“Bim.” Alana memanggil Bima saat Ia sedang menonton televisi. “Apaa sayangg?” sahut Bima dengan lembut. Raut wajahnya penuh dengan gengsi. Namun, Alana berusaha untuk mengatakannya. “Mau ikut jalan, nggak? Ya, sebelum kita pulang, kita banyakin jalan-jalan dan momen di sini.” “Kemana? Sama siapa?” “Ya ... jalan-jalan sore aja. Gue nggak maksa kok,” ajak Alana. “Siapa aja?” "Ck!" "Oalah, berdua. Bilang dong, susah banget." "Gue nggak maksa juga." Alana berdehem. "Nggak jadi ah." Bima tersenyum. "Yaudah ... gue mau jalan hari ini, lo ikut yaaa?? Temenin gue." Bima tersenyum melihat tingkah Alana, Ia sangat paham perasaan Alana bahwa Alana sedang menutupi gengsinya. "Gimana??" tanya Bima seraya menatap dalam. Alana mengalihkan pandangannya, sesekali menatap Bima, yang lagi-lagi Alana tak bisa menatapnya. "Terserah, gue ikut aja." "Yaudah, kita berangkat 10 menit lagi yaaa." **** “Ekhem.” Lili membuka pintu kulkas hendak mengambil buah. Saat itu, Athur sedang m
Di malam yang hening, keempat orang dewasa itu belum pulang ke rumah. Karena Alana sejak pagi mengomeli Aldo untuk segera mengemasi pakaiannya, kini Aldo menurutinya. Aldo sedang mengemasi beberapa pakaiannya ke dalam koper, seraya membayangkan kisah asmaranya dengan Mitha. “Next, gue bakalan datangin Mitha sebulan sekali deh ... satu tahun gue kerja keras, gue bakalan langsung nikahin Mitha, punya anak, hidup bahagia.” Baju terakhir telah Ia masukkan ke dalam koper, dan menutupnya. Aldo membaringkan tubuhnya di kasur. "Dipikir-pikir gampang banget ya gue hidup. Nggak ada tantangannya. Aduhh, nggak sabar jadi ayah dari anak-anak Mitha. Pantes banget banyak yang iri, kehidupan gue nikmatnya nggak ada lawan." Pintu kamar tertutup rapat. Terbuka secara perlahan, ternyata Bima dan Athur yang datang. "Byee, tidur nyenyak yaaa." Athur mengatakannya dengan gugup ke arah kamar Alana dan Lili. "Istirahat yaa, good night, Na," timpal Bima. Aura pada wajahnya terlihat sangat bahagia, mena
Pagi itu, Alana sedang berdiam diri di balkon. Seraya menikmati sinar matahari yang menusuk hangat menyelimutinya. "Aku cari-cari." Suara itu membuyarkan kenikmatan Alana pagi ini. "Mau apaa? Tumben bangettt." "Kangen aja, emangnya kamu nggak kangen aku?" ucap Bima seraya merangkulnya dari belakang. "Kalo nggak gimana??" "Nggak masalah, selagi aku masih bisa rasain pelukan kamu," ucap Bima. "Asal jangan main cowok di belakang." "Emang kalo aku selingkuh, kamu mau apaa??" kekeh Alana, menguji Bima. "Aku bakalan hukum kamu dengan cara nikahin kamu, kamu nggak bisa lepas dari aku, aku bakalan jadi orang yang cuma bisa milikin kamu, seorang ... bodoamat, dia bisa kaya aku nggak?" Pelukan itu semakin erat di tubuh Alana. Alana tersenyum. "Posesif banget cowokku ini, yaudah ... nikahin aku cepet, apa aku harus selingkuh dulu, biar kamu aja yang bisa milikin aku?" "Sepele banget yang deketin kamu ... gantengan aku, huuu ...." "Okee ... nantang nih, aku telpon siapa, yaa?" Bima men
"Iya tunggu sebentar ... aku sekarang berangkat. Ini lagi manasin motor." "Kok lama, kamu nggak mau ketemu aku lama-lama ya?" tanya Mitha ditelepon. "Nggak gitu dong, 3 menit aku sampe di depan rumah kamu." Bima membuka pintu seraya mengintip. "pstt!" Aldo menganggukkan kepalanya. "Alana udah panggil-panggil, lo budeg ya?!" ketus Bima. Melihat penampilan Aldo dari atas kebawah membuat Bima bertanya-tanya. "Widih, lo mau kemana? Gaya banget ... mana pake baju gue lagi." "Mau ngapelin pacar, kenapa?" "Idih belagu banget gaya lo, baju pinjem doang sok keras." "Lo gitu banget sama adik sendiri," ucap Aldo, masih sibuk dengan sesuatu yang dicarinya. "Cari apa? Cari parfum kan lo?" "Gue bauuuk apekkk! Minta satu semprot." Tak lama Athur datang dengan handuk di pundaknya. "Pagi-pagi gini makanya mandi! Sibuk banget, di parfum terus, mandi kagak. Belajar dari hidup gue dong, udah wangi sabun, keliatan seger. Mandi Aldo, mandi." Athur seraya melemparkan handuknya terhadap Aldo. "B
Brughh!! Dengan sigap Bima langsung masuk ke dalam rumahnya. Hanya ada Martha dan Mitha yang berdiri di depan Bima. Dengan tatapan yang tajam seraya tersenyum. "Kalian gila ya?!" Bima melihat ke arah pintu. Melihat tancapan pisau yang masih menancap. "Kalian lempar pisaunya? Maksudnya?" teriak Bima emosi. Tak ada jawaban. Mereka dengan konsisten memperlihatkan raut wajah yang serupa. "Mana Aldo!" ketus Alana. Alana melihat ke arah Mitha. "Mana Aldo! Mitha!" kesal Alana. Lagi-lagi mereka tak menjawabnya. "Apa kalian celakain Aldo juga? Dimana! Saya tuntut kalian ya!" teriak Alana. "Aldo!" teriak Alana, berharap jika Aldo akan keluar dari rumahnya. "Aldo! Pulang!" Alana langsung menggeledah rumah Mitha tanpa persetujuan, diikuti oleh Bima. "Awas ya kalian!" ketus Alana seraya menunjuk. Sedangkan Lili sibuk menyembuhkan luka Athur di mobil, untungnya ada kotak obat p3k, untuk bisa menolongnya sebagai pertolongan pertama. "Shh A-aaw! Sakit banget." "Diem kalo ma sembuh! Sebag
"Kunci rumah! Kuncinya dimana?" tanya Bima. Bima tak mampu melawan rombongan agresif itu. Ditambah lagi, Bima tak membawa senjata pribadi miliknya. Semuanya telah Ia kemas dan sudah dimasukkan ke dalam mobil."Hah? Aku nggak pegang ... dipegang Lili." Alana berusaha membuka handle pintunya. "Kunci cadangan dimana?""Dipegang Aldo."Mereka semakin mendekat, dengan suara serentak yang menyeramkan, seraya bernyanyi dengan nada yang khas."Biasanya Aldo simpan dimana?" tanya Alana. Alana mencari-cari disetiap sudut rumah, termasuk pada rak sepatu. Begitupun Bima. "Cari dibawah pot bunga, Bim!"Diantara beberapa pot bunga yang berada diluar rumah, Bima dan Alana terus mencarinya. Tak peduli berserakan, ataupun potnya yang pecah."Ketemu!" ucap Bima. Ia dengan cepat langsung membuka pintu rumahnya. "Masuk!""Lari ke kamar, Na!" teriak Bima. "Cepet!"Rombongan itu semakin mendekat. Hingga dimana, Alana mengintip dari jendela."Hah? Kak Martha dan Kak Mitha kok ada di rombongan itu?" tanya A
"Bim! Mereka semakin deket! Kita bisa mati, Bim," ucap Alana. Ia tidak bisa mengontrol rasa takutnya. "Kita harus pergi!"Bima hanya terdiam seraya menunduk."Bim! Kok gitu sih! Kita bakalan mati, Bima!" Tangisan Alana mulai pecah. Tubuhnya gemetar mendapati kondisi yang sedang Ia alami saat ini. "Bima!"Bima sesekali menatap Alana, tanpa berkutik."Bim! Gimana! Aku takut," ucap Alana sambil mengintip dicelah pintu.Wajah Bima terlihat bingung. "Aku harus hadapin mereka."Perlahan Alana menatap Bima. "Hah? Apanya yang 'hadapin mereka'? Siapa? Kamu? Gila! Nggak! Nggak ya! Jangan so jadi pahlawan." "Ya emang aku yang harus hadapin mereka."Alana mengerutkan keningnya. "What's wrong with you? Bukan saatnya! Tolong berpikir logis! Mereka bawa senjata loh, Bim. Mereka bukan satu orang. Banyak. Kamu mau mati?" Bima tak ingin mendengar perkataan Alana. Ia tetap kekeh pada pendiriannya. "Percaya deh, Na. Emang aku yang harus selesaiin ini.""Ya emang kamu udah lakuin apa? Ada hubungannya sa
Rita terus menyerang sembari membungkuk di bawah kolong tempat tidur. "MATII!!!" teriakan itu terus menghantui Alana. Alana memejamkan matanya. Tidak ada perlindungan, tidak ada harapan lain. Ia hanya bisa menahan isakan tangisnya dan berlindung dalam ketakutan. Alana terus membungkam mulutnya agar tidak bersuara. "Gue pasti mati hari ini," batinnya. Dipertengahan serangan Rita, seketika Alana menyadari bahwa tidak ada rasa sakit yang terasa. Rita terlihat puas seraya tertawa. Beberapa kali Ia menancapkan pisau itu pada box. Hingga dimana, Ia menyadari bahwa tidak ada jejak darah yang tertinggal pada pisau. "Hah!" Rita keheranan. Sesekali Ia mencoba lagi. Lagi-lagi pisaunya bersih tanpa noda darah.Namun, lagi-lagi tidak ada reaksi apapun dari Alana.Hal itu membuat Rita keheranan, mengapa tidak ada jeritan dari Alana ketika pisau itu menancap ke dalam box kardus.Alana membuka matanya. Seketika Alana mengingat sesuatu, bahwa Bima telah menyimpan bantal di sisi tubuh Alana."Bim! L
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan