Ceklek Suara pintu terbuka, diikuti suara pintu terseret. Kamar yang rapih, bernuansa putih dan hijau sage menyatu. Hingga ketika melihatnya, terlihat mendamaikan dan menyejukkan mata. Lili mengerutkan keningnya. "Apanya yang nyeremin?" Alana dan Lili langsung mencari tahu ruangan tersebut, mencari dan berharap menemukan beberapa bukti yang kuat agar kasus ini terselesaikan. "Buka satu persatu semua laci, Na," perintah Lili. "Baik."Semua laci dari empat lemari besar mereka keluarkan. Hingga, tak ada sesuatu yang luput dari penglihatan mereka.Satu lemari telah Lili geledah. "Tidak ada, Na." Lili seraya membereskan barang-barangnya dan memasukkannya kembali."Sama, ini juga." Alana membuka lemari disisinya. "Coba sebelahnya, Li."Lagi-lagi, mereka tak menemukan hal yang mengarah kepada bukti-bukti yang mereka cari."Tinggal dua lemari, Li. Bagi-bagi saja, Li. Fokus!" Alana dan Lili mencari beberapa bukti di lemari terakhirnya."Ada?" tanya Alana seraya terus mencarinya."Tak ada
Alana menyimpan beberapa obat di meja. "Kami telah menemukan beberapa obat. Yang saya ketahui ini, ada beberapa obat kanker serta obat jantung, yang di mana masing-masing tertera nama Ibu Maya dan Pak Santoso. Apa benar Bapak, Ibu, memiliki riwayat penyakit ini?" Maya hanya bisa menangis seraya mengangguk dengan pelan. "Saya sudah sangat lelah dengan hidup ini. Ditambah lagi harus menjelaskan hal yang membuat saya sangat lemas dan energi saya habis jika harus membahas terus, Zea itu penyemangat bagi hidup saya walaupun memang Zea tidak seperti anak yang lain." "Tidak seperti anak lain?" tanya Bima. "Zea itu mengidap penyakit mental. Zea selalu berteriak. Katanya, selalu ada bisikan. Zea selalu ketakutan, Zea selalu melukai dirinya sendiri. Jika emosinya tak dapat Zea kontrol, Zea selalu melempar barang berat atau memukuli dirinya." Menjelaskan itu, Maya menangis sejadi-jadinya. "Kasihan anak saya, hidup matinya tidak ada kebahagiaan. Tidak ada keadilan. Hebatnya Zea, Zea selalu b
Atas bukti-bukti yang telah dikumpulkan, membuat Tim harus mencari keberadaan Sri dan Mayang untuk meminta penjelasan mengenai saksi atas Maya dan Santoso. Karena diketahui sudah memfitnah dan mencemarkan nama baik. "Bagaimana?" tanya Alana. "Apa Mayang berada di rumahnya?""Tidak ada," tegas Bima. Hari itu, Tim memutuskan untuk pergi ke kafe milik keluarga Mayang. Karena Mayang sudah tidak berada di rumah dengan semua furnitur rumahnya. Menempuh jarak 5km, dengan emosi Tim yang meluap-luap, semuanya penuh harapan, berharap apa yang ditakutkan tidak terjadi. "Masalahnya menjadi rumit, kasus Zea masih belum terpecahkan," kata Alana. Athur menimpal. "Kita hanya berputar-putar. Selama ini, hanya memecahkan sikap asli dari Sri dan Mayang saja." "Setidaknya kita mengetahui bahwa kedua orang tua Zea tidak bersalah. Mari tuntaskan," jawab Lili. "Benar ... tidak ada yang perlu disesalkan dalam berproses, fokus saja," sahut Bima seraya menyetir. Sementara itu, terdengar banyak kla
Alana tersenyum melihat tingkah Bima kegelian akibat ulah Athur."Gitu banget Bim. Lo yang pindah, atau gue yang pindah?" rayu Athur lagi.Tak ada reaksi dari Bima."Yaudah, Na. Pindah sini ... gue pengen bobo bareng sama Bima, pengen kelonin dia, pengen tepuk-tepuk dia." Athur masih merayu Bima.Alana melihat Bima saat itu Ia masih berpura-pura tertidur, walaupun terlihat matanya bergerak-gerak. "Yaudah." Alana hendak berdiri saat itu.Tangan Bima langsung menahan Alana, dengan posisi masih berpura-pura tertidur."Oh ... nggak jadi Thur, udah tidur bayinya. Tadinya kan mau dikasih ASA (Air Susu Athur) ... kayaknya udah kenyang.""Kenyang minum susu siapa, Bim?""Wah ... parah si Athur," kata Lili."Siapa?" tanya Alana."Pinggirnya! Hahaha!" seru Athur.Alana melihat Bima yang saat itu senyum-senyum seorang diri.Alana langsung mengusap wajah Bima. "Mesum!!""Apa! Nggak ya! Na! Gue mau tidur, nggak nyenyak gara-gara Athur!! Tolong Alana!!" Bima mengadu kepada Alana. Lucu, seperti ana
Suasana sudah terlihat sedikit cerah. waktu sudah menunjukkan pukul 07:30. Hanya sisa beberapa jam lagi, mereka beristirahat sejenak disebuah toko dan pom mini kecil, yang berada di pertengahan jalan. Saat itu, Bima membangunkan semuanya saat sedang tertidur lelap. Masing-masing dari mereka penuh harapan untuk cepat bisa sampai, tetapi masih belum lagi. "Ck! Belum sampai juga? Yahh ... pedahal udah panas punggung banget ini," ucap Alana seraya keluar dari mobil."Bangun! Heh!!" Lili membangunkan Athur."Lebahnya nyengat," ucap Athur seraya memposisikan badannya dan tidur kembali."Hah?" ucap Lili keheranan.Bima berteriak. "Udah, Li. Waktu kita nggak banyak, si Athur emang suka ngigo, udah biarin dia sama bunga mawar beserta madu dan lebahnya.""Enggak jelas emang! Lo nggak akan sarapan!" ketus Lili seraya terus membangunkan. "Bangun ... Athur!"Tamparan dari Lili berhasil membuat Athur terbangun. "Hah!!" Athur terbangun dengan wajah panik. "Lebahnya nyengat! Bunganya kebakaran!""
Seraya membereskan kamar yang akan ditempati Alana dan Lili, saat ini perasaan mereka sangat senang. Namun di sisi lain sangat curiga dengan rumah yang mereka tempati saat ini."Li? Curiga nggak sih? Dengan rumah yang sebesar ini ... mungkin untuk sistemnya oke, karena berbeda dengan kota asal kita. Tapi, harganya yang bisa dibilang rendah, jadi mikir-mikir lagi," kata Alana seraya membersihkan jendela dari debu.Lili tersenyum curiga dan mengangguk. "Gue udah mikir ini dari awal sih. Tapi seperti yang lo kasih tau dan beberapa media kasih tau, Memang kota Hema se-speechles itu, bukan? Mungkin kita nya aja yang terbiasa hidup dengan pengeluaran tinggi.""Gue jadi takut," kata Alana khawatir. "Lo nggak sendiri, mana Alana yang pemberani?" kata Lili dengan raut wajah tidak suka jika Alana menjadi murung karena overthinking nya. "Lili, Alana, sarapan," teriak Athur di bawah. "Ayo, kita sarapan," ajak Lili seraya menyimpan kemoceng yang Alana pegang. Dengan canda tawa gurauan seraya t
Terlihat seorang wanita paruh baya sedang membersihkan halaman rumahnya. Ketika melihat Alana dan Bima menghampirinya, Ia sangat menyambut kedatangan Alana dan Bima dengan sikapnya yang sangat ramah."Selamat pagi, Bu. Kami sedang mencari seseorang, yang di mana dia adalah teman saya, apakah ibu mengetahuinya?" Alana memberikan foto Gea dan Fidi. "Saya harus mengunjunginya karena ada pesta di akhir pekan, tetapi saya kurang tahu tempatnya di mana.""Raut wajahnya familier ya ... apakah sudah menghubunginya?" tanya wanita paruh baya itu. "Tentu saja, nomornya tiba-tiba sulit dihubungi. Jika saya kembali ke kota asal, sangat disayangkan ... saya sudah menyiapkan beberapa kado untuknya.""Kasihan sekali, pasti letih. Ayo masuk ke dalam, saya mempunyai beberapa cookies yang baru matang," ajaknya. "Atau, apakah boleh saya meminta nomor telepon? Jika ada kabar mengenai orang ini, saya akan segera memberitahu."Mendengar itu, Bima dan Alana sangat terpukau atas kebaikan yang telah diperoleh
Dengan makanan yang telah dibawanya, mereka menghidangkannya untuk saling mencicipi. "Enak banget ya, kalo setiap kasus ketemu orang baik kaya gini, kan enak," kata Athur, seraya menyantap makanan yang dibawa. "Pertama kali diperlakukan sebaik-baiknya sama orang baik. Sekalinya ada, malah curiga," kata Lili. "Siapa yang nggak kaget, coba? Tiba-tiba disuruh bertamu, malahan pas banget lagi buat makanan," sahut Alana. "Loh sama persis banget kaya kita ya, Thur?" tukas Lili.Alana menimpal. "Katanya sih, di sini sepi banget. Sulit untuk berinteraksi. Kelihatannya baik-baik aja ya, tapi ternyata jarang keluar rumah semua. Sekalinya keluar, bikin orang seneng.""Beda banget kan Sama Athur?" ucap Bima. "Kalo Athur, sekalinya keluar rumah, malah bikin orang emosi soalnya 'pinjem seratus dong', gimana nggak bikin orang tantrum." "Yehh ... sekali doang," sahut Athur seraya menyantap kue pie."Hah? 'Halah sekali doang' ... apanya yang sekali? Lo lakuin itu dalam sebulan tiga kali," timpal