamu pulang diantar siapa? Mana sopirmu?” desak Mas Hadri yang membuatku kesulitan untuk menjawab.Aku langsung memberi kode pada Della agar dia menyeret pria tinggi di sebelahnya. Mereka harus pergi sekarang, jangan sampai permasalahan yang harusnya hanya antara aku dan Mas Hadri melebar ke orang lain.“Kir, aku balik dulu, ya? Ayuk, Lam!” desak Della lagi.Berkat bantuannya, pria tinggi itu berhasil dikeluarkan dari rumah. Meski kudengar dia protes pada Della karena dipaksa pergi saat aku dan Mas Hadri sedang beradu mulut.Beberapa saat setelah Della dan pria itu pergi, aku langsung mengunci pintu rapat-rapat. Saat berbalik, Mas Hadri sudah tidak lagi berdiri di tempatnya. Dia berjalan cepat menuju ka
“Lagi!” Aku membelalak melihat sepotong gaun malam berwarna merah muncul di keranjang baju kotor.Seingatku, kemarin Fani sudah membersihkan semua cucian, tapi kenapa benda ini masih juga muncul?Aku berdiri di depan keranjang baju kotor, memandangi isinya yang tidak banyak. Padahal, semenjak pulang dinas, aku dan Mas Hadri belum terlibat hubungan sama sekali, apa lagi sampai memakai baju seperti ini.Perasaanku menjadi gelisah, semuanya jadi tidak karuan. Kenapa sesuatu yang tidak pernah kupakai selalu muncul di keranjang baju kotor? Berbau dan juga sedikit koyak.“Fan!” seruku sembari melongok ke arah ruang keluarga. Sesaat lalu, Fani sedang menyapu di sana.Ini sudah jam tujuh pagi, aku harus berangkat bekerja tapi malah berakhir memeriksa keranjang baju. Setelan kantor mewah di badan juga tidak cocok dengan apa yang kulakukan saat ini.“Fani!” panggilku sekali lagi.Perempuan muda itu muncul tergesa-gesa, wajahnya berpeluh dan tangannya masih memegang sapu hijau. Fani berdiri goya
“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....“Kamu juga sel
“Kirana, kamu bicara apa? Suara apa yang kamu bahas dari tadi?” tegur ibu mertua ke arahku.Meski demikian, aku tidak bergeming. Jelas baru saja kudengar suara perempuan memekik dari dalam kamar Mas Hadri, ditambah lagi ada sesuatu yang terjatuh dengan keras. Bukankah itu berarti ada seseorang di sana?“Ibu enggak dengar? Mas, kamu juga enggak dengar?” tanyaku pada dua orang itu secara bergantian. Mana mungkin mereka tidak mendengar apa-apa saat suara yang muncul barusan memekakkan telinga. Kecuali keduanya punya masalah pendengaran, pasti mereka bisa mendengar suara itu.“Kamu halusinasi lagi, Kirana!” Mas Hadri berkata yakin. Dia menatap diriku, membujuk agar kami menjauh dari pintu kamarnya yang tetap saja tertutup rapat. “Di rumah ini hanya ada Ibu, beliau tinggal sendirian di rumah. Kalau memang ada orang lain di sini, mana mungkin kita tidak dikenalkan.”Aku menatap ke arah Mas Hadri, manik matanya tetap, tidak bergetar, parasnya juga tidak tanpa kegelisahan. Sepertinya, mereka
Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seor
“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di d