Pagi ini, Alana Athaya bersama Tim andalannya harus pergi ke suatu perkampungan Desa yang jauh dari Kota. Desa itu bernama Desa Lominggou. Mereka memiliki tugas untuk mengikuti Olah TKP menyelidiki kasus kematian seorang perempuan muda yang tidak diketahui identitasnya.
Dari laporan awal, mayat itu membusuk di tempat Peternakan Sapi. Mayatnya sudah membusuk dan tubuhnya penuh di tutupi dengan kotoran sapi yang menumpuk. kemungkinan pelaku melakukan itu tujuannya agar jenazah tersebut tertutupi dan mengsugestikan aromanya, sehingga sedikit menyamarkan. Laporan itu menurut laporan Edi pemilik peternakan sapi tersebut dan Sudi yang menemukan jenazah tersebut, saat hendak membersihkan kandang sapinya. Ruang Otopsi. “Seorang perempuan berumur 25 tahun. Dengan berat 85 kg, tinggi badan 165 Cm, rambut berwarna hitam panjang, berkulit sawo matang, bergolongan darah O,” jelas Alana. “Ada luka bekas tali yang kuat dalam pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Kemungkinan besar, pelaku mengikatkan tali atau sesuatu yang sangat kencang,” kata Lili, rekan Alana. “Tidak ada sidik jari tangan. Namun, terdapat cakaran dan sayatan pisau di pergelangan tangan kiri. Pembunuhnya menggunakan tangan kiri, yang berarti kidal,” ucap Alana, seraya melihat luka pada tubuh jenazah perempuan tersebut. Alana melihat bagian kepala korban. “Ada tarikan kencang pada rambutnya. Sehingga, hampir terlepas.” Lili melihat daerah kepala pada korban. "Ini bukan hampir, tapi sudah terlepas. Akibat dari darah yang sudah mengering sehingga kulit rambutnya menyatu kembali." Lili perlahan melihat keadaan tubuh korban. “Kemungkinan pelaku menutupnya dengan kotoran sapi agar membuat sugesti pada bau mayat,” tukas Lili. “Saya yang akan mencari DNA pada darahnya, Lili bisa mencari bukti lain, agar kasus ini semakin cepat terselesaikan.” Waktu interogasi. “Pada hari senin, ketika saya sudah memberikan sapi makan, saya mencium aroma bau busuk. Saya mencari dari mana datangnya aroma tersebut. Di ujung yang searah dengan pintu, di sana terdapat tumpukan kotoran sapi. Ya, saya pikir, baunya berasal dari kotoran itu. Makin hari, bau itu semakin tajam. Hari sabtu, saya memberanikan diri untuk menyingkirkannya. Mencari-cari dari mana aroma yang tidak sedap itu berasal. Hingga, sampai di dasarnya. Karena, saya merasa sangat penasaran dan saya juga tidak bisa menebak dan mengira. Saya begitu terkejut saat menemukan jenazah di balik kotoran itu. Karena, warnanya sudah tidak berupa, yang pertama saya lihat dan pegang itu sebelum saya tahu itu adalah perutnya yang sudah lebam, saya mencoba menjebloskan jari saya karena untuk memastikan dan ... ya bau sekali aromanya. Darah, semuanya. Aromanya sudah tidak karuan, semuanya menjadi satu,” jelas Sudi. “Apakah ada pagar atau kunci yang rusak?” tanya Bima, ditemani oleh Athur. “Tidak ada. Walaupun, tempatnya yang luas. Namun, tidak ada celah sama sekali. Kuncinya juga saya pegang. Tetapi, saya tidak tahu apakah ada cadangan kunci lain atau tidak.” **** “Mengapa kotoran itu dibiarkan menumpuk?” tanya Bima, menyelidiki. “Sebelum Saya berangkat ke luar kota, saya sudah membersihkan kotoran tersebut. Tidak ada kotoran sapi yang menumpuk. Dan juga, sudah lebih dari satu bulan saya meninggalkan peternakan dan menitipkannya kepada Pak Sudi. Ya ... hanya untuk memberikan makan saja. Di kepergian saya biarlah kotoran sapi itu tidak perlu di bersihkan. Karna, saya sedikit tidak enak kepada Pak Sudi,” jelas Edi. “Di umurnya yang seharusnya sudah tidak bekerja, mengapa harus Pak Sudi? Jika diberi upah, bukannya menjadi kewajiban Pak Sudi, untuk menjaga sapi, termasuk juga kepada kebersihannya?” tanya Athur. “Saya hanya berniat untuk membantu dengan memberikan pekerjaan kepada Pak Sudi. Saya berikan keringanan, untuk tidak membersihkan kotoran. Karena, tempatnya luas. Di tambah lagi umur Pak Sudi yang sudah 80 tahun, pasti keberatan ... kasihan. Terlebih lagi, Pak Sudi lebih mengetahui mengenai rumput-rumput yang harus di makan sapi-sapi.” Edi memperlihatkan foto pada saat sebelum diberitahukannya di temukan seorang jenazah di peternakannya. Saat di mana sedang pergi keluar kota bersama keluarganya. Edi, istrinya Ima, dan kedua anaknya, Diandra yang sedang berkuliah dan adiknya yang masih kecil berumur 5 tahun. “Ini pagi sebelum Pak Sudi menelepon menemukan mayat dalam peternakan saya. Siang itu saya langsung bergegas memutuskan untuk pulang.” “Selain Bapak Edi yang memiliki kunci, siapa lagi?” lanjut Bima, menyelidiki. “Saya hanya memiliki dua kunci, saya memegangnya dan kunci cadangan yang saya berikan kepada Pak Sudi,” kata Edi. “Baik, Terima kasih atas penjelasannya.” **** “Menurut penjelasan dari Pak Edi, apakah betul tugas Pak Sudi hanya memberikan makan tanpa membersihkan lapangan peternakan tersebut?” Bima menyelidiki, berharap bisa menemukan kabar terbaru. “Betul. Namun, saya merasa malu. Maksud saya, saya membersihkan kotoran sapi tersebut, untuk memberikan rasa terima kasih kepada Pak Edi, karena telah memberikan saya pekerjaan,” jelas Sudi. “Apakah sebelum Jenazah tersebut ditemukan, ada kecurigaan lain?” Bima membaca penjelasan dari saksi-saksi yang telah di kumpulkan. “Tidak ada.” **** Kafe Argyagya perbatasan antara Desa Lominggou dengan kota. Pukul 01.15 malam. Alana dan Bima beristirahat sejenak dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Mereka akan melanjutkan menyelusuri kasus ini esok pagi. Karena, ada beberapa berkas yang tertinggal di rumahnya yang harus Alana dan Bima ambil, untuk keperluan penelusuran mereka. “Gimana?” Alana seraya meminum Kopi Americano. “Apa ada kabar terbaru? Sepertinya, kita kekurangan saksi. Kita harus lebih teliti.” “Ini menjadi salah satu alasan, mengapa pelaku menutupinya dengan kotoran sapi. Selain untuk menghilangkan jejak, pelaku pikir untuk mensugestikan baunya,” ucap Alana, seraya melihat foto korban dalam laptopnya. "Tak ada sidik jari ... tetapi tenang saja, bagaimanapun kejahatan disembunyikan, semua itu akan terungkap. Semesta yang akan ikut mengungkapkan." Bima meneguk kopinya. “Lalu selanjutnya, apa langkah yang akan kita ambil?” “Seperti yang sudah saksi jelaskan dari sini kita dapat mengetahui. Jika, tidak ada hal yang rusak dalam bangunan tersebut, sudah jelas bahwa pelaku memiliki akses untuk masuk ke dalam peternakan. Sedangkan, menurut Pak Edi hanya terdapat 2 kunci. Semua itu, hanya di miliki Pak Edi dan Pak Sudi,” jelas Alana seraya membuka lembaran-lembaran penjelasan dari saksi yang telah di rekap oleh Bima. “Saya perlu berbicara dengan Pak Sudi.” “Apa Pak Sudi yang melakukannya?” tanya Bima penasaran. "Penasaran." “Berat dari jenazah tersebut 85kg. cukup gemuk. Jika di lihat dari umurnya Pak Sudi, Pak Sudi sudah tidak seharusnya untuk bekerja. Kemungkinan yang kecil. Bahkan, logika saja mengatakan tidak mungkin. Memakai alat dorong saja tidak akan mungkin, Bim.” “Mungkin aja, Na." Alana mendelik.”Ck! Be smart, Bima! Kita enggak ada waktu lagi buat main-main! Coba jelasin, kalo iya Pak Sudi yang lakuin, angkat jenazahnya pake apa coba?” tegas Alana.Pukul 07: 23 pagi ... Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Hanya membawa raganya yang lelah. Matanya kurangnya beristirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk "Huh! Lagi-lagi gini lagi." Alana menutup pintunya. Rasa kantuknya seketika hilang. "Omg!" Diperlihatkan pemandangan indah. Raut wajahnya berubah menjadi marah. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. "Lo bangun atau gue guyur pake nih minuman?" teriak Alana. Aldo bersama teman-temannya langsung berdiri. Tak peduli nyawa sudah berkumpul atau tertinggal. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak ... maafin kita." Tatapan Alana menatap Aldo. "Keren lo kaya gitu? Gue tuntut lo apa sih, Do? Gue pernah suruh lo kerja? Gue pernah suruh lo cuci baju sendi
Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Mengotopsi jenazah secara langsung. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya. Batuknya mulai parah. "
Setelah seharian melihat-lihat tempat tinggal yang cocok. Alana memutuskan untuk tinggal sementara di apartemen. Suara ambulans, suara klakson mobil, suara helikopter, semuanya tampak ramai malam itu. "Sehancurnya-hancurnya hidup gue, dunia bakalan terus berjalan." Alana meneguk kopinya. Alana berdiam diri di atas rooftop sambil meminum Americano kesukaannya. Melihat pemandangan kota dari atas begitu menenangkan. "Sibuk banget ya orang-orang," gumamnya. "Kaya-kaya ... mereka kerja apa ya." 'Dunia masih terus akan berjalan tak akan menunggu bahkan tidak akan peduli sehancur apapun kamu saat ini'. Quote yang Alana baca dari handphone-nya. "Kebetulan banget ... ini maksudnya semesta lagi support gue ya?" kata Alana. Kembali menikmati sejuknya malam itu. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana reflek melihat notifikasi layar handphone-nya. "Dia lagi." Alana mengangkat teleponnya. "Apa?" ketus Alana. "Woih." Bima menjauhkan speaker handphone dari telinganya. "Jutek banget s
Malam itu, diparkiran mobil. Air matanya berlinang. Bima terus menghantam Adelio dengan tangan kosongnya. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. "Mau berapa kali lagi lo sakitin Alana!" Amarah Bima semakin membara. Sesekali Ia menyeret Adelio yang sudah tak berdaya. "Mati! Rasain!" Tidak menyerah. Adelio kembali memukul Bima di energi terakhirnya. Alana berusaha menghentikan Bima. Lagi-lagi tersingkirkan. Tubuhnya yang kecil jelas berbeda jauh jika dibandingkan Bima dan Adelio. "Ehh! Heh!" Security telah menghentikannya. "Hentikan atau saya panggil polisi." "Mau apa? Nggak usah capek-capek. Biar saya yang melapor." Alana menatap wajah Adelio. Rasa kecewa dan sedih. Semuanya bertabrakan. "Makasih ya ... kamu hari ini buktiin bahwa bukan aku orang yang kamu mau. Semuanya udah jelas. Maaf dan makasih." Adelio tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Dari tingkah lakunya, Adelio langsung merangkul kekasihnya. Hal itu, membuat Alana te
"Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. Bima sudah siap akan pakaian olahraganya. Mengajak Alana lari pagi hari ini. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi. Lo pake ini buat sapu meja lo dari debu ya?" "Serah deh ... gue capek banget. Lagian ... ck! Lupain aja!" "Ini apa? Kaya semacam oli tapi bening." Ia memegang lip serum. Alana tetap menghiraukannya. Ia fokus menata barang. "Barang-barang lo nggak seru ... nggak ada warna biru, warna oren atau warna hijau neon." "Lo pikir hidup gue karnaval." "Monoton banget ... warna mocca semua. Ini ada warna putih, putih semua. Ga jelas." "Lo yang ga jelas! ck ...." Alana yang sedang mengelap meja langsung terhenti. Ia bercekak pinggang. Menatap Bima tajam. "Sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja. Sana mending urus si geral." "Geral udah mati. Lo kemana aja." Alana terkejut. "Seriuss Bim???" "Makanya ... lo nya aja sibuk pacaran. Lupain musang ki
Alana sedang mengotopsi keadaan jenazah. "Zea Hutami, berusia 17 tahun. Dengan berat badan 70kg dan Tinggi Badan 160cm, memiliki Golongan Darah B+," ungkap Alana. "Apa yang terjadi, pelakunya sangat kejam." "Entah dengan motif apa. Apa pelaku memiliki dendam? Ada luka sayatan di kedua lengannya," timpal Lili di ruangan Otopsi. Alana selalu sepaket dengan Lili ketika melakukan Otopsi. Alana sedang menangani kasus meninggalnya remaja perempuan yang berstatus masih menjadi pelajar di sekolah menengah atas. Ia ditemukan di semak-semak belukar berjarak 2 km dari rumahnya. Menurut orang-orang sekitar, Zea sudah menghilang sekitar 3 hari yang lalu. "Kemungkinan besar Zea meninggal sudah dua hari yang lalu." Alana melihat bagian kepala. "Rambutnya, sudah jelas ada tarikan. Rambutnya pun, sudah mulai habis. "Dari penjelasan rumah sakit, Zea memiliki riwayat penyakit pada lambungnya yang sudah kronis." Alana mengecek bagian atas hingga bagian bawah tubuh korban. Terlihat beberapa luka
"Mengenai desas-desus yang dipercayai oleh orang-orang sekitaran sini, memangnya benar Pak, bahwa keluarga Pak Santoso menjalankan ilmu hitam atau semacam aliran sesat?" tanya Bima. "Saya tidak bisa mengatakan itu sebuah kebenaran, namun banyak kejadian yang menjadi pendorong bahwa kecurigaan kita selama ini adalah benar," jawab Dodi. Tetangga Santoso kedua yang Tim datangi. "Jadi ini semua tidak ada hal yang membuktikan ya, Pak? Lantas bagaimana bisa hal ini menyebar begitu saja dan mengarah kepada keluarga Pak Santoso?" tanya Lili. "Menyebar begitu saja, sejak saya pindah ke sini sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu sudah tersebar." "Apa Pak Dodi mengetahui, siapa orang yang menyebabkan desas-desus ini menyebar? Atau siapa orang yang mengungkapkan pertama kali kepada Pak Dodi?" tanya Alana. "Mungkin, bisa ditanyakan kepada Mayang." Dodi berpikir sejenak. "Ya ... sepertinya dia mengetahui lebih banyak, karena dia tinggal bersebrangan dengan rumah Pak Santoso." Bima menimpal. "At
"Sri boleh ikut nggak? Sri takut," pinta Sri seraya memegang pangkal lengan Mayang. Perempuan berambut ikal panjang itu memaksa Tim untuk membawanya pergi. "Sri janji ... Sri bakalan lakuin apapun, asalkan Sri mohon, bawa Sri pergi dari sini." Tim satu sama lain saling bertatapan. Alana dan Bima saling mengangguk. "Karena belum ada sesuatu yang terbukti secara nyata, ditakutkan hal ini akan membahayakan Sri kedepannya. Memang benar ... alangkah baiknya Sri untuk pergi dari sini." "Jangan khawatir ... soal pekerjaan, kamu mau nggak kerja di kafe keluargaku?" tanya Mayang. Wajahnya seketika tersenyum. "Serius?" Matanya berbinar. "Serius dong, kamu bisa sekalian tinggal di sana. Ada mess nya juga." "Serius?" Mayang tertawa. "Hahahaha serius Sri ...." Sri langsung memeluk Mayang. "Makasih banyak ya Mayang." "Iya ... sama-sama. Kaya kesiapa aja." "Em ... kayaknya kita harus pulang sekarang. Jalannya minim pencahayaan dan juga ditakutkannya ada jalan yang ditutup," ucap Athur, s
Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka
"Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu
"Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te
"Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal
Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.
"Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa
"Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga
Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek
Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan