"Masa iya nggak rabun? Apa dia tau kita ada di dalam sini ya?" batin Lili. Sungguh, saat itu begitu menegangkan. "Gue bunuh juga percuma ... nggak akan mati-mati." Tatapan Lili terus menatap penutup tanki yang sedikit terbuka. Mata itu masih tetap melihat ke dalam tanki.Bau nya sungguh menyiksa. Bau anyir, bau bangkai, bahkan airnya pun sudah berubah menjadi warna hijau coklat pekat."Please gue mohon ... ayo pergi! Sana pergi!" batin Lili. "Ayo cabut semua kecurigaan lo."Ia membanting tutup tanki. Wajahnya perlahan mengintip. Semakin dekat, semakin dekat, Ia mendongakkan tubuhnya hampir ke dalam air. "Mati ... dia curiga, mati kita!" Lili mulai panik."Harum ...." Rita tertawa bahagia seraya menghirup darah Aldo. "Kamu tunggu disini. Sampai semuanya berkumpul. Termasuk mereka. Yang sudah terpilih ... akan terpilih. Dimana pun kamu," bisiknya. Kepalanya saja hampir terlepas. Rita menaikkan tubuhnya. Menutup lagi tutup tankinya.'Pyuh!' Alana dan Lili melepehkan percikan air yang b
"Itu apa?" tanya Lili. Penasaran akan berkas yang dipegang Alana."Gatau. Gelap. Coba senterin." Lili menyalakan senter. Cahayanya langsung menyorot pada nama di berkas itu."Fidi?" sentak Alana. "Kok?""Hah ... kenapa? Ini berkas apa? Diliat dari keadaan kertasnya kayaknya masih baru.""Tunggu ... Fidi? Kertasnya punya Fidi." Ia membuka lembaran setelahnya. "Gea? ini juga punya Gea.""Coba liat!" Lili merebut berkas itu. Perlahan membacanya hingga paham. "Nggak mungkin ...." Seketika Lili terkejut."Kenapa?""Korban-korban itu ... pelakunya bukan Fidi dan Gea.""Nggak mungkin hahahhah! Lo nggak bakalan bisa bohongin gue. Energi gue udah habis buat selesaiin kasus itu lagi!" Senyumnya berubah. Perlahan Alana terdiam. "Serius Li???" Alana merebut kembali berkasnya.Lili cemas. Usahanya selama ini telah mengkhianatinya. "Ck! Berarti semuanya belum terungkap Na. Hasil DNA menunjukkan, bahwa DNA Fidi dan Gea tidak cocok ... nggak mungkin.""Yang bener deh Li ah! Terus gimana dong?Pelakun
"Tunggu Li! Barang lo jatuh." Alana menyorot senter pada benda itu. "Kunci mobil! Untung Li! Kalo ilang kita nggak akan bisa pulang.""Ck! Ikut gue!"Lili menarik Alana.****"Mereka denger nggak ya Na?" tanya Lili seraya mengintip. Mereka memutuskan untuk menutupi tubuhnya memakai reruntuhan benda-benda itu."Kita harus kabur sih sekarang.""Jangan! Mereka suka tiba-tiba datang ....""Suara ambruknya aja kencang banget. Mustahil mereka nggak denger Li." Alana semakin fokus mengamati pintu. "Sialan! Kan ... orang gila emang.""Mereka kenapa suka banget ngintip sih," bisik Lili. CkiettttTerdengar cekikan pintu terbuka."Mungkin Rita?" tanya Lili dengan pelan.Mereka tetap mengamati hal yang terjadi di depannya."Nggak mungkin ...." Lili tersentak kaget saat dihadapkan dengan orang-orang itu. "Dari bayangannya empat orang loh Na.""Mereka banyak lagi ... aduh, gimana nih. Nggak mungkin gue lawan mereka. Energi gue tinggal sepersen," batin Alana. Alana dan Lili melakukan hal yang sama.
"Yah dikunci ... lo punya barang runcing? Apapun itu, jepit rambut?" tanya Alana seraya berusaha membuka pintu itu. "Sia-sia.""Gue rasa ...." Lili menilik-nilik pada lubang kunci. "Ini bukan pake kunci pada umumnya. Pintunya juga aneh banget." Lili teringat sesuatu. Ia mengeluarkan sesuatu dalam sakunya terbentuk lingkaran. "Gue berharap penuh atas ini."Lili menerapkan benda aneh itu pada lubang kunci. Benda aneh berbentuk bulat padat yang besarnya sebesar telapak tangan."Lo dari tadi bawa benda aneh itu nggak berat?" Lili menimpal. "Di situasi ini gue lupa sama hal yang nggak penting." Lili masih fokus menerapkan kunci itu. "Gue rasa ... ini kunci dari pintu ini. Tapi caranya gimana ya?""Coba gue liat." Alana mendekatkan pandangannya. "Ini ada gambar Li ... bentuknya gue rasa segitiga. Coba gue liat kuncinya." Kunci itu bulat dengan garis berbentuk V. Alana mencobanya. "Berhasil."Mereka mendorongnya. Pintunya kuno. Di zaman sekarang tak ada yang menjualnya kecuali memesannya de
Lili membuka beberapa buku lain. Mencari informasi lebih dalam. Karena masih tak percaya dengan apa yang Ia lihat.Buku-buku itu berisikan foto-foto kuno. Foto-foto pelaku. Foto-foto ritual yang telah mereka lakukan, termasuk beberapa korban.Lili membuka buku lain. Hatinya begitu gundah. Buku itu terlihat asing dan tak familiar. Napasnya terengah-engah, dengan cepat Lili membukanya. Didalamnya ada beberapa mantra, darah yang sudah mengering, juga beberapa benda-benda aneh yang terpasang. Lili menggelengkan kepalanya. "Na! Jelasin ... gue mohon jelasin semuanya. Gue salah liat ya? Gue salah paham juga kan?" Lili masih belum menerima dengan apa yang terjadi. "Gue nggak mau Na. Gue nggak suka tau tentang hal ini. Gue nggak terima sampai kapanpun." Lili masih tak percaya.Alana masih menangis. Tak banyak energi yang dapat dikeluarkan. "Bima dan Athur jahat banget ya Li ... ternyata mereka udah rencanain semuanya. Emang nggak ada orang yang sayang sama gue." Alana tersenyum. "Papa juga
Lili hanya terdiam menatap ke arah depan tanpa berkutik sedikit pun. Napasnya terengah-engah. Tangannya perlahan meraba pada pisau yang berada di saku celananya.Melihat respon Lili, hati Alana mulai gundah dan tak karuan. Perlahan Ia melirik kaca spion seraya membenarkannya. Dan dua tatapan kini saling menatap.Alana menoleh. "Eh ... ekhem. L-lo dari tadi di sini ya Thur? Padahal kita baru aja mau jemput lo sesuai posisi awal."Athur tak bereaksi apapun. Tak berkutik sedikit pun. Ia hanya menatap."Bima kemana?" tanya Alana lagi dengan suara gemetar. "Gue rasa, lo harus cari Bima."Ia masih melakukan hal yang sama.Tubuhnya mulai bergetar. "Sialan!" Alana tak dapat lagi berbasa-basi. Rasa takutnya perlahan menyelimutinya. Dengan cepat Athur menarik kepala Alana. Ia terus berusaha mematahkan. Alana lagi-lagi menahannya."Ahh! Lepasin! " jerit Alana. Alana berusaha melakukan perlawanan. Memukulnya. Namun seperti tak terasa sakit baginya.Melihat itu Lili spontan menusuk lengan Athur me
Lili mengamati aktivitas mereka. sesekali menilik-nilik Aldo. Tubuhnya sudah masak. Sudah habis terbakar. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkannya. Ia mengurungkan niatnya untuk tak memberitahu Alana. Liki putuskan untuk segera pergi menjauh melewati jalan lain. "Kita pulang sekarang kembali lewat jalan tadi." Lili menarik tangan Alana. "Kenapa? Kita udah mau sampe ... bisa jadi di belakang permukiman ini ada laut." "Enggak ... jangan! Putar balik. Mereka terlalu bahaya." Lili tetap kekeh seraya menarik tangan Alana. Tetapi lagi-lagi Alana menolaknya. "Jaraknya nggak deket, Lili! Kita nggak punya banyak waktu!" "Nggak Alana! Kita ambil jalan lain!" "Dimana-mana pun, mereka ada Lili. Waktu kita nggak banyak. Lo mau sampe besok kita ada di tempat jelas kaya gini?" greget Alana. Ia memelankan suaranya. "Di sana jumlah mereka banyak Alana! Lo bisa lari dari mereka? Lo bisa ngelawan Bima? Ngelawan orang-orang nggak jelas itu? Bisa? Kita cuma berdua." "Ah! Lo nggak jelas Li. K
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan