Pukul 07: 23 pagi ...
Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Hanya membawa raganya yang lelah. Matanya kurangnya beristirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk "Huh! Lagi-lagi gini lagi." Alana menutup pintunya. Rasa kantuknya seketika hilang. "Omg!" Diperlihatkan pemandangan indah. Raut wajahnya berubah menjadi marah. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. "Lo bangun atau gue guyur pake nih minuman?" teriak Alana. Aldo bersama teman-temannya langsung berdiri. Tak peduli nyawa sudah berkumpul atau tertinggal. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak ... maafin kita." Tatapan Alana menatap Aldo. "Keren lo kaya gitu? Gue tuntut lo apa sih, Do? Gue pernah suruh lo kerja? Gue pernah suruh lo cuci baju sendiri? Nggak! Nggak kan? Hidup yang baik. Gue cuma minta itu satu. Kakak mati-matian buat lo sekolah. Biar lo nggak sama kaya gue yang apa-apa susah, Do." "Dan Aldo nggak pernah nyuruh Kakak lakuin itu." Mata Alana dipenuhi rasa kecewa. "Iya ... oh pasti! Karena emang lo pengen hidup bebas nggak punya duit, nggak sekolah, tapi banyak cewek? Dan hidup bahagia ...." Alana tertawa. "Gue lakuin paling awal kalo hidup bisa kaya gitu. Hidup ada aturan. Jangan masukin diri lo sendiri ke jurang." "Selebihnya gue nggak belagu kaya lo." "Gue pantes belagu karena orang yang gue sekolahin nggak tau malu. Gue nggak minta apa-apa dari lo, Do. Gue cuma mau hidup lo jauh lebih baik dari gue, apa itu salah?" teriak Alana. Tatapannya menatap teman-teman Aldo. "Kalian pulang atau saya panggil security. "Lo aja nggak tau malu sama Mama." "Lo tau apa?" "Gue tau semuanya. Lo aja yang selalu menyangkal." "Karena lo nggak pernah rasain diposisi gue! Lo tau apa? Waktu itu, lo aja masih kecil." "Mama lakuin itu buat lo makan. Buat beliin gue susu. Buat lo sekolah." "Buktinya? Ada? Keliatan? Cuma susah doang. Lo jangan menyangkal." "Siapa yang mau sih Kak? emangnya Mama mau diposisi kaya gitu?" "Lo bakalan rasain kalo lo ada diposisi gue. Selebihnya emang pada egois." "Emang lo aja yang belagu. Selalu menyangkal dan nggak terima." Alana menoleh dengan tatapan tajam. “Ngomong belagu ke gue, emangnya lo udah bisa dapetin apa? Pencapaian lo apa? Ngerengek minta motor? Mobil? Itu pencapaian lo? Bolos disekolah? Bangga lo?" Aldo menatap tajam. “Gue bisa hidup sendiri. Gue enggak butuh duit dari lo. Kayanya emang lo juga terlalu memaksakan. Lagian semua pencapaian lo juga dibantuin Kak Bima." Ucapan Aldo saat itu, sungguh menyakiti hati Alana. "Lo pikir gue mau diposisi kaya gini? Emangnya gue minta Bima buat lakuin ini? Lo tau apa brengsek! Lo pikir gue baik-baik aja selama ini atas apa yang telah terjadi sama gue sebagai 'takdir' yang udah ditetapin di hidup gue?” Alana melangkahkan kakinya seraya mengambil beberapa berkas dari kamarnya. "Hidup gue lebih menderita ketimbang hidup lo, Aldo." Emosi Alana tak bisa lagi dikendalikan. Ia berjalan menuju kamarnya, seraya menangis. "Lo pengen hidup sendiri, kan? Itu berkas-berkas yang harus lo bayar perbulan, termasuk cicilan ni rumah. Di tambah lagi, biayain nyokap lo. Gue lepasin semuanya. Termasuk biaya hidup lo, gue enggak ngurus. Gue nggak akan lagi mau anggap lo termasuk mama. Gue nggak kuat lagi.” Berpapasan dengan kedatangan Merlin. “Anakku, baru pulang. Gimana tugasnya? Lancar?” Merlin memeluk Alana. "Basi." Alana melepaskan pelukannya dan pergi. "Lo aja sikapnya bikin sakit hati Mama, Kak. Lo sadar dong." **** Bima sudah menunggunya di mobil, di depan rumah Alana. Bima terkejut. "Hah? Dia bawa apa?" Bima menilik-nilik. “Berkas apa yang dia bawa? Banyak banget ... emangnya dia lagi nyelesain kasus apaan? Apa skripsinya nunggak?” Bima terus menebak-nebak seraya melihat Alana. Bima membuka kaca mobilnya. Seraya mengeluarkan kepalanya. “Lama banget, gue udah nunggu setengah jam. Katanya harus gesit, lo sendiri yang lama. Itu lo bawa koper segede ondel-ondel bawa apa aja? Mau kemana? Mau pindah rumah lagi?" Mata Alana terlihat sembab dan merah. “Buka bagasi,” ketus Alana. "Siap ichibos." Bima langsung membuka bagasi mobilnya. Banyak pertanyaan di kepalanya mengenai Alana saat itu. Alana terus berusaha mengangkat kopernya. Namun tidak terangkat. Seraya sesekali mengelap air matanya. “Susah banget.” Beberapa kali Alana terus berusaha. Namun, masih saja tidak terangkat. “Susah banget, kenapa gini doang susah banget.” Lalu, Alana menangis tersedu-sedu seraya menutup wajahnya. Bima memperhatikan Alana. Tak berucap sedikitpun. Dengan ragu-ragu Bima bertanya. “M-mau gue bantu nggak, Na?” tanya Bima dengan polosnya. Alana mengelap air matanya. “Enggak usah, gue bisa sendiri.” Alana terus mencoba. “Tapi kayaknya lo kesusahan. Mau ... mau di bantu gak?” suaranya semakin ciut. "Gue bantu ya?" “Gue benci banget sama lo, Bim!" **** “Ya tinggal bilang ‘tolong, Bim’ udah, selesai,” ucap Bima seraya menyetir. “Anak kecil balita juga tau, Bima. Kalo tadi gue lagi murat-marit kesusahan angkat koper. Lo aja yang kurang kesadaran dalam hal menolong,” sahut Alana seraya menyilangkan kedua tangannya. "Aneh." “Gak semua orang paham apa isi hati lo, Alana Athaya,” tukas Bima. “Itu semua tadi bukan perihal tentang isi hati, Bima Argiantara! Tapi tentang kesadaran! Ya ... tanpa orang minta, kalo emang ada kesadaran dalam diri lo dan kalo orang lain lagi kesusahan dan kalo manusia punya hati yang baik, dia pasti bantu tanpa harus di minta. Manusia yang baik itu langsung ngelakuin, enggak usah nunggu orang lain minta dulu. Aneh banget!” jelas Alana. “Ya ... orang kalo enggak di mintain tolong, bakalan bodoamat. Kenapa coba enggak minta tolong? Nyusahin hidup lo aja. Kalo ada apa-apa di luar batas kemampuan lo, ya tinggal minta tolong.” “Pokonya pandangan dan pendirian gue tetep di ‘kesadaran’ pandangan lo terserah. Terserah Lo! Males banget debat masalah yang enggak penting. Udah lupain,” Alana mendelik malas. Bima menatap Alana seraya tersenyum. Berusaha dengan tegar memahaminya. Bahwa, perempuan memang seperti itu. “Yaudah lupain. Jadi, apa strategi supaya kasus ini cepat terselesaikan?” kata Bima seraya menyetir. Alana memasang raut wajah yang jutek dengan pandangannya ke arah kaca mobil. “Bukannya kemarin udah di jelasin?” ketus Alana. Bima tersenyum seraya memandangi Alana. “Udah donggg, jangan personal, gue minta maaf. Jangan bawa masalah pribadi dong, katanya udah lupain aja, maaf,” kata Bima, berbicara pelan dan halus. “Lah? Memangnya ada kalimat yang saya katakan perihal masalah pribadi? Lagi pula memangnya kita ada masalah? Kenapa minta maaf?” jawab Alana. Bima menghela napas. “Kita langsung saja ke rumah Pak Sudi ya? Siapkan beberapa pertanyaan, agar tidak memakan waktu yang banyak. Kita bisa lebih fokus agar bukti semakin cepat terkumpulkan.” “Baik.”Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Mengotopsi jenazah secara langsung. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya. Batuknya mulai parah. "
Setelah seharian melihat-lihat tempat tinggal yang cocok. Alana memutuskan untuk tinggal sementara di apartemen. Suara ambulans, suara klakson mobil, suara helikopter, semuanya tampak ramai malam itu. "Sehancurnya-hancurnya hidup gue, dunia bakalan terus berjalan." Alana meneguk kopinya. Alana berdiam diri di atas rooftop sambil meminum Americano kesukaannya. Melihat pemandangan kota dari atas begitu menenangkan. "Sibuk banget ya orang-orang," gumamnya. "Kaya-kaya ... mereka kerja apa ya." 'Dunia masih terus akan berjalan tak akan menunggu bahkan tidak akan peduli sehancur apapun kamu saat ini'. Quote yang Alana baca dari handphone-nya. "Kebetulan banget ... ini maksudnya semesta lagi support gue ya?" kata Alana. Kembali menikmati sejuknya malam itu. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana reflek melihat notifikasi layar handphone-nya. "Dia lagi." Alana mengangkat teleponnya. "Apa?" ketus Alana. "Woih." Bima menjauhkan speaker handphone dari telinganya. "Jutek banget s
Malam itu, diparkiran mobil. Air matanya berlinang. Bima terus menghantam Adelio dengan tangan kosongnya. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. "Mau berapa kali lagi lo sakitin Alana!" Amarah Bima semakin membara. Sesekali Ia menyeret Adelio yang sudah tak berdaya. "Mati! Rasain!" Tidak menyerah. Adelio kembali memukul Bima di energi terakhirnya. Alana berusaha menghentikan Bima. Lagi-lagi tersingkirkan. Tubuhnya yang kecil jelas berbeda jauh jika dibandingkan Bima dan Adelio. "Ehh! Heh!" Security telah menghentikannya. "Hentikan atau saya panggil polisi." "Mau apa? Nggak usah capek-capek. Biar saya yang melapor." Alana menatap wajah Adelio. Rasa kecewa dan sedih. Semuanya bertabrakan. "Makasih ya ... kamu hari ini buktiin bahwa bukan aku orang yang kamu mau. Semuanya udah jelas. Maaf dan makasih." Adelio tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Dari tingkah lakunya, Adelio langsung merangkul kekasihnya. Hal itu, membuat Alana te
"Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. Bima sudah siap akan pakaian olahraganya. Mengajak Alana lari pagi hari ini. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi. Lo pake ini buat sapu meja lo dari debu ya?" "Serah deh ... gue capek banget. Lagian ... ck! Lupain aja!" "Ini apa? Kaya semacam oli tapi bening." Ia memegang lip serum. Alana tetap menghiraukannya. Ia fokus menata barang. "Barang-barang lo nggak seru ... nggak ada warna biru, warna oren atau warna hijau neon." "Lo pikir hidup gue karnaval." "Monoton banget ... warna mocca semua. Ini ada warna putih, putih semua. Ga jelas." "Lo yang ga jelas! ck ...." Alana yang sedang mengelap meja langsung terhenti. Ia bercekak pinggang. Menatap Bima tajam. "Sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja. Sana mending urus si geral." "Geral udah mati. Lo kemana aja." Alana terkejut. "Seriuss Bim???" "Makanya ... lo nya aja sibuk pacaran. Lupain musang ki
Alana sedang mengotopsi keadaan jenazah. "Zea Hutami, berusia 17 tahun. Dengan berat badan 70kg dan Tinggi Badan 160cm, memiliki Golongan Darah B+," ungkap Alana. "Apa yang terjadi, pelakunya sangat kejam." "Entah dengan motif apa. Apa pelaku memiliki dendam? Ada luka sayatan di kedua lengannya," timpal Lili di ruangan Otopsi. Alana selalu sepaket dengan Lili ketika melakukan Otopsi. Alana sedang menangani kasus meninggalnya remaja perempuan yang berstatus masih menjadi pelajar di sekolah menengah atas. Ia ditemukan di semak-semak belukar berjarak 2 km dari rumahnya. Menurut orang-orang sekitar, Zea sudah menghilang sekitar 3 hari yang lalu. "Kemungkinan besar Zea meninggal sudah dua hari yang lalu." Alana melihat bagian kepala. "Rambutnya, sudah jelas ada tarikan. Rambutnya pun, sudah mulai habis. "Dari penjelasan rumah sakit, Zea memiliki riwayat penyakit pada lambungnya yang sudah kronis." Alana mengecek bagian atas hingga bagian bawah tubuh korban. Terlihat beberapa luka
"Mengenai desas-desus yang dipercayai oleh orang-orang sekitaran sini, memangnya benar Pak, bahwa keluarga Pak Santoso menjalankan ilmu hitam atau semacam aliran sesat?" tanya Bima. "Saya tidak bisa mengatakan itu sebuah kebenaran, namun banyak kejadian yang menjadi pendorong bahwa kecurigaan kita selama ini adalah benar," jawab Dodi. Tetangga Santoso kedua yang Tim datangi. "Jadi ini semua tidak ada hal yang membuktikan ya, Pak? Lantas bagaimana bisa hal ini menyebar begitu saja dan mengarah kepada keluarga Pak Santoso?" tanya Lili. "Menyebar begitu saja, sejak saya pindah ke sini sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu sudah tersebar." "Apa Pak Dodi mengetahui, siapa orang yang menyebabkan desas-desus ini menyebar? Atau siapa orang yang mengungkapkan pertama kali kepada Pak Dodi?" tanya Alana. "Mungkin, bisa ditanyakan kepada Mayang." Dodi berpikir sejenak. "Ya ... sepertinya dia mengetahui lebih banyak, karena dia tinggal bersebrangan dengan rumah Pak Santoso." Bima menimpal. "At
"Sri boleh ikut nggak? Sri takut," pinta Sri seraya memegang pangkal lengan Mayang. Perempuan berambut ikal panjang itu memaksa Tim untuk membawanya pergi. "Sri janji ... Sri bakalan lakuin apapun, asalkan Sri mohon, bawa Sri pergi dari sini." Tim satu sama lain saling bertatapan. Alana dan Bima saling mengangguk. "Karena belum ada sesuatu yang terbukti secara nyata, ditakutkan hal ini akan membahayakan Sri kedepannya. Memang benar ... alangkah baiknya Sri untuk pergi dari sini." "Jangan khawatir ... soal pekerjaan, kamu mau nggak kerja di kafe keluargaku?" tanya Mayang. Wajahnya seketika tersenyum. "Serius?" Matanya berbinar. "Serius dong, kamu bisa sekalian tinggal di sana. Ada mess nya juga." "Serius?" Mayang tertawa. "Hahahaha serius Sri ...." Sri langsung memeluk Mayang. "Makasih banyak ya Mayang." "Iya ... sama-sama. Kaya kesiapa aja." "Em ... kayaknya kita harus pulang sekarang. Jalannya minim pencahayaan dan juga ditakutkannya ada jalan yang ditutup," ucap Athur, s
Lili meneliti kehidupan korban lebih jauh. Semua sumber Ia amati. "Motif ditambahkan kotoran sapi, agar tidak meninggalkan jejak. Namun, sepertinya pelaku sedang sial," kata Alana. Membuat Lili menoleh. Lili tersenyum. "Ya ... pelaku menganggap kita bodoh. Padahal ... akhirnya semua kejahatan akan terungkap." "Dari awal saya sudah mencurigai bahwa jenazah tanpa identitas itu bukan asli kota ini. Maksudnya, Ia pendatang. Dari postur tubuhnya memang terlihat warga lokal," jelas Alana. "Hidungnya terlihat orang timur, rambutnya yang panjang, bulu mata yang lentik. Coba tolong bantu amati." Alana mengeluarkan beberapa sumber informasi yang telah Ia cari. Ia mengeluarkan laptop juga satu buah buku berjudul 'Haema'. "5 bulan yang lalu, ada sukarelawan yang mengekspos mengenai Kota Hema. Di sana hanya kota terpencil. kota itu makmur dan sangat tentram. Video itu viral ... hal itu membuat banyak orang datang lalu tak kembali ... katanya sih gitu. Belum ada informasi lebih lanjut dan bukti
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan