"Mas ... jangan keluar di dalam, nanti aku bisa hamil!" tukas Laila sambil mendesah karena hampir sampai ke puncak kenikmatan bersama Dimas.
"Kamu ... ah ..." Dimas seperti sudah tak mendengarkan apa yang diminta oleh Laila, bahkan ia mengeluarkan cairan sp*manya di dalam rahim Laila. Pria itu pun luluh lantah di atas tubuh Laila.
"Ya elah, Mas. Kenapa dikeluarkan di dalam. Bagaimana kalau aku hamil?" protes Laila dengan nafasnya yang tersengal-sengal.
Pria itu menaikkan wajahnya dan menatap wajah cantik Laila yang sudah basah dengan keringat. Ia menatap lembut kepada wanita itu.
"Ya ... kalau kamu hamil gak apa dong. Kamu kan istri aku. Kita ini sudah menikah loh. Kita tuh halal banget," bujuk Dimas.
Pria itu pun turun dari tubuh indah Laila dan terlentang, di sebelahnya seolah puas dengan apa yang baru ia lakukan dengan Laila.
"Mas ..." Lalia memiringkan tubuhnya lalu memeluk erat Dimas yang berada di sebelahnya itu.
"Mas .. aku mau tanya dong"
"Apa itu, Sayang?" Dimas mencium lembut puncak kepala Laila.
"Kalau dibandingkan nih ... Antara aku sama Mbak Hesti, siapa yang paling memberikan kepuasaan saat melayani Mas?" tanya Laila genit. Wanita itu memainkan jarinya di atas dada kekar Dimas, membuat tubuh pria itu merinding karena perbuatan dari Laila.
"Kamu lah, Sayangku, cantikku. Hesti itu kalau di ranjang sudah seperti batang pohon. Sangat kaku. Begitu saja. Dia tak bisa memuaskan aku dan tak bisa mengeksplor apa yang seharusnya dilakukan agar kegiatan di ranjang itu menyenangkan." balas Dimas begitu merendahkan Hesti, istrinya sendiri. Wanita yang memulai segalanya dari nol bersama dengan Dimas dan juga merupakan wanita yang sangat mendukung Dimas hingga menjadi seperti sekarang ini.
Ya ...bisa dikatakan Dimas bisa sesukses ini juga berkat bantuan dari Hesti. Mereka berdua berjuang dari nol hingga sekarang memiliki jabatan di perusahaan dan juga memiliki aset berharga saat ini.
"Hihi ..." Laila terkekeh geli. Ia merasa menang atas istri pertama dari Dimas yang terlihat sangat berkuasa itu. Setidaknya, di mata Dimas, Laila lebih baik daripada Hesti di atas ranjang untuk memuaskan hasrat Dimas. Artinya, ia berhasil membuat Dimas bertekuk lutut di hadapannya dan Dimas akan menuruti apapun yang Laila inginkan.
"Kamu memang the best deh kalau melayani mas, dari atas sampai bawah. Mas tuh sampai ketagihan banget loh sama kamu. Pinter banget istri mas ini. Pinter masak, pinter dandan terus pinter di ranjang lagi." Dimas terus memuji Laila dan menciumi pipi Laila dengan mesra.
"Ih ... geli dong, Mas."
"Duh ... kamu buat mas turn on terus deh, Sayang."
"Ih... jangan dulu. Aku masih capek dong. Masa digempur terus sih, Mas."
"Hehe ... habisnya kamu membuat Mas seperti ini. Jadinya harus tanggung jawab dong sama Mas."
"Nanti dulu, Ah. Laila capek. Hmm ... kita bicara dulu saja ya."
"Bicara apa, Sayang?"
"Mas ..." panggil Laila yang manja.
"Kenapa, Sayang?"
"Kapan Mas akan beritahu Mbak Hesti kalau Mas itu sebenarnya sudah nikah siri dengan aku?" tanya Laila manja sekaligus merajuk manja kepada Dimas.
"Nanti ya, Sayang."
Mood Dimas jadi berubah tegang kalau membicarakan Hesti atau pun rencana cerainya dengan sang istri pertama. Resiko terlalu besar.
"Aku sudah bertahan satu bulan loh, Mas di sini. Aku sebal sekali diperkenalkan sebagai adik sepupu dari mas loh oleh ibu. Mas juga tidak menyanggahnya sama sekali. Aku kan istri sahnya mas Dimas juga. Masa aku harus sembunyi-sembunyi begitu sih? Mau mesra-mesraan sama Mas Dimas saja harus tunggu Mbak Hesti pergi. Duh gak bebas banget. Gak tahan aku tuh." gerutu Laila.
"Sabar ya, Sayang. Orang sabar disayang Tuhan." Dimas mencoba menenangkan istri yang baru ia nikahi selama satu bulan ini.
"Sabar terus aku ini sih. Lama-lama pantat bisa lebar kalau disuruh sabar, Mas." cebik Laila karena sang suami tidak juga mengatakan kepada istri pertamanya kalau mereka itu sudah menikah secara siri.
"Hehe ... kamu bisa saja sih humornya. Mas tambah gemas deh sama kamu." goda Dimas.
"Mas ... "
"Hum ... kenapa istriku yang cantik dan menggoda ini?" tanya Dimas.
"Mas itu lebih cinta aku atau sama Mbak Hesti sih?" Laila seolah meminta kepastian dari Dimas. Sebuah afirmasi kepada dirinya sendiri atas jawaban dari Dimas, suaminya yang baru ia nikahi selama satu bulan ini.
"Tentu sama kamu, Sayang. Kamu segalanya loh buat, Mas. Bisa mati mas tuh kalau kamu gak ada. Gak bisa makan, gak bisa tidur ... gak bisa segalanya deh kalau kamu gak ada. Mas ketergantungan banget sama kamu," rayu Dimas agar Laila tidak marah kepadanya.
"Kalau begitu, belikan aku rumah baru dong, Mas. Biar kita tuh bisa santai kalau mau mesra-mesraan. Gak seperti ini terus. Masa sembunyi-sembunyi terus di hadapan mba Hesti," bujuk Laila.
"Sabar ya, Sayang." Hanya kata sabar saja yang bisa diucapkan oleh Dimas. Dia sendiri bingung kalau disuruh beli rumah baru. Memangnya membeli rumah bisa semudah dan semurah bicara saja? Tentu saja Dimas harus mengumpulkan uang yang banyak untuk memenuhi kemauan dari Laila.
"Ih ... Mas tuh suruh aku sabar terus. Bosan aku tuh untuk sabar." protes Laila.
"Ya mas harus bagaimana lagi? Beli rumah kan gak semudah dan semurah itu, Cintaku. Uangnya mas kamu ini belum terlalu banyak untuk membeli rumah baru buat kita berdua."
"Ih ... sebal sekali sih. Mas tidak mengerti rasanya menjadi kedua dan sembunyi-sembunyi di depan Mbak Hesti sih."
"Mas minta maaf ya, Sayang. Benar-benar minta maaf atas ketidaknyamanan yang kamu rasakan. Tapi, Mas janji akan cari jalan secepatnya agar kamu nyaman hidup bersama dengan Mas."
"Ok. Kalau belum bisa beli rumah lagi, minimal kita mengontrak rumahlah supaya aku bisa menjadi nyonyadi rumah sendiri. Aku malas berada di rumah ini."
"Kontrak rumah?"
"Iya ... lebih baik kontrak dulu supaya bisa mandiri, jangan terus sama Mbak Hesti." rengek Laila.
Dimas terdiam. Mengontrak rumah juga bukan perkara mudah. Apalagi uangnya kini juga dipegang oleh Hesti. Tak terlalu bebas untuk mengeluarkan uang begitu banyak dari tabungan.
"Mas ... koq diam saja sih. Mas mendengarkan aku bicara gak sih?"
"Dengar koq, Sayang. Tapi buat apa ngontrak rumah? Menghabiskan uang saja. Ini kan juga rumah kita." kilah Dimas yang tak mau mengeluarkan uang tambahan untuk mengontrak rumah."Ih ... mas gitu banget. Mas gak tahu sih rasanya kalau lagi bersama dengan Mbak Hesti. Aku tuh merasa rendah banget loh. Bukan berasa nyonya rumah" tambah Laila merengek kepada Dimas.Dimas menarik nafas dalam-dalam,"Mas buktikan dong cintanya mas kepada Laila. Koq Mas diam saja sih?" Laila menggoyang-goyangkan tubuh Dimas karena pria itu belum menjawab apa yang dia inginkan."Memang kamu mau bukti apa sih, Cantiknya Mas?" Dimas masih mencoba bersabar kepada Laila. Terus terang, ia tak bisa berkonsentrasi kalau sudah membahas tentang uang."Satu, aku minta pindah rumah. Terserah mau kontrak atau tidak. Kedua, aku mau Mas memberitahu ke Mbak Hesti segera tentang pernikahan kita. Sampai kapan mas mau tutupi?" tegas Laila."Iya, kamu sabar dulu. Nanti baru aku ceraikan dia. Please jangan bahas itu dulu! Belum wa
"Aku hari ini tinggal di hotel dan aku sangat butuh konsultasi dengan kamu. Please datang! Aku blank!""Tentang apa?""Perceraian?""Hah! Hesti yang bucin terhadap Dimas malah bicara perceraian? Apa tidak salah?" Arga heran bukan main."Tak perlu banyak bicara, Ar. Datang ke hotel X sekarang ya. Aku butuh bantuan kamu.""Ok. Hmm ... berikan waktu tiga puluh menit. Aku mau mandi dulu. Gerah sekali.""Sip. Thanks, Ar. Sorry merepotkan kamu.""No prob! Kamar nomor berapa?""7801""Ok. Aku siap-siap dulu."Hesti pun menutup sambungan telepon dengan Arga.Sesuai dengan janjinya Arga, pengacara tampan, bos dan juga merupakan teman baik dari Hesti itu sampai di hotel dan di kamar Hesti tepat tiga puluh menit kemudian."Ada apa?" tanya Arga yang baru sampai di depan pintu kamar Hesti."Masuk dulu."Arga menanggukkan kepalanya lalu mengikuti Hesti ke dalam kamar."Duduk, Ar."Arga pun duduk di salah satu ranjang di kamar Hesti."Hmm ... aku ingin bercerai dengan Mas Dimas." tukas Hesti dengan
Keesokan harinya, Hesti pulang ke rumah dengan senyuman mengembang penuh sandiwara. Ia harus bermain sandiwara secantik mungkin agar Dimas tidak mengetahui perubahan perilakunya nanti.Ini hari sabtu. Memang seharusnya Dimas tak pergi ke kantor."Assalamualaikum!" sapa Hesti yang baru saja membuka pintu rumahnya."Wa'alaikumsalam!" balas Dimas yang memang sedang bersantai di ruang tamu sambil menonton siaran televisi kesukaannya itu.Hesti dengan senyuman, langsung berjalan ke arah Dimas dan mencium tangan pria itu. Ya, sandiwara menjadi istri berbakti begitu lah."Mas ..." panggil Hesti manja."Ya, ada apa, Hes?" Tatapan Dimas masih terarah ke televisi. Ia bahkan tak terlalu menggubris kedatangan Hesti."Besok kan hari minggu terus ada libur tahun baru, apakah kamu mau jalan-jalan?" tawar Hesti."Jalan kemana? Apa kamu tak lelah? Ini saja kamu baru pulang dari luar kota loh. Aku rasa lebih baik kamu istirahat saja sih di rumah." Dimas heran dengan ajakan Hesti."Aku kangen banget sam
"Soalnya kan aku kerja dan menghasilkan uang bersama dengan Mas Dimas. Jadi kalau ada kamu tuh ... Ada yang masak, membersihkan rumah ... Wah komplit deh. Nah kalau aku pulang kerja, jadi aku tidak terlalu lelah untuk beres-beres seperti dulu sebelum ada kamu. Mau makan tinggal makan dan masih hangat karena kamu membuatnya."Maksudnya adalah Hesti menyindir kalau Laila menjadi ART tanpa bayaran di rumah Hesti. Itu point nya.Laila tersenyum miris dengan ucapan dari Hesti. Pastinya dia agak sakit hati."Iya, Mbak.""Ah ya, besok aku mau honeymoon sama Mas Dimas. Tolong jaga rumah ya! Kalau kamu mu keluar, jangan lupa kunci pintu! Jangan sampai ada kucing garong masuk mencari ikan asin busuk.""Mbak ada-ada saja. Mana ada kucing garong mencari ikan asin busuk?" kekeh Laila dan sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud oleh Hesti. Hanya saja ia pura-pura bodoh."Hehe ... itu cuma istilah, La. Lagian ... di rumah ini gak ada yang berharga sama sekali sih. Jadi santai saja kalau mau meninggalk
"Mas ..." panggil Hesti kepada suaminya itu dengan sangat mesra dan manja. Bahkan membuat Laila jijik sendiri saat mendengarnya. Wanita muda itu kesal setengah mati."Kenapa?" tanya Dimas begitu datar. Ia menjaga perasaan Laila untuk tidak bermesraan dengan Hesti, apalagi di rumah. Ia bisa melihat kalau Laila kesal dengan yang dilakukan oleh Hesti sekarang. Hanya saja, Dimas tak bisa berbuat banyak terhadap Hesti.Bagaimana pun, Hesti masih menjadi istri sah Dimas."Ih ... koq gak panggil sayang sih?" protes Hesti manja sambil memeluk erat leher Dimas saat berada di meja makan bersama dengan Laila.CUP!Hesti mencium pipi Dimas dengan sengaja di hadapan Laila. Dimas aneh sendiri karena Hesti tiba-tiba berubah manja."Kangen deh sama Mas."Hesti terus mencium pipi Dimas bertubi-tubi, seakan ia sangat mencintai Dimas.Ekspres
"Mbak Hesti ... hoooh ... hoooh ..." Nafas Laila tersengal-sengal karena lelah."Kenapa dengan Hesti?""Dia buang kasur dan ranjang. Sekalian seprai, bantal dan guling.""Hah ... terus kenapa kamu yang ngos-ngosan?" Dimas heran."Mbak Hesti suruh aku dan bapak tukang rongsokan untuk angkut kasur dan ranjang. Aku capek, Mas.""Astaga ..." Dimas menggelengkan kepalanya atas ulah Hesti."Marahin gih, Mas masa dia ngerjain aku begini amat." protes Laila. Ia sangat berharap kalau Dimas bisa memarahi Hesti hingga wanita itu kapok untuk mengerjai Laila lagi.Dimas langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya yang kini kosong."Hesti! Kenapa kamu buang ranjang dan kasur kita? Apa maksud kamu?" bentak Dimas kesal.Laila pun menguping di belakang pintu kamar Dimas."Gak ada maksud apa-apa, Mas. Cuma
Dimas langsung sadar dari buaian Hesti."Aduh ... kenapa?"Hesti langsung membuka pintu dan ditemukan kaki dan tangan Laila terjepit di pintu kayunya yang cukup berat itu.Dimas pun dengan sigap melihat keadaan Laila, wajahnya memerah karena tertangkap basah telah bermesraan dengan Hesti."Kenapa kamu bisa ada di belakang pintu sih, La? Aduh ... " Hesti pura-pura panik melihat keadaan Laila."Aw ... sakit banget. Rasanya tangan dan kaki aku ada yang patah, Mas." rintih Laila yang sangat kesakitan. "Sakit banget Mas."Terlihat sih jari-jari Laila memerah dan kakinya, entahlah bagaimana. Hesti tak peduli sama sekali."Kita ke rumah sakit ya, La. Ok kan, Hes?" Dimas meminta persetujuan kepada Hesti karena semua uang yang besar memang dipegang oleh Hesti.Dimas hanya mendapatkan uang jajan saja dari Hesti. Uang jajan yang cukup
"Ya karena dia yang pegang uang. Dia yang pegang gaji aku. Biasanya aku hanya diberikan uang jajan saja oleh Hesti. Kalau kurang baru minta."Memang Laila baru satu bulan menikah dengan Dimas. Makanya dia tak tahu apa-apa tentang keuangan Dimas. Ia percaya saja dengan bujuk rayu ibu mertua dan juga Dimas untuk menikahinya. Sekarang Laila merasa lebih terjebak lagi.Suaminya tak pegang kuasa akan keuangan. Lalu bagaimana Laila bisa foya-foya untuk menikmati gaji dari Dimas?"Apa gak bisa dipindahkan untuk transfer gaji kepada Mas sendiri?""Nanti Hesti curiga.""Ish ... makanya mas tuh harus bilang kepada Mbak Hesti kalau kita sudah menikah.""Nanti ya. Kita fokus dulu sama luka kamu. Semoga saja cepat sembuh.""Ish ... ini tuh gara-gara mas.""Kenapa gara-gara Mas?" Dimas heran."Karena tadi aku mau mende
Bab 39Hari ini, Dimas sudah berada di sebuah perusahaan swasta untuk interview kerja dan negosiasi gaji.“Pak, apa tidak bisa gajinya dinaikkan? Uhm … saya sudah berpengalaman selama sepuluh tahun dan juga di dalamnya saya juga pernah menjadi supervisor loh, Pak.”“Maaf, Pak Dimas. Hanya segini yang bisa kami tawarkan. Kami sangat menghargai pengalaman Pak Dimas, tapi memang begitu lah. Kami belum bisa untuk membayar gaji yang sangat tinggi seperti Pak Dimas mau.”Dimas agak bingung juga. Ini sudah terlalu banyak perusahaan yang ia datangi untuk interview kerja dan negosiasi gaji. Semua gajinya hanya di UMR Jakarta saja, sekitar lima juta. Hanya perusahaan ini yang berani memberikannya sekitar enam juta rupiah. Satu juta yang berbeda juga lumayan, bukan?“Kan sekarang banyak pengangguran juga, Pak Dimas. Jadi … ““Pak, kalau saya pindah ke bagian lain? Gak usah bagian back office, bagaimana?”“Maksudnya, Pak?”“Kalau menjadi sales motor bagaimana, Pak? Di sini kan jualan motor.”“Ah
"Aku sedang menawari kamu. Bagaimana kalau kita berdua menikah saja?" tanya Arga dengan wajah yang sangat meyakinkan kepada Hesti. Ia sangat ingin mengetahui jawaban dari Hesti dan sangat mengharapkan kalau Hesti akan sangat setuju dengan permintaannya itu."Astaga, Ar ... apa kamu gak punya opsi lain selain aku? Yang masih gadis gitu?" Hesti bingung. "Aku tuh udah janda loh. Malah masih masa perceraian. Gak cocok banget buat dampingin kamu." "Hmm ... aku rasa kamu sngat cocok dengan aku. Kayaknya di antara semua, kamu yang paling mengerti aku. Terus kalau masalah janda tuh ... bagi aku gak ada masalah. Semua orang punya masa lalu koq."Arga mencoba tenang untuk bicara dengan Hesti. Padahal di dalam hatinya sudah seperti genderang ditabuh dengan kencang. "Gila ah. Aku gak ikut-ikutan sama frustasinya kamu. Kamu lebih baik cari wanita lain untuk kamu nikahi. Kita tetap jadi teman saja, Ar." tegas Hesti."Koq gitu? Memangnya aku jelek banget sampai kamu gak mau sama aku?" Protes Arga.
"Sebenarnya bukan mencintainya, karena aku sudah ada perasaan dengan wanita lain." jelas Arga. "Serius? Siapa wanita itu? Aku jadi penasara. Apakah aku kenal?" "Kenapa memberondong banyak pertanyaan kepadaku? Mana yang harus aku jawab duluan?" Hesti langsung terkekeh. Anggap saja dirinya terlalu kepo untuk urusan pribadi dari Arga. "Aku hanya penasaran sih. Apakah aku mengenalnya?" "Kenal." "Hmm ... apakah dia ada di kantor ini?" tanya Hesti lagi yang semakin penasaran saja. "Kepo!" "Haha ... kenapa aku bisa gak sadar ya kalau kamu suka sama wanita." "Sialan! Apa maksudmu, Hes?" "Aku pikir setelah kamu berpisah dengan Erika, kamu gak berhubungan dengan wanita mana pun." "Hmm ... memang tidak secara langsung sih. Anggap saja aku mencintai dalam diam." "Duh ... kasihan sekali sih kamu. Padahal kamu sangat sukses loh. Pasti banyak wanita yang bertekuk lutut kalau kamu mau memberikan hatimu kepada mereka." "Sayangnya, wanita yang aku suka malah suka sama pria lain. Bahkan men
Setelah pulang ke unit apartemen, Laila langsung merapikan semua barang. Ia sangat lelah dan langsung membersihkan tubuhnya yang penuh dengan keringat. "Hmm ... apa aku terima saja Mas Ari ya? Tapi ... bagaimana kalau ketahuan sama Mas Dimas?" tanya Laila kepada dirinya sendiri. Sebenarnya, Laila agak takut kalau berselingkuh dari Dimas. Namun, adrenalin saat ia bersama Dimas berselingkuh di belakang Hesti seperti menggodanya saja. "Apa coba bilang sama Ari untuk backstreet saja karena Mas Dimas galak? Toh mereka semua mengira kalau Mas Dimas itu adalah kakak aku."Krek! "Laila!" panggil Dimas yang baru saja pulang ke unit apartemen. "Ya, mas. Aku lagi mandi!" balas Laila sambil sedikit teriak. "Ok"Tak ada tanggapan lain dari Dimas. Tak lama kemudian, Laila pun keluar dari kamar mandi. "Gimana jualan hari ini, La?""Habis sih.""Dengan strategi sepuluh ribu?" Dimas tersenyum bahagia. "Gak dong! Aku sudah naikkan jadi dua puluh ribu dan ... memang ludes semua. Mereka suka sama
“Ya coba kamu pikirkan saja, La.” “Iya, terima kasih mas atas usulnya.” “Sama-sama. Kan aku mau kamu maju usahanya. Jangan bawa kakak kamu lagi ya. Kasihan banget dari kemarin dagangan sepi karena bawa kakak kamu yang terlihat tak bersahabat itu.” “Iya, Mas. Aku gak akan bawa lagi Mas Dimas ke sini.” “Bagus. Aku masuk dulu ya.” “Iya, Mas.” Setelah mendengarkan semua teknik marketing dari Ari, Laila pun mulai memberanikan diri. Ia melepaskan dua kancing dari kemeja yang ia gunakan. “Udah cukup seksi belum sih ya? Duh … semoga dagangan ini cepat habis.” Tukas Laila. Dan memang hasilnya adalah banyak pria yang saat mampir ke mini market langsung membeli makanan Laila. Bukan sepuluh ribu, Laila sudah menaikkannya menjadi dua puluh ribu dan para lelaki itu pun tanpa penawaran langsung membeli saja semua yang ditawarkan oleh Laila. Laila pun tersenyum. Semua barang dagangannya habis tanpa tersisa. Tak lama kemudian, Ari pun keluar dari mini market. “Wah … kamu seksi bang
"Gak ada hubungannya, Sayang! Aku tetap harus menyelesaikan masalah persidangan dengan Hesti. Kamu tenang saja, aku gak akan balik lagi koq sama Hesti." Dimas berusaha menenangkan istri keduanya itu."Janji ya, Mas!""Iya."Laila langsung memeluk erat tubuh Dimas.*Keesokan harinya."Sayang, aku pergi dulu ya.""Iya, hati-hati, Mas."Dimas pun segera keluar dari unit apartemennya dan pergi menuju ke lobi utama. Ia sudah memesan mobil untuk pergi ke pengadilan.Sementara itu, Laila berbenah untuk segera jualan lagi di depan mini market. *PengadilanDimas melihat Hesti. Wanita yang pernah mengisi hidupnya itu terlihat sangat cantik dan mempesona. Bahkan setelah berpisah dari Dimas, Hesti malah semakin terlihat terawat. Tak terlihat kesedihan atau penderitaan karena diceraikan oleh Dimas.“He-hesti …” sapa Dimas saat duduk di samping Hesti di dalam ruang pengadilan.“Ya.” Jawab Hesti singkat.“Apa kabarmu?”“Sangat baik.”Bahkan Hesti sangat tak berniat untuk bertanya kepada Dimas, pr
"Kenapa, Sayang? Wajahmu seperti sedang kesal." tanya Dimas saat melihat raut wajah dari Laila. "Itu ... mas lihat saja mantan istri mas itu." tunjuk Laila ke arah Hesti yang sedang mengantri di warung nasi uduk di seberang warung Laila."Hesti ....""Ya, dia itu turun dari mobil bagus banget. Mas lihat kan yang mobil merah itu." tambah Laila.Dimas mengangguk pelan."Ish ... kenapa sih nasib dia baik banget. Lepas dari mas malah ketemu pria yang kaya banget. Mobilnya aja bagus banget."Dimas memperhatikan dengan sungguh-sungguh mobil mewah yang ditumpangi oleh Hesti."Itu sih harusnya mobil bosnya Hesti. Memang orangnya kaya banget." balas Dimas."Pacar barunya kali, bukan bosnya. Two in one, Mas." ejek Laila.Wajah Dimas mengeras. Terbersit curiga sekaligus cemburu terhadap keadaan Hesti saat ini. Hanya saja, Dimas tak berani berkomentar macam-macam karena ada Laila di dekatnya."Duh .. ini yang beli kemana sih, Mas? Kita nih udah dari pagi loh, tapi gak ada yang beli terus."Dimas
"Mas rasa tidak perlu untuk hal seperti itu, La. Kita jalani secara normal saja. Terus juga uang segitu banyak. Sayang banget kalau harus diberikan kepada Mbah Dikin." tolak Dimas halus."Tapi, Mas ... kalau mau usaha lancar ya harus dengan cara begini.""Mas tak mau, La. Uang dua ratus lima puluh juta itu satu-satunya milik kita loh. Jika diberikan kepada Mbah Dikin dan ternyata tetap tak laku, lalu kita bagaimana caranya bertahan hidup?" Dimas mencoba rasional."Mas ... percaya deh sama aku. Kita pasti bisa kaya raya kalau dengan bantuan dari Mbah Dikin.”“Maaf, La. Mas … sulit untuk percaya klenik seperti itu. Apa juga jaminannya kalau dengan memberikan uang sebanyak itu, maka kita bisa kaya.”“Tapi Mas, di kampung tuh banyak yang kaya loh dengan bantuan dari Mbah Dikin.” Tegas Laila yang terus mencoba meyakinkan Dimas.“Siapa?”“Itu … Bu RT.”“La, kalau Mbah Dikin itu bisa membuat kaya orang lain, kenapa dia tak bisa membuat dirinya sendiri kaya? Sepertinya Mbah Dikin ini hidup se
Sehari ini, dagangan dari Laila dan Dimas sama sekali tak laku. Bahkan sampai semua makanannya menjadi basi."Ish ... aku kesal sekali, Mas! Padahal masakan yang aku buat sangatlah enak. Kenapa tidak ada yang membelinya sih?""Sabar, La! Ini hari pertama loh." Dimas mengingatkan."Mas, memang hari pertama. Tapi kan ... masa Pak Ari saja yang membeli makanan buatan aku. Yang lain ... yang datang hanya melirik tanpa berniat membeli.""Apa kita kurang promosi saja? Mungkin harganya bisa di kasih murah, La.""Mas ... mau murah segimana sih?""Ya misalkan dari harga sepuluh ribu gitu.""HAH! Sepuluh ribu?" Laila tercengang mendengarkan ide dari Dimas."Iya. Namanya juga promosi.""Tapi kan kita pasti rugi, Mas. Aku capek loh kerja ... masa satu porsi cuma sepuluh ribu sih?" protes Laila yang tak rela kalau dia tak bisa meraup untung banyak akan barang yang ia jual."Mas tahu. Dengan harga sepuluh ribu, kita berikan saja nasi uduk seperti yang sego kucing itu loh." Dimas mencoba memberikan