Lili keheranan. "Coba pelan-pelan, jelasin secara detail. Siapa yang mau bunuh kita?" tanya Lili."Mereka Li! Mereka! Lo harus percaya! Gue hampir aja dibunuh Bu Rita!" jawab Alana, dengan napas terengah-engah. Tubuhnya tak berhenti bergetar. Alana terus mengamati keadaan. "Kita harus pergi sekarang! Cari Bima sekarang! Kita harus tolong Bima, Athur! Lili! ... Bima sendirian sedangkan mereka banyak.""Bima kemana?" tanya Athur. "Emangnya mereka kenapa?""Jangan banyak tanya! Kita harus cari Bima ... SEKARANG!" tegas Alana. "Kita bisa mati disini. Cepat atau lambat! Makanya gerak cepat ... mereka jahat Li, Athur. Percaya sama gue. Mereka agresif. Kalian bisa langsung kena tombaknya ... atau mereka bakalan nusuk kalian. Mereka tiba-tiba agresif, mereka gila, mereka jahat. Kita harus keluar malam ini.""Coba jelasin pelan-pelan ... mereka itu siapa?" tanya Lili. "Tarik napas pelan-pelan—" (ucap Lili disergah Alana)."Keburu kita mati, Lili ... ya mereka! Mereka ... semua orang-orang di K
Suara itu mengganggu dipikiran. Menggelegar. Menakutkan. Suara itu dimana-mana. Bahkan Alana dan Lili tak tahu sumber asalnya darimana."Suaranya dimana?" bisik Alana seraya tiarap. Sedikit demi sedikit merayap."Gatau. Kalo mereka semakin deket kesini, lo harus tetap merayap.""Merayap seperti ini?" Suara itu terdengar asing."Itu suara lo?" tanya Lili lagi."Bukan ...."Perasaan Alana dan Lili mulai tak karuan. Perlahan Alana dan Lili menggenggam pistol yang mereka bawa."Suara saya ... gini kan?"Jantung Alana dan Lili seketika berhenti seperkian detik. Napasnya mulai terengah-engah. Tubuhnya mulai lemas.Dengan cepat Alana menghidupkan senternya. Cahayanya langsung menyorot. Ada seseorang yang sudah berada di sisi Lili. Sedang merayap juga.Ia tertawa melengking. "Seperti ini?" Tubuhnya elastis merangkak dengan cepat. Lalu kembali lagi."Seperti ini? Seperti ini? Seperti ini?" Sepanjang merangkak Ia mengejek dengan tatapan tajam seraya tersenyum. "Atau ... seperti ini?" Tubuhnya k
Alana dan Lili sudah mempersiapkan segalanya. Termasuk untuk hari esok. Untung saja, semua perlengkapan berada di mobil dan beberapa senjata tajam ilegal bekas pencarian kasus mereka."Gue parkirin mobilnya di depan rumah. Sengaja, biar kalau lari nggak terlalu jauh," ucap Lili. "Yakin? Gue nggak usah ikut?""Gue rasa mereka emang nggak ada di sini. Jadi gue sendiripun bisa kok.""Langsung gesit Na! Ambil handphone, kembali ke mobil. 3 menit ya? Lo nggak balik, gue susul.""Iya."Perlahan Alana mengamati keadaan sekitar. Begitupun Lili, mengamati dari jauh. Alana mengendap-endap dan berusaha cepat agar bisa masuk ke dalam.Keadaan pintu rumahnya saja sudah jebol. Keadaannya sudah berbalik. Dulu damai sekarang mencengkeram. Memang, tak ada sesuatu hal yang berlebihan bisa digenggam dengan asal-asalan. Adapun, ada yang harus dikorbankan."Lama banget tuh anak." Lili mulai kepanikan, Alana tak kunjung kembali. Ia terus menatap pada smartwatch-nya. "Gue hitung 10 detik.""10.""9.""8.""
Sekumpulan anak lelaki menertawakan. “Yahahahahh kalo kamu bisa ambil sendal di pohon itu, kita enggak akan lagi gangguin kamu lagi,” jelas Haidan. Saat itu, Haidan menjadi anak kecil paling di takuti diusia sebayanya. Haidan sangat nakal dan sangat nekat. Apalagi, untuk anak penakut dan lemah seperti Alana. Alana terus berupaya mengambil sendalnya yang Haidan lemparkan. Hingga memanjat-manjat pohon. Namun, tetap saja tidak terambil. “Ciah nangis, gitu aja nangis, lemah!” tutur Haidan menjahili Alana. “Enggak! Alana nggak lemah! Kamu aja! Beraninya ke perempuan!” Hingga diikuti tangisan yang tersedu-sedu. “Bilangin—“ (ucap Alana langsung disergah Haidan). “Siapa? Emang aduan!” Membuat Haidan dengan paksa melepas sendal satunya dan melemparnya lagi. “Biar tahu rasa!” “Kamu kenapa sih? Gangguin Alana terus!” “Karena gue benci sama lo. Ayo guys! Tinggalin aja anak lemah ini.” Haidan dan teman-temannya pergi. Namun, seseorang melemparkan batu ke arah Haidan dan teman-temannya. Hi
Brughh!!!!“Papa!” jerit Alana.Tubuhnya tersungkur dan terjatuh dalam kerikil. “Hahahhah, maaf ... enggak liat!” ejek Haidan. Ia mendorong Alana hingga terjatuh. “Nangis nih pasti! Dasar cengeng,” ejeknya lagi. Mendengar itu, jiwa kecil Alana langsung bertekad untuk menjadi anak yang kuat. Alana teringat dengan anak lelaki itu. Yang dimana, Anak lelaki itu tidak mau berteman dengan anak yang lemah seperti Alana. Alana berdiri tak peduli pada luka yang Haidan beri. Alana berjalan dengan kepalan di tangannya. Raut wajah Alana penuh dengan kemurkaan.Anak kecil dengan tubuh yang mungil, berambut panjang dan berponi itu, kini menjalankan aksinya. “Sini kamu!” Tonjokkan dari tangan mungilnya berhasil mendarat di daerah hidung Haidan.Buggggg“Makanya! Ini balasan dari Alana! Kalo kamu ganggu Alana lagi, Alana jedotin palanya! Alana bakalan bawa batu yang besar, sebesar badan kamu!” Seraya menunjuk-nunjuk Haidan. “Nangis! Nangis kamu! Sana! Padahal Alana juga pelan,” seru Alana.Haidan
“Ayo kita jadi teman!” ucap seorang Anak Lelaki di belakang Alana. Alana sedang duduk melihat matahari yang akan terbenam. Di Dangau, tempat Alana bermain bermasak-masakan. Alana melirik. “Ternyata kamu.” Alana melanjutkan lamunannya seraya duduk dengan memeluk kedua lututnya. “Kamu lagi sedih, ya?” Anak Laki-laki itu berusaha mengajak Alana untuk mengobrol dan membujuknya. “Kamu hebat. Ternyata, kamu berani juga ya buat pukul orang yang jahat sama kamu.”Dengan wajah yang penuh dengan lamunan. Alana menghiraukan pertanyaan dari Anak Lelaki itu. “Jadi, kamu mau kan jadi temen Aku?”“Iya, tapi Alana lagi sedih. Alana enggak mau banyak ngomong,” jelas Alana. “Namaku Bima.” Ia memperkenalkan dirinya.“Rumahku di blok c. Kemarin aku liat kamu, aku tau rumah kamu.”“Kita tetanggaan ya.” Dengan wajahnya yang tidak ada gairah untuk semangat. “Iya, ayo kita main kejar-kejaran,” ajak Bima. “Enggak ah, Alana lagi enggak semangat. Alana pengen diem aja,” jawab Alana. Masih dengan bujukann
"Gimana Bim?? Lolos nggak?" Harapan yang berbinar terlihat dari mata cantik Alana.Alana telah diterima di perguruan tinggi yang Ia tuju. Sekarang, Alana sedang menunggu kabar baik dari Bima yang mengikuti Tes Kepolisian Bima terdiam menatap Alana."Yahh?? Nggak ya?" Alana menepuk-nepuk pundak Bima seraya memeluknya. "Jangan nyerah, Bim! Ayo berjuang lagi!"Raut wajah Bima berubah seketika menjadi ceria. "Panggil gue Pakpol sekarang!"Mendengar itu, suara hening kini berubah. Alana menutup mulutnya. "Omg... proud of you! Bima yang wangi!" seru Alana seraya memeluk tubuh Bima."Makacii banyakk ... eh, wangi doang? Gantengnya nggak?!!""Iya ganteng ... tapi banyakan wanginya.""Hahahah sialan emang orang cantik ini. Mau apa?" Bima mendongakkan kepalanya. "Apanya?""Gue kan lagi seneng ... jadi lo harus ikut ngerasain ... mau transfer atau cash?"****4 tahun kemudian ...Video call berlangsung."Bima, kangenn bangettt. Ayo ketemu!! Minggu gue wisuda!! Harus dateng yaaa.""Gue juga pel
"Janji dulu kemana, Na? Buat kita yang katanya bakalan selalu bareng-bareng terus?" tanya Bima hari itu di kafe. "Kalo Bima berusaha jujur dan terbuka, ini semua nggak akan terjadi, Bim. Gue takut—" (ucap Alana terpotong Bima). "Takut apa? Takut gue pacaran sama yang lain? Egois banget. Lo itu aneh." Bima masih menatap Alana. Alana menatap Bima. Bima mengangkat satu alisnya seraya menatap tajam. "Gue takut kalo emang pikiran gue beneran terjadi ... kalo selama ini lo nggak pernah serius sama gue!" "Alasannya? Bisa, lo jelasin itu semua?" "Karena gue kurang worth it, untuk semua itu, Bim. Lo nggak akan paham." "Gue pernah ngatain lo kaya gitu?" "Kalo lo sayang sama gue, lo nggak akan pernah biarin gue tersiksa sama semuanya." Alana hendak pergi, namun Bima menahannya. "Lo gini terus, lo pikir nggak buat gue bertanya-tanya? Duduk!" "Lo selalu gantungin hubungan kita, lo pikir pikiran gue aman-aman aja? Gue capek Bim. Gue capek selalu hidup dalam ketakutan." "Dan itu nggak ter