“Apa maksudmu bocah? Aku bukan bocah!” Perempuan itu menyahut lagi.Sebelum aku menyambar perkataannya, Alam tiba-tiba saja melempar selimut tebal dari kamarku ke arah perempuan itu. Membuatnya terperangah, kesal dan juga tersinggung. Tapi, Alam tetap dengan pendiriannya sendiri.“Tutupi tubuhmu. Tidak ada yang akan tergoda dengan itu kecuali pria pengkhianat!” cela Alam yang membuat Della terkikik di sebelahku.Bahkan aku terkejut melihatnya. Sesaat lalu Alam masih duduk di sofa, entah kapan dia bangkit lalu membawa selimut dari kamarku.“Apa katamu? Jangan asal bicara padanya!” Mas Hadri menyalak. Jelas sekali jika dia tersinggung dengan perkataan Alam. “Pria pengkhianat? Lalu apa kata yang pantas untuk pria yang sibuk mengejar istri orang lain?”“Setidaknya, aku tidak bermain api di atas ranjang milik istriku sendiri!” Alam menyahut lagi.Hal itu membuatku menyadari sesuatu, jika selama ini Mas Hadri tidak pernah berdiri untuk membelaku. Dia membiarkan orang-orang mengomeliku, meng
“Assalamualaikum, Bu?” ucapku sembari mengetuk pelan daun pintu.Ini hampir subuh dan aku baru saja tiba di rumah bapak dan ibu. Memakai gaun panjang, rambut acak-acakan dan wajah sembab karena beberapa kali melawan air mata yang terus mengalir tanpa izin. Entah bagaimana reaksi bapak dan ibu saat melihat hadirku di rumahnya membawa luka yang tidak pernah mereka duga.“Bapak? Ibu ... ini Kirana!” Aku berseru lagi.Suasana begitu sepi di luar rumah. Pedesaan ini tidak lagi ramai seperti saat aku kecil dulu. Banyak pemuda dan pemudinya memilih keluar dari desa, mencari rezeki ke kota, tidak ubahnya diriku.“Belum ada yang jawab juga, Kir?” Itu suara Della.Perempuan berhijab itu mengantarku ke desa. Sendirian? Tentu saja tidak. Ada Alam yang lagi-lagi bersedia direpotkan. Dia menyetir di tengah malam hingga akhirnya kami tiba ke rumah orang tuaku.“Waalaikumsalam! Siapa di luar?” sambut ibu.Mendengar suaranya, hatiku bergetar. Bagaimana kalau ibu syok melihatku? Haruskah aku pergi lagi
“Bagus, Mas. Kamu sama dia memang sudah seharusnya pisah. Mau tunggu sampai kapan?” Ica berseru. “Aku mau segera kita daftarkan pernikahannya ke KUA, Mas.”Aku menyungging senyum mendengar ocehan dari perempuan itu. Umurnya jauh lebih muda dariku, tapi liciknya sudah tidak tertandingi. Dia minta Mas Hadri membuangku agar segera menjadikannya istri sah secara negara.“Sepakat. Kalau begitu masalahnya sudah selesai, kan?” imbuhku lagi tetap mengatur ekspresi.Kali ini, hanya aku yang berbicara. Bapak mengepal tangan di dalam pangkuannya, sedangkan ibu terus menggenggam erat tangan Della. Tentu saja hatinya hancur melihat pernikahanku berantakan seperti ini.Tapi, ini sudah akhirnya. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan, apa lagi sampai mengemis.“Kirana, kamu mau pisah dariku?”“Iya, mau apa lagi? Mumpung belum punya anak juga, Mas. Setidaknya yang kamu sakiti cuma aku, bukan anak-anak yang tidak tahu apa-apa,” balasku lagi. “Lagian, kamu kan sudah punya istri, jangan tamak ingin puny
“Kamu kira, aku tidak akan pernah tahu, Mas? Dengan apa Ibumu memukul kepalaku malam itu?” Suaraku menukik tajam, aku berang hingga berteriak pada Mas Hadri.Sudah tidak ada lagi rasa hormatku pada pria ini, juga pada ibunya yang kini menatapku dengan sorot mata membelalak. Sudah pasti, perempuan itu tidak menyangka kalau aku menyadari apa yang dilakukan olehnya. Sayangnya, bukti tidak ada, hanya ingatan serta pantulan sosok ibu mertua dari jendela lemari yang menjadi saksinya.“Mana mungkin!” lirih ibu mertua sembari menutup mulut.Aku tersenyum, mengejeknya. “Bu, ada alasan kenapa aku bisa jadi pejabat perusahaan di usia muda!” sindirku.“Kirana, itu semua hanya kesalahpahaman. Kamu tahu kan akibatnya kalau perempuan meminta cerai? Apa kamu kira akan ada lelaki lain yang mau menerimamu?” ucap Mas Hadri.Perkataannya berhasil menorehkan segaris luka di dalam dadaku. Dia memperlakukanku seperti seorang perempuan hina yang hanya bisa bahagia di dalam kungkungan lelaki.“Mas, aku bukan
Gaun malam yang tidak terpakai karena sibuk dinas keluar kota sering kutemukan di keranjang baju kotor. Berbau busuk, bahkan koyak, seolah-olah ada yang memakainya. Lalu, rumah kami mendadak angker, seorang perempuan dengan gaun terbuka sering muncul di tengah malam, lalu menghilang tanpa jejak. Ternyata ...."Mas?" Aku memanggil lembut. Seisi rumah hanya diterangi oleh lampu remang kekuningan.Sejujurnya, tubuh ini merinding setiap kali berjalan sendirian di malam hari meski di rumah sendiri. Mas Hadri selalu mengingatkanku jika ada sosok misterius yang berkeliaran saat malam, berpakaian terbuka dan selalu menutup wajah dengan rambut panjang. Rasanya ingin segera aku masuk ke kamar. Namun, langkah ini terpaksa berhenti dan beralih menuju dapur. Aku haus, pulang dari jauh dan kelelahan. Mas Hadri tidak kukabari karena ingin sekali memberinya kejutan. Kami masih tergolong pengantin baru, sudah pasti kepulanganku sangat ditungguSelangkah, dua langkah, aku mendekat ke dapur. Tiba-tib
“Kenalin, Mas ... saya ....”“Eh, kenapa malah ke sini, sih? Kita pulang saja!” potong perempuan yang tiba-tiba muncul dari belakang. Pria itu tidak boleh bertemu dengan Mas Hadri.Della! Syukurnya perempuan itu lebih peka. Jika tidak, maka permasalahan akan jadi lebih runyam.“Kirana, kamu pulang diantar siapa? Mana sopirmu?” desak Mas Hadri yang membuatku kesulitan untuk menjawab.Aku langsung memberi kode pada Della agar dia menyeret pria tinggi di sebelahnya. Mereka harus pergi sekarang, jangan sampai permasalahan yang harusnya hanya antara aku dan Mas Hadri melebar ke orang lain.“Kir, aku balik dulu, ya? Ayuk, Lam!” desak Della lagi.Berkat bantuannya, pria tinggi itu berhasil dikeluarkan dari rumah. Meski kudengar dia protes pada Della karena dipaksa pergi saat aku dan Mas Hadri sedang beradu mulut.Beberapa saat setelah Della dan pria itu pergi, aku langsung mengunci pintu rapat-rapat. Saat berbalik, Mas Hadri sudah tidak lagi berdiri di tempatnya. Dia berjalan cepat menuju ka
“Lagi!” Aku membelalak melihat sepotong gaun malam berwarna merah muncul di keranjang baju kotor.Seingatku, kemarin Fani sudah membersihkan semua cucian, tapi kenapa benda ini masih juga muncul?Aku berdiri di depan keranjang baju kotor, memandangi isinya yang tidak banyak. Padahal, semenjak pulang dinas, aku dan Mas Hadri belum terlibat hubungan sama sekali, apa lagi sampai memakai baju seperti ini.Perasaanku menjadi gelisah, semuanya jadi tidak karuan. Kenapa sesuatu yang tidak pernah kupakai selalu muncul di keranjang baju kotor? Berbau dan juga sedikit koyak.“Fan!” seruku sembari melongok ke arah ruang keluarga. Sesaat lalu, Fani sedang menyapu di sana.Ini sudah jam tujuh pagi, aku harus berangkat bekerja tapi malah berakhir memeriksa keranjang baju. Setelan kantor mewah di badan juga tidak cocok dengan apa yang kulakukan saat ini.“Fani!” panggilku sekali lagi.Perempuan muda itu muncul tergesa-gesa, wajahnya berpeluh dan tangannya masih memegang sapu hijau. Fani berdiri goya
“Jadi, Kirana mau dinas lagi?” Ibu mertuaku berujar sembari mengunyah makan malam.Perempuan dengan jilbab panjang menjuntai itu melirikku, lalu memastikan Mas Hadri sedang menikmati masakannya. Ibu mertua sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan rela melepas Mas Hadri untuk menikah dengan perempuan super sibuk sepertiku hanya karena tidak tega menolak keinginan sang putra.“Iya, Bu. Kali ini ....” Aku ragu. Lidah ini berhenti bertutur, malah tatapanku jatuh pada Mas Hadri yang sibuk makan paha ayam.Pria itu bahkan bersenandung riang, terlihat jelas dia sangat puas dengan masakan ibunya. Tidak lupa Mas Hadri menambah beberapa lauk ke dalam piring sebelum kemudian menikmatinya berbarengan.“Biarkan saja, Bu. Kirana memang harus bekerja, Ibu kan tahu bagaimana sibuknya dia.”Mas Hadri membelaku lagi di depan ibu mertua. Sungguh, aku tidak mengerti kenapa sikapnya sangat mengayomi terhadapku, padahal dia adalah anak satu-satunya di keluarganya, seharusnya ....“Kamu juga sel