Lili melihat smartwatch-nya. "Masih lama. Masih jam 2 malam.""Gimana kalo Bima sama Athur udah nungguin di tempat yang tadi? Lo tau sendiri kan tempat itu bahaya?" ucap Alana, khawatir."Tenang aja ... kita ikutin aja sesuai dengan apa yang tadi udah direncanain," jawabnya. Bukan terlihat pasrah, tetapi 'ya sudahlah'.Alana menilik-nilik layar di handphone-nya. "Handphone Aldo masih aktif loh, Li.""Nah ya! Sekarang kita cari Aldo ... jangan habisin waktu lagi. Dimana itu?" tanya Lili."Nggak tau, pokonya kurang dari satu kilo.""Coba lo perbesar biar jelas." Lili mengambil handphone dalam genggaman Alana. "Biar gue coba." Lili memperbesar layarnya. "Hah? ... tunggu Na. Ini kayaknya gue salah deh." Masih menatapnya dengan teliti. "Masa kurang dari 5 meter?""Coba gue liat, Li." Alana merebut handphone-nya dengan cepat. "Ini udah pasti akurat sih, Li! Nggak mungkin bohong."Terdengar suara langkah dari luar mendekati.Lili menutup mulutnya dan menahan mulut Alana. Memberi isyarat untu
"Masa iya nggak rabun? Apa dia tau kita ada di dalam sini ya?" batin Lili. Sungguh, saat itu begitu menegangkan. "Gue bunuh juga percuma ... nggak akan mati-mati." Tatapan Lili terus menatap penutup tanki yang sedikit terbuka. Mata itu masih tetap melihat ke dalam tanki.Bau nya sungguh menyiksa. Bau anyir, bau bangkai, bahkan airnya pun sudah berubah menjadi warna hijau coklat pekat."Please gue mohon ... ayo pergi! Sana pergi!" batin Lili. "Ayo cabut semua kecurigaan lo."Ia membanting tutup tanki. Wajahnya perlahan mengintip. Semakin dekat, semakin dekat, Ia mendongakkan tubuhnya hampir ke dalam air. "Mati ... dia curiga, mati kita!" Lili mulai panik."Harum ...." Rita tertawa bahagia seraya menghirup darah Aldo. "Kamu tunggu disini. Sampai semuanya berkumpul. Termasuk mereka. Yang sudah terpilih ... akan terpilih. Dimana pun kamu," bisiknya. Kepalanya saja hampir terlepas. Rita menaikkan tubuhnya. Menutup lagi tutup tankinya.'Pyuh!' Alana dan Lili melepehkan percikan air yang b
"Itu apa?" tanya Lili. Penasaran akan berkas yang dipegang Alana."Gatau. Gelap. Coba senterin." Lili menyalakan senter. Cahayanya langsung menyorot pada nama di berkas itu."Fidi?" sentak Alana. "Kok?""Hah ... kenapa? Ini berkas apa? Diliat dari keadaan kertasnya kayaknya masih baru.""Tunggu ... Fidi? Kertasnya punya Fidi." Ia membuka lembaran setelahnya. "Gea? ini juga punya Gea.""Coba liat!" Lili merebut berkas itu. Perlahan membacanya hingga paham. "Nggak mungkin ...." Seketika Lili terkejut."Kenapa?""Korban-korban itu ... pelakunya bukan Fidi dan Gea.""Nggak mungkin hahahhah! Lo nggak bakalan bisa bohongin gue. Energi gue udah habis buat selesaiin kasus itu lagi!" Senyumnya berubah. Perlahan Alana terdiam. "Serius Li???" Alana merebut kembali berkasnya.Lili cemas. Usahanya selama ini telah mengkhianatinya. "Ck! Berarti semuanya belum terungkap Na. Hasil DNA menunjukkan, bahwa DNA Fidi dan Gea tidak cocok ... nggak mungkin.""Yang bener deh Li ah! Terus gimana dong?Pelakun
"Tunggu Li! Barang lo jatuh." Alana menyorot senter pada benda itu. "Kunci mobil! Untung Li! Kalo ilang kita nggak akan bisa pulang.""Ck! Ikut gue!"Lili menarik Alana.****"Mereka denger nggak ya Na?" tanya Lili seraya mengintip. Mereka memutuskan untuk menutupi tubuhnya memakai reruntuhan benda-benda itu."Kita harus kabur sih sekarang.""Jangan! Mereka suka tiba-tiba datang ....""Suara ambruknya aja kencang banget. Mustahil mereka nggak denger Li." Alana semakin fokus mengamati pintu. "Sialan! Kan ... orang gila emang.""Mereka kenapa suka banget ngintip sih," bisik Lili. CkiettttTerdengar cekikan pintu terbuka."Mungkin Rita?" tanya Lili dengan pelan.Mereka tetap mengamati hal yang terjadi di depannya."Nggak mungkin ...." Lili tersentak kaget saat dihadapkan dengan orang-orang itu. "Dari bayangannya empat orang loh Na.""Mereka banyak lagi ... aduh, gimana nih. Nggak mungkin gue lawan mereka. Energi gue tinggal sepersen," batin Alana. Alana dan Lili melakukan hal yang sama.
"Yah dikunci ... lo punya barang runcing? Apapun itu, jepit rambut?" tanya Alana seraya berusaha membuka pintu itu. "Sia-sia.""Gue rasa ...." Lili menilik-nilik pada lubang kunci. "Ini bukan pake kunci pada umumnya. Pintunya juga aneh banget." Lili teringat sesuatu. Ia mengeluarkan sesuatu dalam sakunya terbentuk lingkaran. "Gue berharap penuh atas ini."Lili menerapkan benda aneh itu pada lubang kunci. Benda aneh berbentuk bulat padat yang besarnya sebesar telapak tangan."Lo dari tadi bawa benda aneh itu nggak berat?" Lili menimpal. "Di situasi ini gue lupa sama hal yang nggak penting." Lili masih fokus menerapkan kunci itu. "Gue rasa ... ini kunci dari pintu ini. Tapi caranya gimana ya?""Coba gue liat." Alana mendekatkan pandangannya. "Ini ada gambar Li ... bentuknya gue rasa segitiga. Coba gue liat kuncinya." Kunci itu bulat dengan garis berbentuk V. Alana mencobanya. "Berhasil."Mereka mendorongnya. Pintunya kuno. Di zaman sekarang tak ada yang menjualnya kecuali memesannya de
Lili membuka beberapa buku lain. Mencari informasi lebih dalam. Karena masih tak percaya dengan apa yang Ia lihat.Buku-buku itu berisikan foto-foto kuno. Foto-foto pelaku. Foto-foto ritual yang telah mereka lakukan, termasuk beberapa korban.Lili membuka buku lain. Hatinya begitu gundah. Buku itu terlihat asing dan tak familiar. Napasnya terengah-engah, dengan cepat Lili membukanya. Didalamnya ada beberapa mantra, darah yang sudah mengering, juga beberapa benda-benda aneh yang terpasang. Lili menggelengkan kepalanya. "Na! Jelasin ... gue mohon jelasin semuanya. Gue salah liat ya? Gue salah paham juga kan?" Lili masih belum menerima dengan apa yang terjadi. "Gue nggak mau Na. Gue nggak suka tau tentang hal ini. Gue nggak terima sampai kapanpun." Lili masih tak percaya.Alana masih menangis. Tak banyak energi yang dapat dikeluarkan. "Bima dan Athur jahat banget ya Li ... ternyata mereka udah rencanain semuanya. Emang nggak ada orang yang sayang sama gue." Alana tersenyum. "Papa juga
Lili hanya terdiam menatap ke arah depan tanpa berkutik sedikit pun. Napasnya terengah-engah. Tangannya perlahan meraba pada pisau yang berada di saku celananya.Melihat respon Lili, hati Alana mulai gundah dan tak karuan. Perlahan Ia melirik kaca spion seraya membenarkannya. Dan dua tatapan kini saling menatap.Alana menoleh. "Eh ... ekhem. L-lo dari tadi di sini ya Thur? Padahal kita baru aja mau jemput lo sesuai posisi awal."Athur tak bereaksi apapun. Tak berkutik sedikit pun. Ia hanya menatap."Bima kemana?" tanya Alana lagi dengan suara gemetar. "Gue rasa, lo harus cari Bima."Ia masih melakukan hal yang sama.Tubuhnya mulai bergetar. "Sialan!" Alana tak dapat lagi berbasa-basi. Rasa takutnya perlahan menyelimutinya. Dengan cepat Athur menarik kepala Alana. Ia terus berusaha mematahkan. Alana lagi-lagi menahannya."Ahh! Lepasin! " jerit Alana. Alana berusaha melakukan perlawanan. Memukulnya. Namun seperti tak terasa sakit baginya.Melihat itu Lili spontan menusuk lengan Athur me
Lili mengamati aktivitas mereka. sesekali menilik-nilik Aldo. Tubuhnya sudah masak. Sudah habis terbakar. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkannya. Ia mengurungkan niatnya untuk tak memberitahu Alana. Liki putuskan untuk segera pergi menjauh melewati jalan lain. "Kita pulang sekarang kembali lewat jalan tadi." Lili menarik tangan Alana. "Kenapa? Kita udah mau sampe ... bisa jadi di belakang permukiman ini ada laut." "Enggak ... jangan! Putar balik. Mereka terlalu bahaya." Lili tetap kekeh seraya menarik tangan Alana. Tetapi lagi-lagi Alana menolaknya. "Jaraknya nggak deket, Lili! Kita nggak punya banyak waktu!" "Nggak Alana! Kita ambil jalan lain!" "Dimana-mana pun, mereka ada Lili. Waktu kita nggak banyak. Lo mau sampe besok kita ada di tempat jelas kaya gini?" greget Alana. Ia memelankan suaranya. "Di sana jumlah mereka banyak Alana! Lo bisa lari dari mereka? Lo bisa ngelawan Bima? Ngelawan orang-orang nggak jelas itu? Bisa? Kita cuma berdua." "Ah! Lo nggak jelas Li. K