“Kirana, kamu bicara apa? Suara apa yang kamu bahas dari tadi?” tegur ibu mertua ke arahku.
Meski demikian, aku tidak bergeming. Jelas baru saja kudengar suara perempuan memekik dari dalam kamar Mas Hadri, ditambah lagi ada sesuatu yang terjatuh dengan keras. Bukankah itu berarti ada seseorang di sana?
“Ibu enggak dengar? Mas, kamu juga enggak dengar?” tanyaku pada dua orang itu secara bergantian. Mana mungkin mereka tidak mendengar apa-apa saat suara yang muncul barusan memekakkan telinga. Kecuali keduanya punya masalah pendengaran, pasti mereka bisa mendengar suara itu.
“Kamu halusinasi lagi, Kirana!” Mas Hadri berkata yakin. Dia menatap diriku, membujuk agar kami menjauh dari pintu kamarnya yang tetap saja tertutup rapat. “Di rumah ini hanya ada Ibu, beliau tinggal sendirian di rumah. Kalau memang ada orang lain di sini, mana mungkin kita tidak dikenalkan.”
Aku menatap ke arah Mas Hadri, manik matanya tetap, tidak bergetar, parasnya juga tidak tanpa kegelisahan. Sepertinya, mereka memang berkata yang sebenarnya. Mungkin, aku terusik karena hantu aneh yang kerap kali muncul di tengah malam, atau soal perilaku Mas Hadri yang beberapa kali jadi berubah ini.
“Iya, Mas. Aku minta maaf ....” Demikian aku berkata padanya. Setelah itu, aku berbalik arah, meninggalkan pintu kamar yang sedari tadi mengundang gelisah itu.
Baru saja selangkah pergi, kembali aku mendengar suara gaduh dari dalam kamar. Buru-buru aku membalik badan, hendak menerjang ke arah pintu itu untuk kedua kalinya karena tidak lagi percaya dengan perkataan ibu mertua atau Mas Hadri. Jika memang tidak ada apa-apa di sana, kenapa mereka berdua gencar menolak untuk membuka pintu?
Namun ....
“Argh!” Semuanya jadi gelap seketika.
--
Sayup-sayup aku mendengar suara beberapa orang berbicara di sekitarku. Mereka bercerita tentang apa yang terjadi padaku, tentang hal yang membuatku sampai harus dibawa ke rumah sakit dengan intonasi khawatir.
“Ru ... mah Sakit?” lirihku.
Aku memaksakan diri untuk membuka mata saat mendengar kata rumah sakit terucap. Bagaimana bisa tiba-tiba pindah tempat? Sesaat lalu, kami masih di rumah ibu mertua, makan malam bersama walau ibu mertua hanya peduli dengan Mas Hadri.
“Ya Allah, Kirana! Kamu sudah bangun, Sayang?”
Saat netraku mulai jernih memandang, terlihat ibu dan ayah juga ada di sini. Dua orang yang berpenampilan sederhana itu bergegas menerjang ke arah brankar, menggenggam erat tanganku, kemudian menangis sesegukan.
“Nak, kenapa bisa begini?” lirih Ibu dengan suara sengaunya.
Ibu yang saat ini memakai kerudung berwarna cokelat dan daster lengan panjangnya itu tidak berhenti menitikkan air mata. Ayah berdiri di belakang ibu, mengusap punggung ibu tanpa mengalihkan tatapannya dariku.
“Kenapa bisa ... di sini?” tanyaku bingung.
Meski kepala ini tidak bisa diajak bekerja sama untuk mengingat apa yang telah terjadi, samar-samar aku mengenali dua sosok lain yang berdiri di ujung brankar; Mas Hadri dan ibu mertua.
“Kamu pingsan di rumah Ibu,” balas ibu mertuaku. Beliau mengusap ujung matanya yang basah dengan pinggiran jilbab. Tidak lupa, wajahnya mengerut, seolah benar-benar peduli pada menantu yang telah membuatnya tinggal sendirian di rumah.
“Ping ... san?” Kepalaku sakit sekali saat aku berusaha mengingat potongan kejadian terakhir.
Mana mungkin aku pingsan begitu saja? Tidak ada tanda-tanda kehamilan, aku juga rajin mengontrol kesehatan dan menjaga waktu bekerja agar tidak berlebihan. Kenapa bisa pingsan?
“Tidak, aku tidak mungkin pingsan, Bu. Ibu kan tahu gimana kondisi aku selama ini.”
“Kirana, tenanglah! Kamu jatuh pingsan di rumah Ibu dan Mas yang membawa kamu ke sini.” Mas Hadri menambahkan.
Pria itu beranjak menuju sisi ranjang yang satunya lagi, wajahnya penuh kekhawatiran, sembab serta lelah. Mas Hadri mengusap lenganku yang terpasang infus.
“Mas, tidak mungkin. Aku ....”
“Istirahat dulu, Sayang.” Ibu memotongku. “Kamu jatuh pingsan di rumah ibu mertuamu dan kepala belakang membentur lantai. Syukurlah kepalamu tidak apa-apa, dokter bilang setelah istirahat, paling cepat besok atau lusa kamu bisa pulang.”
Ah, bagaimana bisa aku jatuh begitu saja? Penjelasan ibu tidak masuk akal sama sekali.
“Iya, Kirana. Sekarang, fokus untuk sembuh dulu, Istriku. Besok, Mas yang sampaikan ke direktur kalau kamu butuh istirahat selama beberapa hari,” jelas Mas Hadri kembali meski aku masih menolak dengan fakta yang mereka sampaikan.
Aneh, aku tidak merasa jika semua ini benar. Kami sedang di rumah ibu mertua, makan malam dan ibu mertua terus merecokiku. Beliau tidak suka soal perjalanan dinas yang terlalu sering, sampai Mas Hadri tinggal sendiri.
Lalu ....
Kenapa aku tidak ingat apa-apa? Sulit sekali menggali ingatan tentang apa yang terjadi setelahnya. Bahkan kepalaku langsung terasa sakit hingga diri ini merintih keras.
“Kirana?” pekik ibu. Beliau sigap mendekat, bertanya bagian mana yang telah membuatku meringis sakit.
Tapi, aku hanya menggelengkan kepala. Semuanya jadi terasa makin tidak masuk akal.
Kuputuskan untuk menerima kenyataan yang mereka ceritakan sementara waktu karena sebanyak apapun aku bertanya, mereka hanya memberi penjelasan yang sama. Menolak cerita itu hanya akan membuat kepalaku terasa seperti ditimpa batu.
“Aku istirahat dulu, Bu.” Kata terakhir sebelum aku mulai berpura-pura memejamkan mata.
Setelahnya, suasana menjadi tenang. Mas Hadri, ibu mertua, ibu dan ayahku, mereka ikut diam. Derap langkah yang beruntun terdengar sebelum kemudian menghilang. Sepertinya, mereka memutuskan untuk menempati sofa atau brankar kosong di sebelahku.
Dalam keheningan itulah, aku memaksakan diri untuk mengingat semua yang terjadi. Walau kepalaku sakit, meski ingatanku buram bahkan hilang. Aku mengepal tangan sekuat tenaga, menggigit lidah bahkan mengutuk diri agar segera menemukan kembali alasan kenapa aku berakhir di rumah sakit.
Argh, sulit sekali. Ini semua karena kepalaku terbentur sesuatu.
Aku masih memaksakan diri, mengabaikan obrolan pelan yang dilakukan Mas Hadri dengan keluarga yang lain. Entah mengapa, aku menaruh curiga, tidak ingin langsung percaya dengan kisah yang dikatakan oleh Mas Hadri atau orang lain.
Sesaat lalu ....
Sesaat lalu, aku menikmati makan malam di rumah ibu mertua, kemudian bangun dari kursi dan berjalan. Sebuah pintu ... aku mendekati sebuah pintu.
Ya, itu pintu kamar. Jika di rumah ibu mertua, maka aku pasti akan masuk ke kamarnya Mas Hadri. Lantas, apa lagi yang terjadi?
Sulit sekali, kepalaku seperti buntu.
Lalu, sepotong ingatan muncul. Aku memaksa membuka pintu kamar Mas Hadri. Ibu mertua dan Mas Hadri melarang, mereka menjelaskan kalau aku sedang berhalusinasi sampai mendengar suara-suara dari kamar kosong.
Argh, aku ingat ... aku berhasil mengingatnya.
Terakhir kali, aku memaksa membuka pintu itu lalu sesuatu membentur kepalaku dari arah belakang. Keras, sangat keras sampai tubuhku ambruk ke depan, bukan ke belakang seperti perkataan mereka.
“A-apa ini ....” Aku menggigit bibir, sekujur tubuhku merinding hebat.
Mas Hadri membawaku pulang dari rumah sakit setelah dua malam dirawat. Dia menjemputku, membantu memapahku yang sebenarnya sudah sangat bugar untuk berjalan sendirian.Kami masuk ke rumah, Mas Hadri menenteng tas yang kupakai saat ke rumah ibu mertua. Dia meletakkannya di meja, lalu bertanya, “Mau masuk ke kamar, Sayang?”Sejenak, aku diam. Sebenarnya bukan diam karena sakit atau lelah, aku diam seraya mengitari rumah dengan sorot mata. Dua malam tidur di luar, Mas Hadri terpaksa kutinggalkan di rumah ini lagi, bahkan tanpa meminta Fani pulang. Ditambah lagi, ada sepotong ingatan mengerikan yang terus berusaha kucari kebenarannya.“Tidak dulu, Mas. Aku mau duduk sebentar di sini,” jelasku pada Mas Hadri.“Ya sudah, Mas masuk dulu, Sayang. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil Mas atau Fani!” balasnya seraya membantuku duduk di sofa.Tidak butuh waktu lama, setelah Mas Hadri memastikan aku aman di sana, dia beranjak pergi. Mas Hadri meninggalkanku, dia berjalan yakin menuju kamar kami seor
“Kamu sakit apa? Aku dengar di kantor kalau kamu terluka dan harus dirawat,” ucap Della setelah aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam kamar. Tepat setelahnya, pintu segera kukunci kembali meski Mas Hadri berdiri di depannya dengan tatapan nanar penuh harap.Della datang seusai pulang bekerja. Perempuan cerita itu masih memakai setelan kantornya yang fashionable, bahkan tubuhnya masih dilekati oleh parfum. Dia menempati tepian ranjang, sangat dekat denganku.“Dell, soal suami kamu ....” Aku berlirih dengan suara halus, sangat tidak ingin Mas Hadri tahu perihal pernikahan Della yang telah kandas karena suaminya itu.Ekspresi Della langsung berubah. Dia menatapku dengan sorot mata yang lebih sayu, bahkan sedikit berbalik arah.“Pria itu, argh ... aku benar-benar muak kalau harus mengingatnya. Sudah bagus aku masih mau sabar dan memaafkan, malah kelakuannya makin bejat saja.” Della berkisah sembari mengepalkan tangan.Aku tersenyum tipis usai mendengar cerita Della. Timbul niat di d
“Mas, aku jalan dulu, ya?” lirihku pada Mas Hadri dengan suara mendayu pagi itu.Mobil kantor yang bertugas menjemput sudah berhenti di depan pagar. Seorang pria duduk di dalamnya, memakai setelan sopir dari perusahaan.Mas Hadri tersenyum padaku. Dia mengulur tangan, aku sambut dengan mengecup punggung tangannya sebagai baktiku selaku istri.“Hati-hati, Sayang. Maaf Mas enggak bisa temenin kamu pergi sejauh itu. Kalau Mas pergi, kerjaan Mas bakalan berantakan, di rumah juga sepi.” Mas Hadri menjelaskannya lagi.Aku hanya mengiyakan ucapannya. Penjelasan itu sudah kudengar hingga muak rasanya. Dari awal, aku menawarkan banyak hal, termasuk menjamin cuti dan pekerjaannya di kantor agar Mas Hadri bersedia ikut denganku selama dua minggu. Nyatanya, Mas Hadri menang dan aku harus pergi sendiri.“Iya, Mas. Sampai jumpa dua minggu lagi!” ucapku padan
“Kenapa kamu ada di sini?” Aku berteriak hingga urat leher bermunculan di balik kulit.Mata ini membelalak, tidak menyangka jika sosok yang selama ini terus membuatku gelisah benar-benar ada di rumah saat dia sudah kupastikan pulang. Sungguh, hal yang saat ini menyambut kepulanganku benar-benar membuat diri ini kehabisan kata-kata.“Kenapa kamu ada di rumah, Fan?” pekikku kembali.Meski kehadiran Fani sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua kegundahanku. Namun, aku tetap berusaha untuk tenang, tidak terbalut emosi, apa lagi sampai bertindak anarkis.“Sayang, kenapa kamu teriak begini? Apa salahnya Fani kerja di rumah? Mas capek makan nasi warung, sedangkan kamu tidak pernah masak, selalu bekerja sampai meninggalkan Mas berminggu-minggu!” bantah Mas Hadri dari belakangku.“Mas, kamu diam dulu! Aku bicara sama Fani.” Lidahku berke
“Kenapa memangnya, Bu?” balasku seraya mendekati kursi yang berlawanan dengan ibu mertua. Perempuan itu malah mencebik. Didorongnya mangkuk yang berisi potongan ayam goreng. Wajahnya bengis, persis seperti malam itu, saat aku tiba-tiba berakhir di rumah sakit.“Loh, kok kenapa, Kirana? Kamu ini tidak paham atau bagaimana? Fani itu sudah Ibu suruh kerja di sini, buat ngurusin Hadri. Semua ini penyebabnya ya karena kamu enggak bisa ngurus Hadri!” cecar ibu mertua ke arahku.Ucapannya itu tidak sepenuhnya salah. Memang kehadiran Fani sangat membantu. Aku tidak perlu pusing soal cucian, rumah yang berdebu atau menu makan setiap harinya. Pulang kerja, tugasku beristirahat lalu melayani Mas Hadri, sisanya di-handle oleh Fani.Hanya saja, aku tidak bisa lagi percaya sepenuhnya pada perempuan itu. Terlalu banyak hal mencurigakan darinya, terutama setelah aku menemukan Fani di dalam kamarnya saat aku dinas
“Mas, kamu apa-apaan, sih?” Aku lebih dulu berbicara sebelum Mas Hadri kembali berkata.Pria yang kunikahi belum lama ini terus menerjang ke depan, memandang Alam sebagai musuh utama yang harus dituntaskan olehnya. Sungguh, kondisi ini di luar kendaliku, sebab selain kami masih di kantor, Mas Hadri dan Alam belum saling mengenal satu sama lain. Pertemuan pertama mereka dalam kondisi yang tidak menyenangkan hingga Mas Hadri langsung menganggapnya sebagai lawan.“Kamu yang kenapa, Kir! Aku lihat dia di rumah malam itu, kalian pulang bersama. Sekarang, pria ini juga ke kantor. Apa kalian punya hubungan yang tidak aku tahu? Semua teman-temanmu aku kenal, kecuali pria ini.”“Mas, kamu salah paham. Kenapa aku harus memperkenalkan kamu sama seseorang yang juga asing buat aku.”“Asing? Tapi pria yang kamu bilang asing ini sudah dua kali muncul sama kamu!”
Sesuai dengan keputusan awal, aku kembali dinas sendirian. Mas Hadri mengantar sampai ke bandara, berbisik tanpa henti kalau aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaannya. Ibu mertua akan terus datang untuk membantunya karena Fani tetap kuminta pulang.Aku berangkat, terbang dengan pesawat milik negara ini, membawa perasaan gelisah yang tidak terbendung sama sekali. Kali ini, jauh lebih risau dibanding sebelumnya.Wajah Mas Hadri saat kami berpisah, jelas sekali jika dia berpura-pura sedih karena tidak bisa menemaniku bepergian. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang mendalam, sebab tindakan Mas Hadri sejak dia tahu kalau aku akan pergi jauh membenarkan semua tuduhan Alam dan Della padanya.Helaan napasku mengudara kembali. Aku melempar pandang lewat jendela oval pesawat yang mengantarku pergi. Saat pulang nanti, entah apa yang akan terjadi.--“Begini Mbak Kiran
Satu hari lagi berlalu sejak kejadian itu. Aku menahan diri, menggigit bibir, bahkan menjambak rambut. Semua hal yang bisa menekan keinginan untuk segera pulang kulakukan, karena aku masih menunggu kabar dari ibu dan ayah yang sudah datang ke rumah.Kakiku gemetar, ujung heels terus berbenturan dengan lantai marmer di hotel. Aku duduk di salah satu sofa besar ruang tunggu, menatap kosong ke arah meja yang diisi oleh beberapa map serta satu gelas jus.[Kirana, Ibu tahu kamu gelisah, tapi Ibu rasa semua itu hanyalah ujian dalam pernikahanmu. Hadri terlihat sangat manis, dia baik sama Ibu dan Ayah. Fani juga tidak ada di sini.]Aku melirik layar gawai. Pesan yang kunanti dari ibu datang dan muncul di layar notifikasi. Jelas, sudah pasti begitu. Tidak mungkin Mas Hadri akan memperlihatkan kebusukannya di depan ayah dan ibu yang datang ke rumah.[Kalau pekerjaanmu sudah selesai, pulanglah. Hadri rindu kat