Share

Bab 5

“Kirana, kamu bicara apa? Suara apa yang kamu bahas dari tadi?” tegur ibu mertua ke arahku.

Meski demikian, aku tidak bergeming. Jelas baru saja kudengar suara perempuan memekik dari dalam kamar Mas Hadri, ditambah lagi ada sesuatu yang terjatuh dengan keras. Bukankah itu berarti ada seseorang di sana?

“Ibu enggak dengar? Mas, kamu juga enggak dengar?” tanyaku pada dua orang itu secara bergantian. Mana mungkin mereka tidak mendengar apa-apa saat suara yang muncul barusan memekakkan telinga. Kecuali keduanya punya masalah pendengaran, pasti mereka bisa mendengar suara itu.

“Kamu halusinasi lagi, Kirana!” Mas Hadri berkata yakin. Dia menatap diriku, membujuk agar kami menjauh dari pintu kamarnya yang tetap saja tertutup rapat. “Di rumah ini hanya ada Ibu, beliau tinggal sendirian di rumah. Kalau memang ada orang lain di sini, mana mungkin kita tidak dikenalkan.”

Aku menatap ke arah Mas Hadri, manik matanya tetap, tidak bergetar, parasnya juga tidak tanpa kegelisahan. Sepertinya, mereka memang berkata yang sebenarnya. Mungkin, aku terusik karena hantu aneh yang kerap kali muncul di tengah malam, atau soal perilaku Mas Hadri yang beberapa kali jadi berubah ini.

“Iya, Mas. Aku minta maaf ....” Demikian aku berkata padanya. Setelah itu, aku berbalik arah, meninggalkan pintu kamar yang sedari tadi mengundang gelisah itu.

Baru saja selangkah pergi, kembali aku mendengar suara gaduh dari dalam kamar. Buru-buru aku membalik badan, hendak menerjang ke arah pintu itu untuk kedua kalinya karena tidak lagi percaya dengan perkataan ibu mertua atau Mas Hadri. Jika memang tidak ada apa-apa di sana, kenapa mereka berdua gencar menolak untuk membuka pintu?

Namun ....

“Argh!” Semuanya jadi gelap seketika.

--

Sayup-sayup aku mendengar suara beberapa orang berbicara di sekitarku. Mereka bercerita tentang apa yang terjadi padaku, tentang hal yang membuatku sampai harus dibawa ke rumah sakit dengan intonasi khawatir.

“Ru ... mah Sakit?” lirihku.

Aku memaksakan diri untuk membuka mata saat mendengar kata rumah sakit terucap. Bagaimana bisa tiba-tiba pindah tempat? Sesaat lalu, kami masih di rumah ibu mertua, makan malam bersama walau ibu mertua hanya peduli dengan Mas Hadri.

“Ya Allah, Kirana! Kamu sudah bangun, Sayang?”

Saat netraku mulai jernih memandang, terlihat ibu dan ayah juga ada di sini. Dua orang yang berpenampilan sederhana itu bergegas menerjang ke arah brankar, menggenggam erat tanganku, kemudian menangis sesegukan.

“Nak, kenapa bisa begini?” lirih Ibu dengan suara sengaunya.

Ibu yang saat ini memakai kerudung berwarna cokelat dan daster lengan panjangnya itu tidak berhenti menitikkan air mata. Ayah berdiri di belakang ibu, mengusap punggung ibu tanpa mengalihkan tatapannya dariku.

“Kenapa bisa ... di sini?” tanyaku bingung.

Meski kepala ini tidak bisa diajak bekerja sama untuk mengingat apa yang telah terjadi, samar-samar aku mengenali dua sosok lain yang berdiri di ujung brankar; Mas Hadri dan ibu mertua.

“Kamu pingsan di rumah Ibu,” balas ibu mertuaku. Beliau mengusap ujung matanya yang basah dengan pinggiran jilbab. Tidak lupa, wajahnya mengerut, seolah benar-benar peduli pada menantu yang telah membuatnya tinggal sendirian di rumah.

“Ping ... san?” Kepalaku sakit sekali saat aku berusaha mengingat potongan kejadian terakhir.

Mana mungkin aku pingsan begitu saja? Tidak ada tanda-tanda kehamilan, aku juga rajin mengontrol kesehatan dan menjaga waktu bekerja agar tidak berlebihan. Kenapa bisa pingsan?

“Tidak, aku tidak mungkin pingsan, Bu. Ibu kan tahu gimana kondisi aku selama ini.”

“Kirana, tenanglah! Kamu jatuh pingsan di rumah Ibu dan Mas yang membawa kamu ke sini.” Mas Hadri menambahkan.

Pria itu beranjak menuju sisi ranjang yang satunya lagi, wajahnya penuh kekhawatiran, sembab serta lelah. Mas Hadri mengusap lenganku yang terpasang infus.

“Mas, tidak mungkin. Aku ....”

“Istirahat dulu, Sayang.” Ibu memotongku. “Kamu jatuh pingsan di rumah ibu mertuamu dan kepala belakang membentur lantai. Syukurlah kepalamu tidak apa-apa, dokter bilang setelah istirahat, paling cepat besok atau lusa kamu bisa pulang.”

Ah, bagaimana bisa aku jatuh begitu saja? Penjelasan ibu tidak masuk akal sama sekali.

“Iya, Kirana. Sekarang, fokus untuk sembuh dulu, Istriku. Besok, Mas yang sampaikan ke direktur kalau kamu butuh istirahat selama beberapa hari,” jelas Mas Hadri kembali meski aku masih menolak dengan fakta yang mereka sampaikan.

Aneh, aku tidak merasa jika semua ini benar. Kami sedang di rumah ibu mertua, makan malam dan ibu mertua terus merecokiku. Beliau tidak suka soal perjalanan dinas yang terlalu sering, sampai Mas Hadri tinggal sendiri.

Lalu ....

Kenapa aku tidak ingat apa-apa? Sulit sekali menggali ingatan tentang apa yang terjadi setelahnya. Bahkan kepalaku langsung terasa sakit hingga diri ini merintih keras.

“Kirana?” pekik ibu. Beliau sigap mendekat, bertanya bagian mana yang telah membuatku meringis sakit.

Tapi, aku hanya menggelengkan kepala. Semuanya jadi terasa makin tidak masuk akal.

Kuputuskan untuk menerima kenyataan yang mereka ceritakan sementara waktu karena sebanyak apapun aku bertanya, mereka hanya memberi penjelasan yang sama. Menolak cerita itu hanya akan membuat kepalaku terasa seperti ditimpa batu.

“Aku istirahat dulu, Bu.” Kata terakhir sebelum aku mulai berpura-pura memejamkan mata.

Setelahnya, suasana menjadi tenang. Mas Hadri, ibu mertua, ibu dan ayahku, mereka ikut diam. Derap langkah yang beruntun terdengar sebelum kemudian menghilang. Sepertinya, mereka memutuskan untuk menempati sofa atau brankar kosong di sebelahku.

Dalam keheningan itulah, aku memaksakan diri untuk mengingat semua yang terjadi. Walau kepalaku sakit, meski ingatanku buram bahkan hilang. Aku mengepal tangan sekuat tenaga, menggigit lidah bahkan mengutuk diri agar segera menemukan kembali alasan kenapa aku berakhir di rumah sakit.

Argh, sulit sekali. Ini semua karena kepalaku terbentur sesuatu.

Aku masih memaksakan diri, mengabaikan obrolan pelan yang dilakukan Mas Hadri dengan keluarga yang lain. Entah mengapa, aku menaruh curiga, tidak ingin langsung percaya dengan kisah yang dikatakan oleh Mas Hadri atau orang lain.

Sesaat lalu ....

Sesaat lalu, aku menikmati makan malam di rumah ibu mertua, kemudian bangun dari kursi dan berjalan. Sebuah pintu ... aku mendekati sebuah pintu.

Ya, itu pintu kamar. Jika di rumah ibu mertua, maka aku pasti akan masuk ke kamarnya Mas Hadri. Lantas, apa lagi yang terjadi?

Sulit sekali, kepalaku seperti buntu.

Lalu, sepotong ingatan muncul. Aku memaksa membuka pintu kamar Mas Hadri. Ibu mertua dan Mas Hadri melarang, mereka menjelaskan kalau aku sedang berhalusinasi sampai mendengar suara-suara dari kamar kosong.

Argh, aku ingat ... aku berhasil mengingatnya.

Terakhir kali, aku memaksa membuka pintu itu lalu sesuatu membentur kepalaku dari arah belakang. Keras, sangat keras sampai tubuhku ambruk ke depan, bukan ke belakang seperti perkataan mereka.

“A-apa ini ....” Aku menggigit bibir, sekujur tubuhku merinding hebat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status