“Tebak deh, Si Bima pasti bawa oleh-oleh, gue yakin,” kata Athur, seraya memainkan remot televisi. Alana, Lili, dan Athur. Mereka sedang merebahkan dirinya di sofa. Seraya menunggu kabar baik mengenai semua bukti yang telah tersebar. “Kenapa kita nggak jalan-jalan sore aja?” Alana memberikan idenya. “Gue denger sekitar 300 meter arah kanan itu ada danau, langit di sini bagus loh. Bisa sambil liat sunset.” “Itu yang gue tunggu,” sahut Athur, menyetujui ide yang Alana berikan. Dengan cepat Athur merapikan rambutnya. Begitu pun Lili, Lili menyetujuinya walaupun Lili terlihat sangat lemas hari ini. "Kenapa sayangku? Kok lemes sih?" tanya Athur seraya merayu Lili. "Muak liat muka lo." "Jangan terlalu benci, nanti kalo lo punya anak, anaknya bakalan mirip gue. Eh ... nggak apa-apa deh, gue kan bapaknya ya." Lili tersenyum. "Mau kanan apa kiri?" "Pasti mau di 'cup' ya ... dua-duanya ajaa deh," jawab Athur seraya tersenyum dan menutup kedua matanya. "Gue udah siap, Li.' **** Di s
"Oh ... gitu?" Bima mengajak Athur untuk pergi ke tepi danau. "Yaudah!" ketusnya. “Happy wedding sama buaya putih," teriak Alana. “Makasih udah datang," balas Bima dengan kesal. “Kita udah nggak mau kenal kalian lagi,” sela Athur. Mendengar hal itu Alana langsung memeluk Lili. “Yeayy! Kita harus banyak bersyukur, Li. Akhirnya ... nggak ketempelan dua bayi jabang gede lagi." “Akhirnya ... pulang dari sini kita double date bareng CEO yang kemarin," ucap Lili. Perangkap Alana dan Lili sepertinya telah berhasil. Melihat Bima dan Athur langsung terdiam seraya menatap tajam. Wajahnya sangar. Mereka mengurungkan niatnya untuk ke danau. "Gue pake baju bunga edelweiss kali ya." Dengan sengaja Lili mengatakan. "Jangan, Na. Mending bunga Peony aja, cantik. Biar CEO klepek-klepek liat lo ... sekarang cari yang pasti-pasti aja," jelas Lili. "Laki-laki kalo penasarannya habis, ya ... udah, bakalan ninggalin." "Eh sttt Li, sttt ... nanti misi kita nanti ketahuan." Bima dan Athur semakin
Lili memberikan pertanyaan secara tiba-tiba terhadap Athur. “Jawab cepet ... pernah berkencan sama berapa cewek dalam seminggu?” “Nggak pernah kencan. Gue sibuk orangnya.” Jantung Athur kini berdegup kencang. "Tanya aja Bima. Gue selalu sibuk urusin kerjaan." Athur menatap Bima dengan penuh harapan seraya mengedipkan satu matanya. "Lebih percaya Bima ngupil pake kaki dibanding semua ucapan lo." Lili menatap ke arah Bima. "Permainan lelaki." Bima mengerutkan keningnya. "Kok gue??" "Bener Cantikku. Dengerin Abang deh, aku ini tulus setia ke kamu." "Enaknya apain ya, Na?" Lili tersenyum, terlihat mengetahui sesuatu. "Kasih jaminan, Li." "Hmmm." Athur berpikir keras seraya cemas. "Maunya apa? Kalo tetep nggak percaya, yaudah terserah." Lili melihat Alana yang kala itu sedang menatap Lili seraya tersenyum. "Tau kan Li?" ucap Alana. "Senjata akhir cowok pasti ngomong gitu," gumam Lili. "Padahal kita lebih suka jujur ya Li. Lebih terpesona aja sama cowok yang jujur," ucap Alana
"Aduh ... panas banget, gatel lagi," lirih Athur. Tangannya mulai terasa melepuh dan gatal. Bima, Alana dan Lili saat itu sangat sibuk mengobati Athur. "Lagian gue nggak habis pikir sama permainan lo, sebenarnya lo ini sengaja ya?! Gue udah kasih tau beberapa tanaman beracun. Dan lo ambil semua itu? Lo gila?" bisik Bima. "Awalnya gue pura-pura doang. Lagian juga lo bilang efeknya cuma kebas doang, kan?" bisik Athur terhadap Bima. "Gue nggak nyuruh lo pegang, bego! Itu sebagai pembelajaran buat lo kalo lagi olah TKP di lapangan! Karena gue tau lo goblok! Kebas kalo ambil satu macem Bunga. Lo kemarin ambil semua macem tambah daunnya! Makanya gausah inisiatif, lagian kalo lo mau caper nggak gini juga, nyusahin! Bikin banyak kerjaan aja!" bisik Bima seraya mengolesi lukanya dengan salep dengan kencang. "Ah!! sh! Brengsek!" "Ini." Alana memberikan kotak p3k cadangan. "Di luar nalar semua sifat lo, Thur. Pecicilan banget tangannya." "Niat gue kan baik." Athur menahan rasa sakit pada
"Sialan! Nggak ya! Geli banget! Istri aku kan kamu sayangku," ucap Athur seraya menatap Lili penuh harap. "Udah, sarapannya habisin. Terus istirahat," kata Lili. "Obatnya minum sesuai resep yang udah gue kasih tau. Tangan gue juga udah kebas banget nih." Tubuhnya lemas namun hatinya tetap bersemangat. "Siap istriku tercinta, kenapa Mami? Minum obat dongg, kok bisa kebas?" "Udah kebas banget pengen mukulin lo. Mami-mami!!" sergah Lili. Saat itu terlihat sangat menggelikannya Athur di matanya. "Oalah ... jadi lo kangen physical touch bareng gue." Athur terus menjahili Lili dengan perbuatannya yang menggelikan itu. "Pemikirannya agak-agak ya," ucap Alana. Lili menatap Athur. Athur membalasnya dengan tatapan yang kegirangan. "Tuh kan, pasti ada benih-benih cinta. Lo lagi suka-sukanya liat muka gue ya?" Diiringi dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi. "Ada ya ... orang sepercaya diri itu." Alana terus menyimak tingkah Athur dan Lili. Seraya menghabiskan sarapannya. "Iya, gu
Fidi dan Gea berbisik seraya tertawa. "Tangkap dan melebur menjadi asap. Dan kalian yang akan menjadi asapnya." Fidi menjelaskannya dengan tawaan yang mencekik. "Hiduplah dengan kebahagiaan dan kehidupan yang baru." "Sepertinya memang sudah parah dan tak dapat ditolong lagi ... psikisnya kena sih ini, perempuan gila!" gumam Athur. Lili tertawa. "Hahahah ... bagaimana jika kalian yang menjadi asap?" "Aku sudah menjadi asap, Lili. Ikutlah denganku. Kita harus hidup saling berbagi. Ayo temui peliharaan hitam milikku dan berbagilah." "Sepertinya kemarin adalah hari terakhir kamu bertemu dengan peliharaanmu itu ... sudah berpamitan?" "Tidak, karena kita ... akan selalu kembali," ucap Fidi dengan nada anak kecil. "Saya tidak tau kamu memiliki masa lalu seburuk apa. Orang melakukan hal sejahat apa hingga kamu seperti ini, tetapi kekurangan perhatian atau kejahatan dari orang lain tak seharusnya menjadikan alasan untuk kamu melakukan ini," ucap Alana. "Kejahatan orang lain dihidupmu jan
"Sudah, hasilnya tidak cocok." "Bisa saya lihat data dari kasus Hilman?" ucap Alana. "Baik saya ambilkan dulu." Karina bergegas mengambil beberapa berkas kasus pembunuhan Hilman di lemari. Alana teringat dengan kuku Zea yang patah. "Bagaimana dengan luka cakaran yang kita curigai?" tanya Alana. "Bukanya sudah terbukti bahwa itu terkena benda keras, ya?" tanya Lili. "Entah ... saya sangat meragukannya." "Kenapa?" tanya Karina, seraya memberikan berkas-berkas kasus Hilman terhadap Alana. "Terdapat beberapa kuku Zea yang patah. Hal itu dicurigai menjadi perlawanan korban terhadap pelaku." "Tunggu ... saya menangani beberapa korban yang kondisinya serupa. Itu sudah sangat lama ... lagi-lagi kasus itu ditutup." **** "Pada foto Zea ... tentunya, kalian sudah mengenalnya ... apa kalian mengenal perempuan ini?" Bima mengeluarkan foto Zea dan jenazah wanita yang di temukan di peternakan. Mereka tertawa layaknya seorang anak kecil yang sedang berbohong. "Nggak ... kita nggak kenal
"Tidak ada cakaran yang di temukan pada tubuh tersangka," ucap Alana seraya melihat data pada Fidi dan Gea saat sudah melakukan pengecekkan tubuh. "Karena kulit memiliki permukaan kenyal. Terlihat bahwa kuku Zea juga terlihat tumpul. Jika memungkinkan terjadi, tidak akan menyebabkan kukunya parah seperti itu, pasti hanya ada luka ringan antara keduanya. Sepertinya, opsi 1 sangat kecil kemungkinan terjadi." "Betul, Zea juga memiliki kuku yang pendek. Jadi sangat kecil kemungkinan untuk bisa patah, kecuali ada kaitannya dengan benda yang keras," sahut Lili. **** "Tinggal beberapa hari lagi hasil DNA keluar. Jujur gue takut dan sedikit ragu." Lili membereskan baju yang sudah Lili lipat. "Gue simpen baju dulu." Berpapasan dengan Bima yang saat itu turun dari tangga. "Eh ... tumben kalian belum tidur." Lili hanya menunjukkan baju yang Lili sudah lipat terhadap Bima. "Belum ngantuk," sahut Alana. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.03. Suasana terlihat sepi sekali. Terlihat hanya
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan