Terlihat seorang wanita paruh baya sedang membersihkan halaman rumahnya. Ia menyambut hangat kedatangan mereka. "Selamat pagi," sapa Alana dengan Bima. "Selamat pagi ... ada keperluan apa? Silakan masuk." "Terimakasih ... sebelumnya saya hanya ingin bertanya. Alana memberikan foto Gea dan Fidi. "Apa Ibu pernah melihat mereka? Saya harus mengunjunginya karena ada pesta pekan depan." "Raut wajahnya familier ya ... apa sudah menghubunginya?" tanya wanita paruh baya itu. "Sudah beberapa kali kami menghubunginya. Nomornya tiba-tiba sulit dihubungi. Sangat disayangkan ... saya sudah menyiapkan beberapa kado." "Kasihan sekali, pasti letih. Ayo masuk dulu ke dalam, saya punya beberapa cookies yang baru matang," ajaknya. "Atau boleh saya minta nomor telepon? Jika ada kabar mengenai orang ini, saya akan segera beritahu" Mendengar itu, Bima dan Alana sangat gembira atas kebaikan yang telah diperolehnya. "Tentu saja." Bima mencantumkan nomor pada kertas dengan menuliskannya menggunakan bo
Dengan makanan yang telah dibawanya, mereka menghidangkannya untuk saling mencicipi. "Enak banget ya, kalo setiap kasus ketemu orang baik kaya gini, kan enak," kata Athur, seraya menyantap makanannya. "Pertama kali diperlakukan sebaik-baiknya sama orang baik. Sekalinya ada, malah curiga," kata Lili. "Siapa yang nggak kaget, coba? Tiba-tiba disuruh bertamu, malahan pas banget lagi buat makanan," sahut Alana. "Loh sama persis banget kaya kita ya, Thur?" tukas Lili. Alana menimpal. "Katanya sih, di sini sepi banget. Sulit untuk berinteraksi. Kelihatannya baik-baik aja ya, tapi ternyata jarang keluar rumah semua. Sekalinya keluar, bikin orang seneng." "Beda banget kan Sama Athur?" ucap Bima. "Kalo Athur, sekalinya keluar rumah, malah bikin orang emosi soalnya 'pinjem seratus dong', gimana nggak bikin orang tantrum." "Yehh ... sekali doang," sahut Athur seraya menyantap kue pie. "Hah? 'Halah sekali doang' ... apanya yang sekali? Lo lakuin itu dalam sebulan tiga kali," timpal Bim
Pagi yang cerah, matahari bersinar terang benderang. Semuanya mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan bersama saat itu. Alana sedang menjemur beberapa pakaian, Bima sedang menyiapkan sarapan, Lili sedang membersihkan rumah, dan Athur membenarkan mobil yang sempat menabrak rusa saat pulang tadi malam. “Ada yang rusak, Thur?” kata Alana seraya memeras baju yang basah. “Lecet tuh body nya, lagian kenapa harus pilih rumah yang jauh dari mana-mana sih. Pake harus lewat hutan lagi.” “Kan diperkirakan target sekitaran sini, Thur,” sahut Alana. “Lagian semuanya ada hikmahnya, kan? Orang-orang di sini mau bantu juga, terus semuanya baik, sabar aja,” timpal Lili seraya menyapu debu dari rumah ke arah luar. “Kita tuh kekurangan bukti, mangkanya nungguin informasi dari setiap orang yang udah kita tanyain, kita udah ninggalin jejak ko, kalo emang mereka ditemuin ... mereka nggak kesusahan cari kita,” kata Alana. “Kita juga udah kerja sama, sama kepolisian di Kota ini.” “Ya ... di
“Tebak deh, Si Bima pasti bawa oleh-oleh, gue yakin,” kata Athur, seraya memainkan remot televisi. Alana, Lili, dan Athur. Mereka sedang merebahkan dirinya di sofa. Seraya menunggu kabar baik mengenai semua bukti yang telah tersebar. “Kenapa kita nggak jalan-jalan sore aja?” Alana memberikan idenya. “Gue denger sekitar 300 meter arah kanan itu ada danau, langit di sini bagus loh. Bisa sambil liat sunset.” “Itu yang gue tunggu,” sahut Athur, menyetujui ide yang Alana berikan. Dengan cepat Athur merapikan rambutnya. Begitu pun Lili, Lili menyetujuinya walaupun Lili terlihat sangat lemas hari ini. "Kenapa sayangku? Kok lemes sih?" tanya Athur seraya merayu Lili. "Muak liat muka lo." "Jangan terlalu benci, nanti kalo lo punya anak, anaknya bakalan mirip gue. Eh ... nggak apa-apa deh, gue kan bapaknya ya." Lili tersenyum. "Mau kanan apa kiri?" "Pasti mau di 'cup' ya ... dua-duanya ajaa deh," jawab Athur seraya tersenyum dan menutup kedua matanya. "Gue udah siap, Li.' **** Di s
"Oh ... gitu?" Bima mengajak Athur untuk pergi ke tepi danau. "Yaudah!" ketusnya. “Happy wedding sama buaya putih," teriak Alana. “Makasih udah datang," balas Bima dengan kesal. “Kita udah nggak mau kenal kalian lagi,” sela Athur. Mendengar hal itu Alana langsung memeluk Lili. “Yeayy! Kita harus banyak bersyukur, Li. Akhirnya ... nggak ketempelan dua bayi jabang gede lagi." “Akhirnya ... pulang dari sini kita double date bareng CEO yang kemarin," ucap Lili. Perangkap Alana dan Lili sepertinya telah berhasil. Melihat Bima dan Athur langsung terdiam seraya menatap tajam. Wajahnya sangar. Mereka mengurungkan niatnya untuk ke danau. "Gue pake baju bunga edelweiss kali ya." Dengan sengaja Lili mengatakan. "Jangan, Na. Mending bunga Peony aja, cantik. Biar CEO klepek-klepek liat lo ... sekarang cari yang pasti-pasti aja," jelas Lili. "Laki-laki kalo penasarannya habis, ya ... udah, bakalan ninggalin." "Eh sttt Li, sttt ... nanti misi kita nanti ketahuan." Bima dan Athur semakin
Lili memberikan pertanyaan secara tiba-tiba terhadap Athur. “Jawab cepet ... pernah berkencan sama berapa cewek dalam seminggu?” “Nggak pernah kencan. Gue sibuk orangnya.” Jantung Athur kini berdegup kencang. "Tanya aja Bima. Gue selalu sibuk urusin kerjaan." Athur menatap Bima dengan penuh harapan seraya mengedipkan satu matanya. "Lebih percaya Bima ngupil pake kaki dibanding semua ucapan lo." Lili menatap ke arah Bima. "Permainan lelaki." Bima mengerutkan keningnya. "Kok gue??" "Bener Cantikku. Dengerin Abang deh, aku ini tulus setia ke kamu." "Enaknya apain ya, Na?" Lili tersenyum, terlihat mengetahui sesuatu. "Kasih jaminan, Li." "Hmmm." Athur berpikir keras seraya cemas. "Maunya apa? Kalo tetep nggak percaya, yaudah terserah." Lili melihat Alana yang kala itu sedang menatap Lili seraya tersenyum. "Tau kan Li?" ucap Alana. "Senjata akhir cowok pasti ngomong gitu," gumam Lili. "Padahal kita lebih suka jujur ya Li. Lebih terpesona aja sama cowok yang jujur," ucap Alana
"Aduh ... panas banget, gatel lagi," lirih Athur. Tangannya mulai terasa melepuh dan gatal. Bima, Alana dan Lili saat itu sangat sibuk mengobati Athur. "Lagian gue nggak habis pikir sama permainan lo, sebenarnya lo ini sengaja ya?! Gue udah kasih tau beberapa tanaman beracun. Dan lo ambil semua itu? Lo gila?" bisik Bima. "Awalnya gue pura-pura doang. Lagian juga lo bilang efeknya cuma kebas doang, kan?" bisik Athur terhadap Bima. "Gue nggak nyuruh lo pegang, bego! Itu sebagai pembelajaran buat lo kalo lagi olah TKP di lapangan! Karena gue tau lo goblok! Kebas kalo ambil satu macem Bunga. Lo kemarin ambil semua macem tambah daunnya! Makanya gausah inisiatif, lagian kalo lo mau caper nggak gini juga, nyusahin! Bikin banyak kerjaan aja!" bisik Bima seraya mengolesi lukanya dengan salep dengan kencang. "Ah!! sh! Brengsek!" "Ini." Alana memberikan kotak p3k cadangan. "Di luar nalar semua sifat lo, Thur. Pecicilan banget tangannya." "Niat gue kan baik." Athur menahan rasa sakit pada
"Sialan! Nggak ya! Geli banget! Istri aku kan kamu sayangku," ucap Athur seraya menatap Lili penuh harap. "Udah, sarapannya habisin. Terus istirahat," kata Lili. "Obatnya minum sesuai resep yang udah gue kasih tau. Tangan gue juga udah kebas banget nih." Tubuhnya lemas namun hatinya tetap bersemangat. "Siap istriku tercinta, kenapa Mami? Minum obat dongg, kok bisa kebas?" "Udah kebas banget pengen mukulin lo. Mami-mami!!" sergah Lili. Saat itu terlihat sangat menggelikannya Athur di matanya. "Oalah ... jadi lo kangen physical touch bareng gue." Athur terus menjahili Lili dengan perbuatannya yang menggelikan itu. "Pemikirannya agak-agak ya," ucap Alana. Lili menatap Athur. Athur membalasnya dengan tatapan yang kegirangan. "Tuh kan, pasti ada benih-benih cinta. Lo lagi suka-sukanya liat muka gue ya?" Diiringi dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi. "Ada ya ... orang sepercaya diri itu." Alana terus menyimak tingkah Athur dan Lili. Seraya menghabiskan sarapannya. "Iya, gu