Share

Bab 6

Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.

Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”

Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.

“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.

“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.

Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seorang diri, bahkan bersenandung pelan hingga seluruh tubuhku jadi merinding.

Sepeninggalnya, aku langsung bangkit. Dua hari tinggal di luar, hantu perempuan itu atau gaun malamku tidak bisa hilang dari bayangan.

Aku beranjak ke dapur, kemudian ke ruang laundry yang kecil. Keranjang baju kotor yang selama ini menyimpan banyak hal langsung kuobrak-abrik. Satu per satu kain yang ada di dalamnya aku keluarkan demi mencari gaun malam yang mungkin saja kembali muncul di dalam sini.

Nihil! Tidak ada apa-apa. Hanya pakaian milik Mas Hadri yang ada.

Aku tidak ingin menyerah, lalu mengalihkan tujuan menjadi Fani yang baru saja masuk dari taman belakang. Perempuan itu membawa keranjang berisi baju bersih yang akan disetrikanya malam nanti.

“Fan?” panggilku padanya tanpa memindahkan tatapan meski hanya sejengkal.

Perempuan itu, wajahnya terlihat segar. Pipinya merona dan bibirnya terus tersenyum. Menurutku, dia jadi semakin cantik setiap harinya, bahkan dia masih gadis dengan umur yang sangat muda.

“Iya, Bu?” Fani meletakkan keranjang baju, dia berjalan ke arahku. “Ibu butuh sesuatu?”

Lagi, aku diam. Kali ini aku memandangi keranjang baju yang diturunkan oleh Fani.

“Sebentar!”

Aku langsung bergerak menuju keranjang baju kotor itu, mengeluarkan setiap kain yang ada di dalamnya hingga Fani memekik terkejut. Dia terus bertanya apa yang aku cari, apa yang aku butuhkan. Tapi, sekalipun aku tidak menjawab.

Celana, baju kaos, kemeja, bahkan singlet milik Mas Hadri terus bermunculan. Anehnya, aku tidak pernah melihat Mas Hadri memakai semua pakaian itu, entah bekerja atau di rumah. Mas Hadri ternyata menghabiskan pakaian dua kali lipat lebih banyak dibanding diriku.

Sampai ....

“Astagfirullah!” Fani menjerit kaget.

Di ujung jari, aku menenteng gaun malamku yang berwarna putih. Bahannya silk dan sangat tipis hampir transparan. Gaun yang memiliki belahan rendah itu tidak mengeluarkan bau busuk seperti beberapa pakaian sebelumnya. Bahkan, kardigan yang melengkapinya juga ada di dalam keranjang tersebut.

“Fani, kamu yang cuci ini, kan?”

Fani membelalak mendengar pertanyaan dariku. Perempuan itu menutup mulut, menggeleng putus asa. “Bu, saya enggak tahu itu apa. Saya hanya cuci semua pakaian yang ada di keranjang dan dijemur, Bu.” Kemudian, Fani menangis.

“Kamu jujur sama aku, Fan. Kenapa benda ini ....”

Aku berhenti bicara. Tubuhku langsung merasa lelah setelah menemukan secarik pakaian milikku di keranjang itu. Tidak pernah kugunakan, tidak lagi sempat kupakai di badan untuk menyenangkan Mas Hadri, tapi lagi-lagi ada di keranjang baju kotor.

“Bu, saya ....”

“Pergilah, selesaikan pekerjaanmu!” titahku padanya karena tidak ingin mendengarkan tangisan Fani.

Sementara ini, aku tidak punya bukti untuk menuduh siapapun mengambil atau memakai pakaian ini. Bahkan Fani sendiri, aku juga tidak bisa menyebutnya sebagai pelaku. Jikapun memang Fani yang mengambil semua pakaianku, untuk apa? Dalam kondisi apa dia memakai pakaian seperti ini?

Ah, perasaanku bergejolak lagi. Aku langsung menumpu badan di dashboar sofa. Kepalaku sakit seperti dihantam bebatuan.

Sekali lagi, aku memutuskan untuk memeriksa gaun itu. Sayang sekali karena gaun ini ikut muncul di keranjang baju tanpa kupakai, padahal ini adalah gaun favoritku, bahkan Mas Hadri tidak bisa berhenti memuji saat gaun ini ada di tubuhku.

Haruskah aku membakarnya saja?

Tapi, tiba-tiba saja aku mengingat satu hal. Malam itu, hantu perempuan yang muncul di rumahku juga memakai gaun malam yang rendah.

Aku mengangkat tinggi-tinggi gaun tersebut. Ya, mirip sekali dengan gaun ini.

“Sayang? Kamu ngapain lagi, sih!” tegur Mas Hadri.

Pria itu berdiri di depan pintu kamar kami, terlihat jelas siluetnya dari balik gaun malam tipis itu. Mas Hadri memandangiku dengan dua tangan terselip di saku celana trainingnya. Dia sudah berganti pakaian dari kemeja lengan panjang dan jeans saat mejemputku menjadi setelan rumahan yang nyaman.

“Mas ....”

“Iya, kenapa?” Mas Hadri menjawab sembari berjalan ke arahku. Pria itu menatap, kemudian mencoba menurunkan gaun malam yang terus membuatku kacau itu. “Ini, kenapa ....”

“Apa hantu bisa pakai baju manusia, Mas?” tanyaku pada Mas Hadri.

“A-apa? Kamu bicara apa, Sayang?”

“Hantu perempuan yang selalu kamu bicarakan itu, apa mungkin dia yang memakai semua gaun-gaunku?” telisikku sembari menyoroti Mas Hadri.

Pria yang terlihat tenang itu tiba-tiba mengangkat sorot matanya. Dia mengernyitkan kening sesaat, lalu memasang ekspresi bingung.

“Sayang, kamu ....”

“Aku tidak berhalusinasi, Mas. Malam itu, aku juga melihat hantu di rumah kita, hantu perempuan yang selalu kamu bicarakan, dia memakai gaun ini!” tegasku pada Mas Hadri, dan manik mata pria itu bergetar. “Apa hantu itu bisa mengikuti kita sampai ke rumah ibumu?”

Tanganku mengepal karena Mas Hadri tercenung. Pria itu tidak langsung membantah, bahkan sikapnya saat ini seperti baru saja dipergoki saat berselingkuh. Tapi, apa mungkin Mas Hadri berselingkuh dengan hantu? Sosok itu langsung menghilang setelah aku pergoki malam itu, sulit sekali dinalar oleh logika.

Sekujur tubuhku langsung merinding. Mas Hadri berusaha menenangkanku dengan sentuhannya, namun aku lebih dulu melepas diri dan menjauh darinya.

“Mas, aku butuh waktu untuk istirahat!” pintaku pada Mas Hadri. Aku bergegas pergi darinya, membiarkan Mas Hadri memiliki gaun malam yang sudah tidak ingin kulihat lagi itu.

“Sayang? Kirana!” pekiknya. Aku mengabaikan Mas Hadri dengan masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya.

Beberapa kali Mas Hadri menggedor.

“Kirana, kamu ini kenapa? Aku salah apa sama kamu!”

“Mas, aku mau istirahat.”

“Iya, tapi kenapa harus kunci pintu segala, Sayang?” seru Mas Hadri dengan masih mengetuk pintu.

Aku bergeming di ranjang, berpikir keras sembari menahan diri agar tidak menangis. Bukannya takut pada sosok hantu perempuan tersebut, karena diriku masih memakai logika untuk segala hal.

Bagaimana kalau itu bukan hantu?

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setiap kali diriku dinas di luar. Bukankah Mas Hadri selalu tinggal sendiri di rumah ini? Apa Fani ....

“Kirana!”

“Mas, aku sudah bilang mau sendirian!”

“Kirana, ini aku ... Della.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status