Sesuai dengan keputusan awal, aku kembali dinas sendirian. Mas Hadri mengantar sampai ke bandara, berbisik tanpa henti kalau aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya. Ibu mertua akan terus datang untuk membantunya karena Fani tetap kuminta pulang.
Aku berangkat, terbang dengan pesawat milik negara ini, membawa perasaan gelisah yang tidak terbendung sama sekali. Kali ini, jauh lebih risau dibanding sebelumnya.
Wajah Mas Hadri saat kami berpisah, jelas sekali jika dia berpura-pura sedih karena tidak bisa menemaniku bepergian. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang mendalam, sebab tindakan Mas Hadri sejak dia tahu kalau aku akan pergi jauh membenarkan semua tuduhan Alam dan Della padanya.
Helaan napasku mengudara kembali. Aku melempar pandang lewat jendela oval pesawat yang mengantarku pergi. Saat pulang nanti, entah apa yang akan terjadi.
--
“Begini Mbak Kiran
Satu hari lagi berlalu sejak kejadian itu. Aku menahan diri, menggigit bibir, bahkan menjambak rambut. Semua hal yang bisa menekan keinginan untuk segera pulang kulakukan, karena aku masih menunggu kabar dari ibu dan ayah yang sudah datang ke rumah.Kakiku gemetar, ujung heels terus berbenturan dengan lantai marmer di hotel. Aku duduk di salah satu sofa besar ruang tunggu, menatap kosong ke arah meja yang diisi oleh beberapa map serta satu gelas jus.[Kirana, Ibu tahu kamu gelisah, tapi Ibu rasa semua itu hanyalah ujian dalam pernikahanmu. Hadri terlihat sangat manis, dia baik sama Ibu dan Ayah. Fani juga tidak ada di sini.]Aku melirik layar gawai. Pesan yang kunanti dari ibu datang dan muncul di layar notifikasi. Jelas, sudah pasti begitu. Tidak mungkin Mas Hadri akan memperlihatkan kebusukannya di depan ayah dan ibu yang datang ke rumah.[Kalau pekerjaanmu sudah selesai, pulanglah. Hadri rindu kat
“Hadri, Ibu dan Bapak balik dulu ke kampung. Ibu titip Kirana, ya? Anak Ibu satu-satunya.” Ibu berbicara lembut sembari menggenggam erat tangan Mas Hadri.Terlihat jelas pancaran harapan dari kedua manik matanya yang sayu. Ibu pasti benar-benar percaya dengan apa yang diucapkan Mas Hadri padanya, perihal rumah tangga kami yang baik-baik saja, yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Hal itulah yang membuat Ibu begitu yakin untuk segera kembali ke desa.Aku berdiri di belakang ibu dan bapak, melipat dua tangan di dada. Sudah berpakaian rapi, menyandang tas kecil serta mengikat rambut. Bibirku kelu, tidak berkata apa pun. Malah membuang muka ke arah pintu pagar karena jemputan kami sudah datang.Ya ... aku meminta bantuan dari sopir kantor untuk mengantar Ibu dan Bapak ke desa. Bukan tanpa alasan, ini semua karena Mas Hadri yang tiba-tiba banyak cerita.“Kir, aku harus ketemu teman l
Malam menjelang, aku tiba di rumah tepat jam tujuh. Sendirian, tidak ada yang menyambut.Aku masuk ke dalam rumah dengan kunci pegangan, berharap banyak agar tidak melihat hantu perempuan yang selalu mengganggu ketenanganku akhir-akhir ini. Syukurnya, begitu pintu terbuka, Fani muncul lebih dulu.“Bu?” panggilnya santun. Dia tersenyum tipis.Perempuan rajin yang memakai kardigan kesayangannya itu kikuk melihatku. Mungkin, mungkin saja ... aku juga tidak bisa membaca isi hatinya. Mungkin saja Fani khawatir aku akan marah karena dirinya kembali ke rumah sebelum kuberi perintah.“Baru sampai?” tanyaku sembari melepas sepatu, lalu tas yang menemani perjalanan mengantar ibu dan bapak ke desa.Fani menganggukkan kepala. Tindakannya membuat jilbab bergo biru gelapnya itu berguncang lembut. Lalu, jatuh kembali menutupi dada.Kulihat semuanya dalam diam. Lalu, sebersit tanya menembus angan.Apa rasanya berhijab? Apa rasanya berpakaian tertutup seperti ini?Kenapa aku masih belum bisa melakukan
Ruangan ruas, ballroom yang menjadi tempat berlangsungnya acara ulang tahun perusahaan yang ke-50 terasa tenang. Beberapa kali terdengar denting pisau dan garpu, juga suara obrolan yang sangat kecil dari setiap meja berbentuk lingkaran.Ada puluhan, ah ... lebih dari dua ratus orang hadir malam ini. Perusahaan membuat perayaan yang jauh lebih megah dibanding sebelumnya. Aku melihat banyak sosok yang wajahnya mondar-mandir di layar tv di beberapa meja, mereka sepertinya sangat akrab dengan rekan satu meja.Kuhela napas, ini sudah yang kesekian kalinya. Mungkin gaun panjang, atau headpiece yang mengganggu, rasanya sangat menyesakkan.Steak dari daging terbaik hanya nganggur di piring, bahkan belum tersentuh oleh ujung pisau. Sedangkan Della, perempuan itu sudah menikmati dessertnya.Sret ...Aku melirik cepat, sebuah suara yang bahkan membuat duniaku teralihkan. Rupanya Alam pelakunya.“Alam, apa yang kamu lakukan?” tegurku sembari menarik piring agak menjauh.Tanpa izinku, dia sudah me
“Ini bukan suara hantu!” Alam berbicara. “Kalian di belakang, jangan mendahului,” ucapnya kemudian.Aku mencoba tegar, sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi sesaat lagi.Begitu Alam menerjang ke depan, sempat aku melirik ke arah dapur. Tempat di dekat dispenser itu selalu dihantui oleh sosok yang memakai gaun minim setiap kali aku pulang dari dinas dalam keadaan lelah. Tapi, malam ini posisi itu kosong. Tentu saja, sebab sosok itu sedang beradu erang dengan Mas Hadri di dalam kamarku.“Kir?” panggil Della. Dia meraih tanganku, menggenggamnya begitu erat.Della menyalurkan begitu banyak kata penguat, bahkan dia tidak beranjak meski hanya selangkah, tetap bersamaku di belakang Alam. Della juga berkata jika semuanya akan segera berlalu dan aku tidak akan remuk hanya karena hal seperti ini.“Tidak apa, aku bisa!” balasku dengan intonasi yang sangat rendah.Alam mendengarnya, hanya menoleh sedikit. Dia sudah berdiri di depan pintu kamar dengan dua tangan yang mengepal. Della di bel
“Apa maksudmu bocah? Aku bukan bocah!” Perempuan itu menyahut lagi.Sebelum aku menyambar perkataannya, Alam tiba-tiba saja melempar selimut tebal dari kamarku ke arah perempuan itu. Membuatnya terperangah, kesal dan juga tersinggung. Tapi, Alam tetap dengan pendiriannya sendiri.“Tutupi tubuhmu. Tidak ada yang akan tergoda dengan itu kecuali pria pengkhianat!” cela Alam yang membuat Della terkikik di sebelahku.Bahkan aku terkejut melihatnya. Sesaat lalu Alam masih duduk di sofa, entah kapan dia bangkit lalu membawa selimut dari kamarku.“Apa katamu? Jangan asal bicara padanya!” Mas Hadri menyalak. Jelas sekali jika dia tersinggung dengan perkataan Alam. “Pria pengkhianat? Lalu apa kata yang pantas untuk pria yang sibuk mengejar istri orang lain?”“Setidaknya, aku tidak bermain api di atas ranjang milik istriku sendiri!” Alam menyahut lagi.Hal itu membuatku menyadari sesuatu, jika selama ini Mas Hadri tidak pernah berdiri untuk membelaku. Dia membiarkan orang-orang mengomeliku, meng
“Assalamualaikum, Bu?” ucapku sembari mengetuk pelan daun pintu.Ini hampir subuh dan aku baru saja tiba di rumah bapak dan ibu. Memakai gaun panjang, rambut acak-acakan dan wajah sembab karena beberapa kali melawan air mata yang terus mengalir tanpa izin. Entah bagaimana reaksi bapak dan ibu saat melihat hadirku di rumahnya membawa luka yang tidak pernah mereka duga.“Bapak? Ibu ... ini Kirana!” Aku berseru lagi.Suasana begitu sepi di luar rumah. Pedesaan ini tidak lagi ramai seperti saat aku kecil dulu. Banyak pemuda dan pemudinya memilih keluar dari desa, mencari rezeki ke kota, tidak ubahnya diriku.“Belum ada yang jawab juga, Kir?” Itu suara Della.Perempuan berhijab itu mengantarku ke desa. Sendirian? Tentu saja tidak. Ada Alam yang lagi-lagi bersedia direpotkan. Dia menyetir di tengah malam hingga akhirnya kami tiba ke rumah orang tuaku.“Waalaikumsalam! Siapa di luar?” sambut ibu.Mendengar suaranya, hatiku bergetar. Bagaimana kalau ibu syok melihatku? Haruskah aku pergi lagi
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny