“Athur!! Bima!! Ayo dong, harus gesit! Liat waktu,” teriak Lili seraya memakai sepatu. "Ayo dong!! Tinggal satu langkah lagi kasus ini terungkap." Pagi itu suasana rumah sangat rusuh. Ada telepon mendadak yang mengharuskan mereka pergi ke kantor karena ada bukti yang merujuk kepada Fidi dan Gea. Mereka akan melakukan penggeledahan rumah tersangka. “Na, liat kaos kaki baru gue, nggak?” Lili sibuk mencari kaos kaki yang baru saja Ia beli. "Ck! Ini kaos kaki satu lagi mana!?" “Enggak tau,” lirih Alana. Tubuhnya lemas seraya menggigil. Melihat kondisi Alana, Lili sangat terkejut. “Kenapa, Na?” ucap Lili seraya memegang kening Alana. Suhu tubuh Alana sangat tinggi. Lili dengan cepat mengambil obat di kotak P3k, di bawah. Berpapasan dengan Bima dan Athur, yang sudah siap untuk pergi. “Ayo,” ajak Athur, sambil merapihkan kerahnya. "Walaupun kedua tangan gue lagi kurang berfungsi ... tapi gue masih bisa taekwondo ... ciat ciat ciatt!!" kata Athur. Ia sembari berancang-ancang. "Gue sia
“Apa mereka memang sebelumnya sudah mengetahui bahwa kita berada di daerah yang sama?” tanya Athur. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Terlihat saat mengintogerasi Gea dan Fidi, tak ada ketakutan atau rasa bersalah. Hanya ada senyuman yang sangat puas ketika kita menemukan mereka,” sahut Lili. “Tau gitu gue dobrak pintunya satu-satu!! Gue abisin mereka!” cela Athur. “Udah deh Thur berisik ... enggak usah so jadi pahlawan, telat lagi!!” sela Lili. **** “Satu, dua, dobrak!” “Satu, dua, dobrak!” "Satu, dua, dobrak!" Brughh!!! “Ayo masuk, kita telusuri semuanya! Jangan ada yang terlewatkan.” Perintah dari Haris untuk menggeledah tempat kediaman Gea dan Fidi. Dengan beberapa senjata telah mereka bawa. Beberapa pengaman tubuh telah dikenakan. Jiwa raganya penuh waspada. Tim langsung menyebar ke segala penjuru rumah. Keadaan rumah begitu suram, gelap, ambruk, bahkan sangat tidak terawat. Barang-barang sangat berserakan. Di beberapa sudut rumah terdapat botol minuman ker
JRENGG!!! Jenazah anak lelaki muncul dipermukaan air. Wajahnya sudah tak berupa. Penuh lintah yang mengerumuni. Athur tercengang. Ia terdiam tak mampu bergerak. “To-to-long ....” Athur terus berusaha membalikkan badannya. Lagi-lagi tak kunjung membalik. Seluruh tubuhnya bergetar. Tak ada cara lain lagi selain mengangkat satu persatu kakinya. Hasil tak mengkhianati usahanya. hingga sampai di depan pintu. "Tolong." “B–Bim.” Athur mengambil ancang-ancang untuk berteriak. Mulutnya susah sekali bekerja sama. Membuat Ia ingin sekali meninggalkan raganya saat itu. Sentuhan tangan menepuk pundak Athur. “Kenapa?” Haris bersama rekannya yang saat itu sedang berjalan hendak ke ruangan itu. “A—Ada mayat!” ungkap Athur, dengan hati yang sedikit lebih tenang karena sudah memiliki teman. **** "Astaga!!" Lili tercengang melihat isi pada lemari itu. Bima tersenyum. "Sepertinya semua kasus telah terpecahkan. Fidi dan Gea sudah dipastikan pelaku atas semua kasus-kasus pembunuhan," ungkap Bima
"Terdakwa kini sudah terbukti sebagai pelaku. Telah ditemukan kurang lebih 100 foto orang-orang di dalam lemari, sebagai bukti bahwa mereka korban-korban yang telah menjadi target terdakwa, yakni Fidi dengan Gea. Antara lain, pembunuhan terhadap seorang wanita berusia 17 tahun, seorang wanita berusia 25 tahun, satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki berusia 9 tahun, korban lainnya, sudah tak dapat dilihat lagi tubuhnya secara utuh. Terdakwa melakukan pencurian sejumlah 80 gram emas. Hasil DNA yang cocok dengan milik korban, antara lain darah bergolongan A+ milik saudari Gea dan di temukannya robekan baju milik saudari Fidi, keduanya di jatuhi hukuman mati sesuai dengan dilakukannya terhadap korban-korban." Di ketuknya palu oleh Hakim. Rasanya, kemenangan telah tiba. Mendengar keputusan Hakim membuat Tim sangat gembira akan kasusnya yang telah selesai. Mereka berjalan menuju parkiran. Matahari bersinar terang benderang. Rasa resah kini telah hilang. Hari ini ha
"Harta sih nggak ada, tapi bolehlah, lo bawa Ibu gue sama tuh Lakinya, plus rumah, tapi lo yang cicilin." "Dih durhaka banget. Lo mau dikutuk jadi batu?" "Boleh, gue nggak takut. Gue tandain orang-orang yang buat hidup gue susah. Gue timpa habis-habisan." "Tengil banget nih anak bau kencur," gumam Athur. "Emang ... kenapa? Lo nggak suka? Gue tengilin lagi nih, biar jiwa raga dan ruh lo terbakar." "Tau gedenya tengil gini waktu pertama gue liat dia kenapa nggak langsung gue buang aja ya?" Athur menjepit leher Aldo menggunakan sikutnya. Walaupun usianya yang berbeda, sejak dahulu Bima dan Athur memang dekat dengan Aldo. Tak tinggal diam lehernya dijepit Athur. Aldo membalasnya dengan bantingan tubuh. "Gue juga lagi ikutan gulat nih. Sengaja, biar lo makin panas ... btw, lo mandi nggak, sih?" Aldo menutup hidungnya. "Bau kadal." Rasa sakit terasa di tubuhnya akibat dibanting Aldo. "Ck! Sh! Ah ... sengaja biar lo nggak deket-deket gue terus. Gatel gue deket sama biduan Kunti lak
"Oh, kita emang pelit, Thur." Melihat baju Aldo dari atas hingga bawah memakai baju Bima dan Athur, termasuk pomade-nya. "Nggak apa-apa lah Bim, nggak di anggep udah hal biasa dalam hidup." Aldo menghiraukan ucapan mereka. Ia terus menyantap daging. "Itu secomot kalo di pindahin ke piring, piringnya penuh," tukas Athur. "Seharusnya lo bersyukur punya senior yang tiada tara tampan sedunia." "Kalo gue jadi nyawanya ... mending sementara ngontrak aja, pasti cape," jawab Aldo. "Sialan! Hasrat ingin membunuhnya semakin besar," ucap Bima menatap Aldo. Athur menimpal. "Tengil banget sikapnya." "Emang—" (terpotong dengan kedatangan Rita, Martha dan Mitha). Aldo terhipnotis. Tatapannya langsung tertuju pada Mitha. Perempuan berkulit putih, bermata sipit, rambutnya di ikat satu, terlihat pemalu dan pendiam. Mitha hanya mengikuti langkah Martha di sampingnya. Mata Aldo tak menoleh sedikit pun. Pesona Mitha rupanya menyejukkan hati Aldo saat itu. "Orang labil kalo jatuh cinta emang c
Matahari bersinar terang benderang. Suasana pagi itu sangat gaduh dan rusuh. Masing-masing dari ketiga orang pria itu, memukuli satu sama lain memakai bantal. Bughhhh!!! “Sialan! Sini lo!” seru Athur. Ia seraya mengejar Aldo. Bughhh!!! Lemparan Bima tepat pada wajah Athur. "Awas!" teriak Bima. Niat awal akan melemparnya terhadap Aldo, tetapi Aldo berhasil menghindarinya. “Salah sasaran! Sorry!” Sekarang Aldo harus melawan Bima dan Athur. 2 vs 1. Tak ada bantal yang harus Aldo lempar lagi. Hal yang harus Aldo lakukan hanya kabur keluar rumah. Waktunya kini tak banyak. Aldo harus memikirkan strategi. Bagaimana caranya Aldo bisa sampai di pintu luar, sedangkan harus melewati dua orang pendendam yang tiada lain adalah Bima dan Athur. Terlintas di pikiran Aldo bahwa Ia harus memancingnya agar mereka mengejar. "Ciuwittt," siul Aldo. “Lemah banget, berdua aja kalah, malu-maluin!” Aldo berlari menyelusuri tangga menuju lantai atas. "Sini lo! Sialan!" Athur hendak mengejarnya.
Aldo bergegas dengan cepat keluar rumah. “Maaf, Mitha. Lama ya? Tadi aku habis bantuin Kakakku dulu.” “Enggak apa-apa, yaudah kita jalan sekarang.“ “Jalan?” “Iya, kenapa?” “Jalan? Naik kendaraan nggak bisa?" “Bisa," ucap Mitha seraya mengangguk. “Sekitar 2 km.” “Ayo pake motor aja.” Mitha mengangguk lagi. "Boleh, aku ikut aja." "Tunggu satu menit, aku ambil motor dulu." Aldo mengeluarkan motornya dari garasi. Motor ninja hitam gagah miliknya. Ia menyalakannya. Suaranya padat mengelilingi lingkup sekitar yang sepi pada pagi itu. "Naik," ucap Aldo. Ia memegang tangan Mitha. "Sini aku bantu ... awas hati-hati." "Geli banget, emang mencari kesempatan dalam kesempitan," ucap Athur mengintip di jendela bersama Bima. "Emang banyak akalnya tuh anak." "Emang ... sangat disayangkan, Mitha dapetin bocah lem kaya si Aldo. Kalo next dia berhasil dapetin Mitha, pasti belagunya minta ampun," sahut Bima. "Iya sih bener, kok mau ya?" sahut Lili disebelah Athur. "Sikapnya aja bikin g