Share

Bab 3

“Lagi!” Aku membelalak melihat sepotong gaun malam berwarna merah muncul di keranjang baju kotor.

Seingatku, kemarin Fani sudah membersihkan semua cucian, tapi kenapa benda ini masih juga muncul?

Aku berdiri di depan keranjang baju kotor, memandangi isinya yang tidak banyak. Padahal, semenjak pulang dinas, aku dan Mas Hadri belum terlibat hubungan sama sekali, apa lagi sampai memakai baju seperti ini.

Perasaanku menjadi gelisah, semuanya jadi tidak karuan. Kenapa sesuatu yang tidak pernah kupakai selalu muncul di keranjang baju kotor? Berbau dan juga sedikit koyak.

“Fan!” seruku sembari melongok ke arah ruang keluarga. Sesaat lalu, Fani sedang menyapu di sana.

Ini sudah jam tujuh pagi, aku harus berangkat bekerja tapi malah berakhir memeriksa keranjang baju. Setelan kantor mewah di badan juga tidak cocok dengan apa yang kulakukan saat ini.

“Fani!” panggilku sekali lagi.

Perempuan muda itu muncul tergesa-gesa, wajahnya berpeluh dan tangannya masih memegang sapu hijau. Fani berdiri goyah, dia membenarkan letak kardigannya yang sedikit melorot. Saat itu, aku bisa melihat jika di bawah jilbab bergo dan kardigannya, Fani memakai tank top tipis.

“Bu, a-ada apa?”

Kuarahkan tatapan ke wajah Fani. Parasnya bersih, jika dirias dan dirawat maka penampilannya juga cukup cantik, tubuhnya bagus, tidak terlalu kurus sehingga cocok memakai baju apa pun.

Ah ... perasaanku semakin tidak karuan.

Tanpa sadar, aku mengambil gaun tidur itu dengan ujung jari, lalu mengarahkannya pada Fani. Aku mencoba mengukur ukuran baju tersebut dengan Fani, mencari kecocokan di antara keduanya.

“Gaun tidur ini aku beli khusus, sesuai dengan ukuran badanku!”

“I-ibu, maksudnya apa?” balas Fani.

Wajah perempuan itu semakin pucat saja. Jemarinya sibuk meremas ujung kardigannya yang berwarna cokelat.

“Kamu pernah lihat aku bawa gaun ini ke keranjang?”

“Bukannya Ibu yang taruh di situ biar saya cuci, Bu?” sahut Fani seraya menunjuk dirinya sendiri.

“Fan, kamu tahu ini baju apa?” Aku mengangkat benda itu sekali lagi ke depan Fani, lalu aroma tidak menyenangkan terendus hingga membuatku melemparnya begitu saja. Sesibuk apapun aku, tentu saja aroma tubuh sendiri bisa kukenali. Tapi, siapa yang akan memakai gaun malam ini di rumah selain aku?

“Ba-baju tidur, Bu.”

“Aku mau kamu jujur, Fani. Selama ini, berapa kali kamu cuciin baju ini?”

Fani kembali diam, perempuan itu memutar bola matanya, dia juga menghindari pertanyaanku dengan bersikap bingung. Hal itu membuatku semakin menaruh curiga padanya. Hanya saja ... apa mungkin Mas Hadri akan tertarik pada Fani? Selama ini Mas Hadri sangat menjaga jarak dengan perempuan yang tidak menarik untuknya.

“Bu, saya tidak pernah ambil atau pakai baju Ibu. Sa-saya juga tidak tahu cara pakai baju macam ini, semuanya terbuka, nampak badan.” Fani menjelaskan.

“Oke, kalau begitu, jawab saja pertanyaanku yang ini. Apa kamu pernah melihat sesuatu yang aneh di rumah ini saat aku tidak ada? Apa kamu pernah lihat Bapak mencurigakan?” selidikku dengan menatap ke dalam manik mata Fani.

Hal itu malah membuatnya semakin takut. Fani bergetar, padahal nada bicaraku tidak tinggi, hanya lebih tajam.

“Sa-saya ....”

Sejujurnya, aku hanya pernah melihat Fani mencuri pandang ke arah Mas Hadri, namun tidak pernah mendapatinya berusaha menggoda pria itu. Terlebih, selama Fani tinggal di sini, sering kudengar dia berbicara lewat telepon, saling melempar rayuan ringan seperti sepasang kekasih.

“Kirana, apa yang terjadi?”

Aku langsung menarik gaun tidur di lantai dengan ujung kaki dan mendorongnya ke belakang keranjang saat suara Mas Hadri terdengar. Pria itu sudah berpakaian rapi, parfumnya kuat dan terendus dari arah dapur.

“Tidak ada, Mas. Mau berangkat bareng?” tawarku padanya.

Mas Hadri tersenyum lagi. Dia menyugar rambutnya dengan tangan, kemudian berjalan mendekat ke arahku.

Lagi, Mas Hadri bersikap seperti itu. Entah apa yang terjadi dengannya, atau apakah sikapnya berubah beberapa hari terakhir?

“Tidak apa, Sayang. Mas bawa mobil saja!”

Aku tersenyum tipis, lalu membiarkan Mas Hadri pergi begitu saja seperti kemarin. Sudah kedua kalinya Mas Hadri minta jalan terpisah seperti ini.

“Tutup pintunya, Fan. Bakar saja gaun tidur itu, aku tidak sudi memakainya!” perintahku pada Fani.

Melihat Mas Hadri yang sudah berjalan lebih dulu membuatku jadi ingin melakukan sesuatu, yaitu mengintainya dari belakang. Mulai dari gelagatnya malam kemarin, perihal hantu perempuan yang selalu memakai pakaian seksi, sampai Mas Hadri yang tidak lagi mau semobil.

Awalnya, aku hendak mengekor dengan mobil sendiri. Namun, pilihanku jatuh pada taksi.

Aku bergegas menuju gerbang, menghentikan sebuah taksi yang baru saja melintas dan meminta driver-nya untuk mengekori mobil milik Mas Hadri. Semuanya harus dilakukan dengan tenang agar pria itu tidak menyadarinya.

Belokan demi belokan, persimpangan demi persimpangan, daerah demi daerah, Mas Hadri hanya fokus mengemudi sampai tiba di kantor. Pria itu tidak sekalipun terlihat mencurigakan, apalagi berhenti di jalanan dan memberi tumpangan pada orang asing.

Lantas ....

Perasaanku kian gelisah, apa lagi Della berbicara soal fantasi liar sang suami yang pada akhirnya menjadi pemicu utama dari perpisahan mereka. Mungkinkah Mas Hadri juga ....

Ah, sekarang aku bingung sekali. Harus bagaimana mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumahku?

Aku berpikir keras sembari turun dari taksi. Mobil Mas Hadri sudah tidak terlihat dari pintu gerbang perusahaan. Salah satu sekuriti yang terbiasa menyambutku berdiri bingung. Dia mencoba menyapa seraya memastikan jika sosok yang baru saja turun dari taksi adalah atasannya.

“Bu Kirana?”

“Iya, Pak. Saya masuk dulu!” ujarku tanpa menunda lebih lama.

Seharian aku bekerja keras di perusahaan yang telah membantuku mendapatkan kehidupan layak. Mas Hadri juga sangat tenang di kubikelnya. Tidak ada yang mencurigakan meski kami menghabiskan waktu dengan kesibukan masing-masing.

Sampai ... aku mendapatkan tiket penerbangan ke Makassar dari atasan. Pria pemarah itu kembali melempar tugasnya ke pundakku.  

“Dua minggu?” lirihku seraya memandangi tiket pesawat tersebut serta jadwal dinas yang dikirimkan via email. Ini artinya, aku harus meninggalkan Mas Hadri selama dua minggu, perasaanku kembali tidak menentu.

Aku masih duduk di balik meja kebesaran, memilin jari karena gelisah tanpa henti.

“Kirana, belum selesai? Ibu minta kita mampir ke rumah!” seru Mas Hadri.

Kuangkat dagu, menatap pria itu. Mas Hadri berjalan menghampiri mejaku dari luar ruangan.

“Makan malam di sana, Mas?”

“Iya.”

Setelahnya, fokus Mas Hadri langsung terganggu. Dia menemukan tiket pesawat di atas meja, kartu hotel serta beberapa materi yang harus aku presentasikan di depan klien nantinya.

“Mas, kita jalan sekarang. Aku numpang, ya? Aku tidak bawa mobil,” sergahku sebelum Mas Hadri mengetahuinya lebih jauh.

“Kirana, ini ....” Mas Hadri mengangkat tiket pesawat itu saat aku sibuk membereskan meja dan mengisi tas dengan gawai serta tablet.

Aku berharap, tatapan ini salah. Sebab, saat Mas Hadri melihat tiket itu, sudut bibirnya tersungging. Dia ... tersenyum.

“Kita bicarakan di rumah ibumu!” ujarku seraya mematikan komputer.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status