Share

Bab 7

“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.

Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.

“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.

Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.

“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.

Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di dalam hati untuk berbagi perihal keanehan yang terus kutemukan di rumah ini. Soal hantu perempuan itu, soal gaun malamku yang terus ada di keranjang kotor, serta Mas Hadri.

Tapi sepertinya, Della juga masih kesulitan membiasakan diri dengan status barunya. Sebentar lagi kata janda akan tersemat padanya.

Ah, kalau aku dan Mas Hadri juga berpisah, maka kata itu juga akan jadi milikku. Haruskah aku menahannya sedikit lagi?

“Kenapa nanyain suamiku tiba-tiba, Kir? Kamu curiga juga sama Mas Hadri?” terka Della yang membuatku segera membenarkan posisi lebih tegak.

Padahal, lidah ini masih kelu, pikiranku juga buntu. Banyak pertimbangan untukku, apakah harus berbicara soal Mas Hadri dan rumah ini pada Della atau tidak.

“Nah kan, kayanya bener!” sambung Della sembari mengepalkan tinju. Perempuan itu langsung melirik ke arah pintu, seolah-olah di sana ada Mas Hadri yang sedang berdiri. “Aku sudah tebak kalau pria kaya dia pasti bakal banyak tingkah, Kir. Di kantor saja, kelakuannya tidak tahu malu sama sekali. Kemarin, kamu di rumah sakit, Mas Hadri sibuk ngobrol sama anak magang, Kir.”

Aku terperangah mendengar perkataan Della. Sepertinya, kegelisahanku itu bukanlah hayalan semata.

“Dell ....”

“Mas Hadri juga sering keluar di jam makan siang, Kir. Telat balik ke kantor, entah ada keperluan apa karena juga ketua tim enggak berani negur. Dia kan suaminya kamu, jabatan kamu jauh di atas Ketua Tim. Sekelas direktur saja sungkan sama kamu!”

Deg! Aku menelan ludah.

“Del, kamu yakin?”

“Iya, kamu enggak tahu, kan? Mana mungkin kamu tahu kalau tiap jam makan siang kamu sibuk dengan kolega, direktur ini dan itu, manajer sana dan sini. Aku saja jarang bisa lihat kamu di kantor!” celotehnya, kemudian Della melipat kedua tangannya di dada.

Mendengar semua penjelasan dari Della membuat diriku tidak lagi bisa menampik kecurigaan. Selama ini, Mas Hadri sepertinya sibuk dengan sesuatu yang tidak pernah kutahu, dia sangat sibuk sampai harus membawa mobil sendiri ke kantor. Ternyata, Mas Hadri sering keluar dan telat kembali.

“Aku mau cerita sesuatu sama kamu, Del.”

“Soal apa?” Della mengernyitkan kening. Kedua alisnya yang dipoles tipis itu hampir bertautan, dia juga mencondongkan tubuhnya ke arahku, bersiap mendengar dengan telinganya sendiri.

Della, perempuan ini bisa dipercaya. Mungkin, cara bicaranya terlalu jujur, tapi dia tidak pernah menjadi pisau bermata dua untukku.  

“Soal ....”

Mulailah aku bercerita tentang semua yang terjadi selama ini. Tidak ada yang aku tutupi, segalanya soal Mas Hadri, hantu perempuan, serta kejadian di rumah ibu mertua dua hari lalu.

Dan responsnya ....

“Gila, kamu percaya kalau itu hantu, Kir?” Della menjerit. Dia membenarkan posisi duduknya di ranjang. “Kamu itu pintar, kuliah di luar negeri, masa enggak bisa pakai logika?”

“Aku juga tidak yakin itu hantu atau bukan, Del. Malam itu, aku melihatnya sendiri di dapur, dia berdiri di sana, lalu menghilang saat Mas Hadri keluar. Anehnya, Mas Hadri muncul dengan bertelanjang dada dan badannya berkeringat.”

Manik mata Della semakin membola. Dia menggelengkan kepalanya saat mendengarku berkata.

“Mana mungkin, Kir. Siapa yang ngomong begitu? Suamimu, kan! Malam itu, aku dan ‘dia’ juga ada di sana.”

Aku mengangguk. Benar, Mas Hadri-lah yang bilang kalau ada hantu perempuan di rumah ini. Muncul tengah malam dan selalu membuatnya ketakutan.

“Iya, tapi ... anehnya selalu momennya saat aku tidak ada di rumah!”

“Nah!” Della berseru kembali. Dia menepuk tangannya. Perempuan itu langsung tersenyum. “Itu sih, akal-akalan Mas Hadri. Dasar laki-laki pembohong! Mana ada setan milih-milih mau muncul di depan siapa, kapan terus mikir ada siapa di rumah. Kalau muncul ya muncul saja!”

Perkataan Della seolah membuka kedua mataku dengan lebih lebar. Benar, perkataan perempuan itu benar. “Aku harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, Del. Enggak bisa begini terus, kalau memang ada sesuatu, aku harus dapat kebenarannya.”

Della mengiyakan ucapanku. “Caranya?”

“Tugas dinas itu, Del. Aku akan pergi dua minggu ....”

Lalu, Della tersenyum mendengar perkataanku. Perempuan itu akan menjadi tangan kanan dalam misi memecahkan permasalahan ini.

“Yang di sini, serahin saja semuanya sama aku, Kir! Kalau kamu memang butuh bantuan, pria itu juga bisa jadi tameng buat kamu!”

Mendengar ucapan Della, aku juga merasa kalau dia tidak salah. Pria itu ... apa dia bisa membantuku andai sesuatu terjadi nanti?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status