Alana tersenyum melihat tingkah Bima kegelian akibat ulah Athur. "Gitu banget Bim. Lo yang pindah, atau gue yang pindah?" rayu Athur lagi. Tak ada reaksi dari Bima. "Yaudah, Na. Pindah sini ... gue pengen bobo bareng sama Bima, pengen kelonin dia, pengen tepuk-tepuk dia." Athur masih merayu Bima. "Pengen cium kening dia." Alana melihat Bima. Ia masih berpura-pura tertidur. Terlihat matanya bergerak-gerak. "Yaudah." Alana hendak berdiri saat itu. Tangan Bima langsung menahan Alana. Ia menyipitkan kedua matanya. "Tolong dong," bisik Bima. "Oh ...." Alana tertawa. "Nggak jadi Thur, udah tidur bayinya. Tadinya kan mau dikasih ASA (Air Susu Athur) ... kayaknya udah kenyang." "Kenyang minum susu siapa, Bim?" "Wah ... parah si Athur," kata Lili. "Siapa?" tanya Alana polos. "Pinggirnya! Hahaha!" seru Athur. Ia tertawa terbahak-bahak. Lili menggebuk memakai bantal di sampingnya. "Kebiasaan pikirannya!" Alana melihat Bima. Matanya masih terpejam dengan senyuman yang terukir di bibirny
Suasana sudah terlihat sedikit cerah. waktu sudah menunjukkan pukul 07:30. Hanya tersisa beberapa jam lagi. Mereka beristirahat sejenak disebuah toko dan pom mini kecil. Tempay itu berada di pertengahan jalan. Bima membangunkan semuanya saat sedang tertidur lelap. Masing-masing dari mereka penuh harapan untuk cepat bisa sampai, tetapi masih belum lagi. "Ck! Belum sampai juga? Yahh ... pedahal udah panas punggung banget ini," ucap Alana seraya keluar dari mobil. "Bangun! Heh!!" Lili membangunkan Athur. "Lebahnya nyengat," ucap Athur seraya memposisikan badannya dan tidur kembali. "Hah?" ucap Lili keheranan. Bima berteriak. "Udah, Li. Waktu kita nggak banyak, si Athur emang suka ngigo, udah biarin dia sama bunga mawar beserta madu dan lebahnya." "Enggak jelas emang! Lo nggak akan sarapan!" ketus Lili seraya terus membangunkan. "Bangun ... Athur!" Tamparan dari Lili berhasil membuat Athur terbangun. "Hah!!" Athur terbangun dengan wajah panik. "Lebahnya nyengat! Bunganya kebaka
Perasannya kini tercampur aduk. Rasa senang dan curiga sama-sama sebanding. Alana dan Lili sedang membersihkan ruangan yang akan mereka tempati. "Li? Curiga nggak sih? Dengan rumah yang sebesar ini ... mungkin untuk sistemnya oke, karena berbeda dengan kota asal kita. Tapi, harganya yang bisa dibilang rendah, jadi mikir-mikir lagi," kata Alana seraya membersihkan jendela dari debu. Lili tersenyum curiga dan mengangguk. "Gue udah mikir ini dari awal sih. Tapi seperti yang lo kasih tau dan beberapa media kasih tau, Memang kota Hema se-speechles itu, bukan? Mungkin kita nya aja yang terbiasa hidup dengan pengeluaran tinggi." "Gue jadi takut," kata Alana khawatir. "Lo nggak sendiri, mana Alana yang pemberani?" kata Lili dengan raut wajah tidak suka jika Alana menjadi murung karena overthinking nya. "Lili, Alana, sarapan," teriak Athur di bawah. "Ayo, kita sarapan," ajak Lili seraya menyimpan kemoceng yang Alana pegang. Alana dan Lili turun menyelusuri dengan canda tawa guraunya.
Terlihat seorang wanita paruh baya sedang membersihkan halaman rumahnya. Ia menyambut hangat kedatangan mereka. "Selamat pagi," sapa Alana dengan Bima. "Selamat pagi ... ada keperluan apa? Silakan masuk." "Terimakasih ... sebelumnya saya hanya ingin bertanya. Alana memberikan foto Gea dan Fidi. "Apa Ibu pernah melihat mereka? Saya harus mengunjunginya karena ada pesta pekan depan." "Raut wajahnya familier ya ... apa sudah menghubunginya?" tanya wanita paruh baya itu. "Sudah beberapa kali kami menghubunginya. Nomornya tiba-tiba sulit dihubungi. Sangat disayangkan ... saya sudah menyiapkan beberapa kado." "Kasihan sekali, pasti letih. Ayo masuk dulu ke dalam, saya punya beberapa cookies yang baru matang," ajaknya. "Atau boleh saya minta nomor telepon? Jika ada kabar mengenai orang ini, saya akan segera beritahu" Mendengar itu, Bima dan Alana sangat gembira atas kebaikan yang telah diperolehnya. "Tentu saja." Bima mencantumkan nomor pada kertas dengan menuliskannya menggunakan bo
Dengan makanan yang telah dibawanya, mereka menghidangkannya untuk saling mencicipi. "Enak banget ya, kalo setiap kasus ketemu orang baik kaya gini, kan enak," kata Athur, seraya menyantap makanannya. "Pertama kali diperlakukan sebaik-baiknya sama orang baik. Sekalinya ada, malah curiga," kata Lili. "Siapa yang nggak kaget, coba? Tiba-tiba disuruh bertamu, malahan pas banget lagi buat makanan," sahut Alana. "Loh sama persis banget kaya kita ya, Thur?" tukas Lili. Alana menimpal. "Katanya sih, di sini sepi banget. Sulit untuk berinteraksi. Kelihatannya baik-baik aja ya, tapi ternyata jarang keluar rumah semua. Sekalinya keluar, bikin orang seneng." "Beda banget kan Sama Athur?" ucap Bima. "Kalo Athur, sekalinya keluar rumah, malah bikin orang emosi soalnya 'pinjem seratus dong', gimana nggak bikin orang tantrum." "Yehh ... sekali doang," sahut Athur seraya menyantap kue pie. "Hah? 'Halah sekali doang' ... apanya yang sekali? Lo lakuin itu dalam sebulan tiga kali," timpal Bim
Pagi yang cerah, matahari bersinar terang benderang. Semuanya mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan bersama saat itu. Alana sedang menjemur beberapa pakaian, Bima sedang menyiapkan sarapan, Lili sedang membersihkan rumah, dan Athur membenarkan mobil yang sempat menabrak rusa saat pulang tadi malam. “Ada yang rusak, Thur?” kata Alana seraya memeras baju yang basah. “Lecet tuh body nya, lagian kenapa harus pilih rumah yang jauh dari mana-mana sih. Pake harus lewat hutan lagi.” “Kan diperkirakan target sekitaran sini, Thur,” sahut Alana. “Lagian semuanya ada hikmahnya, kan? Orang-orang di sini mau bantu juga, terus semuanya baik, sabar aja,” timpal Lili seraya menyapu debu dari rumah ke arah luar. “Kita tuh kekurangan bukti, mangkanya nungguin informasi dari setiap orang yang udah kita tanyain, kita udah ninggalin jejak ko, kalo emang mereka ditemuin ... mereka nggak kesusahan cari kita,” kata Alana. “Kita juga udah kerja sama, sama kepolisian di Kota ini.” “Ya ... di
“Tebak deh, Si Bima pasti bawa oleh-oleh, gue yakin,” kata Athur, seraya memainkan remot televisi. Alana, Lili, dan Athur. Mereka sedang merebahkan dirinya di sofa. Seraya menunggu kabar baik mengenai semua bukti yang telah tersebar. “Kenapa kita nggak jalan-jalan sore aja?” Alana memberikan idenya. “Gue denger sekitar 300 meter arah kanan itu ada danau, langit di sini bagus loh. Bisa sambil liat sunset.” “Itu yang gue tunggu,” sahut Athur, menyetujui ide yang Alana berikan. Dengan cepat Athur merapikan rambutnya. Begitu pun Lili, Lili menyetujuinya walaupun Lili terlihat sangat lemas hari ini. "Kenapa sayangku? Kok lemes sih?" tanya Athur seraya merayu Lili. "Muak liat muka lo." "Jangan terlalu benci, nanti kalo lo punya anak, anaknya bakalan mirip gue. Eh ... nggak apa-apa deh, gue kan bapaknya ya." Lili tersenyum. "Mau kanan apa kiri?" "Pasti mau di 'cup' ya ... dua-duanya ajaa deh," jawab Athur seraya tersenyum dan menutup kedua matanya. "Gue udah siap, Li.' **** Di s
"Oh ... gitu?" Bima mengajak Athur untuk pergi ke tepi danau. "Yaudah!" ketusnya. “Happy wedding sama buaya putih," teriak Alana. “Makasih udah datang," balas Bima dengan kesal. “Kita udah nggak mau kenal kalian lagi,” sela Athur. Mendengar hal itu Alana langsung memeluk Lili. “Yeayy! Kita harus banyak bersyukur, Li. Akhirnya ... nggak ketempelan dua bayi jabang gede lagi." “Akhirnya ... pulang dari sini kita double date bareng CEO yang kemarin," ucap Lili. Perangkap Alana dan Lili sepertinya telah berhasil. Melihat Bima dan Athur langsung terdiam seraya menatap tajam. Wajahnya sangar. Mereka mengurungkan niatnya untuk ke danau. "Gue pake baju bunga edelweiss kali ya." Dengan sengaja Lili mengatakan. "Jangan, Na. Mending bunga Peony aja, cantik. Biar CEO klepek-klepek liat lo ... sekarang cari yang pasti-pasti aja," jelas Lili. "Laki-laki kalo penasarannya habis, ya ... udah, bakalan ninggalin." "Eh sttt Li, sttt ... nanti misi kita nanti ketahuan." Bima dan Athur semakin
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan