“Lagi!” Aku membelalak melihat sepotong gaun malam berwarna merah muncul di keranjang baju kotor.
Seingatku, kemarin Fani sudah membersihkan semua cucian, tapi kenapa benda ini masih juga muncul?
Aku berdiri di depan keranjang baju kotor, memandangi isinya yang tidak banyak. Padahal, semenjak pulang dinas, aku dan Mas Hadri belum terlibat hubungan sama sekali, apa lagi sampai memakai baju seperti ini.
Perasaanku menjadi gelisah, semuanya jadi tidak karuan. Kenapa sesuatu yang tidak pernah kupakai selalu muncul di keranjang baju kotor? Berbau dan juga sedikit koyak.
“Fan!” seruku sembari melongok ke arah ruang keluarga. Sesaat lalu, Fani sedang menyapu di sana.
Ini sudah jam tujuh pagi, aku harus berangkat bekerja tapi malah berakhir memeriksa keranjang baju. Setelan kantor mewah di badan juga tidak cocok dengan apa yang kulakukan saat ini.
“Fani!” panggilku sekali lagi.
Perempuan muda itu muncul tergesa-gesa, wajahnya berpeluh dan tangannya masih memegang sapu hijau. Fani berdiri goyah, dia membenarkan letak kardigannya yang sedikit melorot. Saat itu, aku bisa melihat jika di bawah jilbab bergo dan kardigannya, Fani memakai tank top tipis.
“Bu, a-ada apa?”
Kuarahkan tatapan ke wajah Fani. Parasnya bersih, jika dirias dan dirawat maka penampilannya juga cukup cantik, tubuhnya bagus, tidak terlalu kurus sehingga cocok memakai baju apa pun.
Ah ... perasaanku semakin tidak karuan.
Tanpa sadar, aku mengambil gaun tidur itu dengan ujung jari, lalu mengarahkannya pada Fani. Aku mencoba mengukur ukuran baju tersebut dengan Fani, mencari kecocokan di antara keduanya.
“Gaun tidur ini aku beli khusus, sesuai dengan ukuran badanku!”
“I-ibu, maksudnya apa?” balas Fani.
Wajah perempuan itu semakin pucat saja. Jemarinya sibuk meremas ujung kardigannya yang berwarna cokelat.
“Kamu pernah lihat aku bawa gaun ini ke keranjang?”
“Bukannya Ibu yang taruh di situ biar saya cuci, Bu?” sahut Fani seraya menunjuk dirinya sendiri.
“Fan, kamu tahu ini baju apa?” Aku mengangkat benda itu sekali lagi ke depan Fani, lalu aroma tidak menyenangkan terendus hingga membuatku melemparnya begitu saja. Sesibuk apapun aku, tentu saja aroma tubuh sendiri bisa kukenali. Tapi, siapa yang akan memakai gaun malam ini di rumah selain aku?
“Ba-baju tidur, Bu.”
“Aku mau kamu jujur, Fani. Selama ini, berapa kali kamu cuciin baju ini?”
Fani kembali diam, perempuan itu memutar bola matanya, dia juga menghindari pertanyaanku dengan bersikap bingung. Hal itu membuatku semakin menaruh curiga padanya. Hanya saja ... apa mungkin Mas Hadri akan tertarik pada Fani? Selama ini Mas Hadri sangat menjaga jarak dengan perempuan yang tidak menarik untuknya.
“Bu, saya tidak pernah ambil atau pakai baju Ibu. Sa-saya juga tidak tahu cara pakai baju macam ini, semuanya terbuka, nampak badan.” Fani menjelaskan.
“Oke, kalau begitu, jawab saja pertanyaanku yang ini. Apa kamu pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah ini saat aku tidak ada? Apa kamu pernah lihat Bapak mencurigakan?” selidikku dengan menatap ke dalam manik mata Fani.
Hal itu malah membuatnya semakin takut. Fani bergetar, padahal nada bicaraku tidak tinggi, hanya lebih tajam.
“Sa-saya ....”
Sejujurnya, aku hanya pernah melihat Fani mencuri pandang ke arah Mas Hadri, namun tidak pernah mendapatinya berusaha menggoda pria itu. Terlebih, selama Fani tinggal di sini, sering kudengar dia berbicara lewat telepon, saling melempar rayuan ringan seperti sepasang kekasih.
“Kirana, apa yang terjadi?”
Aku langsung menarik gaun tidur di lantai dengan ujung kaki dan mendorongnya ke belakang keranjang saat suara Mas Hadri terdengar. Pria itu sudah berpakaian rapi, parfumnya kuat dan terendus dari arah dapur.
“Tidak ada, Mas. Mau berangkat bareng?” tawarku padanya.
Mas Hadri tersenyum lagi. Dia menyugar rambutnya dengan tangan, kemudian berjalan mendekat ke arahku.
Lagi, Mas Hadri bersikap seperti itu. Entah apa yang terjadi dengannya, atau apakah sikapnya berubah beberapa hari terakhir?
“Tidak apa, Sayang. Mas bawa mobil saja!”
Aku tersenyum tipis, lalu membiarkan Mas Hadri pergi begitu saja seperti kemarin. Sudah kedua kalinya Mas Hadri minta jalan terpisah seperti ini.
“Tutup pintunya, Fan. Bakar saja gaun tidur itu, aku tidak sudi memakainya!” perintahku pada Fani.
Melihat Mas Hadri yang sudah berjalan lebih dulu membuatku jadi ingin melakukan sesuatu, yaitu mengintainya dari belakang. Mulai dari gelagatnya malam kemarin, perihal hantu perempuan yang selalu memakai pakaian seksi, sampai Mas Hadri yang tidak lagi mau semobil.
Awalnya, aku hendak mengekor dengan mobil sendiri. Namun, pilihanku jatuh pada taksi.
Aku bergegas menuju gerbang, menghentikan sebuah taksi yang baru saja melintas dan meminta driver-nya untuk mengekori mobil milik Mas Hadri. Semuanya harus dilakukan dengan tenang agar pria itu tidak menyadarinya.
Belokan demi belokan, persimpangan demi persimpangan, daerah demi daerah, Mas Hadri hanya fokus mengemudi sampai tiba di kantor. Pria itu tidak sekalipun terlihat mencurigakan, apalagi berhenti di jalanan dan memberi tumpangan pada orang asing.
Lantas ....
Perasaanku kian gelisah, apa lagi Della berbicara soal fantasi liar sang suami yang pada akhirnya menjadi pemicu utama dari perpisahan mereka. Mungkinkah Mas Hadri juga ....
Ah, sekarang aku bingung sekali. Harus bagaimana mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumahku?
Aku berpikir keras sembari turun dari taksi. Mobil Mas Hadri sudah tidak terlihat dari pintu gerbang perusahaan. Salah satu sekuriti yang terbiasa menyambutku berdiri bingung. Dia mencoba menyapa seraya memastikan jika sosok yang baru saja turun dari taksi adalah atasannya.
“Bu Kirana?”
“Iya, Pak. Saya masuk dulu!” ujarku tanpa menunda lebih lama.
Seharian aku bekerja keras di perusahaan yang telah membantuku mendapatkan kehidupan layak. Mas Hadri juga sangat tenang di kubikelnya. Tidak ada yang mencurigakan meski kami menghabiskan waktu dengan kesibukan masing-masing.
Sampai ... aku mendapatkan tiket penerbangan ke Makassar dari atasan. Pria pemarah itu kembali melempar tugasnya ke pundakku.
“Dua minggu?” lirihku seraya memandangi tiket pesawat tersebut serta jadwal dinas yang dikirimkan via email. Ini artinya, aku harus meninggalkan Mas Hadri selama dua minggu, perasaanku kembali tidak menentu.
Aku masih duduk di balik meja kebesaran, memilin jari karena gelisah tanpa henti.
“Kirana, belum selesai? Ibu minta kita mampir ke rumah!” seru Mas Hadri.
Kuangkat dagu, menatap pria itu. Mas Hadri berjalan menghampiri mejaku dari luar ruangan.
“Makan malam di sana, Mas?”
“Iya.”
Setelahnya, fokus Mas Hadri langsung terganggu. Dia menemukan tiket pesawat di atas meja, kartu hotel serta beberapa materi yang harus aku presentasikan di depan klien nantinya.
“Mas, kita jalan sekarang. Aku numpang, ya? Aku tidak bawa mobil,” sergahku sebelum Mas Hadri mengetahuinya lebih jauh.
“Kirana, ini ....” Mas Hadri mengangkat tiket pesawat itu saat aku sibuk membereskan meja dan mengisi tas dengan gawai serta tablet.
Aku berharap, tatapan ini salah. Sebab, saat Mas Hadri melihat tiket itu, sudut bibirnya tersungging. Dia ... tersenyum.
“Kita bicarakan di rumah ibumu!” ujarku seraya mematikan komputer.
“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....“Kamu juga sel
“Kirana, kamu bicara apa? Suara apa yang kamu bahas dari tadi?” tegur ibu mertua ke arahku.Meski demikian, aku tidak bergeming. Jelas baru saja kudengar suara perempuan memekik dari dalam kamar Mas Hadri, ditambah lagi ada sesuatu yang terjatuh dengan keras. Bukankah itu berarti ada seseorang di sana?“Ibu enggak dengar? Mas, kamu juga enggak dengar?” tanyaku pada dua orang itu secara bergantian. Mana mungkin mereka tidak mendengar apa-apa saat suara yang muncul barusan memekakkan telinga. Kecuali keduanya punya masalah pendengaran, pasti mereka bisa mendengar suara itu.“Kamu halusinasi lagi, Kirana!” Mas Hadri berkata yakin. Dia menatap diriku, membujuk agar kami menjauh dari pintu kamarnya yang tetap saja tertutup rapat. “Di rumah ini hanya ada Ibu, beliau tinggal sendirian di rumah. Kalau memang ada orang lain di sini, mana mungkin kita tidak dikenalkan.”Aku menatap ke arah Mas Hadri, manik matanya tetap, tidak bergetar, parasnya juga tidak tanpa kegelisahan. Sepertinya, mereka
Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seor
“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di d
“Mas, aku jalan dulu, ya?” lirihku pada Mas Hadri dengan suara mendayu pagi itu.Mobil kantor yang bertugas menjemput sudah berhenti di depan pagar. Seorang pria duduk di dalamnya, memakai setelan sopir dari perusahaan.Mas Hadri tersenyum padaku. Dia mengulur tangan, aku sambut dengan mengecup punggung tangannya sebagai baktiku selaku istri.“Hati-hati, Sayang. Maaf Mas enggak bisa temenin kamu pergi sejauh itu. Kalau Mas pergi, kerjaan Mas bakalan berantakan, di rumah juga sepi.” Mas Hadri menjelaskannya lagi.Aku hanya mengiyakan ucapannya. Penjelasan itu sudah kudengar hingga muak rasanya. Dari awal, aku menawarkan banyak hal, termasuk menjamin cuti dan pekerjaannya di kantor agar Mas Hadri bersedia ikut denganku selama dua minggu. Nyatanya, Mas Hadri menang dan aku harus pergi sendiri.“Iya, Mas. Sampai jumpa dua minggu lagi!” ucapku padan
“Kenapa kamu ada di sini?” Aku berteriak hingga urat leher bermunculan di balik kulit.Mata ini membelalak, tidak menyangka jika sosok yang selama ini terus membuatku gelisah benar-benar ada di rumah saat dia sudah kupastikan pulang. Sungguh, hal yang saat ini menyambut kepulanganku benar-benar membuat diri ini kehabisan kata-kata.“Kenapa kamu ada di rumah, Fan?” pekikku kembali.Meski kehadiran Fani sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua kegundahanku. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang, tidak terbalut emosi, apa lagi sampai bertindak anarkis.“Sayang, kenapa kamu teriak begini? Apa salahnya Fani kerja di rumah? Mas capek makan nasi warung, sedangkan kamu tidak pernah masak, selalu bekerja sampai meninggalkan Mas berminggu-minggu!” bantah Mas Hadri dari belakangku.“Mas, kamu diam dulu! Aku bicara sama Fani.” Lidahku berke
“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas
“Mas, kamu apa-apaan, sih?” Aku lebih dulu berbicara sebelum Mas Hadri kembali berkata.Pria yang kunikahi belum lama ini terus menerjang ke depan, memandang Alam sebagai musuh utama yang harus dituntaskan olehnya. Sungguh, kondisi ini di luar kendaliku, sebab selain kami masih di kantor, Mas Hadri dan Alam belum saling mengenal satu sama lain. Pertemuan pertama mereka dalam kondisi yang tidak menyenangkan hingga Mas Hadri langsung menganggapnya sebagai lawan.“Kamu yang kenapa, Kir! Aku lihat dia di rumah malam itu, kalian pulang bersama. Sekarang, pria ini juga ke kantor. Apa kalian punya hubungan yang tidak aku tahu? Semua teman-temanmu aku kenal, kecuali pria ini.”“Mas, kamu salah paham. Kenapa aku harus memperkenalkan kamu sama seseorang yang juga asing buat aku.”“Asing? Tapi pria yang kamu bilang asing ini sudah dua kali muncul sama kamu!”