Matahari bersinar terang benderang. Suasana pagi itu sangat gaduh dan rusuh. Masing-masing dari ketiga orang pria itu, memukuli satu sama lain memakai bantal. Bughhhh!!! “Sialan! Sini lo!” seru Athur. Ia seraya mengejar Aldo. Bughhh!!! Lemparan Bima tepat pada wajah Athur. "Awas!" teriak Bima. Niat awal akan melemparnya terhadap Aldo, tetapi Aldo berhasil menghindarinya. “Salah sasaran! Sorry!” Sekarang Aldo harus melawan Bima dan Athur. 2 vs 1. Tak ada bantal yang harus Aldo lempar lagi. Hal yang harus Aldo lakukan hanya kabur keluar rumah. Waktunya kini tak banyak. Aldo harus memikirkan strategi. Bagaimana caranya Aldo bisa sampai di pintu luar, sedangkan harus melewati dua orang pendendam yang tiada lain adalah Bima dan Athur. Terlintas di pikiran Aldo bahwa Ia harus memancingnya agar mereka mengejar. "Ciuwittt," siul Aldo. “Lemah banget, berdua aja kalah, malu-maluin!” Aldo berlari menyelusuri tangga menuju lantai atas. "Sini lo! Sialan!" Athur hendak mengejarnya.
Aldo bergegas dengan cepat keluar rumah. “Maaf, Mitha. Lama ya? Tadi aku habis bantuin Kakakku dulu.” “Enggak apa-apa, yaudah kita jalan sekarang.“ “Jalan?” “Iya, kenapa?” “Jalan? Naik kendaraan nggak bisa?" “Bisa," ucap Mitha seraya mengangguk. “Sekitar 2 km.” “Ayo pake motor aja.” Mitha mengangguk lagi. "Boleh, aku ikut aja." "Tunggu satu menit, aku ambil motor dulu." Aldo mengeluarkan motornya dari garasi. Motor ninja hitam gagah miliknya. Ia menyalakannya. Suaranya padat mengelilingi lingkup sekitar yang sepi pada pagi itu. "Naik," ucap Aldo. Ia memegang tangan Mitha. "Sini aku bantu ... awas hati-hati." "Geli banget, emang mencari kesempatan dalam kesempitan," ucap Athur mengintip di jendela bersama Bima. "Emang banyak akalnya tuh anak." "Emang ... sangat disayangkan, Mitha dapetin bocah lem kaya si Aldo. Kalo next dia berhasil dapetin Mitha, pasti belagunya minta ampun," sahut Bima. "Iya sih bener, kok mau ya?" sahut Lili disebelah Athur. "Sikapnya aja bikin g
“Setiap hari kamu selalu main basket di sini?” tanya Aldo lagi. “Iya,” jawab Mitha. “Hari ini first time, punya teman.” “Nggak takut sendirian?” “Nggak, sengaja sih ... menurutku sendiri itu damai, karena setiap pulang aku selalu mampir ke tebing buat liat laut. Ya ... lumayan sedikit nenangin.” “Laut?” “Iya, nggak jauh dari sini,” ucap Mitha. "Ayo kita ke sana, aku pengen liat juga." **** Siang menjelang sore, menuju tebing dekat laut. Gradasi warna orange matahari sedikit demi sedikit terganti. “Pegangan.” Aldo meninggikan kecepatan motornya. Pelukan Mitha pada pinggang Aldo mulai terasa, kedekatannya setiap detik semakin hangat. "Kamu gapapa pulang kemaleman?" tanya Aldo. "Apa?" tanya Mitha dengan suara tinggi karena tak terdengar oleh angin yang menggelebug. "Gapapa pulang malem?" "Oh ... iya, gapapa." "Pegangan yang kenceng," ucap Aldo. Ia meninggikan kecepatan motornya. **** Tidak lama, sampai di sebuah tanah luas. “Udah di sini aja simpen motornya.” “Si
“Next.” “Ganti.” “Ganti.” “Next.” “Eh udah, yang itu dulu,” suruh Alana seraya menyantap beberapa makanan yang Aldo bawa . Tubuh Aldo mulai pegal. Sejak tadi tidak di perbolehkan duduk dan ikut makan. Ia hanya mengganti beberapa saluran televisi sesuai dengan suruhan keempat orang itu. “Pegel banget! Seengaknya satu suapan doang! Pelit—“ (terpotong Athur dengan beberapa makanan di tangan dan di mulutnya). “Lo ngomong kita pelit, gue jadiin lo santapan buaya,” cela Athur. Bima mencubit Athur. Perlahan Ia memberikan kode. “Jangan bawa-bawa buaya lagi!” bisik Bima dengan pelan. Alana tersenyum karena mengingat sesuatu. “Sebagai nafkah buat istri ya, Thur.” Lili menimpal. “Gimana keluarga kecilnya? Tentram?” Ucapan Bima terbukti benar. Kini penyesalan telah datang gara-gara mengucapkan kalimat itu. Athur mengambil satu persatu makanan hingga tangannya penuh. Ia langsung berjalan menuju kamarnya. “Gue ngantuk.” “Di telpon istri ya?” seru Alana. “Oh, maklum ... tak
“Bim.” Alana memanggil Bima saat Ia sedang menonton televisi. “Apaa sayangg?” sahut Bima dengan lembut. Raut wajahnya penuh dengan gengsi. Namun, Alana berusaha untuk mengatakannya. “Mau ikut jalan, nggak? Ya, sebelum kita pulang, kita banyakin jalan-jalan dan momen di sini.” “Kemana? Sama siapa?” “Ya ... jalan-jalan sore aja. Gue nggak maksa kok,” ajak Alana. “Siapa aja?” "Ck!" "Oalah, berdua. Bilang dong, susah banget." "Gue nggak maksa juga." Alana berdehem. "Nggak jadi ah." Bima tersenyum. "Yaudah ... gue mau jalan hari ini, lo ikut yaaa?? Temenin gue." Bima tersenyum melihat tingkah Alana, Ia sangat paham perasaan Alana bahwa Alana sedang menutupi gengsinya. "Gimana??" tanya Bima seraya menatap dalam. Alana mengalihkan pandangannya, sesekali menatap Bima, yang lagi-lagi Alana tak bisa menatapnya. "Terserah, gue ikut aja." "Yaudah, kita berangkat 10 menit lagi yaaa." **** “Ekhem.” Lili membuka pintu kulkas hendak mengambil buah. Saat itu, Athur sedang m
Di malam yang hening, keempat orang dewasa itu belum pulang ke rumah. Karena Alana sejak pagi mengomeli Aldo untuk segera mengemasi pakaiannya, kini Aldo menurutinya. Aldo sedang mengemasi beberapa pakaiannya ke dalam koper, seraya membayangkan kisah asmaranya dengan Mitha. “Next, gue bakalan datangin Mitha sebulan sekali deh ... satu tahun gue kerja keras, gue bakalan langsung nikahin Mitha, punya anak, hidup bahagia.” Baju terakhir telah Ia masukkan ke dalam koper, dan menutupnya. Aldo membaringkan tubuhnya di kasur. "Dipikir-pikir gampang banget ya gue hidup. Nggak ada tantangannya. Aduhh, nggak sabar jadi ayah dari anak-anak Mitha. Pantes banget banyak yang iri, kehidupan gue nikmatnya nggak ada lawan." Pintu kamar tertutup rapat. Terbuka secara perlahan, ternyata Bima dan Athur yang datang. "Byee, tidur nyenyak yaaa." Athur mengatakannya dengan gugup ke arah kamar Alana dan Lili. "Istirahat yaa, good night, Na," timpal Bima. Aura pada wajahnya terlihat sangat bahagia, mena
Pagi itu, Alana sedang berdiam diri di balkon. Seraya menikmati sinar matahari yang menusuk hangat menyelimutinya. "Aku cari-cari." Suara itu membuyarkan kenikmatan Alana pagi ini. "Mau apaa? Tumben bangettt." "Kangen aja, emangnya kamu nggak kangen aku?" ucap Bima seraya merangkulnya dari belakang. "Kalo nggak gimana??" "Nggak masalah, selagi aku masih bisa rasain pelukan kamu," ucap Bima. "Asal jangan main cowok di belakang." "Emang kalo aku selingkuh, kamu mau apaa??" kekeh Alana, menguji Bima. "Aku bakalan hukum kamu dengan cara nikahin kamu, kamu nggak bisa lepas dari aku, aku bakalan jadi orang yang cuma bisa milikin kamu, seorang ... bodoamat, dia bisa kaya aku nggak?" Pelukan itu semakin erat di tubuh Alana. Alana tersenyum. "Posesif banget cowokku ini, yaudah ... nikahin aku cepet, apa aku harus selingkuh dulu, biar kamu aja yang bisa milikin aku?" "Sepele banget yang deketin kamu ... gantengan aku, huuu ...." "Okee ... nantang nih, aku telpon siapa, yaa?" Bima men
"Iya tunggu sebentar ... aku sekarang berangkat. Ini lagi manasin motor." "Kok lama, kamu nggak mau ketemu aku lama-lama ya?" tanya Mitha ditelepon. "Nggak gitu dong, 3 menit aku sampe di depan rumah kamu." Bima membuka pintu seraya mengintip. "pstt!" Aldo menganggukkan kepalanya. "Alana udah panggil-panggil, lo budeg ya?!" ketus Bima. Melihat penampilan Aldo dari atas kebawah membuat Bima bertanya-tanya. "Widih, lo mau kemana? Gaya banget ... mana pake baju gue lagi." "Mau ngapelin pacar, kenapa?" "Idih belagu banget gaya lo, baju pinjem doang sok keras." "Lo gitu banget sama adik sendiri," ucap Aldo, masih sibuk dengan sesuatu yang dicarinya. "Cari apa? Cari parfum kan lo?" "Gue bauuuk apekkk! Minta satu semprot." Tak lama Athur datang dengan handuk di pundaknya. "Pagi-pagi gini makanya mandi! Sibuk banget, di parfum terus, mandi kagak. Belajar dari hidup gue dong, udah wangi sabun, keliatan seger. Mandi Aldo, mandi." Athur seraya melemparkan handuknya terhadap Aldo. "B