Setelah seharian melihat-lihat tempat tinggal yang cocok. Alana memutuskan untuk tinggal sementara di apartemen.
Suara ambulans, suara klakson mobil, suara helikopter, semuanya tampak ramai malam itu. "Sehancurnya-hancurnya hidup gue, dunia bakalan terus berjalan." Alana meneguk kopinya. Alana berdiam diri di atas rooftop sambil meminum Americano kesukaannya. Melihat pemandangan kota dari atas begitu menenangkan. "Sibuk banget ya orang-orang," gumamnya. "Kaya-kaya ... mereka kerja apa ya." 'Dunia masih terus akan berjalan tak akan menunggu bahkan tidak akan peduli sehancur apapun kamu saat ini'. Quote yang Alana baca dari handphone-nya. "Kebetulan banget ... ini maksudnya semesta lagi support gue ya?" kata Alana. Kembali menikmati sejuknya malam itu. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana reflek melihat notifikasi layar handphone-nya. "Dia lagi." Alana mengangkat teleponnya. "Apa?" ketus Alana. "Woih." Bima menjauhkan speaker handphone dari telinganya. "Jutek banget sih ... nongkrong gak sih? Gue gabut, temenin kuy," ajak Bima. "Makanya punya pacar, Bim." Kopinya habis, Ia terus menyeruputnya. "Lagi males gue. Lanjut aja." "Gue niat ajak lo doang pake ejek segala." Bima terus mendengarkan aktivitas Alana. "Kopi lo udah habis disedot mulu, buang dong. Beli lagi ... makanya ayo ikut gue." Alana terdiam seraya tersenyum. "Tau aja ... lanjut deh Bim. Lagi males." "Sharelock cepetan, Gue bayarin. Gue traktir." Bima terus memaksa. "Enggak," kekeh Alana. "Mau di beliin apa?" "Enggak, Bim." "Gue beliin laptop baru, ayo dong," pinta Bima lagi. "Enggak, Bimaa. Sama crush lo aja sana. Gue lagi mau sendiri." "Gitu banget, ayo dong cantikku," pinta Bima lagi. Bima terus membujuk Alana dengan berbagai cara, hingga rayuan. Namun, tetap saja gagal. Alana tetap dengan jawaban tolakannya. Hingga akhirnya ... "Udah masuk? Udah gue tf. Buat beli kopi. Gue ke Apart sekarang, Bye." "Ngapain sih, Bim ... padahal nggak usah kaya gini. Buat jajan doang gue juga punya." "Belagu lo! Ayo cepet siap-siap." Alana melihat lagi notifikasi dari layar handphonenya. "Ni orang, bikin kesel tapi sekaligus bikin seneng." Alana tersenyum seraya bersiap-siap untuk mengambil mantel di kamarnya. Tidak banyak wanita yang mengenal Bima sedekat Alana. Perbedaan sifat yang Bima tunjukkan kepada Alana sangat berbeda di bandingkan kepada orang-orang. Bahkan, banyak yang mengenalnya dia pria yang dingin dan tidak mudah akrab. Katanya sih, kini Ia berbeda. We never know ... **** "Rencana sampai kapan tinggal di apart?" tanya Bima, seraya menyetir mobilnya. "Enggak tau, maunya sih pindah." jawab Alana. "Pindah?" Alana mengangguk. "Yash, pindah kota. Gue udah enggak mau tinggal di sini lagi, Bim. Gue mau lupain aja semua yang ada di sini." "Termasuk gue?" Bima melirik terkejut. "Dih? Lo lupa di kota ini ada gue?" Alana tersenyum seraya mengacak-acak rambut Bima. "Makanya, lo cari pacar Bima." "Bikin bahagia, enggak? Kalo salah orang, bikin ruwet." Bima melirik, menatap Alana. "Lo nggak capek? Udahan aja Na." Alana menghela napasnya. "Jujur gue udah nggak tau lagi harus gimana, Bim. Mungkin satu kali lagi ya? Bisa aja Adelio liat betapa tulusnya hati gue kan?" Bima mendelik. "Mau nangis berapa kali lagi? Cumlaude lo gak ngebantu." Alana hanya terdiam merenungi apa yang telah diperbuat Adelio terhadapnya. Sudah ketahuan 6 kali selingkuh. Namun, tetap saja di maafkan. Berkali-kali Bima memberitahunya. Pada dasarnya, orang yang sedang jatuh cinta akan buta sepenuhnya, hanya menyisakan raganya saja. "Gue temenan sama lo dari umur 4 tahun, Na. Dua puluh tahun lebih, kan kita kenal? Menurut lo? Gue terima dengan posisi lo yang sekarang? Gue ikut sakit. Hati gue sakit liat lo kaya gini," jelas Bima. "Selingkuh, enggak akan bisa sembuh, Alana." Sudah lama di perjalanan, akhirnya sampai di tempat tujuan. Di mana, restoran ini memang tempat langganan Bima dan Alana. Sejak dulu, mereka sangat suka menikmati hidangannya, seraya melihat kota dari atas. Ya ... cantik. Makanan telah datang. "Silakan ...." Waitress nya menatap perlahan ke arah Alana dan Bima. "Masih aja Kak ... seneng ya, bisa sama-sama terus." "Iya ... saya juga seneng banget." Bima menatap Alana. "Sudah 15 tahun loh saya bekerja disini, saya jadi hapal menu yang bakalan Kakak pesan. Mari Kak, selamat menikmati." "Iya terimakasih." "Terimakasih." Bima menatap Alana lagi. "Udah, kalo orangnya nggak ada di sini, nggak usah dipikirin. Makan dulu," ucap Bima. Karena sejak tadi, Bima melihat Alana selalu melamun. Bahkan, Bima seperti sudah satu pemikiran Alana. Bima mengetahui Alana sedang memikirkan Adelio. "Buang yang bikin lo sakit, Alana. Apa mau gue buangin buat lo? Nanti, gue buang ke laut. Gue ilangin dari muka bumi ini." Alana mendelik. "Iya, sana buang diri lo." Alana lalu mengambil sepasang sendok dan garpu. "Lo bikin gue sakit kuping." "Kalo bisa gue kasih mata gue, gue kasih, Na. Biar lo tau, kalo lo lebih berharga dari apapun," batin Bima. Bima memperhatikan tingkah laku Alana seraya tersenyum. Baru saja Alana memakan makanannya satu sendok, Bima berucap. "Bayar pake tf dari gue ya." Ejekan Bima, berhasil memancing kemurkaan Alana. Alana menyimpan sendok dan garpu nya. "Bim, apa maksutttt!! sumpah lo ngeselin!" Alana mendelik. Bima hanya tertawa. Tertawanya begitu khas, tubuhnya gagah dan kekar, pesona akan wajahnya, lesung pipinya, rambutnya, tampak sangat sempurna. Ya, sebut Bima pria mahal. Mengapa Alana tidak tertarik kepadanya? "Susah banget dapetin lo ...." Bima menatap Alana. "Berapa tahun lagi gue harus nungguin lo?" Alana mengalihkan pandangannya. "Kayaknya sekarang ada 'special day' ya?" sembari melihat stand panggung yang sudah dihias. Tak lama, diujung sana ada sepasang kekasih sedang merayakan ulang tahunnya. Hal itu, mencuri pandangan orang-orang untuk melirik ke arah mereka. Semua orang bersorak ramai. "Kalo gue yang rayain gitu ke lo ... lo mau enggak?" tanya Bima menatap Alana. "Enggak lah, gue punya pacar. Gue ngerayainnya sama pacar gue. Lo cari pacar aja. Nanti, kita double date." Alana menepuk-nepuk pundak Bima. Mendengar itu, Bima hanya mendelik dan menarik napas. "Kalo lo beneran nikah sama orang lain, gue mau tidur di tengah." "Mana bisa gitu?" jawab Alana seraya tersenyum. "Kalo gue nikah, ya lo juga cari pasangan lain dong ... gue kan pengen lo bahagia juga." Tidak lama, semua serentak menyuruh sepasang kekasih itu untuk maju dan menyanyikan sebuah lagu. Sorot mata Alana berbinar-binar. "Sweet banget ya cowoknya, Bim? Pasti ceweknya bangga banget. Di suprise-in di depan banyak orang. Gue juga mau," kata Alana. Bima menatap. "Buka hati, gue gituin nanti." "Simpen buat pacar lo nanti," kekeh Alana. "Lagu ini .. saya berikan kepada wanita impian sekaligus Ibu dari anak-anak saya kelak. Saya ucapkan selamat ulang tahun." Orang-orang bersorak ramai. Alana terdiam. "Nggak asing nih suaranya." Matanya yang berbinar seketika redup dan padam. Melihat sepasang kekasih bermesraan. Kekasih yang masih kita genggam. Bima langsung menatap ke arah Alana.Malam itu, diparkiran mobil. Air matanya berlinang. Bima terus menghantam Adelio dengan tangan kosongnya. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. "Mau berapa kali lagi lo sakitin Alana!" Amarah Bima semakin membara. Sesekali Ia menyeret Adelio yang sudah tak berdaya. "Mati! Rasain!" Tidak menyerah. Adelio kembali memukul Bima di energi terakhirnya. Alana berusaha menghentikan Bima. Lagi-lagi tersingkirkan. Tubuhnya yang kecil jelas berbeda jauh jika dibandingkan Bima dan Adelio. "Ehh! Heh!" Security telah menghentikannya. "Hentikan atau saya panggil polisi." "Mau apa? Nggak usah capek-capek. Biar saya yang melapor." Alana menatap wajah Adelio. Rasa kecewa dan sedih. Semuanya bertabrakan. "Makasih ya ... kamu hari ini buktiin bahwa bukan aku orang yang kamu mau. Semuanya udah jelas. Maaf dan makasih." Adelio tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Dari tingkah lakunya, Adelio langsung merangkul kekasihnya. Hal itu, membuat Alana te
"Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. Bima sudah siap akan pakaian olahraganya. Mengajak Alana lari pagi hari ini. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi. Lo pake ini buat sapu meja lo dari debu ya?" "Serah deh ... gue capek banget. Lagian ... ck! Lupain aja!" "Ini apa? Kaya semacam oli tapi bening." Ia memegang lip serum. Alana tetap menghiraukannya. Ia fokus menata barang. "Barang-barang lo nggak seru ... nggak ada warna biru, warna oren atau warna hijau neon." "Lo pikir hidup gue karnaval." "Monoton banget ... warna mocca semua. Ini ada warna putih, putih semua. Ga jelas." "Lo yang ga jelas! ck ...." Alana yang sedang mengelap meja langsung terhenti. Ia bercekak pinggang. Menatap Bima tajam. "Sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja. Sana mending urus si geral." "Geral udah mati. Lo kemana aja." Alana terkejut. "Seriuss Bim???" "Makanya ... lo nya aja sibuk pacaran. Lupain musang ki
Alana sedang mengotopsi keadaan jenazah. "Zea Hutami, berusia 17 tahun. Dengan berat badan 70kg dan Tinggi Badan 160cm, memiliki Golongan Darah B+," ungkap Alana. "Apa yang terjadi, pelakunya sangat kejam." "Entah dengan motif apa. Apa pelaku memiliki dendam? Ada luka sayatan di kedua lengannya," timpal Lili di ruangan Otopsi. Alana selalu sepaket dengan Lili ketika melakukan Otopsi. Alana sedang menangani kasus meninggalnya remaja perempuan yang berstatus masih menjadi pelajar di sekolah menengah atas. Ia ditemukan di semak-semak belukar berjarak 2 km dari rumahnya. Menurut orang-orang sekitar, Zea sudah menghilang sekitar 3 hari yang lalu. "Kemungkinan besar Zea meninggal sudah dua hari yang lalu." Alana melihat bagian kepala. "Rambutnya, sudah jelas ada tarikan. Rambutnya pun, sudah mulai habis. "Dari penjelasan rumah sakit, Zea memiliki riwayat penyakit pada lambungnya yang sudah kronis." Alana mengecek bagian atas hingga bagian bawah tubuh korban. Terlihat beberapa luka
"Mengenai desas-desus yang dipercayai oleh orang-orang sekitaran sini, memangnya benar Pak, bahwa keluarga Pak Santoso menjalankan ilmu hitam atau semacam aliran sesat?" tanya Bima. "Saya tidak bisa mengatakan itu sebuah kebenaran, namun banyak kejadian yang menjadi pendorong bahwa kecurigaan kita selama ini adalah benar," jawab Dodi. Tetangga Santoso kedua yang Tim datangi. "Jadi ini semua tidak ada hal yang membuktikan ya, Pak? Lantas bagaimana bisa hal ini menyebar begitu saja dan mengarah kepada keluarga Pak Santoso?" tanya Lili. "Menyebar begitu saja, sejak saya pindah ke sini sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu sudah tersebar." "Apa Pak Dodi mengetahui, siapa orang yang menyebabkan desas-desus ini menyebar? Atau siapa orang yang mengungkapkan pertama kali kepada Pak Dodi?" tanya Alana. "Mungkin, bisa ditanyakan kepada Mayang." Dodi berpikir sejenak. "Ya ... sepertinya dia mengetahui lebih banyak, karena dia tinggal bersebrangan dengan rumah Pak Santoso." Bima menimpal. "At
"Sri boleh ikut nggak? Sri takut," pinta Sri seraya memegang pangkal lengan Mayang. Perempuan berambut ikal panjang itu memaksa Tim untuk membawanya pergi. "Sri janji ... Sri bakalan lakuin apapun, asalkan Sri mohon, bawa Sri pergi dari sini." Tim satu sama lain saling bertatapan. Alana dan Bima saling mengangguk. "Karena belum ada sesuatu yang terbukti secara nyata, ditakutkan hal ini akan membahayakan Sri kedepannya. Memang benar ... alangkah baiknya Sri untuk pergi dari sini." "Jangan khawatir ... soal pekerjaan, kamu mau nggak kerja di kafe keluargaku?" tanya Mayang. Wajahnya seketika tersenyum. "Serius?" Matanya berbinar. "Serius dong, kamu bisa sekalian tinggal di sana. Ada mess nya juga." "Serius?" Mayang tertawa. "Hahahaha serius Sri ...." Sri langsung memeluk Mayang. "Makasih banyak ya Mayang." "Iya ... sama-sama. Kaya kesiapa aja." "Em ... kayaknya kita harus pulang sekarang. Jalannya minim pencahayaan dan juga ditakutkannya ada jalan yang ditutup," ucap Athur, s
Lili meneliti kehidupan korban lebih jauh. Semua sumber Ia amati. "Motif ditambahkan kotoran sapi, agar tidak meninggalkan jejak. Namun, sepertinya pelaku sedang sial," kata Alana. Membuat Lili menoleh. Lili tersenyum. "Ya ... pelaku menganggap kita bodoh. Padahal ... akhirnya semua kejahatan akan terungkap." "Dari awal saya sudah mencurigai bahwa jenazah tanpa identitas itu bukan asli kota ini. Maksudnya, Ia pendatang. Dari postur tubuhnya memang terlihat warga lokal," jelas Alana. "Hidungnya terlihat orang timur, rambutnya yang panjang, bulu mata yang lentik. Coba tolong bantu amati." Alana mengeluarkan beberapa sumber informasi yang telah Ia cari. Ia mengeluarkan laptop juga satu buah buku berjudul 'Haema'. "5 bulan yang lalu, ada sukarelawan yang mengekspos mengenai Kota Hema. Di sana hanya kota terpencil. kota itu makmur dan sangat tentram. Video itu viral ... hal itu membuat banyak orang datang lalu tak kembali ... katanya sih gitu. Belum ada informasi lebih lanjut dan bukti
Lili menemui Alana di ruangannya untuk menanyakan kemajuan dalam pencarian bukti kasus pembunuhan Zea. "Apa ada bukti baru?" "Ada ... saya menemukan akun sosial media milik Ibu Maya, Ibu dari Zea. Aktif sekitar 5 bulan yang lalu. Yang di mana, jika melihat dari foto keluarga dari tahun ke tahun terlihat tentram dan baik-baik saja. Bahkan, setiap Zea berulang tahun, Zea selalu di rayakan. Hingga terakhir pada bulan Oktober, Zea diberikan kado sebuah motor matic," jelas Alana. "Tetapi hal itu biasa terjadi ketika seseorang menyembunyikan sesuatu, bukan?" "Tunggu dulu, masih ada lagi." Alana memperlihatkan kembali. "Beberapa video dari akun tersebut juga, memberikan beberapa cuplikan kebersamaan, Keluarga Pak Santoso sering sekali hangout bersama-sama, sering sekali berlibur, di semua videonya pun, Zea terlihat bahagia, tidak ada keterpaksaan." Lili melihat beberapa foto dan video yang sudah Alana jadikan beberapa dokumen di laptopnya. "Ini baru satu akun, saya juga menemukan di
Ceklek Suara pintu terbuka, diikuti suara pintu terseret. Kamar yang rapih, bernuansa putih dan hijau sage menyatu. Hingga ketika melihatnya, terlihat mendamaikan dan menyejukkan mata. Lili mengerutkan keningnya. "Apanya yang nyeremin?" Alana dan Lili langsung mencari tahu ruangan tersebut, mencari dan berharap menemukan beberapa bukti yang kuat agar kasus ini terselesaikan. "Buka satu persatu semua laci, Na," perintah Lili. "Baik." Semua laci dari empat lemari besar mereka keluarkan. Hingga, tak ada sesuatu yang luput dari penglihatan mereka. Satu lemari telah Lili geledah. "Sejauh ini masih belum ada barang mencurigakan, Na." Lili seraya membereskan barang-barangnya dan memasukkannya kembali. "Sama, ini juga." Alana membuka lemari disisinya. "Coba sebelahnya, Li." Lagi-lagi, mereka tak menemukan hal yang mengarah kepada bukti-bukti yang mereka cari. "Tinggal dua lemari, Li. Bagi-bagi saja, Li. Fokus!" Alana dan Lili mencari beberapa bukti di lemari terakhirnya. "A
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan