Brughh!!!!
“Papa!” jerit Alana.Tubuhnya tersungkur dan terjatuh dalam kerikil.“Hahahhah, maaf ... enggak liat!” ejek Haidan. Ia mendorong Alana hingga terjatuh. “Nangis nih pasti! Dasar cengeng,” ejeknya lagi.Mendengar itu, jiwa kecil Alana langsung bertekad untuk menjadi anak yang kuat. Alana teringat dengan anak lelaki itu. Yang dimana, Anak lelaki itu tidak mau berteman dengan anak yang lemah seperti Alana.Alana berdiri tak peduli pada luka yang Haidan beri. Alana berjalan dengan kepalan di tangannya.Raut wajah Alana penuh dengan kemurkaan.Anak kecil dengan tubuh yang mungil, berambut panjang dan berponi itu, kini menjalankan aksinya. “Sini kamu!” Tonjokkan dari tangan mungilnya berhasil mendarat di daerah hidung Haidan.Buggggg“Makanya! Ini balasan dari Alana! Kalo kamu ganggu Alana lagi, Alana jedotin palanya! Alana bakalan bawa batu yang besar, sebesar badan kamu!” Seraya menunjuk-nunjuk Haidan. “Nangis! Nangis kamu! Sana! Padahal Alana juga pelan,” seru Alana.Haidan menatap tajam Alana seraya menahan hidungnya yang sakit.Alana mengancam untuk memukulnya lagi dengan posisi tangan hendak menonjok. “Alana pukul nih!” Alana tetap pada posisinya dengan ancang-ancang. “Alana pukul lagi ya?!”Mendengar itu, Haidan merasa harga dirinya terinjak oleh Alana. Rasa ingin terpuji kini telah tercoreng di hadapan teman-temannya. Raut wajahnya berubah menjadi cemberut dengan napas yang terengah-engah, tanpa aba-aba Haidan hendak mendorong Alana dengan kencang. Namun, Alana langsung menendang kemaluan Haidan.'Heg.' Haidan langsung memegang kemaluannya.Raut wajahnya menahan sakit. Haidan terdiam, lalu, Ia menangis.“Rasain! Makanya jangan remehin Alana lagi!” Alana dengan polosnya tidak tahu apa yang telah Alana tendang. Alana hanya merasa puas karena melihat Haidan merasakan kesakitan sama halnya dengan yang Haidan lakukan terhadapnya, nama lainnya impas.“Awas ya! Ini terakhir kamu gangguin Alana! Alana sekarang bisa buat kamu lebih sakit lagi! Awas aja!” ancam Alana. Alana pergi meninggalkan Haidan yang kesakitan. "Alana copotin semua gigi kamu!"Karena hari semakin gelap, Alana memutuskan untuk pulang ke rumahnya.Seraya bersenandung lagu anak, Alana merasa puas karena telah berhasil melawan Haidan.Dari kejauhan terlihat banyak sekali orang-orang dan banyaknya karangan bunga yang terpajang di depan rumah."Ada apa? Kok ada taman bunga, sih?" Alana meneruskan langkahnya untuk mengetahui apa yang telah terjadi.Terlihat Anggun sedang menangisi seseorang yang berada di tandu hendak dimasukkan ke dalam mobil ambulans.“Mama? Kenapa? Papa mana?” tanya Alana dengan polosnya.Sedangkan Anggun hanya melirik tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun."Orang-orang kenapa sih?" ucap Alana lagi, seraya menatap penasaran ke arah tandu.Hingga, Alana tersadar. Kain putih yang menutupi seseorang di dalam itu, terdapat bercak-bercak darah.“Kenapa ada pewarna makanannya, Mama?” tanya Alana lagi, seraya memegang bercak darah itu.Rasa penasaran Alana itu terus membara. Alana masih penasaran dan terus menanyakan pertanyaan yang berada di dalam pikirannya.Karena, di dalam pikiran Alana masih ingin membuktikan bahwa Alana adalah anak yang pemberani. Alana akan melakukan apa pun itu dengan berani. Alana tidak ingin kalah dengan rasa penasarannya. Tanpa lama-lama, Alana menyingkirkan kain penutup yang menutupi raga seseorang itu. Hingga akhirnya, Alana terdiam tak menyangka. Ketika melihat cinta pertamanya terbaring kaku tak berdaya. Raganya yang mengenaskan dan wajahnya yang begitu pucat. Namun, darah terus mengalir dari setiap lubang telinga dan hidungnya. Hal itu, membuat Alana tak mampu memalingkan pandangannya, Alana terus menatapnya. Cinta pertamanya, seseorang yang begitu dekat dengan Alana, selalu menyemangati Alana, menyayangi Alana, kini sudah tiada dengan raganya yang memprihatinkan.“Pa–pa.” Bahkan, ketika mengucapkan kalimat itu pun, tak mampu lagi bersuara.Alana terdiam, menatap.Raga dan jiwa kecil anak perempuan itu sedang bergelut dengan pikirannya.Tercambuk dan di seret oleh keadaan. Berharap semua ini hanya mimpinya yang indah. Bahkan, Alana terkejut karena mendapati mimpi yang menyeramkan. Betapa sakit rasanya, ketika Alana menyadari bahwa ini semua adalah kenyataan.****“Alana.” Terdengar suara remang-remang seseorang dari kejauhan. Seseorang menepuk-nepuk pipinya dan berusaha membangunkannya.Hingga, Alana membuka matanya sedikit demi sedikit. Pandangan Alana begitu kabur. Alana berusaha mengingat apa yang telah terjadi saat ini.Pandangannya semakin jelas berbarengan dengan ingatannya yang telah kembali. Seketika semuanya kembali dalam ingatannya, Alana menangis dengan sejadi-jadinya. Alana mengeluarkan semua emosinya yang terpendam. Menjerit hingga sesak, mengeluarkan semua tenaganya hingga lelah, menangis terisak-isak. Hingga, menyakiti dadanya. Semua itu Alana tidak bisa dan tidak mampu untuk mengontrolnya.Dekapan Anggun pun tak mampu meredakannya. “Alana, enggak boleh kaya gini. Alana kan anak baik.” Anggun terus berusaha supaya Alana bisa menerima yang telah terjadi. “Papa enggak suka loh, kalo Alana kaya gini.”Dengan tangisannya yang tersedu-sedu. Semakin Anggun memberitahu untuk menerimanya, Alana semakin tidak mempercayainya dan mengamuk. “Papa enggak boleh pergi!” Kalimat yang terus Alana lontarkan. “Papa enggak boleh ninggalin Alana!”“Alana.” Anggun tak henti mendekap tubuh mungil Alana. “Ada Mama ... dunia memang seperti ini. Alana enggak boleh kaya gini. Mama di sini.”Energinya semakin detik semakin habis terkuras. Hanya tersisa rasa letih dan senggukan yang tak bisa terhenti. Bahkan, kejadian itu terus mengelilingi pikiran Alana. Namun, Alana sudah tidak bisa melerai lagi.****Suasana pemakaman telah berlangsung. Terlihat rasa letih dan sakit yang mendalam di raut wajah Alana.Anak kecil berusia tujuh tahun itu, kini sedang di titik paling rendah dan hancur. Hanya terdiam, melihat batu nisan. Yang di mana kini Alana sedang menyemangati dirinya sendiri. Bahwa, jarak dengan Papanya tidaklah jauh. Hanya sebatas bahwa Alana sedikit lebih di atas.Bahkan, saat itu Alana tidak ingin pulang. Karena, jika Alana pulang jarak dengan Papanya semakin menjauh, pikirnya begitu.“Ayo pulang, Alana.” Anggun terus membujuk Alana dengan lembut. “Alana, tapi Papa pengen Alana pulang dan jadi anak yang baik. Kata papa, Alana harus jadi anak yang kaya gimana?”“Pemberani.” Jawaban itu Alana katakan seraya sesenggukan yang tak kunjung hilang.“Yash ... pemberani. Bahwa, Alana harus bisa tanpa Papa dan menjadi seseorang yang berani. Mama bisa kok jadi sosok Mama sekaligus Papa. Alana enggak akan sendirian. Tugas Alana sekarang jadi anak yang?”“Pemberani!” Kini Alana sudah sedikit terobati. Kini, Anggun berhasil untuk membujuknya pulang.“Ayo kita jadi teman!” ucap seorang Anak Lelaki di belakang Alana. Alana sedang duduk melihat matahari yang akan terbenam. Di Dangau, tempat Alana bermain bermasak-masakan. Alana melirik. “Ternyata kamu.” Alana melanjutkan lamunannya seraya duduk dengan memeluk kedua lututnya. “Kamu lagi sedih, ya?” Anak Laki-laki itu berusaha mengajak Alana untuk mengobrol dan membujuknya. “Kamu hebat. Ternyata, kamu berani juga ya buat pukul orang yang jahat sama kamu.”Dengan wajah yang penuh dengan lamunan. Alana menghiraukan pertanyaan dari Anak Lelaki itu. “Jadi, kamu mau kan jadi temen Aku?”“Iya, tapi Alana lagi sedih. Alana enggak mau banyak ngomong,” jelas Alana. “Namaku Bima.” Ia memperkenalkan dirinya.“Rumahku di blok c. Kemarin aku liat kamu, aku tau rumah kamu.”“Kita tetanggaan ya.” Dengan wajahnya yang tidak ada gairah untuk semangat. “Iya, ayo kita main kejar-kejaran,” ajak Bima. “Enggak ah, Alana lagi enggak semangat. Alana pengen diem aja,” jawab Alana. Masih dengan bujukann
"Gimana Bim?? Lolos nggak?" Harapan yang berbinar terlihat dari mata cantik Alana.Alana telah diterima di perguruan tinggi yang Ia tuju. Sekarang, Alana sedang menunggu kabar baik dari Bima yang mengikuti Tes Kepolisian Bima terdiam menatap Alana."Yahh?? Nggak ya?" Alana menepuk-nepuk pundak Bima seraya memeluknya. "Jangan nyerah, Bim! Ayo berjuang lagi!"Raut wajah Bima berubah seketika menjadi ceria. "Panggil gue Pakpol sekarang!"Mendengar itu, suara hening kini berubah. Alana menutup mulutnya. "Omg... proud of you! Bima yang wangi!" seru Alana seraya memeluk tubuh Bima."Makacii banyakk ... eh, wangi doang? Gantengnya nggak?!!""Iya ganteng ... tapi banyakan wanginya.""Hahahah sialan emang orang cantik ini. Mau apa?" Bima mendongakkan kepalanya. "Apanya?""Gue kan lagi seneng ... jadi lo harus ikut ngerasain ... mau transfer atau cash?"****4 tahun kemudian ...Video call berlangsung."Bima, kangenn bangettt. Ayo ketemu!! Minggu gue wisuda!! Harus dateng yaaa.""Gue juga pel
"Janji dulu kemana, Na? Buat kita yang katanya bakalan selalu bareng-bareng terus?" tanya Bima hari itu di kafe. "Kalo Bima berusaha jujur dan terbuka, ini semua nggak akan terjadi, Bim. Gue takut—" (ucap Alana terpotong Bima). "Takut apa? Takut gue pacaran sama yang lain? Egois banget. Lo itu aneh." Bima masih menatap Alana. Alana menatap Bima. Bima mengangkat satu alisnya seraya menatap tajam. "Gue takut kalo emang pikiran gue beneran terjadi ... kalo selama ini lo nggak pernah serius sama gue!" "Alasannya? Bisa, lo jelasin itu semua?" "Karena gue kurang worth it, untuk semua itu, Bim. Lo nggak akan paham." "Gue pernah ngatain lo kaya gitu?" "Kalo lo sayang sama gue, lo nggak akan pernah biarin gue tersiksa sama semuanya." Alana hendak pergi, namun Bima menahannya. "Lo gini terus, lo pikir nggak buat gue bertanya-tanya? Duduk!" "Lo selalu gantungin hubungan kita, lo pikir pikiran gue aman-aman aja? Gue capek Bim. Gue capek selalu hidup dalam ketakutan." "Dan itu nggak ter
Pagi ini, Alana Athaya bersama Tim andalannya harus pergi ke suatu perkampungan Desa yang jauh dari Kota. Desa itu bernama Desa Lominggou. Mereka memiliki tugas untuk mengikuti Olah TKP menyelidiki kasus kematian seorang perempuan muda yang tidak diketahui identitasnya. Dari laporan awal, mayat itu membusuk di tempat Peternakan Sapi. Mayatnya sudah membusuk dan tubuhnya penuh di tutupi dengan kotoran sapi yang menumpuk. kemungkinan pelaku melakukan itu tujuannya agar jenazah tersebut tertutupi dan mengsugestikan aromanya, sehingga sedikit menyamarkan. Laporan itu menurut laporan Edi pemilik peternakan sapi tersebut dan Sudi yang menemukan jenazah tersebut, saat hendak membersihkan kandang sapinya. Ruang Otopsi. “Seorang perempuan berumur 25 tahun. Dengan berat 85 kg, tinggi badan 165 Cm, rambut berwarna hitam panjang, berkulit sawo matang, bergolongan darah O,” jelas Alana. “Ada luka bekas tali yang kuat dalam pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Kemungkinan besar, pelaku me
Pukul 07: 23 pagi ... Ya, butuh waktu 6 jam untuk menempuh perjalanan dari Desa Lominggou ke Kota. Alana membuka pintu rumahnya. Dengan membawa raganya yang lelah, kurangnya istirahat, membuat suasana hatinya begitu berantakan. Ceklekk Ketika melihat keadaan di dalam rumah, Alana begitu terkejut melihatnya. Aldo bersama teman-temannya tergeletak tertidur pulas di ruang tengah. Seketika pandangan Alana tertuju pada beberapa botol minuman keras dan sampah bekas kulit kacang yang begitu berserakan. “Kakak tinggal sehari aja udah seenaknya gini hidup kamu! Enak banget ya? Merasa bebas? Merasa udah bisa cari duit sendiri? Keren kamu kaya gini?” teriak Alana. "Bangun!" Mendengar itu, Aldo bersama teman-temannya tersentak kaget. “Eh ekhmm ... kakak ... katanya pulang besok,” ucap Aldo panik. “Udah dong kak, nanti Aldo beresin, ribet banget. Gitu doang marah.” Tatapan Alana begitu murka. “Pulang! Enak saja mengotori rumah saya!” Lalu Alana menatap wajah Aldo. “Lo itu! Masih kelas 12
Satu Tim itu berkumpul di ruang otopsi. Secara langsung, mengotopsi jenazah. “Pada darah yang di temukan, terdapat golongan darah A+. Yang di mana, darah tersebut di temukan di baju milik korban. Sepertinya, korban berusaha untuk melawan. Juga, terdapat sayatan pisau di bajunya. Tentunya, darah tersebut berbeda dengan darah korban yang mana Korban bergolongan darah B+,” jelas Alana. Lili memperlihatkan beberapa luka yang berada pada tubuh korban. “Ada cakaran pada perutnya. Rambutnya juga hampir terlepas. Ada ikatan yang kuat pada pergelangan kedua kaki dan tangan. Sepertinya, korban di ikat dengan kuat. Apa yang telah mereka lakukan? Apa mereka menariknya?” kata Lili. “Kemungkinan besar itu dapat terjadi. Tulang atas tangan kanan yang retak dan sebelah kiri terlepas.” Alana melihat hasil CT scan dari tubuh korban. **** "Tempat kediaman Pak Sudi dengan peternakan sapi milik Pak Edi, apakah memiliki jarak yang jauh?" tanya Bima. Sudi menahan jantungnya seraya batuk-batuk. "Rumah s
Setelah berpikir dan memilih tempat tinggal. Malam itu, Alana memilih tinggal di Apartemen. Alana sudah memilih untuk tidak tinggal bersama keluarganya lagi. Bukan lepas tanggung jawab. Hanya saja, di dalam posisinya, Alana selalu berkelahi dengan pikirannya. Tidak mudah jika harus bersama-sama lagi. Alana berdiam diri di atas rooftop sambil meminum Americano kesukaannya. Melihat pemandangan kota dari atas begitu menenangkan. "Sibuk banget ya orang-orang," gumamnya. 'Dunia masih terus akan berjalan tak akan menunggu bahkan tidak akan peduli sehancur apapun kamu saat ini'. Quote yang Alana baca dari handphone-nya. Tak lama handphone Alana berdering ... Alana reflek melihat siapa yang meneleponnya saat itu. "Dia lagi." Alana lalu mengangkat teleponnya. "Apa?" tanya Alana. "Nongkrong gak sih? Gue gabut, temenin kuy," ajak Bima. "Makanya punya pacar, Bim. Enggak mood gue, lanjut aja," jawab Alana. "Sharelock cepetan, Gue bayarin. Gue traktir." Bima terus memaksa. "Enggak,"
Malam itu, diparkiran mobil. Air mata Bima yang menetas tak bisa Bima pendam. "Bajingan lo! Brengsek!" Beberapa pukulan tepat sasaran di pipi sebelah kanan Adelio. Amarah Bima semakin detik semakin membara. Melihat tingkah Adelio yang memainkan perasaan Alana. "Mati lo!" Satu pukulan yang menghantam pipi kiri Adelio. Begitu pun, Adelio membalas pukulan Bima.Alana terus berusaha untuk menghentikan aksi Bima. Sedangkan, perempuan itu berusaha menghentikan aksi Adelio. Dan ya, Bima dan Adelio penuh luka lebam dan darah di wajahnya. Alana beberapa kali menenangkan bahkan memisahkannya. Namun, nihil dan sangat mustahil. Tubuhnya yang kecil, jelas jauh berbeda dengan Bima dan Adelio. Namun, seketika Bima bisa tenang saat mendengar Alana mengatakan. "Bima! Lupain Alana." Dan Adelio tenang karena kekasihnya yang melakukannya.Alana menatap wajah Adelio dengan penuh kesedihan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu. Terlihat Alana yang berusaha menahan tangisnya. "Jadi gimana, Adelio?" T