Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.
Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”
Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.
“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.
“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.
Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seorang diri, bahkan bersenandung pelan hingga seluruh tubuhku jadi merinding.
Sepeninggalnya, aku langsung bangkit. Dua hari tinggal di luar, hantu perempuan itu atau gaun malamku tidak bisa hilang dari bayangan.
Aku beranjak ke dapur, kemudian ke ruang laundry yang kecil. Keranjang baju kotor yang selama ini menyimpan banyak hal langsung kuobrak-abrik. Satu per satu kain yang ada di dalamnya aku keluarkan demi mencari gaun malam yang mungkin saja kembali muncul di dalam sini.
Nihil! Tidak ada apa-apa. Hanya pakaian milik Mas Hadri yang ada.
Aku tidak ingin menyerah, lalu mengalihkan tujuan menjadi Fani yang baru saja masuk dari taman belakang. Perempuan itu membawa keranjang berisi baju bersih yang akan disetrikanya malam nanti.
“Fan?” panggilku padanya tanpa memindahkan tatapan meski hanya sejengkal.
Perempuan itu, wajahnya terlihat segar. Pipinya merona dan bibirnya terus tersenyum. Menurutku, dia jadi semakin cantik setiap harinya, bahkan dia masih gadis dengan umur yang sangat muda.
“Iya, Bu?” Fani meletakkan keranjang baju, dia berjalan ke arahku. “Ibu butuh sesuatu?”
Lagi, aku diam. Kali ini aku memandangi keranjang baju yang diturunkan oleh Fani.
“Sebentar!”
Aku langsung bergerak menuju keranjang baju kotor itu, mengeluarkan setiap kain yang ada di dalamnya hingga Fani memekik terkejut. Dia terus bertanya apa yang aku cari, apa yang aku butuhkan. Tapi, sekalipun aku tidak menjawab.
Celana, baju kaos, kemeja, bahkan singlet milik Mas Hadri terus bermunculan. Anehnya, aku tidak pernah melihat Mas Hadri memakai semua pakaian itu, entah bekerja atau di rumah. Mas Hadri ternyata menghabiskan pakaian dua kali lipat lebih banyak dibanding diriku.
Sampai ....
“Astagfirullah!” Fani menjerit kaget.
Di ujung jari, aku menenteng gaun malamku yang berwarna putih. Bahannya silk dan sangat tipis hampir transparan. Gaun yang memiliki belahan rendah itu tidak mengeluarkan bau busuk seperti beberapa pakaian sebelumnya. Bahkan, kardigan yang melengkapinya juga ada di dalam keranjang tersebut.
“Fani, kamu yang cuci ini, kan?”
Fani membelalak mendengar pertanyaan dariku. Perempuan itu menutup mulut, menggeleng putus asa. “Bu, saya enggak tahu itu apa. Saya hanya cuci semua pakaian yang ada di keranjang dan dijemur, Bu.” Kemudian, Fani menangis.
“Kamu jujur sama aku, Fan. Kenapa benda ini ....”
Aku berhenti bicara. Tubuhku langsung merasa lelah setelah menemukan secarik pakaian milikku di keranjang itu. Tidak pernah kugunakan, tidak lagi sempat kupakai di badan untuk menyenangkan Mas Hadri, tapi lagi-lagi ada di keranjang baju kotor.
“Bu, saya ....”
“Pergilah, selesaikan pekerjaanmu!” titahku padanya karena tidak ingin mendengarkan tangisan Fani.
Sementara ini, aku tidak punya bukti untuk menuduh siapapun mengambil atau memakai pakaian ini. Bahkan Fani sendiri, aku juga tidak bisa menyebutnya sebagai pelaku. Jikapun memang Fani yang mengambil semua pakaianku, untuk apa? Dalam kondisi apa dia memakai pakaian seperti ini?
Ah, perasaanku bergejolak lagi. Aku langsung menumpu badan di dashboar sofa. Kepalaku sakit seperti dihantam bebatuan.
Sekali lagi, aku memutuskan untuk memeriksa gaun itu. Sayang sekali karena gaun ini ikut muncul di keranjang baju tanpa kupakai, padahal ini adalah gaun favoritku, bahkan Mas Hadri tidak bisa berhenti memuji saat gaun ini ada di tubuhku.
Haruskah aku membakarnya saja?
Tapi, tiba-tiba saja aku mengingat satu hal. Malam itu, hantu perempuan yang muncul di rumahku juga memakai gaun malam yang rendah.
Aku mengangkat tinggi-tinggi gaun tersebut. Ya, mirip sekali dengan gaun ini.
“Sayang? Kamu ngapain lagi, sih!” tegur Mas Hadri.
Pria itu berdiri di depan pintu kamar kami, terlihat jelas siluetnya dari balik gaun malam tipis itu. Mas Hadri memandangiku dengan dua tangan terselip di saku celana trainingnya. Dia sudah berganti pakaian dari kemeja lengan panjang dan jeans saat mejemputku menjadi setelan rumahan yang nyaman.
“Mas ....”
“Iya, kenapa?” Mas Hadri menjawab sembari berjalan ke arahku. Pria itu menatap, kemudian mencoba menurunkan gaun malam yang terus membuatku kacau itu. “Ini, kenapa ....”
“Apa hantu bisa pakai baju manusia, Mas?” tanyaku pada Mas Hadri.
“A-apa? Kamu bicara apa, Sayang?”
“Hantu perempuan yang selalu kamu bicarakan itu, apa mungkin dia yang memakai semua gaun-gaunku?” telisikku sembari menyoroti Mas Hadri.
Pria yang terlihat tenang itu tiba-tiba mengangkat sorot matanya. Dia mengernyitkan kening sesaat, lalu memasang ekspresi bingung.
“Sayang, kamu ....”
“Aku tidak berhalusinasi, Mas. Malam itu, aku juga melihat hantu di rumah kita, hantu perempuan yang selalu kamu bicarakan, dia memakai gaun ini!” tegasku pada Mas Hadri, dan manik mata pria itu bergetar. “Apa hantu itu bisa mengikuti kita sampai ke rumah ibumu?”
Tanganku mengepal karena Mas Hadri tercenung. Pria itu tidak langsung membantah, bahkan sikapnya saat ini seperti baru saja dipergoki saat berselingkuh. Tapi, apa mungkin Mas Hadri berselingkuh dengan hantu? Sosok itu langsung menghilang setelah aku pergoki malam itu, sulit sekali dinalar oleh logika.
Sekujur tubuhku langsung merinding. Mas Hadri berusaha menenangkanku dengan sentuhannya, namun aku lebih dulu melepas diri dan menjauh darinya.
“Mas, aku butuh waktu untuk istirahat!” pintaku pada Mas Hadri. Aku bergegas pergi darinya, membiarkan Mas Hadri memiliki gaun malam yang sudah tidak ingin kulihat lagi itu.
“Sayang? Kirana!” pekiknya. Aku mengabaikan Mas Hadri dengan masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya.
Beberapa kali Mas Hadri menggedor.
“Kirana, kamu ini kenapa? Aku salah apa sama kamu!”
“Mas, aku mau istirahat.”
“Iya, tapi kenapa harus kunci pintu segala, Sayang?” seru Mas Hadri dengan masih mengetuk pintu.
Aku bergeming di ranjang, berpikir keras sembari menahan diri agar tidak menangis. Bukannya takut pada sosok hantu perempuan tersebut, karena diriku masih memakai logika untuk segala hal.
Bagaimana kalau itu bukan hantu?
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setiap kali diriku dinas di luar. Bukankah Mas Hadri selalu tinggal sendiri di rumah ini? Apa Fani ....
“Kirana!”
“Mas, aku sudah bilang mau sendirian!”
“Kirana, ini aku ... Della.”
“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di d
“Mas, aku jalan dulu, ya?” lirihku pada Mas Hadri dengan suara mendayu pagi itu.Mobil kantor yang bertugas menjemput sudah berhenti di depan pagar. Seorang pria duduk di dalamnya, memakai setelan sopir dari perusahaan.Mas Hadri tersenyum padaku. Dia mengulur tangan, aku sambut dengan mengecup punggung tangannya sebagai baktiku selaku istri.“Hati-hati, Sayang. Maaf Mas enggak bisa temenin kamu pergi sejauh itu. Kalau Mas pergi, kerjaan Mas bakalan berantakan, di rumah juga sepi.” Mas Hadri menjelaskannya lagi.Aku hanya mengiyakan ucapannya. Penjelasan itu sudah kudengar hingga muak rasanya. Dari awal, aku menawarkan banyak hal, termasuk menjamin cuti dan pekerjaannya di kantor agar Mas Hadri bersedia ikut denganku selama dua minggu. Nyatanya, Mas Hadri menang dan aku harus pergi sendiri.“Iya, Mas. Sampai jumpa dua minggu lagi!” ucapku padan
“Kenapa kamu ada di sini?” Aku berteriak hingga urat leher bermunculan di balik kulit.Mata ini membelalak, tidak menyangka jika sosok yang selama ini terus membuatku gelisah benar-benar ada di rumah saat dia sudah kupastikan pulang. Sungguh, hal yang saat ini menyambut kepulanganku benar-benar membuat diri ini kehabisan kata-kata.“Kenapa kamu ada di rumah, Fan?” pekikku kembali.Meski kehadiran Fani sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua kegundahanku. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang, tidak terbalut emosi, apa lagi sampai bertindak anarkis.“Sayang, kenapa kamu teriak begini? Apa salahnya Fani kerja di rumah? Mas capek makan nasi warung, sedangkan kamu tidak pernah masak, selalu bekerja sampai meninggalkan Mas berminggu-minggu!” bantah Mas Hadri dari belakangku.“Mas, kamu diam dulu! Aku bicara sama Fani.” Lidahku berke
“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas
“Mas, kamu apa-apaan, sih?” Aku lebih dulu berbicara sebelum Mas Hadri kembali berkata.Pria yang kunikahi belum lama ini terus menerjang ke depan, memandang Alam sebagai musuh utama yang harus dituntaskan olehnya. Sungguh, kondisi ini di luar kendaliku, sebab selain kami masih di kantor, Mas Hadri dan Alam belum saling mengenal satu sama lain. Pertemuan pertama mereka dalam kondisi yang tidak menyenangkan hingga Mas Hadri langsung menganggapnya sebagai lawan.“Kamu yang kenapa, Kir! Aku lihat dia di rumah malam itu, kalian pulang bersama. Sekarang, pria ini juga ke kantor. Apa kalian punya hubungan yang tidak aku tahu? Semua teman-temanmu aku kenal, kecuali pria ini.”“Mas, kamu salah paham. Kenapa aku harus memperkenalkan kamu sama seseorang yang juga asing buat aku.”“Asing? Tapi pria yang kamu bilang asing ini sudah dua kali muncul sama kamu!”
Sesuai dengan keputusan awal, aku kembali dinas sendirian. Mas Hadri mengantar sampai ke bandara, berbisik tanpa henti kalau aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya. Ibu mertua akan terus datang untuk membantunya karena Fani tetap kuminta pulang.Aku berangkat, terbang dengan pesawat milik negara ini, membawa perasaan gelisah yang tidak terbendung sama sekali. Kali ini, jauh lebih risau dibanding sebelumnya.Wajah Mas Hadri saat kami berpisah, jelas sekali jika dia berpura-pura sedih karena tidak bisa menemaniku bepergian. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang mendalam, sebab tindakan Mas Hadri sejak dia tahu kalau aku akan pergi jauh membenarkan semua tuduhan Alam dan Della padanya.Helaan napasku mengudara kembali. Aku melempar pandang lewat jendela oval pesawat yang mengantarku pergi. Saat pulang nanti, entah apa yang akan terjadi.--“Begini Mbak Kiran
Satu hari lagi berlalu sejak kejadian itu. Aku menahan diri, menggigit bibir, bahkan menjambak rambut. Semua hal yang bisa menekan keinginan untuk segera pulang kulakukan, karena aku masih menunggu kabar dari ibu dan ayah yang sudah datang ke rumah.Kakiku gemetar, ujung heels terus berbenturan dengan lantai marmer di hotel. Aku duduk di salah satu sofa besar ruang tunggu, menatap kosong ke arah meja yang diisi oleh beberapa map serta satu gelas jus.[Kirana, Ibu tahu kamu gelisah, tapi Ibu rasa semua itu hanyalah ujian dalam pernikahanmu. Hadri terlihat sangat manis, dia baik sama Ibu dan Ayah. Fani juga tidak ada di sini.]Aku melirik layar gawai. Pesan yang kunanti dari ibu datang dan muncul di layar notifikasi. Jelas, sudah pasti begitu. Tidak mungkin Mas Hadri akan memperlihatkan kebusukannya di depan ayah dan ibu yang datang ke rumah.[Kalau pekerjaanmu sudah selesai, pulanglah. Hadri rindu kat
“Hadri, Ibu dan Bapak balik dulu ke kampung. Ibu titip Kirana, ya? Anak Ibu satu-satunya.” Ibu berbicara lembut sembari menggenggam erat tangan Mas Hadri.Terlihat jelas pancaran harapan dari kedua manik matanya yang sayu. Ibu pasti benar-benar percaya dengan apa yang diucapkan Mas Hadri padanya, perihal rumah tangga kami yang baik-baik saja, yang penuh kebahagiaan dan kedamaian. Hal itulah yang membuat Ibu begitu yakin untuk segera kembali ke desa.Aku berdiri di belakang ibu dan bapak, melipat dua tangan di dada. Sudah berpakaian rapi, menyandang tas kecil serta mengikat rambut. Bibirku kelu, tidak berkata apa pun. Malah membuang muka ke arah pintu pagar karena jemputan kami sudah datang.Ya ... aku meminta bantuan dari sopir kantor untuk mengantar Ibu dan Bapak ke desa. Bukan tanpa alasan, ini semua karena Mas Hadri yang tiba-tiba banyak cerita.“Kir, aku harus ketemu teman l