"Sri boleh ikut nggak? Sri takut," pinta Sri seraya memegang pangkal lengan Mayang. Perempuan berambut ikal panjang itu memaksa Tim untuk membawanya pergi. "Sri janji ... Sri bakalan lakuin apapun, asalkan Sri mohon, bawa Sri pergi dari sini." Tim satu sama lain saling bertatapan. Alana dan Bima saling mengangguk. "Karena belum ada sesuatu yang terbukti secara nyata, ditakutkan hal ini akan membahayakan Sri kedepannya. Memang benar ... alangkah baiknya Sri untuk pergi dari sini." "Jangan khawatir ... soal pekerjaan, kamu mau nggak kerja di kafe keluargaku?" tanya Mayang. Wajahnya seketika tersenyum. "Serius?" Matanya berbinar. "Serius dong, kamu bisa sekalian tinggal di sana. Ada mess nya juga." "Serius?" Mayang tertawa. "Hahahaha serius Sri ...." Sri langsung memeluk Mayang. "Makasih banyak ya Mayang." "Iya ... sama-sama. Kaya kesiapa aja." "Em ... kayaknya kita harus pulang sekarang. Jalannya minim pencahayaan dan juga ditakutkannya ada jalan yang ditutup," ucap Athur, s
Lili meneliti kehidupan korban lebih jauh. Semua sumber Ia amati. "Motif ditambahkan kotoran sapi, agar tidak meninggalkan jejak. Namun, sepertinya pelaku sedang sial," kata Alana. Membuat Lili menoleh. Lili tersenyum. "Ya ... pelaku menganggap kita bodoh. Padahal ... akhirnya semua kejahatan akan terungkap." "Dari awal saya sudah mencurigai bahwa jenazah tanpa identitas itu bukan asli kota ini. Maksudnya, Ia pendatang. Dari postur tubuhnya memang terlihat warga lokal," jelas Alana. "Hidungnya terlihat orang timur, rambutnya yang panjang, bulu mata yang lentik. Coba tolong bantu amati." Alana mengeluarkan beberapa sumber informasi yang telah Ia cari. Ia mengeluarkan laptop juga satu buah buku berjudul 'Haema'. "5 bulan yang lalu, ada sukarelawan yang mengekspos mengenai Kota Hema. Di sana hanya kota terpencil. kota itu makmur dan sangat tentram. Video itu viral ... hal itu membuat banyak orang datang lalu tak kembali ... katanya sih gitu. Belum ada informasi lebih lanjut dan bukti
Lili menemui Alana di ruangannya untuk menanyakan kemajuan dalam pencarian bukti kasus pembunuhan Zea. "Apa ada bukti baru?" "Ada ... saya menemukan akun sosial media milik Ibu Maya, Ibu dari Zea. Aktif sekitar 5 bulan yang lalu. Yang di mana, jika melihat dari foto keluarga dari tahun ke tahun terlihat tentram dan baik-baik saja. Bahkan, setiap Zea berulang tahun, Zea selalu di rayakan. Hingga terakhir pada bulan Oktober, Zea diberikan kado sebuah motor matic," jelas Alana. "Tetapi hal itu biasa terjadi ketika seseorang menyembunyikan sesuatu, bukan?" "Tunggu dulu, masih ada lagi." Alana memperlihatkan kembali. "Beberapa video dari akun tersebut juga, memberikan beberapa cuplikan kebersamaan, Keluarga Pak Santoso sering sekali hangout bersama-sama, sering sekali berlibur, di semua videonya pun, Zea terlihat bahagia, tidak ada keterpaksaan." Lili melihat beberapa foto dan video yang sudah Alana jadikan beberapa dokumen di laptopnya. "Ini baru satu akun, saya juga menemukan di
Ceklek Suara pintu terbuka, diikuti suara pintu terseret. Kamar yang rapih, bernuansa putih dan hijau sage menyatu. Hingga ketika melihatnya, terlihat mendamaikan dan menyejukkan mata. Lili mengerutkan keningnya. "Apanya yang nyeremin?" Alana dan Lili langsung mencari tahu ruangan tersebut, mencari dan berharap menemukan beberapa bukti yang kuat agar kasus ini terselesaikan. "Buka satu persatu semua laci, Na," perintah Lili. "Baik." Semua laci dari empat lemari besar mereka keluarkan. Hingga, tak ada sesuatu yang luput dari penglihatan mereka. Satu lemari telah Lili geledah. "Sejauh ini masih belum ada barang mencurigakan, Na." Lili seraya membereskan barang-barangnya dan memasukkannya kembali. "Sama, ini juga." Alana membuka lemari disisinya. "Coba sebelahnya, Li." Lagi-lagi, mereka tak menemukan hal yang mengarah kepada bukti-bukti yang mereka cari. "Tinggal dua lemari, Li. Bagi-bagi saja, Li. Fokus!" Alana dan Lili mencari beberapa bukti di lemari terakhirnya. "A
Alana menyimpan beberapa obat di meja. "Kami telah menemukan beberapa obat. Yang saya ketahui ini, ada beberapa obat kanker serta obat jantung, masing-masing pada obatnya tertera nama Ibu Maya dan Pak Santoso. Apa benar Bapak, Ibu, memiliki riwayat penyakit ini?" Maya hanya bisa menangis seraya mengangguk dengan pelan. "Saya sudah sangat lelah dengan hidup ini. Ditambah lagi harus menjelaskan hal yang membuat saya sangat lemas dan energi saya habis jika harus membahas terus, Zea itu penyemangat bagi hidup saya walaupun memang Zea tidak seperti anak yang lain." "Tidak seperti anak lain?" tanya Bima. "Zea itu mengidap penyakit mental. Zea selalu berteriak. Katanya, selalu ada bisikan. Zea selalu ketakutan, Zea selalu melukai dirinya sendiri. Jika emosinya tak dapat Zea kontrol, Zea selalu melempar barang berat atau memukuli dirinya." Menjelaskan itu, Maya menangis sejadi-jadinya. "Kasihan anak saya, hidup matinya tidak ada kebahagiaan. Tidak ada keadilan. Hebatnya Zea, Zea sela
Atas bukti-bukti yang telah dikumpulkan, membuat Tim harus mencari keberadaan Sri dan Mayang. Semuanya telah terbukti bahwa mereka telah mencemarkan nama baik dan memfitnah. "Bagaimana?" tanya Alana. "Apa Mayang berada di rumahnya?" "Tidak ada," tegas Bima. Hari itu, Tim memutuskan untuk pergi ke kafe milik keluarga Mayang. Karena Mayang sudah tidak berada di rumah dengan semua furnitur rumahnya. Menempuh jarak 5km, dengan emosi Tim yang meluap-luap, semuanya penuh harapan, berharap apa yang ditakutkan tidak terjadi. "Masalahnya menjadi rumit, kasus Zea masih belum terpecahkan," kata Alana. Athur menimpal. "Kita hanya berputar-putar. Selama ini, hanya memecahkan sikap asli dari Sri dan Mayang saja." "Setidaknya kita mengetahui bahwa kedua orang tua Zea tidak bersalah. Mari tuntaskan," jawab Lili. "Benar ... tidak ada yang perlu disesalkan dalam berproses, fokus saja," sahut Bima seraya menyetir. Sementara itu, terdengar banyak klakson yang berbunyi di depan. Dengan kema
Alana tersenyum melihat tingkah Bima kegelian akibat ulah Athur. "Gitu banget Bim. Lo yang pindah, atau gue yang pindah?" rayu Athur lagi. Tak ada reaksi dari Bima. "Yaudah, Na. Pindah sini ... gue pengen bobo bareng sama Bima, pengen kelonin dia, pengen tepuk-tepuk dia." Athur masih merayu Bima. "Pengen cium kening dia." Alana melihat Bima. Ia masih berpura-pura tertidur. Terlihat matanya bergerak-gerak. "Yaudah." Alana hendak berdiri saat itu. Tangan Bima langsung menahan Alana. Ia menyipitkan kedua matanya. "Tolong dong," bisik Bima. "Oh ...." Alana tertawa. "Nggak jadi Thur, udah tidur bayinya. Tadinya kan mau dikasih ASA (Air Susu Athur) ... kayaknya udah kenyang." "Kenyang minum susu siapa, Bim?" "Wah ... parah si Athur," kata Lili. "Siapa?" tanya Alana polos. "Pinggirnya! Hahaha!" seru Athur. Ia tertawa terbahak-bahak. Lili menggebuk memakai bantal di sampingnya. "Kebiasaan pikirannya!" Alana melihat Bima. Matanya masih terpejam dengan senyuman yang terukir di bibirny
Suasana sudah terlihat sedikit cerah. waktu sudah menunjukkan pukul 07:30. Hanya tersisa beberapa jam lagi. Mereka beristirahat sejenak disebuah toko dan pom mini kecil. Tempay itu berada di pertengahan jalan. Bima membangunkan semuanya saat sedang tertidur lelap. Masing-masing dari mereka penuh harapan untuk cepat bisa sampai, tetapi masih belum lagi. "Ck! Belum sampai juga? Yahh ... pedahal udah panas punggung banget ini," ucap Alana seraya keluar dari mobil. "Bangun! Heh!!" Lili membangunkan Athur. "Lebahnya nyengat," ucap Athur seraya memposisikan badannya dan tidur kembali. "Hah?" ucap Lili keheranan. Bima berteriak. "Udah, Li. Waktu kita nggak banyak, si Athur emang suka ngigo, udah biarin dia sama bunga mawar beserta madu dan lebahnya." "Enggak jelas emang! Lo nggak akan sarapan!" ketus Lili seraya terus membangunkan. "Bangun ... Athur!" Tamparan dari Lili berhasil membuat Athur terbangun. "Hah!!" Athur terbangun dengan wajah panik. "Lebahnya nyengat! Bunganya kebaka
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan