Share

33. Mac And Cheese

Author: Peony's
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56
"Tidak ada cakaran yang di temukan pada tubuh tersangka," ucap Alana seraya melihat data pada Fidi dan Gea saat sudah melakukan pengecekkan tubuh.

"Karena kulit memiliki permukaan kenyal. Terlihat bahwa kuku Zea juga terlihat tumpul. Jika memungkinkan terjadi, tidak akan menyebabkan kukunya parah seperti itu, pasti hanya ada luka ringan antara keduanya. Sepertinya, opsi 1 sangat kecil kemungkinan terjadi."

"Betul, Zea juga memiliki kuku yang pendek. Jadi sangat kecil kemungkinan untuk bisa patah, kecuali ada kaitannya dengan benda yang keras," sahut Lili.

****

"Tinggal beberapa hari lagi hasil DNA keluar. Jujur gue takut dan sedikit ragu." Lili membereskan baju yang sudah Lili lipat. "Gue simpen baju dulu."

Berpapasan dengan Bima yang saat itu turun dari tangga. "Eh ... tumben kalian belum tidur."

Lili hanya menunjukkan baju yang Lili sudah lipat terhadap Bima.

"Belum ngantuk," sahut Alana.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.03. Suasana terlihat sepi sekali. Terlihat hanya
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Misteri Kematian di Kota Hema   34. Membludaknya Korban

    “Athur!! Bima!! Ayo dong, harus gesit! Liat waktu,” teriak Lili seraya memakai sepatu. "Ayo dong!! Tinggal satu langkah lagi kasus ini terungkap." Pagi itu suasana rumah sangat rusuh. Ada telepon mendadak yang mengharuskan mereka pergi ke kantor karena ada bukti yang merujuk kepada Fidi dan Gea. Mereka akan melakukan penggeledahan rumah tersangka. “Na, liat kaos kaki baru gue, nggak?” Lili sibuk mencari kaos kaki yang baru saja Ia beli. "Ck! Ini kaos kaki satu lagi mana!?" “Enggak tau,” lirih Alana. Tubuhnya lemas seraya menggigil. Melihat kondisi Alana, Lili sangat terkejut. “Kenapa, Na?” ucap Lili seraya memegang kening Alana. Suhu tubuh Alana sangat tinggi. Lili dengan cepat mengambil obat di kotak P3k, di bawah. Berpapasan dengan Bima dan Athur, yang sudah siap untuk pergi. “Ayo,” ajak Athur, sambil merapihkan kerahnya. "Walaupun kedua tangan gue lagi kurang berfungsi ... tapi gue masih bisa taekwondo ... ciat ciat ciatt!!" kata Athur. Ia sembari berancang-ancang. "Gue sia

  • Misteri Kematian di Kota Hema   35. Aroma tak sedap

    “Apa mereka memang sebelumnya sudah mengetahui bahwa kita berada di daerah yang sama?” tanya Athur. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Terlihat saat mengintogerasi Gea dan Fidi, tak ada ketakutan atau rasa bersalah. Hanya ada senyuman yang sangat puas ketika kita menemukan mereka,” sahut Lili. “Tau gitu gue dobrak pintunya satu-satu!! Gue abisin mereka!” cela Athur. “Udah deh Thur berisik ... enggak usah so jadi pahlawan, telat lagi!!” sela Lili. **** “Satu, dua, dobrak!” “Satu, dua, dobrak!” "Satu, dua, dobrak!" Brughh!!! “Ayo masuk, kita telusuri semuanya! Jangan ada yang terlewatkan.” Perintah dari Haris untuk menggeledah tempat kediaman Gea dan Fidi. Dengan beberapa senjata telah mereka bawa. Beberapa pengaman tubuh telah dikenakan. Jiwa raganya penuh waspada. Tim langsung menyebar ke segala penjuru rumah. Keadaan rumah begitu suram, gelap, ambruk, bahkan sangat tidak terawat. Barang-barang sangat berserakan. Di beberapa sudut rumah terdapat botol minuman ker

  • Misteri Kematian di Kota Hema   36. Cairan

    JRENGG!!! Jenazah anak lelaki muncul dipermukaan air. Wajahnya sudah tak berupa. Penuh lintah yang mengerumuni. Athur tercengang. Ia terdiam tak mampu bergerak. “To-to-long ....” Athur terus berusaha membalikkan badannya. Lagi-lagi tak kunjung membalik. Seluruh tubuhnya bergetar. Tak ada cara lain lagi selain mengangkat satu persatu kakinya. Hasil tak mengkhianati usahanya. hingga sampai di depan pintu. "Tolong." “B–Bim.” Athur mengambil ancang-ancang untuk berteriak. Mulutnya susah sekali bekerja sama. Membuat Ia ingin sekali meninggalkan raganya saat itu. Sentuhan tangan menepuk pundak Athur. “Kenapa?” Haris bersama rekannya yang saat itu sedang berjalan hendak ke ruangan itu. “A—Ada mayat!” ungkap Athur, dengan hati yang sedikit lebih tenang karena sudah memiliki teman. **** "Astaga!!" Lili tercengang melihat isi pada lemari itu. Bima tersenyum. "Sepertinya semua kasus telah terpecahkan. Fidi dan Gea sudah dipastikan pelaku atas semua kasus-kasus pembunuhan," ungkap Bima

  • Misteri Kematian di Kota Hema   37. Perayaan

    "Terdakwa kini sudah terbukti sebagai pelaku. Telah ditemukan kurang lebih 100 foto orang-orang di dalam lemari, sebagai bukti bahwa mereka korban-korban yang telah menjadi target terdakwa, yakni Fidi dengan Gea. Antara lain, pembunuhan terhadap seorang wanita berusia 17 tahun, seorang wanita berusia 25 tahun, satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki berusia 9 tahun, korban lainnya, sudah tak dapat dilihat lagi tubuhnya secara utuh. Terdakwa melakukan pencurian sejumlah 80 gram emas. Hasil DNA yang cocok dengan milik korban, antara lain darah bergolongan A+ milik saudari Gea dan di temukannya robekan baju milik saudari Fidi, keduanya di jatuhi hukuman mati sesuai dengan dilakukannya terhadap korban-korban." Di ketuknya palu oleh Hakim. Rasanya, kemenangan telah tiba. Mendengar keputusan Hakim membuat Tim sangat gembira akan kasusnya yang telah selesai. Mereka berjalan menuju parkiran. Matahari bersinar terang benderang. Rasa resah kini telah hilang. Hari ini ha

  • Misteri Kematian di Kota Hema   38.Tengil

    "Harta sih nggak ada, tapi bolehlah, lo bawa Ibu gue sama tuh Lakinya, plus rumah, tapi lo yang cicilin." "Dih durhaka banget. Lo mau dikutuk jadi batu?" "Boleh, gue nggak takut. Gue tandain orang-orang yang buat hidup gue susah. Gue timpa habis-habisan." "Tengil banget nih anak bau kencur," gumam Athur. "Emang ... kenapa? Lo nggak suka? Gue tengilin lagi nih, biar jiwa raga dan ruh lo terbakar." "Tau gedenya tengil gini waktu pertama gue liat dia kenapa nggak langsung gue buang aja ya?" Athur menjepit leher Aldo menggunakan sikutnya. Walaupun usianya yang berbeda, sejak dahulu Bima dan Athur memang dekat dengan Aldo. Tak tinggal diam lehernya dijepit Athur. Aldo membalasnya dengan bantingan tubuh. "Gue juga lagi ikutan gulat nih. Sengaja, biar lo makin panas ... btw, lo mandi nggak, sih?" Aldo menutup hidungnya. "Bau kadal." Rasa sakit terasa di tubuhnya akibat dibanting Aldo. "Ck! Sh! Ah ... sengaja biar lo nggak deket-deket gue terus. Gatel gue deket sama biduan Kunti lak

  • Misteri Kematian di Kota Hema   39. Jatuh hati

    "Oh, kita emang pelit, Thur." Melihat baju Aldo dari atas hingga bawah memakai baju Bima dan Athur, termasuk pomade-nya. "Nggak apa-apa lah Bim, nggak di anggep udah hal biasa dalam hidup." Aldo menghiraukan ucapan mereka. Ia terus menyantap daging. "Itu secomot kalo di pindahin ke piring, piringnya penuh," tukas Athur. "Seharusnya lo bersyukur punya senior yang tiada tara tampan sedunia." "Kalo gue jadi nyawanya ... mending sementara ngontrak aja, pasti cape," jawab Aldo. "Sialan! Hasrat ingin membunuhnya semakin besar," ucap Bima menatap Aldo. Athur menimpal. "Tengil banget sikapnya." "Emang—" (terpotong dengan kedatangan Rita, Martha dan Mitha). Aldo terhipnotis. Tatapannya langsung tertuju pada Mitha. Perempuan berkulit putih, bermata sipit, rambutnya di ikat satu, terlihat pemalu dan pendiam. Mitha hanya mengikuti langkah Martha di sampingnya. Mata Aldo tak menoleh sedikit pun. Pesona Mitha rupanya menyejukkan hati Aldo saat itu. "Orang labil kalo jatuh cinta emang c

  • Misteri Kematian di Kota Hema   40. Ricuh

    Matahari bersinar terang benderang. Suasana pagi itu sangat gaduh dan rusuh. Masing-masing dari ketiga orang pria itu, memukuli satu sama lain memakai bantal. Bughhhh!!! “Sialan! Sini lo!” seru Athur. Ia seraya mengejar Aldo. Bughhh!!! Lemparan Bima tepat pada wajah Athur. "Awas!" teriak Bima. Niat awal akan melemparnya terhadap Aldo, tetapi Aldo berhasil menghindarinya. “Salah sasaran! Sorry!” Sekarang Aldo harus melawan Bima dan Athur. 2 vs 1. Tak ada bantal yang harus Aldo lempar lagi. Hal yang harus Aldo lakukan hanya kabur keluar rumah. Waktunya kini tak banyak. Aldo harus memikirkan strategi. Bagaimana caranya Aldo bisa sampai di pintu luar, sedangkan harus melewati dua orang pendendam yang tiada lain adalah Bima dan Athur. Terlintas di pikiran Aldo bahwa Ia harus memancingnya agar mereka mengejar. "Ciuwittt," siul Aldo. “Lemah banget, berdua aja kalah, malu-maluin!” Aldo berlari menyelusuri tangga menuju lantai atas. "Sini lo! Sialan!" Athur hendak mengejarnya.

  • Misteri Kematian di Kota Hema   41. Hilang

    Aldo bergegas dengan cepat keluar rumah. “Maaf, Mitha. Lama ya? Tadi aku habis bantuin Kakakku dulu.” “Enggak apa-apa, yaudah kita jalan sekarang.“ “Jalan?” “Iya, kenapa?” “Jalan? Naik kendaraan nggak bisa?" “Bisa," ucap Mitha seraya mengangguk. “Sekitar 2 km.” “Ayo pake motor aja.” Mitha mengangguk lagi. "Boleh, aku ikut aja." "Tunggu satu menit, aku ambil motor dulu." Aldo mengeluarkan motornya dari garasi. Motor ninja hitam gagah miliknya. Ia menyalakannya. Suaranya padat mengelilingi lingkup sekitar yang sepi pada pagi itu. "Naik," ucap Aldo. Ia memegang tangan Mitha. "Sini aku bantu ... awas hati-hati." "Geli banget, emang mencari kesempatan dalam kesempitan," ucap Athur mengintip di jendela bersama Bima. "Emang banyak akalnya tuh anak." "Emang ... sangat disayangkan, Mitha dapetin bocah lem kaya si Aldo. Kalo next dia berhasil dapetin Mitha, pasti belagunya minta ampun," sahut Bima. "Iya sih bener, kok mau ya?" sahut Lili disebelah Athur. "Sikapnya aja bikin g

Latest chapter

  • Misteri Kematian di Kota Hema   71. Ending

    Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka

  • Misteri Kematian di Kota Hema   70. Menerima kemarin, hari ini, hari esok

    "Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu

  • Misteri Kematian di Kota Hema   69. Ulang tahun yang tak banyak harap

    "Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te

  • Misteri Kematian di Kota Hema   68. Memori yang tak kunjung hilang

    "Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal

  • Misteri Kematian di Kota Hema   67. Sulitnya hidup dalam ketakutan.

    Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.

  • Misteri Kematian di Kota Hema   66. Dipertemukannya Alana dan Lili

    "Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa

  • Misteri Kematian di Kota Hema   65. Pergi hilang dan lupakan

    "Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga

  • Misteri Kematian di Kota Hema   64. Selamat jalan

    Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek

  • Misteri Kematian di Kota Hema   63. Ritual untuk Alana

    Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan

DMCA.com Protection Status