Share

5. Gegabah

Author: Peony's
last update Last Updated: 2024-05-07 19:56:28

"Janji dulu kemana, Na? Buat kita yang katanya bakalan selalu bareng-bareng terus?" tanya Bima hari itu di kafe.

"Lo nanya ke gue? Janji kita kemana? Lo sendiri yang matiin janji itu Bim. Lo nggak mikirin perasaan gue? Lo pikir lo nggak salah?"

"Gue salah Na. Gue bisa jelasin semuanya. Ini semua salah paham aja Na."

"Selingkuh nggak akan ada obatnya."Alana terdiam. "Eh kok selingkuh sih? Kita kan nggak ada hubungan ya? Lo kan gantungin gue terus. Jadi ... nggak berhak kan gue larang-larang lo?"

"Jangan gitu dong Na ... lo lebih dari apapun. Gue bisa buktiin semuanya Alana. Semuanya. Gue mohon setidaknya kita masih sahabatan."

"Semuanya tuh omong kosong, Bima. Buktinya Lo date sama cewek lain, kan? Oke ... setidaknya itu hak lo karena mungkin lo anggap gue 'siapa nih cewek' ... up to you. Cuma, gue emang nggak se-dianggap ini ya? Buat dateng ke acara resmi lo aja gue nggak lo undang, malah cewek itu yang datang. Lo mikirin gue? Nggak kan? Percuma."

"Alana ... gue nggak tau kalo dia datang. Gue nggak tau. Oke, date gue cuma dapet taruhan. Dan kalo gue nggak menuhin itu, gue bakalan dapet tantangan yang lebih."

"Dan lo setuju sama tantangan itu, Bim? Lo serius? Lo menyangkal dengan kesalahan itu? Lo pikir ini hati nggak sakit? Lo nyakitin hati gue sama hati yang lo mainin Bim!"

"Gue cuma takut bakalan dapet yang situasi lebih rumit Alana. Gue mohon ... lo harus percaya."

"Lo tetep salah Bim. Gue percaya pun hati gue sakit. Bima yang dulu kemana? Nggak ada tuh gue liat Bima di dalam diri lo sekarang. Lo aneh Bim. Lo mainin cewek, lo bebas sekarang. Gue?—" (ucap Alana disergah Bima). Seraya menangis menatap Bima.

"Nggak Alana! Maksud gue nggak gitu."

"Dan lo kekeh menyangkal? Bim?"

"Emang awalnya lo gantungin ini semua. Susah. Gue nggak berhak. Maaf ya gue udah repotin diri lo." Alana mengusap air matanya. "Mungkin ini terakhir kali kita ketemu—".

"Apa sih! Nggak!"

Alana mendelik. Menahan tangisnya. "Nomor rekening lo masih yang dulu kan? Mungkin akan memakan waktu yang cukup lama buat lunasin semua kebaikan lo selama ini ... tapi gue janji, gue bakalan tepatin."

"Duduk!" Bima meraih tangan Alana. "Nggak Alana! Nggak! Dengerin dulu!"

"Mau apa? Mau jelasin? Jelasin apa?"

"Gue nggak seburuk itu ... gue mohon, gue nggak mau asing Alana."

"Tapi yang lo lakuin semuanya itu bikin kita menjauh Bima!" Alana menyusut air matanya. "Gue sakit, Bim! Lo mikirin itu? Nggak? Lo peduli sama tantangan itu doang. Lo mikirin gue? Nggak! Seandainya perlakuan lo nggak gue tau, lo nggak bakalan kaya gini. Lo bakalan tetep happy-happy."

"Maaf."

"Maaf? ... gini deh." Alana menahan tangisnya. "Kenapa lo nggak jelasin sepulang date! Biar hati dan perasaan gue nggak bertabrakan."

Bima hanya terdiam. "Gue—"

"Dan lo nggak mampu buat jelasin itu semua. Lo minta maaf cuma karena nggak enak atas perilaku lo, kan? Jahat lo Bim." Alana menangis tersedu-sedu. "Gue udah jaga diri baik-baik, gue unfollow semua orang-orang nggak penting dan so kecakepan biar lo nggak mikir aneh-aneh. Biar lo dapetin cewek yang worth. Ternyata gue kepedean." Alana menangis. Ia menutup wajahnya terbesit karena Ia takut mascaranya luntur.

"Lo suka sama Adelio?"

Masih dengan tangisnya. "Kalo lo nggak lakuin ini, gue nggak bakalan lakuin itu. Sekarang lo mau apa? Jelasin pun, nggak akan merubah semuanya. Cuma bisa menjelaskan hubungan kita. Terus gimana sama Mila dan Adelio? Hati jangan dimainin!"

****

"Sayangg, happy anniversary yang ke 3 tahun ... aku bawa hadiah buat kamu."

Sengaja Adelio memilih kafe bersebelahan dengan pantai. Karena Alana menyukainya.

"Apaa??" tanya Alana dengan gembira.

"Tutup matanya. Tunggu sebentar. Aku ke mobil dulu." Sedikit memakan waktu. Adelio pergi ke parkiran untuk mengambil hadiahnya. Namun Alana menganggapnya effort.

Sembari menutup matanya, hati Alana begitu bahagia menunggu hadiah dari Adelio.

"Lama banget." Sesekali Alana mengintip. Memang benar, Adelio tak ada disampingnya.

Tak lama suara Adelio terdengar lagi. "Aku hitung sampai tiga, kamu buka matanya." Dipangkuan Adelio sudah ada buket bunga mawar yang besar.

"Oke, sayangg." Rasanya tak sabar Alana menunggu hadiah kesekian kalinya dari Adelio. Pembuktian cinta Adelio akan Alana sangat terbukti.

"Satu."

"Dua."

"Tiga."

Perlahan Alana membuka matanya. Samar-samar Adelio telah menyapa, membawa buket bunga cantik dan indah berbentuk beruang.

"Omg! Cantik banget, sayangku! Oh ... thank u, bim ... babyyy!" Alana langsung memeluk Adelio.

Di Pelukan Alana, Adelio terdiam. "Bim?"

"Em ... Lidah aku keseleo tadi, tadinya aku mau bilang 'babyy' ... oh iya ... aku punya sesuatu buat kamu juga."

"Omg!! Ayolah beib. Hahahaha, apanih." Adelio menutup matanya.

"Tunggu, nggak sabar nih pasti ...." Alana mengambil sesuatu di tasnya. "Ini nggak seberapa. Tapi, aku harap kamu suka."

Adelio perlahan membuka matanya. "Omgg!! Ini jam tangan yang aku mau." Ia menatap Alana dalam. "Aku TF ya ... padahal ini mahal loh ... ahh thank u ya beib!" Adelio mencium kening Alana.

"Love you." Alana membalas pelukannya.

"Love you more sayangg ... makasih ya, udah jadi tempat pulang diri aku. Aku bakalan secepatnya nikahin kamu."

"Seriously? Paling ... omong kosong."

"Umur segini bukan lagi buat bercanda sayang ... aku usahain sampe aku dapet rezeki lebih. Tunggu aku sebentar lagi ya."

Mereka berbincang-bincang. Canda tawa saling mereka lontarkan.

"Aku ke kamar mandi dulu ya, kalo mau pesen makanan lagi, tinggal pesen aja."

"Okee honey."

Adelio pergi meninggalkan Alana. Tentunya Alana menikmati suasana pantai seraya meneguk honey lemon kesukaannya.

Handphone Adelio berdering.

Alana refleks melihat nama dari penelepon. "Tukang service handphone?" Alana terus berpikir. "Ada keperluan apa? Apa ada barang yang Adelio service ya?"

Lagi-lagi telepon Adelio berdering kembali.

Karena Alana merasa panggilan itu penting, Alana mengangkatnya.

"Sayanggg, kok lama banget angkatnya."

Refleks Alana menjauhkan handphone-nya.

"Sayangggg!!! Kamu lagi dimana sih?"

"Sayanggg!!!! Aku ngambek nih!"

"Ha-halo? Ini siapa?" ucap Alana.

"Ini siapa?? Kok handphone Adelio bisa di tangan lo!!"

Hati Alana begitu remuk mendengarnya. Alana menarik napasnya dengan berat. "Saya kakaknya. Ada apa?"

"Omgg!" Perempuan itu membenahi suaranya. "Ekhemm."

"Ada apa?" tanya Alana lagi.

"Maaf kak, sore ini aku bakalan jalan sama Adelio. Adelionya kemana?"

Alana melihat jam. Sudah menunjukkan pukul sebelas. "Nanti saya sampaikan." Alana menutup teleponnya. Dan menyimpan handphone Adelio ketempat semula.

Tak lama Adelio kembali. "Hai sayangkuuu, maaf lama banget ya nunggu."

Alana hanya menatap Adelio seraya tersenyum menikmati minumannya.

"Jadi sampai mana kita?" tanya Adelio lagi.

"Emm ... sore bisa anter aku beli baju nggak?"

Adelio berpikir. "Aduh, aku ada jadwal lain. Besok aja gimana?"

"Kemana?"

"Aku ada reunian temen sekolah, pasti pulang malem. Aku juga jaga malam hari ini. Sebentar lagi kita pulang, gapapa, kan?" jelas Adelio.

"Oalah, ada pasien." Alana mengaduk-aduk minumannya. "3 tahun masih juga melakukan hal yang sama ya? Satu kali, dua kali, tiga kali, masih aja aku maafin. Sekarang? Lagi?" Alana tersenyum.

"Maksudnya?"

"Aku pulang sekarang deh, udah dijemput Lili juga." Alana memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas. "Itu bunga bawa aja buat 'tukang service' di daftar kontak lo."

"Loh? Na? Tunggu, aku bisa jelasin." Adelio menghalangi jalan Alana. "Aku, bisa jelasin semuanya sayangku."

"Omong kosong." Alana masih dalam pendiriannya, Ia pergi meninggalkan Adelio.

Lagi-lagi Adelio berusaha menghalanginya.

"Aku minta maaf, kasih aku terakhir kesempatan lagi." Pelukan Adelio langsung menyelimuti Alana. "Maaf, aku dipaksa Mama. Buat save nomor Fira. Tapi aku benci banget dan gamau. Aku juga selalu dimarahin untuk ganti namanya sama Mama, tapi aku tetep nggak mau."

Alana terdiam menatap Adelio. "Berulang kali ya Adelio, aku kasih kesempatan ke kamu. Tapi buktinya?"

"Iya maaf sayangkuu, aku punya something." Adelio mengeluarkan kotak cincin berlian dari jaketnya. "Kali ini aku emang beneran mau serius sama kamu." Cincin itu diberikan ke jari manis Alana. "Tapi tunggu aku 2 tahun lagi. Ini ngiket kamu aja, supaya kamu nggak sama orang lain."

Alana lagi-lagi memaafkan tingkah Adelio. 'Mungkin kali ini Adelio benar-benar berubah'.

Related chapters

  • Misteri Kematian di Kota Hema   6. Kasus 1

    Pagi ini, Alana Athaya bersama Tim andalannya harus pergi ke suatu perkampungan Desa yang jauh dari Kota. Desa itu bernama Desa Lominggou. Mereka memiliki tugas untuk mengikuti Olah TKP menyelidiki kasus kematian seorang perempuan muda yang tidak diketahui identitasnya. Dari laporan awal, mayat itu membusuk di tempat Peternakan Sapi. Mayatnya sudah membusuk dan tubuhnya penuh di tutupi dengan kotoran sapi yang menumpuk. kemungkinan pelaku melakukan itu tujuannya agar jenazah tersebut tertutupi dan mengsugestikan aromanya, sehingga sedikit menyamarkan. Laporan itu menurut laporan Edi pemilik peternakan sapi tersebut dan Sudi yang menemukan jenazah tersebut, saat hendak membersihkan kandang sapinya. Ruang Otopsi. “Seorang perempuan berumur 25 tahun. Dengan berat 85 kg, tinggi badan 165 Cm, rambut berwarna hitam panjang, berkulit sawo matang, bergolongan darah O,” jelas Alana. “Ada luka bekas tali yang kuat dalam pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Kemungkinan besar, pelaku me

    Last Updated : 2024-05-07
  • Misteri Kematian di Kota Hema   7. Pergi

    Pukul 07: 23 pagi ... Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Hanya membawa raganya yang lelah. Matanya kurangnya beristirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk "Huh! Lagi-lagi gini lagi." Alana menutup pintunya. Rasa kantuknya seketika hilang. "Omg!" Diperlihatkan pemandangan indah. Raut wajahnya berubah menjadi marah. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. "Lo bangun atau gue guyur pake nih minuman?" teriak Alana. Aldo bersama teman-temannya langsung berdiri. Tak peduli nyawa sudah berkumpul atau tertinggal. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak ... maafin kita." Tatapan Alana menatap Aldo. "Keren lo kaya gitu? Gue tuntut lo apa sih, Do? Gue pernah suruh lo kerja? Gue pernah suruh lo cuci baju sendi

    Last Updated : 2024-05-07
  • Misteri Kematian di Kota Hema   8. Penutupan Kasus

    Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Mengotopsi jenazah secara langsung. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya. Batuknya mulai parah. "

    Last Updated : 2024-05-07
  • Misteri Kematian di Kota Hema   9. Selingkuh

    Setelah seharian melihat-lihat tempat tinggal yang cocok. Alana memutuskan untuk tinggal sementara di apartemen. Suara ambulans, suara klakson mobil, suara helikopter, semuanya tampak ramai malam itu. "Sehancurnya-hancurnya hidup gue, dunia bakalan terus berjalan." Alana meneguk kopinya. Alana berdiam diri di atas rooftop sambil meminum Americano kesukaannya. Melihat pemandangan kota dari atas begitu menenangkan. "Sibuk banget ya orang-orang," gumamnya. "Kaya-kaya ... mereka kerja apa ya." 'Dunia masih terus akan berjalan tak akan menunggu bahkan tidak akan peduli sehancur apapun kamu saat ini'. Quote yang Alana baca dari handphone-nya. "Kebetulan banget ... ini maksudnya semesta lagi support gue ya?" kata Alana. Kembali menikmati sejuknya malam itu. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana reflek melihat notifikasi layar handphone-nya. "Dia lagi." Alana mengangkat teleponnya. "Apa?" ketus Alana. "Woih." Bima menjauhkan speaker handphone dari telinganya. "Jutek banget s

    Last Updated : 2024-05-07
  • Misteri Kematian di Kota Hema   10. Pilek

    Malam itu, diparkiran mobil. Air matanya berlinang. Bima terus menghantam Adelio dengan tangan kosongnya. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. "Mau berapa kali lagi lo sakitin Alana!" Amarah Bima semakin membara. Sesekali Ia menyeret Adelio yang sudah tak berdaya. "Mati! Rasain!" Tidak menyerah. Adelio kembali memukul Bima di energi terakhirnya. Alana berusaha menghentikan Bima. Lagi-lagi tersingkirkan. Tubuhnya yang kecil jelas berbeda jauh jika dibandingkan Bima dan Adelio. "Ehh! Heh!" Security telah menghentikannya. "Hentikan atau saya panggil polisi." "Mau apa? Nggak usah capek-capek. Biar saya yang melapor." Alana menatap wajah Adelio. Rasa kecewa dan sedih. Semuanya bertabrakan. "Makasih ya ... kamu hari ini buktiin bahwa bukan aku orang yang kamu mau. Semuanya udah jelas. Maaf dan makasih." Adelio tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Dari tingkah lakunya, Adelio langsung merangkul kekasihnya. Hal itu, membuat Alana te

    Last Updated : 2024-05-07
  • Misteri Kematian di Kota Hema   11. Teddy Bear

    "Duduk, Bimaaa Argiantara!!" teriak Alana. Bima sudah siap akan pakaian olahraganya. Mengajak Alana lari pagi hari ini. "Ini apa? Kok ada sapu kecil?" Bima menyapu dan menekan-nekan blush on pada tangannya. "Lembut lagi. Lo pake ini buat sapu meja lo dari debu ya?" "Serah deh ... gue capek banget. Lagian ... ck! Lupain aja!" "Ini apa? Kaya semacam oli tapi bening." Ia memegang lip serum. Alana tetap menghiraukannya. Ia fokus menata barang. "Barang-barang lo nggak seru ... nggak ada warna biru, warna oren atau warna hijau neon." "Lo pikir hidup gue karnaval." "Monoton banget ... warna mocca semua. Ini ada warna putih, putih semua. Ga jelas." "Lo yang ga jelas! ck ...." Alana yang sedang mengelap meja langsung terhenti. Ia bercekak pinggang. Menatap Bima tajam. "Sumpah! Lo pagi-pagi gini ganggu gue, sana mending pulang aja. Sana mending urus si geral." "Geral udah mati. Lo kemana aja." Alana terkejut. "Seriuss Bim???" "Makanya ... lo nya aja sibuk pacaran. Lupain musang ki

    Last Updated : 2024-05-08
  • Misteri Kematian di Kota Hema   12. Kasus 2

    Alana sedang mengotopsi keadaan jenazah. "Zea Hutami, berusia 17 tahun. Dengan berat badan 70kg dan Tinggi Badan 160cm, memiliki Golongan Darah B+," ungkap Alana. "Apa yang terjadi, pelakunya sangat kejam." "Entah dengan motif apa. Apa pelaku memiliki dendam? Ada luka sayatan di kedua lengannya," timpal Lili di ruangan Otopsi. Alana selalu sepaket dengan Lili ketika melakukan Otopsi. Alana sedang menangani kasus meninggalnya remaja perempuan yang berstatus masih menjadi pelajar di sekolah menengah atas. Ia ditemukan di semak-semak belukar berjarak 2 km dari rumahnya. Menurut orang-orang sekitar, Zea sudah menghilang sekitar 3 hari yang lalu. "Kemungkinan besar Zea meninggal sudah dua hari yang lalu." Alana melihat bagian kepala. "Rambutnya, sudah jelas ada tarikan. Rambutnya pun, sudah mulai habis. "Dari penjelasan rumah sakit, Zea memiliki riwayat penyakit pada lambungnya yang sudah kronis." Alana mengecek bagian atas hingga bagian bawah tubuh korban. Terlihat beberapa luka

    Last Updated : 2024-05-08
  • Misteri Kematian di Kota Hema   13. Penyelidikan

    "Mengenai desas-desus yang dipercayai oleh orang-orang sekitaran sini, memangnya benar Pak, bahwa keluarga Pak Santoso menjalankan ilmu hitam atau semacam aliran sesat?" tanya Bima. "Saya tidak bisa mengatakan itu sebuah kebenaran, namun banyak kejadian yang menjadi pendorong bahwa kecurigaan kita selama ini adalah benar," jawab Dodi. Tetangga Santoso kedua yang Tim datangi. "Jadi ini semua tidak ada hal yang membuktikan ya, Pak? Lantas bagaimana bisa hal ini menyebar begitu saja dan mengarah kepada keluarga Pak Santoso?" tanya Lili. "Menyebar begitu saja, sejak saya pindah ke sini sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu sudah tersebar." "Apa Pak Dodi mengetahui, siapa orang yang menyebabkan desas-desus ini menyebar? Atau siapa orang yang mengungkapkan pertama kali kepada Pak Dodi?" tanya Alana. "Mungkin, bisa ditanyakan kepada Mayang." Dodi berpikir sejenak. "Ya ... sepertinya dia mengetahui lebih banyak, karena dia tinggal bersebrangan dengan rumah Pak Santoso." Bima menimpal. "At

    Last Updated : 2024-05-09

Latest chapter

  • Misteri Kematian di Kota Hema   71. Ending

    Pagi itu Alana sedang berolahraga, di taman Kota. Hanya berlari kecil. Mengisi waktu yang luang sebelum menjemput Arya. Seseorang dari arah berlawanan menabrak Alana. Hingga botol minumnya terjatuh."Aduh!" Alana terkejut. "Hati-hati dong kalo jalan." Alana sembari mengambil botol minumnya."Sorry Kak! Saya nggak liat." Suaranya tak asing. Alana langsung menoleh. Mereka saling bertatapan. Alana membuka kaca mata hitamnya."Dori?" Ia tercengang tak percaya. Melihat Dori kini jauh berbeda. "Dori bukan sih?"Dori berpikir juga. "Kak Alana ya?" "Iya! ... eh kamu apa kabar?" tanya Alana."Kabarnya baik ... Kak Alana tinggal sekitar sini juga?" Raut wajahnya terlihat antusias."Baik ... kamu tinggal di sini atau ada keperluan lain?" tanya Alana. "Eh kamu sibuk nggak?""Enggak sih ... kebetulan sekarang waktunya lagi luang, saya lagi ada kerjaan disini ....""Kita sambil jalan santai aja gimana?" tanya Alana."Boleh banget tuh kak."Mereka berjalan mengelilingi bunderan taman Kota."Kaka

  • Misteri Kematian di Kota Hema   70. Menerima kemarin, hari ini, hari esok

    "Itu handphone lo udah pecah Alana. Ganti.""Selagi masih bisa dipake, bukan suatu masalah." Alana menatap. "Beliin dong cantik. Bisa dong, dikasih waktu ulang tahun gue nanti?""Gue beliin nanti, tapi ada satu syarat!""Apa?""Lo harus jadi babu gue buat cuci semu baju gue seumur hidup.""Dih ogah ... udah dapet pekerjaan bagus. Malah kerja paksa di rumah lo.""Emang handphone impian lo apa?" tanya Lili.Saat itu mereka sedang berjalan di mall."Tuh." Ia menunjuk pada handphone keluaran terbaru berwarna lavender. "Seharga motor.""Belum juga keluar. Lima belas tahun juga tuh handphone harganya sejuta.""Lima belas tahun? Gila! Ya lo pikir aja ... lima belas tahun mereka udah bisa keluarin handphone model robot. Gue dapet handphone itu berasa katrok.""Wah ... parah sih lo! Nggak tau terimakasih.""Ya lo beliinnya sekarang dong ....""Feedback-nya mau kasih apa?" tanya Lili."Lo beliin gue handphone. Gue beli lo kopi."Lili melirik terkejut. "Lo berharap gue bilang 'wah ayok Alana, gu

  • Misteri Kematian di Kota Hema   69. Ulang tahun yang tak banyak harap

    "Adikku mau apa?""Humm ...." Ia masih cemberut. Masih memakai baju seragam sekolah taman kanak-kanak. "Arya kan pengen beli es krim. Kak Alana lama banget."Alana tersenyum. "Kita beli boneka serigala?""Nggak." Bujukan Alana masih belum mempan."Mau beli boneka pisang?""Nggak mau!""Mau beli boneka Batman?"Ia terdiam. Masih dengan gengsinya. "Nggak!""Apa dong? Yang lari paling belakang harus jajanin es krim." Alana seraya berlari kecil. Agar suasana kembali ramai dan ceria.Alana hanya memiliki Arya di hidupnya. Terlintas di pikirannya bahwa Arya dan Alana sama-sama membutuhkan. Arya seorang diri, begitupun juga Alana.'Bisa saja kamu sebetulnya tak membutuhkan orang banyak. Kamu akan dipersatukan dengan orang yang membutuhkanmu juga yang kamu butuhkan. Mereka yang pergi ... itu sebagai hiasan hidup agar tak membosankan'. (ucapan terakhir Trisna saat Alana hendak keluar ruangan).****Sudah dua tahun lamanya. Rasa rindu terus menggebu. Alana sesekali masih belum bisa menerima. Te

  • Misteri Kematian di Kota Hema   68. Memori yang tak kunjung hilang

    "Saya nggak bisa bermalam di sini." Alana kekeh untuk pulang malam itu juga. "Izinkan saya pulang."Eri kebingungan. "Besok. Besok pagi. Saya janji.""Habis itu kalian pasti rencanain buat bunuh saya kan?" Alana menatap sendu. Wajahnya semakin cemberut. "Kenapa susah banget sih. Saya salah apa? Orang-orang kok khianati saya?" Saya nggak pantas di cintai ya?"Eri menatap Alana sendu. "Perempuan malang." Ia kebingungan. Alana pun pasti tak akan mau jika disuruh untuk beristirahat di kamar. "Makan dulu ya?""Orang-orang dari kemarin kok maksa saya buat makan trus sih? Kalian masukin apa di makanannya?"Traumanya sungguh hebat dan berat. Alana seperti orang depresi. Ia sesekali ketakutan. Sesekali terdiam lagi. Hal itu terus berulang.Eri tak tega melihat Alana seperti itu. Ia langsung menelepon polisi untuk segera mengantarkannya pulang.Malam itu menunjukkan pukul 07:00. Bulan bersinar cantik. Ombak semakin pasang. Lagi-lagi malam itu orang-orang berkerumun. Mengucapkan selamat tinggal

  • Misteri Kematian di Kota Hema   67. Sulitnya hidup dalam ketakutan.

    Pria itu mengerutkan bibirnya. "Kakak ini puasa ya?" Ia berbicara lagi. "Kakak mau istirahat?"Alana hanya menatap."Sekarang saya yang takut kalo Kakak kaya gini.""Usia kamu berapa?""Saya baru 18, kemarin saya baru lulus sekolah. Kenapa? Keliatan tua ya?" Dori tertawa. "Kakak umur berapa?" tanya Dori. Wajahnya senang karena Alana sudah mulai berbicara.Alana terdiam. Air matanya berlinang."Kakak kenapa? Apa wajah saya bikin mata Kakak pedes?"Alana tersenyum. "Kamu mirip adik saya.""Adik Kakak siapa? Sekarang dimana?""Aldo. Aldo namanya. Dia udah pergi kemarin," ucap Alana lagi-lagi raut wajahnya cemberut."Waduh salah lagi." Terbesit di batinnya. Lagi-lagi Dori berusaha menenangkan. "Aldo sudah tenang Kak ...."Alana menatap. "Nggak akan pernah tenang, Ri. Dia di sana nggak akan pernah istirahat."Karena tak ingin Ia salah lagi. Dori mengganti topik pembicaraan. "Gini deh Kak ya ... jujur aroma Kakak tercampur. Saya nggak tau bau apa. Dipersingkat saja sedikit bau bangkai eheh.

  • Misteri Kematian di Kota Hema   66. Dipertemukannya Alana dan Lili

    "Kak." Terdengar seorang pria membangunkan Alana. "Bangun Kak.""Gimana?" "Belum sadar." Pria itu mendengarkan detak jantung Alana. Ia memegang nadi di lengan Alana. "Aman kok. Masih bernapas.""Kak ... kakak masih hidup?" ucapnya lagi. "Kak bangun kak." "Gimana?" tanya pria lain."Belum sadarkan diri ... aduh kak. Cukup satu yang jadi mayat. Kalo dua ... saya takut kak. Nangkep ikan nanti gimana?" gumamnya.Banyaknya polisi sedang mengevakuasi keberadaan Alana dan Lili saat itu.Perlahan Alana mulai tersadar. Ia terbatuk-batuk. "Pak! Perempuan ini masih hidup!" teriak pria itu. "Kak! Kakak masih hidup? Ayo duduk dulu."Membuat polisi-polisi itu mendekat ke arah Alana."Kita amankan ke rumah sakit terdekat." Petugas keamanan hendak mengangkat tubuh Alana.Alana menolaknya seraya mencengkeram tangannya. "Antar saya pulang!""Kamu harus menjalani perawatan dulu."Napas Alana terengah-engah. "Nggak.""Tapi kakak butuh perawatan," ucap pria itu."Nggak! Saya nggak mau. Jangan bunuh sa

  • Misteri Kematian di Kota Hema   65. Pergi hilang dan lupakan

    "Jaraknya hanya 200 meter. Pulang lah ... tempatkan temanmu di tempat yang layak. Saya rasa akan aman. Ya, tempat itu akan aman."Alana mengangguk seraya menangis. "Terimakasih banyak." Ia menundukkan pandangannya.****Kewaspadaan Alana begitu tinggi. Ia selalu mengamati keadaan sekitar. Berlari lagi. Lagi-lagi terjatuh karena lututnya sudah mulai terasa lemas. Sesekali Ia merangkak karena merasa bahwa tak kuat untuk berlari.Alana menangis tersedu-sedu. "Lili ... gue harus gimana. Gue udah nggak kuat lagi Lili." Alana berusaha berdiri. Langkahnya berat sekali. Kakinya bergetar. "Tapi gue harus bisa bawa lo pulang ... biar gue bisa liat rumah terakhir lo."SrakSrakSrakHanya ada suara langkah kaki Alana seorang diri. Suasana sangat sunyi dan sepi. Sebentar lagi malam akan tiba. Tak lama, sunset terlihat dengan kasat mata.Gak ... gak ... gak (suara gagak menggoak).Alana tak kenal rasa menyerah dalam dirinya. Walaupun satu langkah, Ia tetap melangkah dengan konsisten.Dibantu denga

  • Misteri Kematian di Kota Hema   64. Selamat jalan

    Mereka membacakan mantra aneh. Semuanya bersujud pada api. Mereka semakin mencengkeram talinya. Perlahan mereka menarik tali itu hingga tubuh Alana terangkat. Alana tak bisa berbuat apa-apa, tak percaya bahwa hidup Alana akan berakhir seperti ini seperti pada semua kasus yang ditangani Alana saat itu.Napas Lili terengah-engah. Syukurnya, kekhawatirannya tak terjadi. Masih sempat untuk menyelamatkan Alana."“Heh Iblis! Ini kan kelemahan kalian?” teriak Lili. Kedatangan Lili menjadi pusat tontonan bagi mereka yang sedang bersujud termasuk Alana."Lili," gumam Alana.Lili menunjukkan barang yang berada dalam tasnya. "Mati tuh! Itu yang kalian sembah! Iblis brengsek! Bajingan!" Lili melemparkan buku dan tulang belulang itu dalam api. "Kejahatan harus kembali ke asalnya! Ke neraka!"Seketika api itu melahap.Tarikan di tubuh Alana seketika di lepasnya. "Jangan!" teriak Bima. Ia langsung menatap tajam ke arah Lili.Tak ada gumaman sedikit pun. Semuanya menjadi hening. Masing-masing merek

  • Misteri Kematian di Kota Hema   63. Ritual untuk Alana

    Suasana sudah semakin aman. Alana dan Lili mengambil langkah cepat. Mereka memberanikan dirinya untuk pergi dari wilayah itu."Mereka ke arah mana?" tanya Alana."Utara. Kita jangan ambil arah itu." Mereka berlari dengan tergesa-gesa. Tentunya rasa takut dan waspada selalu menyelimuti dirinya. Tak peduli akan hal itu, mereka terus berlari. "Jurang Na!" ujar Lili. Ia menahan kakinya untuk tak melangkah."Ambil jalan lain.""Kemana?""Kita turun." Pikirannya sudah buntu. Tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh atau tidak mereka akan terus berputar-putar di wilayah yang sama.Lili berusaha menyangkalnya. "Nggak ya Alana. Kita bisa cidera.""Dalam situasi ini ... lo nggak seharusnya berpikir takut cidera. Posisi sekarang, nyawa kita mau diambil Li.""Ayolah ... kita nggak tau dibawahnya apa. Itu gelap Alana. Setidaknya kita cuma butuh tali buat ke jalan itu." Lili seraya menunjuk. Ada jalan lain di hadapannya namun tertutup oleh jurang.Jurangnya cukup tinggi. "Kita ambil jalan yan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status