"Bim! Mereka semakin deket! Kita bisa mati, Bim," ucap Alana. Ia tidak bisa mengontrol rasa takutnya. "Kita harus pergi!"Bima hanya terdiam seraya menunduk."Bim! Kok gitu sih! Kita bakalan mati, Bima!" Tangisan Alana mulai pecah. Tubuhnya gemetar mendapati kondisi yang sedang Ia alami saat ini. "Bima!"Bima sesekali menatap Alana, tanpa berkutik."Bim! Gimana! Aku takut," ucap Alana sambil mengintip dicelah pintu.Wajah Bima terlihat bingung. "Aku harus hadapin mereka."Perlahan Alana menatap Bima. "Hah? Apanya yang 'hadapin mereka'? Siapa? Kamu? Gila! Nggak! Nggak ya! Jangan so jadi pahlawan." "Ya emang aku yang harus hadapin mereka."Alana mengerutkan keningnya. "What's wrong with you? Bukan saatnya! Tolong berpikir logis! Mereka bawa senjata loh, Bim. Mereka bukan satu orang. Banyak. Kamu mau mati?" Bima tak ingin mendengar perkataan Alana. Ia tetap kekeh pada pendiriannya. "Percaya deh, Na. Emang aku yang harus selesaiin ini.""Ya emang kamu udah lakuin apa? Ada hubungannya sa
Rita terus menyerang sembari membungkuk di bawah kolong tempat tidur. "MATII!!!" teriakan itu terus menghantui Alana. Alana memejamkan matanya. Tidak ada perlindungan, tidak ada harapan lain. Ia hanya bisa menahan isakan tangisnya dan berlindung dalam ketakutan. Alana terus membungkam mulutnya agar tidak bersuara. "Gue pasti mati hari ini," batinnya. Dipertengahan serangan Rita, seketika Alana menyadari bahwa tidak ada rasa sakit yang terasa. Rita terlihat puas seraya tertawa. Beberapa kali Ia menancapkan pisau itu pada box. Hingga dimana, Ia menyadari bahwa tidak ada jejak darah yang tertinggal pada pisau. "Hah!" Rita keheranan. Sesekali Ia mencoba lagi. Lagi-lagi pisaunya bersih tanpa noda darah.Namun, lagi-lagi tidak ada reaksi apapun dari Alana.Hal itu membuat Rita keheranan, mengapa tidak ada jeritan dari Alana ketika pisau itu menancap ke dalam box kardus.Alana membuka matanya. Seketika Alana mengingat sesuatu, bahwa Bima telah menyimpan bantal di sisi tubuh Alana."Bim! L
Lili keheranan. "Coba pelan-pelan, jelasin secara detail. Siapa yang mau bunuh kita?" tanya Lili. "Mereka Li! Mereka! Lo harus percaya! Gue hampir aja dibunuh Bu Rita!" jawab Alana, dengan napas terengah-engah. Tubuhnya tak berhenti bergetar. Alana terus mengamati keadaan. "Kita harus pergi sekarang! Cari Bima sekarang! Kita harus tolong Bima, Athur! Lili! ... Bima sendirian sedangkan mereka banyak." "Bima kemana?" tanya Athur. "Emangnya mereka kenapa?" "Jangan banyak tanya! Kita harus cari Bima ... SEKARANG!" tegas Alana. "Kita bisa mati disini. Cepat atau lambat! Makanya gerak cepat ... mereka jahat Li, Athur. Percaya sama gue. Mereka agresif. Kalian bisa langsung kena tombaknya ... atau mereka bakalan nusuk kalian. Mereka tiba-tiba agresif, mereka gila, mereka jahat. Kita harus keluar malam ini." "Coba jelasin pelan-pelan ... mereka itu siapa?" tanya Lili. "Tarik napas pelan-pelan—" (ucap Lili disergah Alana). "Keburu kita mati, Lili ... ya mereka! Mereka ... semua orang-orang
Suara itu mengganggu dipikiran. Menggelegar. Menakutkan. Suara itu dimana-mana. Bahkan Alana dan Lili tak tahu sumber asalnya darimana. "Suaranya dimana?" bisik Alana seraya tiarap. Sedikit demi sedikit merayap. "Gatau. Kalo mereka semakin deket kesini, lo harus tetap merayap." "Merayap seperti ini?" Suara itu terdengar tak asing. "Itu suara lo?" tanya Lili lagi. "Bukan ...." Perasaan Alana dan Lili mulai tak karuan. Perlahan Alana dan Lili menggenggam pistol yang mereka bawa. "Suara saya ... gini kan?" Jantung Alana dan Lili seketika berhenti seperkian detik. Napasnya mulai terengah-engah. Tubuhnya mulai lemas. Dengan cepat Alana menghidupkan senternya. Cahayanya langsung menyorot. Ada seseorang yang sudah berada di sisi Lili. Sedang merayap juga. Ia tertawa melengking. "Seperti ini?" Tubuhnya elastis merangkak dengan cepat. Lalu kembali lagi. "Seperti ini? Seperti ini? Seperti ini?" Sepanjang merangkak Ia mengejek dengan tatapan tajam seraya tersenyum. "Atau ... seperti in
Alana dan Lili sudah mempersiapkan segalanya. Termasuk untuk hari esok. Untung saja, semua perlengkapan berada di mobil dan beberapa senjata tajam ilegal bekas pencarian kasus mereka."Gue parkirin mobilnya di depan rumah. Sengaja, biar kalau lari nggak terlalu jauh," ucap Lili. "Yakin? Gue nggak usah ikut?""Gue rasa mereka emang nggak ada di sini. Jadi gue sendiripun bisa kok.""Langsung gesit Na! Ambil handphone, kembali ke mobil. 3 menit ya? Lo nggak balik, gue susul.""Iya."Perlahan Alana mengamati keadaan sekitar. Begitupun Lili, mengamati dari jauh. Alana mengendap-endap dan berusaha cepat agar bisa masuk ke dalam.Keadaan pintu rumahnya saja sudah jebol. Keadaannya sudah berbalik. Dulu damai sekarang mencengkeram. Memang, tak ada sesuatu hal yang berlebihan bisa digenggam dengan asal-asalan. Adapun, ada yang harus dikorbankan."Lama banget tuh anak." Lili mulai kepanikan, Alana tak kunjung kembali. Ia terus menatap pada smartwatch-nya. "Gue hitung 10 detik.""10.""9.""8.""
Lili melihat smartwatch-nya. "Masih lama. Masih jam 2 malam.""Gimana kalo Bima sama Athur udah nungguin di tempat yang tadi? Lo tau sendiri kan tempat itu bahaya?" ucap Alana, khawatir."Tenang aja ... kita ikutin aja sesuai dengan apa yang tadi udah direncanain," jawabnya. Bukan terlihat pasrah, tetapi 'ya sudahlah'.Alana menilik-nilik layar di handphone-nya. "Handphone Aldo masih aktif loh, Li.""Nah ya! Sekarang kita cari Aldo ... jangan habisin waktu lagi. Dimana itu?" tanya Lili."Nggak tau, pokonya kurang dari satu kilo.""Coba lo perbesar biar jelas." Lili mengambil handphone dalam genggaman Alana. "Biar gue coba." Lili memperbesar layarnya. "Hah? ... tunggu Na. Ini kayaknya gue salah deh." Masih menatapnya dengan teliti. "Masa kurang dari 5 meter?""Coba gue liat, Li." Alana merebut handphone-nya dengan cepat. "Ini udah pasti akurat sih, Li! Nggak mungkin bohong."Terdengar suara langkah dari luar mendekati.Lili menutup mulutnya dan menahan mulut Alana. Memberi isyarat untu
"Masa iya nggak rabun? Apa dia tau kita ada di dalam sini ya?" batin Lili. Sungguh, saat itu begitu menegangkan. "Gue bunuh juga percuma ... nggak akan mati-mati." Tatapan Lili terus menatap penutup tanki yang sedikit terbuka. Mata itu masih tetap melihat ke dalam tanki.Bau nya sungguh menyiksa. Bau anyir, bau bangkai, bahkan airnya pun sudah berubah menjadi warna hijau coklat pekat."Please gue mohon ... ayo pergi! Sana pergi!" batin Lili. "Ayo cabut semua kecurigaan lo."Ia membanting tutup tanki. Wajahnya perlahan mengintip. Semakin dekat, semakin dekat, Ia mendongakkan tubuhnya hampir ke dalam air. "Mati ... dia curiga, mati kita!" Lili mulai panik."Harum ...." Rita tertawa bahagia seraya menghirup darah Aldo. "Kamu tunggu disini. Sampai semuanya berkumpul. Termasuk mereka. Yang sudah terpilih ... akan terpilih. Dimana pun kamu," bisiknya. Kepalanya saja hampir terlepas. Rita menaikkan tubuhnya. Menutup lagi tutup tankinya.'Pyuh!' Alana dan Lili melepehkan percikan air yang b
"Itu apa?" tanya Lili. Penasaran akan berkas yang dipegang Alana."Gatau. Gelap. Coba senterin." Lili menyalakan senter. Cahayanya langsung menyorot pada nama di berkas itu."Fidi?" sentak Alana. "Kok?""Hah ... kenapa? Ini berkas apa? Diliat dari keadaan kertasnya kayaknya masih baru.""Tunggu ... Fidi? Kertasnya punya Fidi." Ia membuka lembaran setelahnya. "Gea? ini juga punya Gea.""Coba liat!" Lili merebut berkas itu. Perlahan membacanya hingga paham. "Nggak mungkin ...." Seketika Lili terkejut."Kenapa?""Korban-korban itu ... pelakunya bukan Fidi dan Gea.""Nggak mungkin hahahhah! Lo nggak bakalan bisa bohongin gue. Energi gue udah habis buat selesaiin kasus itu lagi!" Senyumnya berubah. Perlahan Alana terdiam. "Serius Li???" Alana merebut kembali berkasnya.Lili cemas. Usahanya selama ini telah mengkhianatinya. "Ck! Berarti semuanya belum terungkap Na. Hasil DNA menunjukkan, bahwa DNA Fidi dan Gea tidak cocok ... nggak mungkin.""Yang bener deh Li ah! Terus gimana dong?Pelakun
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan