Fidi dan Gea berbisik seraya tertawa. "Tangkap dan melebur menjadi asap. Dan kalian yang akan menjadi asapnya." Fidi menjelaskannya dengan tawaan yang mencekik. "Hiduplah dengan kebahagiaan dan kehidupan yang baru." "Sepertinya memang sudah parah dan tak dapat ditolong lagi ... psikisnya kena sih ini, perempuan gila!" gumam Athur. Lili tertawa. "Hahahah ... bagaimana jika kalian yang menjadi asap?" "Aku sudah menjadi asap, Lili. Ikutlah denganku. Kita harus hidup saling berbagi. Ayo temui peliharaan hitam milikku dan berbagilah." "Sepertinya kemarin adalah hari terakhir kamu bertemu dengan peliharaanmu itu ... sudah berpamitan?" "Tidak, karena kita ... akan selalu kembali," ucap Fidi dengan nada anak kecil. "Saya tidak tau kamu memiliki masa lalu seburuk apa. Orang melakukan hal sejahat apa hingga kamu seperti ini, tetapi kekurangan perhatian atau kejahatan dari orang lain tak seharusnya menjadikan alasan untuk kamu melakukan ini," ucap Alana. "Kejahatan orang lain dihidupmu jan
"Sudah, hasilnya tidak cocok." "Bisa saya lihat data dari kasus Hilman?" ucap Alana. "Baik saya ambilkan dulu." Karina bergegas mengambil beberapa berkas kasus pembunuhan Hilman di lemari. Alana teringat dengan kuku Zea yang patah. "Bagaimana dengan luka cakaran yang kita curigai?" tanya Alana. "Bukanya sudah terbukti bahwa itu terkena benda keras, ya?" tanya Lili. "Entah ... saya sangat meragukannya." "Kenapa?" tanya Karina, seraya memberikan berkas-berkas kasus Hilman terhadap Alana. "Terdapat beberapa kuku Zea yang patah. Hal itu dicurigai menjadi perlawanan korban terhadap pelaku." "Tunggu ... saya menangani beberapa korban yang kondisinya serupa. Itu sudah sangat lama ... lagi-lagi kasus itu ditutup." **** "Pada foto Zea ... tentunya, kalian sudah mengenalnya ... apa kalian mengenal perempuan ini?" Bima mengeluarkan foto Zea dan jenazah wanita yang di temukan di peternakan. Mereka tertawa layaknya seorang anak kecil yang sedang berbohong. "Nggak ... kita nggak kenal
"Tidak ada cakaran yang di temukan pada tubuh tersangka," ucap Alana seraya melihat data pada Fidi dan Gea saat sudah melakukan pengecekkan tubuh. "Karena kulit memiliki permukaan kenyal. Terlihat bahwa kuku Zea juga terlihat tumpul. Jika memungkinkan terjadi, tidak akan menyebabkan kukunya parah seperti itu, pasti hanya ada luka ringan antara keduanya. Sepertinya, opsi 1 sangat kecil kemungkinan terjadi." "Betul, Zea juga memiliki kuku yang pendek. Jadi sangat kecil kemungkinan untuk bisa patah, kecuali ada kaitannya dengan benda yang keras," sahut Lili. **** "Tinggal beberapa hari lagi hasil DNA keluar. Jujur gue takut dan sedikit ragu." Lili membereskan baju yang sudah Lili lipat. "Gue simpen baju dulu." Berpapasan dengan Bima yang saat itu turun dari tangga. "Eh ... tumben kalian belum tidur." Lili hanya menunjukkan baju yang Lili sudah lipat terhadap Bima. "Belum ngantuk," sahut Alana. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.03. Suasana terlihat sepi sekali. Terlihat hanya
“Athur!! Bima!! Ayo dong, harus gesit! Liat waktu,” teriak Lili seraya memakai sepatu. "Ayo dong!! Tinggal satu langkah lagi kasus ini terungkap." Pagi itu suasana rumah sangat rusuh. Ada telepon mendadak yang mengharuskan mereka pergi ke kantor karena ada bukti yang merujuk kepada Fidi dan Gea. Mereka akan melakukan penggeledahan rumah tersangka. “Na, liat kaos kaki baru gue, nggak?” Lili sibuk mencari kaos kaki yang baru saja Ia beli. "Ck! Ini kaos kaki satu lagi mana!?" “Enggak tau,” lirih Alana. Tubuhnya lemas seraya menggigil. Melihat kondisi Alana, Lili sangat terkejut. “Kenapa, Na?” ucap Lili seraya memegang kening Alana. Suhu tubuh Alana sangat tinggi. Lili dengan cepat mengambil obat di kotak P3k, di bawah. Berpapasan dengan Bima dan Athur, yang sudah siap untuk pergi. “Ayo,” ajak Athur, sambil merapihkan kerahnya. "Walaupun kedua tangan gue lagi kurang berfungsi ... tapi gue masih bisa taekwondo ... ciat ciat ciatt!!" kata Athur. Ia sembari berancang-ancang. "Gue sia
“Apa mereka memang sebelumnya sudah mengetahui bahwa kita berada di daerah yang sama?” tanya Athur. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Terlihat saat mengintogerasi Gea dan Fidi, tak ada ketakutan atau rasa bersalah. Hanya ada senyuman yang sangat puas ketika kita menemukan mereka,” sahut Lili. “Tau gitu gue dobrak pintunya satu-satu!! Gue abisin mereka!” cela Athur. “Udah deh Thur berisik ... enggak usah so jadi pahlawan, telat lagi!!” sela Lili. **** “Satu, dua, dobrak!” “Satu, dua, dobrak!” "Satu, dua, dobrak!" Brughh!!! “Ayo masuk, kita telusuri semuanya! Jangan ada yang terlewatkan.” Perintah dari Haris untuk menggeledah tempat kediaman Gea dan Fidi. Dengan beberapa senjata telah mereka bawa. Beberapa pengaman tubuh telah dikenakan. Jiwa raganya penuh waspada. Tim langsung menyebar ke segala penjuru rumah. Keadaan rumah begitu suram, gelap, ambruk, bahkan sangat tidak terawat. Barang-barang sangat berserakan. Di beberapa sudut rumah terdapat botol minuman ker
JRENGG!!! Jenazah anak lelaki muncul dipermukaan air. Wajahnya sudah tak berupa. Penuh lintah yang mengerumuni. Athur tercengang. Ia terdiam tak mampu bergerak. “To-to-long ....” Athur terus berusaha membalikkan badannya. Lagi-lagi tak kunjung membalik. Seluruh tubuhnya bergetar. Tak ada cara lain lagi selain mengangkat satu persatu kakinya. Hasil tak mengkhianati usahanya. hingga sampai di depan pintu. "Tolong." “B–Bim.” Athur mengambil ancang-ancang untuk berteriak. Mulutnya susah sekali bekerja sama. Membuat Ia ingin sekali meninggalkan raganya saat itu. Sentuhan tangan menepuk pundak Athur. “Kenapa?” Haris bersama rekannya yang saat itu sedang berjalan hendak ke ruangan itu. “A—Ada mayat!” ungkap Athur, dengan hati yang sedikit lebih tenang karena sudah memiliki teman. **** "Astaga!!" Lili tercengang melihat isi pada lemari itu. Bima tersenyum. "Sepertinya semua kasus telah terpecahkan. Fidi dan Gea sudah dipastikan pelaku atas semua kasus-kasus pembunuhan," ungkap Bima
"Terdakwa kini sudah terbukti sebagai pelaku. Telah ditemukan kurang lebih 100 foto orang-orang di dalam lemari, sebagai bukti bahwa mereka korban-korban yang telah menjadi target terdakwa, yakni Fidi dengan Gea. Antara lain, pembunuhan terhadap seorang wanita berusia 17 tahun, seorang wanita berusia 25 tahun, satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki berusia 9 tahun, korban lainnya, sudah tak dapat dilihat lagi tubuhnya secara utuh. Terdakwa melakukan pencurian sejumlah 80 gram emas. Hasil DNA yang cocok dengan milik korban, antara lain darah bergolongan A+ milik saudari Gea dan di temukannya robekan baju milik saudari Fidi, keduanya di jatuhi hukuman mati sesuai dengan dilakukannya terhadap korban-korban." Di ketuknya palu oleh Hakim. Rasanya, kemenangan telah tiba. Mendengar keputusan Hakim membuat Tim sangat gembira akan kasusnya yang telah selesai. Mereka berjalan menuju parkiran. Matahari bersinar terang benderang. Rasa resah kini telah hilang. Hari ini ha
"Harta sih nggak ada, tapi bolehlah, lo bawa Ibu gue sama tuh Lakinya, plus rumah, tapi lo yang cicilin." "Dih durhaka banget. Lo mau dikutuk jadi batu?" "Boleh, gue nggak takut. Gue tandain orang-orang yang buat hidup gue susah. Gue timpa habis-habisan." "Tengil banget nih anak bau kencur," gumam Athur. "Emang ... kenapa? Lo nggak suka? Gue tengilin lagi nih, biar jiwa raga dan ruh lo terbakar." "Tau gedenya tengil gini waktu pertama gue liat dia kenapa nggak langsung gue buang aja ya?" Athur menjepit leher Aldo menggunakan sikutnya. Walaupun usianya yang berbeda, sejak dahulu Bima dan Athur memang dekat dengan Aldo. Tak tinggal diam lehernya dijepit Athur. Aldo membalasnya dengan bantingan tubuh. "Gue juga lagi ikutan gulat nih. Sengaja, biar lo makin panas ... btw, lo mandi nggak, sih?" Aldo menutup hidungnya. "Bau kadal." Rasa sakit terasa di tubuhnya akibat dibanting Aldo. "Ck! Sh! Ah ... sengaja biar lo nggak deket-deket gue terus. Gatel gue deket sama biduan Kunti lak
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan