Share

8. Penutupan Kasus

Penulis: Peony's
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-07 20:22:34

Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Mengotopsi jenazah secara langsung.

“Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana.

Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili.

“Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban.

****

"Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima.

Sudi menahan jantungnya. Batuknya mulai parah. "Rumah saya paling dekat dengan peternakan sapi tersebut. Sehingga, mungkin itu menjadi alasan Pak Edi mempercayakannya kepada Saya."

"Sebelumnya apa ada kendala? Apa Pak Sudi merasakan ketidaknyamanan?" tanya Athur.

"Hanya sedikit sakit bagian Dada sebelah kiri, mungkin kecapekan. Obat saya memang sudah habis. Ya, hal biasa, nanti juga reda." Sudi menarik napasnya.

“Bapak perlu obat apa? Biar kami yang menyediakan,” tanya Athur.

“Tidak usah, di tidurkan sejenak saja akan kembali pulih,” jawabnya.

"Baik, apakah setiap malam sapi-sapi itu tentram?" tanya Bima terhadap Sudi.

"Setiap malam memang jarang ada suara sapi. Namun ... waktu saya terbangun tengah malam, saat hari jumat awal-awal Pak Edi pergi sekitar 2 hari, sapi-sapi itu ramai mengeluarkan suaranya, tidak seperti biasanya. Saya hanya mengecek dari rumah saja. Pintunya juga aman, gemboknya masih terkunci. Saya kira itu bukan masalah yang besar." jelas Sudi. Karena suaranya yang serak dan tidak jelas, sehingga sedikit sulit untuk mencerna perkata yang disampaikan Sudi.

"Mohon maaf Pak, bisa ulangi perihal waktu dari suara itu dengan keberangkatan Pak Edi?" tanya Athur.

"Jadi, sapi-sapi itu, bersuara di hari itu saja, tidak seperti biasanya. Di mana, itu hari ke-2 Pak Edi telah pergi keluar kota," jelas Sudi.

"Sampai hari ini, sapi-sapinya masih bersuara di jam yang larut itu?" tanya Bima.

"Jarang ... hampir tidak pernah."

****

"Kematiannya sudah di pastikan, pelaku melakukannya di hari ke-2 setelah Pak Edi pergi." jelas Bima.

"Alasan apa yang mendasarinya?" tanya Alana.

"Sapi itu makhluk yang peka. Peka terhadap suara manusia. Tidak mungkin, ketika pelaku melakukan aksinya, tidak ada suara. Termasuk langkah kakinya dalam aksinya, memiliki suara." ucap Bima. "Tapi kita tidak bisa mengklaim bahwa itu terbukti. Bisa saja ada hal lain, yang membuat sapi itu bersuara. Seperti yang dijelaskan Pak Sudi. Bahwa, tembok dan pintunya aman."

"Di umurnya yang sudah menginjak 80 tahun, tentunya sudah dipastikan penglihatan Pak Sudi sudah ... ya! Perlu dipertanyakan," tukas Alana. "Bolehkah saya meminta untuk memberikan pertanyaan terhadap Pak Sudi?"

****

"Bisa Bapak deskripsikan hari itu, ketika suara sapi itu ramai, apa yang Bapak lihat?" tanya Alana.

"Malam i-itu—" suara yang serak seperti menahan kesakitan. Lalu, Sudi memegang jantungnya seraya sesak napas. " Ahkk!"

Melihat itu Alana dan Bima sigap memberikan pertolongan.

"Pakaiannya longgarin, Bim!" Alana mengecek detak jantungnya. "Bim telepon ambulans."

"Enggak mungkin, Na! Sekitar sejam ambulans sampe sini," jawab Bima. Bima berlari mengambil tabung oksigen di markas. “Gue panggil Lili sama Athur.”

Alana berusaha membawa Sudi ke tempat yang lebih aman dan tidak sempit. Sehingga, siklus udara yang masuk dapat di hirup.

"Bapak tenang ...."

Alana berusaha melakukan pertolongan pertama kepada Sudi. Hingga, Sudi tak sadarkan diri.

Alana berusaha menelepon ambulans. Tak peduli cepat dan lambat. Semuanya Ia usahakan dengan maksimal.

****

"Gawat! Tolong Pak Sudi, Li, Athur." Bima berlari lagi membawa tabung oksigen. "Cepet!" perintah Bima.

Melihat reaksi Bima panik, tentunya Athur dan Lili sigap berlari menuju tempat kediaman Sudi.

Suasana di rumah Sudi dipenuhi rasa khawatir dan gelisah. Suasana gerah dan panas. Hanya dibantu satu kipas angin kecil.

Semua orang di ruangan itu berlalu lalang berusaha menyelamatkan nyawa seseorang. Dengan keringat yang mengucur deras. Sudi saat itu sudah pucat dengan suhu badan yang mulai dingin. Hingga dimana, Sudi mulai tak sadarkan diri.

"Ahh!"

Usaha mereka tidak sampai situ. Mereka terus memberikan oksigen dan memompa jantung Sudi. Walaupun mereka mengetahui bahwa Sudi telah tiada.

"Enggak mungkin," sergah Athur.

Bima menahan tubuh Athur. "Athur! Lo nggak boleh kaya gini!"

Alana menggelengkan kepalanya dengan pelan, seraya menahan air matanya yang hendak keluar.

"Rabu, pukul 13.05, Pak Sudi telah mengembuskan napas terakhirnya," ucap Alana, seraya menunduk.

Mendengar itu, mereka semua berusaha tegar. Berkat Sudi, semua kasus ini hampir saja terpecahkan. Bagi Tim, Sudi bagaikan pahlawan, yang membantu mereka tanpa imbalan. Sudah sangat jauh perjuangannya mengikuti agar masalah ini segera terpecahkan. Bahkan, bisa di katakan seusianya sudah seharusnya untuk tidak banyak pekerjaan.

"Terima kasih Banyak, Pak Sudi." Kalimat yang selalu saja Alana katakan.

Sudi sudah di tangani oleh keluarganya. Kasusnya, secara paksa di berhentikan. Karena, tidak ada saksi lagi. Saksi kedua Edi, Edi tidak tahu banyak mengenai kasus ini. Karena, memang telah terbukti. Bahwa, Edi bersama keluarganya memang pergi keluar kota. Begitu pun, dengan Sudi. Tidak ada jejak yang menunjukkan bahwa Sudi bersalah. Sudi berpulang, karena terkena serangan jantung.

Jenazah perempuan itu, telah dikuburkan tanpa identitas. Namun, masih tetap di bagikan selembaran kertas mengenai identitas mengenai jenazah perempuan itu. Dengan sangat berharap keluarganya dengan cepat mengetahui.

Namun, Alana memang pribadi yang memiliki keinginan tau dan kewaspadaan yang sangat tinggi. Sehingga, sedikit mengganjal mengenai jenazah perempuan yang di temukan tersebut. Karena, kematian Sudi sudah di buktikan bahwa Sudi terkena serangan jantung. Sehingga, tidak ada jawaban lagi.

****

"Apa kita bakalan tutup kasus ini, Bim? Gimana kalau pembunuhnya masih berkeliaran?" tanya Alana dengan cemas.

"Dari semua kasus yang telah kita tangani, hanya kasus ini yang sulit dipecahkan," timpal Athur. "Kita harus buat pemberitahuan agar masyarakat lebih waspada."

"Tak ada jalan lain, selain menutup kasusnya. Beberapa upaya telah kita sebarkan baik luar maupun dalam negeri. Kita akan mencarinya kemana lagi? Dari bukti DNA yang cocok saja, tak ada yang mengarah ke pelaku. Sedangkan sanksi hanya Pak Sudi dan Pak Edi, keluarga Pak Sudi juga tak cocok dengan DNA tersebut," tutur Lili.

Bima menimpal seraya menyetir. "Kemungkinan besar, jenazah itu dibuang dari tempat yang sangat jauh. Dan tak ada pihak keluarga yang mengakuinya, kasus ini juga dilaporkan oleh warga setempat."

Bab terkait

  • Misteri Kematian di Kota Hema   9. Selingkuh

    Setelah seharian melihat-lihat tempat tinggal yang cocok. Alana memutuskan untuk tinggal sementara di apartemen. Suara ambulans, suara klakson mobil, suara helikopter, semuanya tampak ramai malam itu. "Sehancurnya-hancurnya hidup gue, dunia bakalan terus berjalan." Alana meneguk kopinya. Alana berdiam diri di atas rooftop sambil meminum Americano kesukaannya. Melihat pemandangan kota dari atas begitu menenangkan. "Sibuk banget ya orang-orang," gumamnya. "Kaya-kaya ... mereka kerja apa ya." 'Dunia masih terus akan berjalan tak akan menunggu bahkan tidak akan peduli sehancur apapun kamu saat ini'. Quote yang Alana baca dari handphone-nya. "Kebetulan banget ... ini maksudnya semesta lagi support gue ya?" kata Alana. Kembali menikmati sejuknya malam itu. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana reflek melihat notifikasi layar handphone-nya. "Dia lagi." Alana mengangkat teleponnya. "Apa?" ketus Alana. "Woih." Bima menjauhkan speaker handphone dari telinganya. "Jutek banget s

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-07
  • Misteri Kematian di Kota Hema   10. Pilek

    Malam itu, diparkiran mobil. Air matanya berlinang. Bima terus menghantam Adelio dengan tangan kosongnya. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. "Mau berapa kali lagi lo sakitin Alana!" Amarah Bima semakin membara. Sesekali Ia menyeret Adelio yang sudah tak berdaya. "Mati! Rasain!" Tidak menyerah. Adelio kembali memukul Bima di energi terakhirnya. Alana berusaha menghentikan Bima. Lagi-lagi tersingkirkan. Tubuhnya yang kecil jelas berbeda jauh jika dibandingkan Bima dan Adelio. "Ehh! Heh!" Security telah menghentikannya. "Hentikan atau saya panggil polisi." "Mau apa? Nggak usah capek-capek. Biar saya yang melapor." Alana menatap wajah Adelio. Rasa kecewa dan sedih. Semuanya bertabrakan. "Makasih ya ... kamu hari ini buktiin bahwa bukan aku orang yang kamu mau. Semuanya udah jelas. Maaf dan makasih." Adelio tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Dari tingkah lakunya, Adelio langsung merangkul kekasihnya. Hal itu, membuat Alana te

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-07
  • Misteri Kematian di Kota Hema   11. Teddy Bear

    "Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. Bima sudah siap akan pakaian olahraganya. Mengajak Alana lari pagi hari ini. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi. Lo pake ini buat sapu meja lo dari debu ya?" "Serah deh ... gue capek banget. Lagian ... ck! Lupain aja!" "Ini apa? Kaya semacam oli tapi bening." Ia memegang lip serum. Alana tetap menghiraukannya. Ia fokus menata barang. "Barang-barang lo nggak seru ... nggak ada warna biru, warna oren atau warna hijau neon." "Lo pikir hidup gue karnaval." "Monoton banget ... warna mocca semua. Ini ada warna putih, putih semua. Ga jelas." "Lo yang ga jelas! ck ...." Alana yang sedang mengelap meja langsung terhenti. Ia bercekak pinggang. Menatap Bima tajam. "Sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja. Sana mending urus si geral." "Geral udah mati. Lo kemana aja." Alana terkejut. "Seriuss Bim???" "Makanya ... lo nya aja sibuk pacaran. Lupain musang ki

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-08
  • Misteri Kematian di Kota Hema   12. Kasus 2

    Alana sedang mengotopsi keadaan jenazah. "Zea Hutami, berusia 17 tahun. Dengan berat badan 70kg dan Tinggi Badan 160cm, memiliki Golongan Darah B+," ungkap Alana. "Apa yang terjadi, pelakunya sangat kejam." "Entah dengan motif apa. Apa pelaku memiliki dendam? Ada luka sayatan di kedua lengannya," timpal Lili di ruangan Otopsi. Alana selalu sepaket dengan Lili ketika melakukan Otopsi. Alana sedang menangani kasus meninggalnya remaja perempuan yang berstatus masih menjadi pelajar di sekolah menengah atas. Ia ditemukan di semak-semak belukar berjarak 2 km dari rumahnya. Menurut orang-orang sekitar, Zea sudah menghilang sekitar 3 hari yang lalu. "Kemungkinan besar Zea meninggal sudah dua hari yang lalu." Alana melihat bagian kepala. "Rambutnya, sudah jelas ada tarikan. Rambutnya pun, sudah mulai habis. "Dari penjelasan rumah sakit, Zea memiliki riwayat penyakit pada lambungnya yang sudah kronis." Alana mengecek bagian atas hingga bagian bawah tubuh korban. Terlihat beberapa luka

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-08
  • Misteri Kematian di Kota Hema   13. Penyelidikan

    "Mengenai desas-desus yang dipercayai oleh orang-orang sekitaran sini, memangnya benar Pak, bahwa keluarga Pak Santoso menjalankan ilmu hitam atau semacam aliran sesat?" tanya Bima. "Saya tidak bisa mengatakan itu sebuah kebenaran, namun banyak kejadian yang menjadi pendorong bahwa kecurigaan kita selama ini adalah benar," jawab Dodi. Tetangga Santoso kedua yang Tim datangi. "Jadi ini semua tidak ada hal yang membuktikan ya, Pak? Lantas bagaimana bisa hal ini menyebar begitu saja dan mengarah kepada keluarga Pak Santoso?" tanya Lili. "Menyebar begitu saja, sejak saya pindah ke sini sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu sudah tersebar." "Apa Pak Dodi mengetahui, siapa orang yang menyebabkan desas-desus ini menyebar? Atau siapa orang yang mengungkapkan pertama kali kepada Pak Dodi?" tanya Alana. "Mungkin, bisa ditanyakan kepada Mayang." Dodi berpikir sejenak. "Ya ... sepertinya dia mengetahui lebih banyak, karena dia tinggal bersebrangan dengan rumah Pak Santoso." Bima menimpal. "At

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-09
  • Misteri Kematian di Kota Hema   14. Tiga Cakaran

    "Sri boleh ikut nggak? Sri takut," pinta Sri seraya memegang pangkal lengan Mayang. Perempuan berambut ikal panjang itu memaksa Tim untuk membawanya pergi. "Sri janji ... Sri bakalan lakuin apapun, asalkan Sri mohon, bawa Sri pergi dari sini." Tim satu sama lain saling bertatapan. Alana dan Bima saling mengangguk. "Karena belum ada sesuatu yang terbukti secara nyata, ditakutkan hal ini akan membahayakan Sri kedepannya. Memang benar ... alangkah baiknya Sri untuk pergi dari sini." "Jangan khawatir ... soal pekerjaan, kamu mau nggak kerja di kafe keluargaku?" tanya Mayang. Wajahnya seketika tersenyum. "Serius?" Matanya berbinar. "Serius dong, kamu bisa sekalian tinggal di sana. Ada mess nya juga." "Serius?" Mayang tertawa. "Hahahaha serius Sri ...." Sri langsung memeluk Mayang. "Makasih banyak ya Mayang." "Iya ... sama-sama. Kaya kesiapa aja." "Em ... kayaknya kita harus pulang sekarang. Jalannya minim pencahayaan dan juga ditakutkannya ada jalan yang ditutup," ucap Athur, s

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-09
  • Misteri Kematian di Kota Hema   15. Keegoisan

    Lili meneliti kehidupan korban lebih jauh. Semua sumber Ia amati. "Motif ditambahkan kotoran sapi, agar tidak meninggalkan jejak. Namun, sepertinya pelaku sedang sial," kata Alana. Membuat Lili menoleh. Lili tersenyum. "Ya ... pelaku menganggap kita bodoh. Padahal ... akhirnya semua kejahatan akan terungkap." "Dari awal saya sudah mencurigai bahwa jenazah tanpa identitas itu bukan asli kota ini. Maksudnya, Ia pendatang. Dari postur tubuhnya memang terlihat warga lokal," jelas Alana. "Hidungnya terlihat orang timur, rambutnya yang panjang, bulu mata yang lentik. Coba tolong bantu amati." Alana mengeluarkan beberapa sumber informasi yang telah Ia cari. Ia mengeluarkan laptop juga satu buah buku berjudul 'Haema'. "5 bulan yang lalu, ada sukarelawan yang mengekspos mengenai Kota Hema. Di sana hanya kota terpencil. kota itu makmur dan sangat tentram. Video itu viral ... hal itu membuat banyak orang datang lalu tak kembali ... katanya sih gitu. Belum ada informasi lebih lanjut dan bukti

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-09
  • Misteri Kematian di Kota Hema   16. Penggeledahan

    Lili menemui Alana di ruangannya untuk menanyakan kemajuan dalam pencarian bukti kasus pembunuhan Zea. "Apa ada bukti baru?" "Ada ... saya menemukan akun sosial media milik Ibu Maya, Ibu dari Zea. Aktif sekitar 5 bulan yang lalu. Yang di mana, jika melihat dari foto keluarga dari tahun ke tahun terlihat tentram dan baik-baik saja. Bahkan, setiap Zea berulang tahun, Zea selalu di rayakan. Hingga terakhir pada bulan Oktober, Zea diberikan kado sebuah motor matic," jelas Alana. "Tetapi hal itu biasa terjadi ketika seseorang menyembunyikan sesuatu, bukan?" "Tunggu dulu, masih ada lagi." Alana memperlihatkan kembali. "Beberapa video dari akun tersebut juga, memberikan beberapa cuplikan kebersamaan, Keluarga Pak Santoso sering sekali hangout bersama-sama, sering sekali berlibur, di semua videonya pun, Zea terlihat bahagia, tidak ada keterpaksaan." Lili melihat beberapa foto dan video yang sudah Alana jadikan beberapa dokumen di laptopnya. "Ini baru satu akun, saya juga menemukan di

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-09

Bab terbaru

  • Misteri Kematian di Kota Hema   71. Ending

    Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka

  • Misteri Kematian di Kota Hema   70. Menerima kemarin, hari ini, hari esok

    "Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu

  • Misteri Kematian di Kota Hema   69. Ulang tahun yang tak banyak harap

    "Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te

  • Misteri Kematian di Kota Hema   68. Memori yang tak kunjung hilang

    "Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal

  • Misteri Kematian di Kota Hema   67. Sulitnya hidup dalam ketakutan.

    Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.

  • Misteri Kematian di Kota Hema   66. Dipertemukannya Alana dan Lili

    "Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa

  • Misteri Kematian di Kota Hema   65. Pergi hilang dan lupakan

    "Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga

  • Misteri Kematian di Kota Hema   64. Selamat jalan

    Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek

  • Misteri Kematian di Kota Hema   63. Ritual untuk Alana

    Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status