"Oh ... gitu?" Bima mengajak Athur untuk pergi ke tepi danau. "Yaudah!" ketusnya. “Happy wedding sama buaya putih," teriak Alana. “Makasih udah datang," balas Bima dengan kesal. “Kita udah nggak mau kenal kalian lagi,” sela Athur. Mendengar hal itu Alana langsung memeluk Lili. “Yeayy! Kita harus banyak bersyukur, Li. Akhirnya ... nggak ketempelan dua bayi jabang gede lagi." “Akhirnya ... pulang dari sini kita double date bareng CEO yang kemarin," ucap Lili. Perangkap Alana dan Lili sepertinya telah berhasil. Melihat Bima dan Athur langsung terdiam seraya menatap tajam. Wajahnya sangar. Mereka mengurungkan niatnya untuk ke danau. "Gue pake baju bunga edelweiss kali ya." Dengan sengaja Lili mengatakan. "Jangan, Na. Mending bunga Peony aja, cantik. Biar CEO klepek-klepek liat lo ... sekarang cari yang pasti-pasti aja," jelas Lili. "Laki-laki kalo penasarannya habis, ya ... udah, bakalan ninggalin." "Eh sttt Li, sttt ... nanti misi kita nanti ketahuan." Bima dan Athur semakin
Lili memberikan pertanyaan secara tiba-tiba terhadap Athur. “Jawab cepet ... pernah berkencan sama berapa cewek dalam seminggu?” “Nggak pernah kencan. Gue sibuk orangnya.” Jantung Athur kini berdegup kencang. "Tanya aja Bima. Gue selalu sibuk urusin kerjaan." Athur menatap Bima dengan penuh harapan seraya mengedipkan satu matanya. "Lebih percaya Bima ngupil pake kaki dibanding semua ucapan lo." Lili menatap ke arah Bima. "Permainan lelaki." Bima mengerutkan keningnya. "Kok gue??" "Bener Cantikku. Dengerin Abang deh, aku ini tulus setia ke kamu." "Enaknya apain ya, Na?" Lili tersenyum, terlihat mengetahui sesuatu. "Kasih jaminan, Li." "Hmmm." Athur berpikir keras seraya cemas. "Maunya apa? Kalo tetep nggak percaya, yaudah terserah." Lili melihat Alana yang kala itu sedang menatap Lili seraya tersenyum. "Tau kan Li?" ucap Alana. "Senjata akhir cowok pasti ngomong gitu," gumam Lili. "Padahal kita lebih suka jujur ya Li. Lebih terpesona aja sama cowok yang jujur," ucap Alana
"Aduh ... panas banget, gatel lagi," lirih Athur. Tangannya mulai terasa melepuh dan gatal. Bima, Alana dan Lili saat itu sangat sibuk mengobati Athur. "Lagian gue nggak habis pikir sama permainan lo, sebenarnya lo ini sengaja ya?! Gue udah kasih tau beberapa tanaman beracun. Dan lo ambil semua itu? Lo gila?" bisik Bima. "Awalnya gue pura-pura doang. Lagian juga lo bilang efeknya cuma kebas doang, kan?" bisik Athur terhadap Bima. "Gue nggak nyuruh lo pegang, bego! Itu sebagai pembelajaran buat lo kalo lagi olah TKP di lapangan! Karena gue tau lo goblok! Kebas kalo ambil satu macem Bunga. Lo kemarin ambil semua macem tambah daunnya! Makanya gausah inisiatif, lagian kalo lo mau caper nggak gini juga, nyusahin! Bikin banyak kerjaan aja!" bisik Bima seraya mengolesi lukanya dengan salep dengan kencang. "Ah!! sh! Brengsek!" "Ini." Alana memberikan kotak p3k cadangan. "Di luar nalar semua sifat lo, Thur. Pecicilan banget tangannya." "Niat gue kan baik." Athur menahan rasa sakit pada
"Sialan! Nggak ya! Geli banget! Istri aku kan kamu sayangku," ucap Athur seraya menatap Lili penuh harap. "Udah, sarapannya habisin. Terus istirahat," kata Lili. "Obatnya minum sesuai resep yang udah gue kasih tau. Tangan gue juga udah kebas banget nih." Tubuhnya lemas namun hatinya tetap bersemangat. "Siap istriku tercinta, kenapa Mami? Minum obat dongg, kok bisa kebas?" "Udah kebas banget pengen mukulin lo. Mami-mami!!" sergah Lili. Saat itu terlihat sangat menggelikannya Athur di matanya. "Oalah ... jadi lo kangen physical touch bareng gue." Athur terus menjahili Lili dengan perbuatannya yang menggelikan itu. "Pemikirannya agak-agak ya," ucap Alana. Lili menatap Athur. Athur membalasnya dengan tatapan yang kegirangan. "Tuh kan, pasti ada benih-benih cinta. Lo lagi suka-sukanya liat muka gue ya?" Diiringi dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi. "Ada ya ... orang sepercaya diri itu." Alana terus menyimak tingkah Athur dan Lili. Seraya menghabiskan sarapannya. "Iya, gu
Fidi dan Gea berbisik seraya tertawa. "Tangkap dan melebur menjadi asap. Dan kalian yang akan menjadi asapnya." Fidi menjelaskannya dengan tawaan yang mencekik. "Hiduplah dengan kebahagiaan dan kehidupan yang baru." "Sepertinya memang sudah parah dan tak dapat ditolong lagi ... psikisnya kena sih ini, perempuan gila!" gumam Athur. Lili tertawa. "Hahahah ... bagaimana jika kalian yang menjadi asap?" "Aku sudah menjadi asap, Lili. Ikutlah denganku. Kita harus hidup saling berbagi. Ayo temui peliharaan hitam milikku dan berbagilah." "Sepertinya kemarin adalah hari terakhir kamu bertemu dengan peliharaanmu itu ... sudah berpamitan?" "Tidak, karena kita ... akan selalu kembali," ucap Fidi dengan nada anak kecil. "Saya tidak tau kamu memiliki masa lalu seburuk apa. Orang melakukan hal sejahat apa hingga kamu seperti ini, tetapi kekurangan perhatian atau kejahatan dari orang lain tak seharusnya menjadikan alasan untuk kamu melakukan ini," ucap Alana. "Kejahatan orang lain dihidupmu jan
"Sudah, hasilnya tidak cocok." "Bisa saya lihat data dari kasus Hilman?" ucap Alana. "Baik saya ambilkan dulu." Karina bergegas mengambil beberapa berkas kasus pembunuhan Hilman di lemari. Alana teringat dengan kuku Zea yang patah. "Bagaimana dengan luka cakaran yang kita curigai?" tanya Alana. "Bukanya sudah terbukti bahwa itu terkena benda keras, ya?" tanya Lili. "Entah ... saya sangat meragukannya." "Kenapa?" tanya Karina, seraya memberikan berkas-berkas kasus Hilman terhadap Alana. "Terdapat beberapa kuku Zea yang patah. Hal itu dicurigai menjadi perlawanan korban terhadap pelaku." "Tunggu ... saya menangani beberapa korban yang kondisinya serupa. Itu sudah sangat lama ... lagi-lagi kasus itu ditutup." **** "Pada foto Zea ... tentunya, kalian sudah mengenalnya ... apa kalian mengenal perempuan ini?" Bima mengeluarkan foto Zea dan jenazah wanita yang di temukan di peternakan. Mereka tertawa layaknya seorang anak kecil yang sedang berbohong. "Nggak ... kita nggak kenal
"Tidak ada cakaran yang di temukan pada tubuh tersangka," ucap Alana seraya melihat data pada Fidi dan Gea saat sudah melakukan pengecekkan tubuh. "Karena kulit memiliki permukaan kenyal. Terlihat bahwa kuku Zea juga terlihat tumpul. Jika memungkinkan terjadi, tidak akan menyebabkan kukunya parah seperti itu, pasti hanya ada luka ringan antara keduanya. Sepertinya, opsi 1 sangat kecil kemungkinan terjadi." "Betul, Zea juga memiliki kuku yang pendek. Jadi sangat kecil kemungkinan untuk bisa patah, kecuali ada kaitannya dengan benda yang keras," sahut Lili. **** "Tinggal beberapa hari lagi hasil DNA keluar. Jujur gue takut dan sedikit ragu." Lili membereskan baju yang sudah Lili lipat. "Gue simpen baju dulu." Berpapasan dengan Bima yang saat itu turun dari tangga. "Eh ... tumben kalian belum tidur." Lili hanya menunjukkan baju yang Lili sudah lipat terhadap Bima. "Belum ngantuk," sahut Alana. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.03. Suasana terlihat sepi sekali. Terlihat hanya
“Athur!! Bima!! Ayo dong, harus gesit! Liat waktu,” teriak Lili seraya memakai sepatu. "Ayo dong!! Tinggal satu langkah lagi kasus ini terungkap." Pagi itu suasana rumah sangat rusuh. Ada telepon mendadak yang mengharuskan mereka pergi ke kantor karena ada bukti yang merujuk kepada Fidi dan Gea. Mereka akan melakukan penggeledahan rumah tersangka. “Na, liat kaos kaki baru gue, nggak?” Lili sibuk mencari kaos kaki yang baru saja Ia beli. "Ck! Ini kaos kaki satu lagi mana!?" “Enggak tau,” lirih Alana. Tubuhnya lemas seraya menggigil. Melihat kondisi Alana, Lili sangat terkejut. “Kenapa, Na?” ucap Lili seraya memegang kening Alana. Suhu tubuh Alana sangat tinggi. Lili dengan cepat mengambil obat di kotak P3k, di bawah. Berpapasan dengan Bima dan Athur, yang sudah siap untuk pergi. “Ayo,” ajak Athur, sambil merapihkan kerahnya. "Walaupun kedua tangan gue lagi kurang berfungsi ... tapi gue masih bisa taekwondo ... ciat ciat ciatt!!" kata Athur. Ia sembari berancang-ancang. "Gue sia