“Mas, aku jalan dulu, ya?” lirihku pada Mas Hadri dengan suara mendayu pagi itu.
Mobil kantor yang bertugas menjemput sudah berhenti di depan pagar. Seorang pria duduk di dalamnya, memakai setelan sopir dari perusahaan.
Mas Hadri tersenyum padaku. Dia mengulur tangan, aku sambut dengan mengecup punggung tangannya sebagai baktiku selaku istri.
“Hati-hati, Sayang. Maaf Mas enggak bisa temenin kamu pergi sejauh itu. Kalau Mas pergi, kerjaan Mas bakalan berantakan, di rumah juga sepi.” Mas Hadri menjelaskannya lagi.
Aku hanya mengiyakan ucapannya. Penjelasan itu sudah kudengar hingga muak rasanya. Dari awal, aku menawarkan banyak hal, termasuk menjamin cuti dan pekerjaannya di kantor agar Mas Hadri bersedia ikut denganku selama dua minggu. Nyatanya, Mas Hadri menang dan aku harus pergi sendiri.
“Iya, Mas. Sampai jumpa dua minggu lagi!” ucapku padan
“Kenapa kamu ada di sini?” Aku berteriak hingga urat leher bermunculan di balik kulit.Mata ini membelalak, tidak menyangka jika sosok yang selama ini terus membuatku gelisah benar-benar ada di rumah saat dia sudah kupastikan pulang. Sungguh, hal yang saat ini menyambut kepulanganku benar-benar membuat diri ini kehabisan kata-kata.“Kenapa kamu ada di rumah, Fan?” pekikku kembali.Meski kehadiran Fani sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua kegundahanku. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang, tidak terbalut emosi, apa lagi sampai bertindak anarkis.“Sayang, kenapa kamu teriak begini? Apa salahnya Fani kerja di rumah? Mas capek makan nasi warung, sedangkan kamu tidak pernah masak, selalu bekerja sampai meninggalkan Mas berminggu-minggu!” bantah Mas Hadri dari belakangku.“Mas, kamu diam dulu! Aku bicara sama Fani.” Lidahku berke
“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas
“Mas, kamu apa-apaan, sih?” Aku lebih dulu berbicara sebelum Mas Hadri kembali berkata.Pria yang kunikahi belum lama ini terus menerjang ke depan, memandang Alam sebagai musuh utama yang harus dituntaskan olehnya. Sungguh, kondisi ini di luar kendaliku, sebab selain kami masih di kantor, Mas Hadri dan Alam belum saling mengenal satu sama lain. Pertemuan pertama mereka dalam kondisi yang tidak menyenangkan hingga Mas Hadri langsung menganggapnya sebagai lawan.“Kamu yang kenapa, Kir! Aku lihat dia di rumah malam itu, kalian pulang bersama. Sekarang, pria ini juga ke kantor. Apa kalian punya hubungan yang tidak aku tahu? Semua teman-temanmu aku kenal, kecuali pria ini.”“Mas, kamu salah paham. Kenapa aku harus memperkenalkan kamu sama seseorang yang juga asing buat aku.”“Asing? Tapi pria yang kamu bilang asing ini sudah dua kali muncul sama kamu!”
Sesuai dengan keputusan awal, aku kembali dinas sendirian. Mas Hadri mengantar sampai ke bandara, berbisik tanpa henti kalau aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya. Ibu mertua akan terus datang untuk membantunya karena Fani tetap kuminta pulang.Aku berangkat, terbang dengan pesawat milik negara ini, membawa perasaan gelisah yang tidak terbendung sama sekali. Kali ini, jauh lebih risau dibanding sebelumnya.Wajah Mas Hadri saat kami berpisah, jelas sekali jika dia berpura-pura sedih karena tidak bisa menemaniku bepergian. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang mendalam, sebab tindakan Mas Hadri sejak dia tahu kalau aku akan pergi jauh membenarkan semua tuduhan Alam dan Della padanya.Helaan napasku mengudara kembali. Aku melempar pandang lewat jendela oval pesawat yang mengantarku pergi. Saat pulang nanti, entah apa yang akan terjadi.--“Begini Mbak Kiran
Satu hari lagi berlalu sejak kejadian itu. Aku menahan diri, menggigit bibir, bahkan menjambak rambut. Semua hal yang bisa menekan keinginan untuk segera pulang kulakukan, karena aku masih menunggu kabar dari ibu dan ayah yang sudah datang ke rumah.Kakiku gemetar, ujung heels terus berbenturan dengan lantai marmer di hotel. Aku duduk di salah satu sofa besar ruang tunggu, menatap kosong ke arah meja yang diisi oleh beberapa map serta satu gelas jus.[Kirana, Ibu tahu kamu gelisah, tapi Ibu rasa semua itu hanyalah ujian dalam pernikahanmu. Hadri terlihat sangat manis, dia baik sama Ibu dan Ayah. Fani juga tidak ada di sini.]Aku melirik layar gawai. Pesan yang kunanti dari ibu datang dan muncul di layar notifikasi. Jelas, sudah pasti begitu. Tidak mungkin Mas Hadri akan memperlihatkan kebusukannya di depan ayah dan ibu yang datang ke rumah.[Kalau pekerjaanmu sudah selesai, pulanglah. Hadri rindu kat
“Hadri, Ibu dan Bapak balik dulu ke kampung. Ibu titip Kirana, ya? Anak Ibu satu-satunya.” Ibu berbicara lembut sembari menggenggam erat tangan Mas Hadri.Terlihat jelas pancaran harapan dari kedua manik matanya yang sayu. Ibu pasti benar-benar percaya dengan apa yang diucapkan Mas Hadri padanya, perihal rumah tangga kami yang baik-baik saja, yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Hal itulah yang membuat Ibu begitu yakin untuk segera kembali ke desa.Aku berdiri di belakang ibu dan bapak, melipat dua tangan di dada. Sudah berpakaian rapi, menyandang tas kecil serta mengikat rambut. Bibirku kelu, tidak berkata apa pun. Malah membuang muka ke arah pintu pagar karena jemputan kami sudah datang.Ya ... aku meminta bantuan dari sopir kantor untuk mengantar Ibu dan Bapak ke desa. Bukan tanpa alasan, ini semua karena Mas Hadri yang tiba-tiba banyak cerita.“Kir, aku harus ketemu teman l
Malam menjelang, aku tiba di rumah tepat jam tujuh. Sendirian, tidak ada yang menyambut.Aku masuk ke dalam rumah dengan kunci pegangan, berharap banyak agar tidak melihat hantu perempuan yang selalu mengganggu ketenanganku akhir-akhir ini. Syukurnya, begitu pintu terbuka, Fani muncul lebih dulu.“Bu?” panggilnya santun. Dia tersenyum tipis.Perempuan rajin yang memakai kardigan kesayangannya itu kikuk melihatku. Mungkin, mungkin saja ... aku juga tidak bisa membaca isi hatinya. Mungkin saja Fani khawatir aku akan marah karena dirinya kembali ke rumah sebelum kuberi perintah.“Baru sampai?” tanyaku sembari melepas sepatu, lalu tas yang menemani perjalanan mengantar ibu dan bapak ke desa.Fani menganggukkan kepala. Tindakannya membuat jilbab bergo biru gelapnya itu berguncang lembut. Lalu, jatuh kembali menutupi dada.Kulihat semuanya dalam diam. Lalu, sebersit tanya menembus angan.Apa rasanya berhijab? Apa rasanya berpakaian tertutup seperti ini?Kenapa aku masih belum bisa melakukan
Ruangan ruas, ballroom yang menjadi tempat berlangsungnya acara ulang tahun perusahaan yang ke-50 terasa tenang. Beberapa kali terdengar denting pisau dan garpu, juga suara obrolan yang sangat kecil dari setiap meja berbentuk lingkaran.Ada puluhan, ah ... lebih dari dua ratus orang hadir malam ini. Perusahaan membuat perayaan yang jauh lebih megah dibanding sebelumnya. Aku melihat banyak sosok yang wajahnya mondar-mandir di layar tv di beberapa meja, mereka sepertinya sangat akrab dengan rekan satu meja.Kuhela napas, ini sudah yang kesekian kalinya. Mungkin gaun panjang, atau headpiece yang mengganggu, rasanya sangat menyesakkan.Steak dari daging terbaik hanya nganggur di piring, bahkan belum tersentuh oleh ujung pisau. Sedangkan Della, perempuan itu sudah menikmati dessertnya.Sret ...Aku melirik cepat, sebuah suara yang bahkan membuat duniaku teralihkan. Rupanya Alam pelakunya.“Alam, apa yang kamu lakukan?” tegurku sembari menarik piring agak menjauh.Tanpa izinku, dia sudah me