"Maaf La, Mas gak bisa nolak Hesti. Benar-benar maaf. Nanti kalau Mas pulang dari Malaysia, mas kasih kamu oleh-oleh ya. Mas janji .... mas akan kasih kamu oleh-oleh yang mahal."Laila pun mencebikkan bibirnya. Suaminya malah meninggalkan dirinya. Hanya diiming-imingi oleh oleh-oleh mahal.*Pada malam harinya, Ibu Nani pun datang ke rumah Hesti dan Dimas."Kalian mau kemana sih?" tanya Nani penasaran karena melihat Hesti dan Dimas sudah membawa koper masing-masing."Kami mau ke Malaysia, Bu.""Loh, kamu bilang besok, Dim.""Iya, Bu. Uhm ... Hesti menyuruh untuk tinggal di hotel dulu karena tak ada kasur di kamar kami.""Lah, kalau tidak ada kasur di kamar kalian, terus ibu tidur dimana?" protes Bu Nani."Di kamar Laila, Bu." balas Hesti dengan santai."Kamar Laila? Kasurnya kan kecil .
Rumah ..."Laila ..." panggil Nani yang merasa sangat tak nyaman untuk tidur berdua dengan Laila di ranjang single."Ya, bu. Kenapa?" Laila pun membuka kedua matanya."Kamu bisa tidur di lantai gak?""Kenapa, Bu?""Rasanya ibu encok banget tidur sempit-sempitan sama kamu.""Kan aku lagi sakit, Bu. Tangan sama kaki aku sakit banget." Laila menolak. Tapi tak berani kurang ajar terhadap Nani."Duh ... kamu kan masih muda, La. Ibu kan sudah tua. Ini kalau ibu gak bisa tidur dengan nyaman. Nanti ibu bisa sakit loh. Kalau darah tinggi ibu kumat, bisa gawat kan." keluh Nani.Laila kesal setengah mati. Sofa di depan tidak bisa digunakan untuk tidur. Ranjang Hesti sudah tak ada. Bahkan bantal, guling serta selimut pun tak ada.Mungkin ada, tapi lemarinya dikunci oleh Hesti. Jadi Laila tak bisa mengambil apapun.
Wajah Hesti terlihat sangat serius saat ini. Bahkan terlihat sangat khawatir. Namanya juga sandiwara untuk meledek Dimas sekaligus mengancam pria itu."Hmm ... kemarin ini di kantor ada yang ketahuan selingkuh, Mas. Terus ... suaminya itu ternyata selingkuh sama adik sepupunya sendiri. Parah kan tuh, Mas."Dimas menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dibicarakan oleh Hesti seperti menyindir dirinya saja. Langsung kena pada sasaran."Mas gak seperti teman kau di kantor itu lah. Mas sangat cinta sama kamu." kilah Dimas mencoba menenangkan Hesti dengan kebohongan lainnya."Aku jadi parno, Mas. Uhm ... bagaimana kalau Laila keluar saja dari rumah kita? Nanti aku bantu carikan pekerjaan untuk dia." usul Hesti. "Aku gak mau kejadian sama teman kantor aku itu menimpa rumah tangga kita. Aku bisa sangat sedih kalau mas melakukan seperti itu dengan Laila.""Laila itu sepupu aku dan aku tak pe
"Sabar, Sayang. Jangan emosi. Mas minta maaf karena sudah ada janji dengan orang tuanya Laila. Keluarga mas itu berhutang banyak terhadap keluarganya Laila." Hesti menarik nafas dalam-dalam. "Mas tahu gak sih ... " "Apa?" Hesti menghela nafas lelah. "Terkadang aku cemburu dengan Laila." "Cemburu kenapa?" "Karena ... jadi dia enak banget. Gak perlu kerja, tapi sudah dapat uang bulanan. Sementara aku ... aku kerja keras." "Laila kan belum ada penghasilan. Lagian dia baru satu bulan di Jakarta, Hes. Wajar kalau dia belum ada penghasilan. Lagian ... dia juga lulusan SMA. Agak susah untuk mendapatkan pekerjaan." kilah Dimas. "Tapi .. dia sama sekali tak mencari pekerjaan, Mas. Diam terus di rumah." protes Hesti. "Harusnya tuh dia usaha cari kerjaan. Bukan diam di Rumah terus. Kan bisa jadi pelayan, jadi apa saja bisa. Yang penting mau usaha!" tegas Hesti
Hesti pergi dengan Dimas, mereka berjalan-jalan di kota Jakarta dengan mobil. Anggap saja Hesti ingin melepaskan penat walaupun untuk sesaat dan dengan orang yang salah. Tujuannya bukan untuk nostagia atau membuat Dimas untuk mencintai dirinya lagi. Tapi hanya untuk mengerjai Laila dan Nani yang berada di rumahnya serta membuat adu domba antara Dimas dan Laila.Kurang kerjaan sih, tapi anggap saja itu membuat Hesti bahagia untuk sementara waktu. "Kita mau menginap di hotel untuk berapa lama, ya?" tanya Dimas."Memangnya kenapa, Mas? Apa kamu mau cepat pulang ke rumah? Apakah kamu sudah tidak betah untuk jalan-jalan bersama aku untuk menghabiskan tahun baru?" tanya Hesti dengan sangat sinis kepada Dimas."Tidak... Terserah kamu saja." Dimas tak berani bertanya lagi. Ia takut jika ia salah mengatakan apapun kepada Hesti."Mas, bagaimana menurut kamu kalau aku resign?""HAH! Kenapa resign?" Dimas sangat kaget dengan ucapan Hesti tiba-tiba."Ya. Aku lelah saja harus kerja terus.""Lalu,
Dimas benar-benar bingung saat ini. Ia tak bisa memilih. Ia butuh uang dari Hesti tapi juga ia masih suka bersama dengan Laila sebagai istri keduanya, namanya juga baru bulan pertama pernikahan, masih hangat-hangatnya mereguk madu."Biar aku pikir dulu." tukas Dimas yang sudah tak bisa berpikir lagi atas permintaan dari Hesti.Hesti mengedikkan bahunya."Terserah. Yang pasti, tidak akan ada uang yang keluar dari dompet aku untuk memberikannya kepada keluargamu atau pun Laila."Dimas tak bisa membantah. Bagaimana pun, itu uangnya Hesti juga."Ya sudah, kita kembali ke hotel saja." putus Hesti.Dimas menganggukkan kepalanya. Mereka pun segera kembali ke hotel.*"La ..." panggil Nani kepada menantu keduanya itu."Iya, bu." Laila masih terus berada di kamar. Kakinya masih sangat sakit kalau digunakan untuk berjalan."Bagaimana selama ini sikap Hesti sama kamu? Apa kamu sudah bilang sama Hesti kalau kamu istri keduanya Dimas?" Nani penasaran."Masih baik sih, Bu. Aku dan Mas Dimas belum b
"Ya Bu. Dimas harus bagaimana?" Dimas pun terlihat sudah tak berani untuk melawan Hesti. Apalagi membela Nani maupun Laila di depan Hesti."Kamu gak perhatikan istri kamu ini? HAH! Kasihan dong Laila. Sudah kaki luka, eh malah kalian tinggal begitu saja."Dimas diam. Kepalanya juga sudah sakit mendengar ocehan dari Nani."Bu ... bisa kita bicara baik-baik dulu bertiga?" pinta Dimas sambil memijit kepalanya yang pening."Apa?""Hmm ... di kamar Laila saja ya."Tiga orang itu pun berjalan pelan ke dalam kamar Laila."Apa yang mau kamu bicarakan Dimas?""Uhm ... Hesti mengatakan uhmm ..." Dimas ragu. Tapi Hesti juga sudah memaksa tadi pagi. Suka atau pun tidak, Dimas pun tak bisa melawan Hesti."Apa? Jangan buat aku penasaran!" tegas Nani."Mulai bu-bulan depan. Uhm ... Hesti tidak akan mengirimkan uang untuk ibu seperti biasanya.""HAH! Kenapa begitu? Lalu, bagaimana ibu harus hidup, Dim?" Nani panik.
"Ya sudah, kalau ibu kamu tetap pada pendiriannya Aku pun begitu." tegas Hesti."Hes ... jangan begitu dong. Ibu aku kan juga ibu kamu. Masa kamu tega begitu.""Gak mas ... aku bukannya tega. Tapi aku juga sudah terlalu lama tega kepada diriku sendiri. Aku ingin senang-senang. Menikmati uang yang aku hasilkan. Selama ini, aku tak menikmati hasil dari apa yang aku kerjakan. Boleh dong kalau aku egois?""Hes ... jangan begitu.""Kalau Mas mau memberikan uang untuk keluarganya mas, maka cari kerjaan tambahan. Uang suami adalah uang istri! Uang istri adalah uang istri! Kenapa juga sekarang ini uang istri jadi uang suami?" bentak Hesti lebih sengit lagi kepada Dimas.Dimas tertegun mendengar bentakan Hesti."Mas, selama ini aku sudah banyak mengalah. Aku sudah tak bisa lagi. Bagaimana pun, aku harus mengurusi masa depan aku, masa depan kita! Kalau kamu ingin mencari uang tambahan agar bisa membiayai keluargamu, maka carilah pekerjaan itu."
Bab 39Hari ini, Dimas sudah berada di sebuah perusahaan swasta untuk interview kerja dan negosiasi gaji.“Pak, apa tidak bisa gajinya dinaikkan? Uhm … saya sudah berpengalaman selama sepuluh tahun dan juga di dalamnya saya juga pernah menjadi supervisor loh, Pak.”“Maaf, Pak Dimas. Hanya segini yang bisa kami tawarkan. Kami sangat menghargai pengalaman Pak Dimas, tapi memang begitu lah. Kami belum bisa untuk membayar gaji yang sangat tinggi seperti Pak Dimas mau.”Dimas agak bingung juga. Ini sudah terlalu banyak perusahaan yang ia datangi untuk interview kerja dan negosiasi gaji. Semua gajinya hanya di UMR Jakarta saja, sekitar lima juta. Hanya perusahaan ini yang berani memberikannya sekitar enam juta rupiah. Satu juta yang berbeda juga lumayan, bukan?“Kan sekarang banyak pengangguran juga, Pak Dimas. Jadi … ““Pak, kalau saya pindah ke bagian lain? Gak usah bagian back office, bagaimana?”“Maksudnya, Pak?”“Kalau menjadi sales motor bagaimana, Pak? Di sini kan jualan motor.”“Ah
"Aku sedang menawari kamu. Bagaimana kalau kita berdua menikah saja?" tanya Arga dengan wajah yang sangat meyakinkan kepada Hesti. Ia sangat ingin mengetahui jawaban dari Hesti dan sangat mengharapkan kalau Hesti akan sangat setuju dengan permintaannya itu."Astaga, Ar ... apa kamu gak punya opsi lain selain aku? Yang masih gadis gitu?" Hesti bingung. "Aku tuh udah janda loh. Malah masih masa perceraian. Gak cocok banget buat dampingin kamu." "Hmm ... aku rasa kamu sngat cocok dengan aku. Kayaknya di antara semua, kamu yang paling mengerti aku. Terus kalau masalah janda tuh ... bagi aku gak ada masalah. Semua orang punya masa lalu koq."Arga mencoba tenang untuk bicara dengan Hesti. Padahal di dalam hatinya sudah seperti genderang ditabuh dengan kencang. "Gila ah. Aku gak ikut-ikutan sama frustasinya kamu. Kamu lebih baik cari wanita lain untuk kamu nikahi. Kita tetap jadi teman saja, Ar." tegas Hesti."Koq gitu? Memangnya aku jelek banget sampai kamu gak mau sama aku?" Protes Arga.
"Sebenarnya bukan mencintainya, karena aku sudah ada perasaan dengan wanita lain." jelas Arga. "Serius? Siapa wanita itu? Aku jadi penasara. Apakah aku kenal?" "Kenapa memberondong banyak pertanyaan kepadaku? Mana yang harus aku jawab duluan?" Hesti langsung terkekeh. Anggap saja dirinya terlalu kepo untuk urusan pribadi dari Arga. "Aku hanya penasaran sih. Apakah aku mengenalnya?" "Kenal." "Hmm ... apakah dia ada di kantor ini?" tanya Hesti lagi yang semakin penasaran saja. "Kepo!" "Haha ... kenapa aku bisa gak sadar ya kalau kamu suka sama wanita." "Sialan! Apa maksudmu, Hes?" "Aku pikir setelah kamu berpisah dengan Erika, kamu gak berhubungan dengan wanita mana pun." "Hmm ... memang tidak secara langsung sih. Anggap saja aku mencintai dalam diam." "Duh ... kasihan sekali sih kamu. Padahal kamu sangat sukses loh. Pasti banyak wanita yang bertekuk lutut kalau kamu mau memberikan hatimu kepada mereka." "Sayangnya, wanita yang aku suka malah suka sama pria lain. Bahkan men
Setelah pulang ke unit apartemen, Laila langsung merapikan semua barang. Ia sangat lelah dan langsung membersihkan tubuhnya yang penuh dengan keringat. "Hmm ... apa aku terima saja Mas Ari ya? Tapi ... bagaimana kalau ketahuan sama Mas Dimas?" tanya Laila kepada dirinya sendiri. Sebenarnya, Laila agak takut kalau berselingkuh dari Dimas. Namun, adrenalin saat ia bersama Dimas berselingkuh di belakang Hesti seperti menggodanya saja. "Apa coba bilang sama Ari untuk backstreet saja karena Mas Dimas galak? Toh mereka semua mengira kalau Mas Dimas itu adalah kakak aku."Krek! "Laila!" panggil Dimas yang baru saja pulang ke unit apartemen. "Ya, mas. Aku lagi mandi!" balas Laila sambil sedikit teriak. "Ok"Tak ada tanggapan lain dari Dimas. Tak lama kemudian, Laila pun keluar dari kamar mandi. "Gimana jualan hari ini, La?""Habis sih.""Dengan strategi sepuluh ribu?" Dimas tersenyum bahagia. "Gak dong! Aku sudah naikkan jadi dua puluh ribu dan ... memang ludes semua. Mereka suka sama
“Ya coba kamu pikirkan saja, La.” “Iya, terima kasih mas atas usulnya.” “Sama-sama. Kan aku mau kamu maju usahanya. Jangan bawa kakak kamu lagi ya. Kasihan banget dari kemarin dagangan sepi karena bawa kakak kamu yang terlihat tak bersahabat itu.” “Iya, Mas. Aku gak akan bawa lagi Mas Dimas ke sini.” “Bagus. Aku masuk dulu ya.” “Iya, Mas.” Setelah mendengarkan semua teknik marketing dari Ari, Laila pun mulai memberanikan diri. Ia melepaskan dua kancing dari kemeja yang ia gunakan. “Udah cukup seksi belum sih ya? Duh … semoga dagangan ini cepat habis.” Tukas Laila. Dan memang hasilnya adalah banyak pria yang saat mampir ke mini market langsung membeli makanan Laila. Bukan sepuluh ribu, Laila sudah menaikkannya menjadi dua puluh ribu dan para lelaki itu pun tanpa penawaran langsung membeli saja semua yang ditawarkan oleh Laila. Laila pun tersenyum. Semua barang dagangannya habis tanpa tersisa. Tak lama kemudian, Ari pun keluar dari mini market. “Wah … kamu seksi bang
"Gak ada hubungannya, Sayang! Aku tetap harus menyelesaikan masalah persidangan dengan Hesti. Kamu tenang saja, aku gak akan balik lagi koq sama Hesti." Dimas berusaha menenangkan istri keduanya itu."Janji ya, Mas!""Iya."Laila langsung memeluk erat tubuh Dimas.*Keesokan harinya."Sayang, aku pergi dulu ya.""Iya, hati-hati, Mas."Dimas pun segera keluar dari unit apartemennya dan pergi menuju ke lobi utama. Ia sudah memesan mobil untuk pergi ke pengadilan.Sementara itu, Laila berbenah untuk segera jualan lagi di depan mini market. *PengadilanDimas melihat Hesti. Wanita yang pernah mengisi hidupnya itu terlihat sangat cantik dan mempesona. Bahkan setelah berpisah dari Dimas, Hesti malah semakin terlihat terawat. Tak terlihat kesedihan atau penderitaan karena diceraikan oleh Dimas.“He-hesti …” sapa Dimas saat duduk di samping Hesti di dalam ruang pengadilan.“Ya.” Jawab Hesti singkat.“Apa kabarmu?”“Sangat baik.”Bahkan Hesti sangat tak berniat untuk bertanya kepada Dimas, pr
"Kenapa, Sayang? Wajahmu seperti sedang kesal." tanya Dimas saat melihat raut wajah dari Laila. "Itu ... mas lihat saja mantan istri mas itu." tunjuk Laila ke arah Hesti yang sedang mengantri di warung nasi uduk di seberang warung Laila."Hesti ....""Ya, dia itu turun dari mobil bagus banget. Mas lihat kan yang mobil merah itu." tambah Laila.Dimas mengangguk pelan."Ish ... kenapa sih nasib dia baik banget. Lepas dari mas malah ketemu pria yang kaya banget. Mobilnya aja bagus banget."Dimas memperhatikan dengan sungguh-sungguh mobil mewah yang ditumpangi oleh Hesti."Itu sih harusnya mobil bosnya Hesti. Memang orangnya kaya banget." balas Dimas."Pacar barunya kali, bukan bosnya. Two in one, Mas." ejek Laila.Wajah Dimas mengeras. Terbersit curiga sekaligus cemburu terhadap keadaan Hesti saat ini. Hanya saja, Dimas tak berani berkomentar macam-macam karena ada Laila di dekatnya."Duh .. ini yang beli kemana sih, Mas? Kita nih udah dari pagi loh, tapi gak ada yang beli terus."Dimas
"Mas rasa tidak perlu untuk hal seperti itu, La. Kita jalani secara normal saja. Terus juga uang segitu banyak. Sayang banget kalau harus diberikan kepada Mbah Dikin." tolak Dimas halus."Tapi, Mas ... kalau mau usaha lancar ya harus dengan cara begini.""Mas tak mau, La. Uang dua ratus lima puluh juta itu satu-satunya milik kita loh. Jika diberikan kepada Mbah Dikin dan ternyata tetap tak laku, lalu kita bagaimana caranya bertahan hidup?" Dimas mencoba rasional."Mas ... percaya deh sama aku. Kita pasti bisa kaya raya kalau dengan bantuan dari Mbah Dikin.”“Maaf, La. Mas … sulit untuk percaya klenik seperti itu. Apa juga jaminannya kalau dengan memberikan uang sebanyak itu, maka kita bisa kaya.”“Tapi Mas, di kampung tuh banyak yang kaya loh dengan bantuan dari Mbah Dikin.” Tegas Laila yang terus mencoba meyakinkan Dimas.“Siapa?”“Itu … Bu RT.”“La, kalau Mbah Dikin itu bisa membuat kaya orang lain, kenapa dia tak bisa membuat dirinya sendiri kaya? Sepertinya Mbah Dikin ini hidup se
Sehari ini, dagangan dari Laila dan Dimas sama sekali tak laku. Bahkan sampai semua makanannya menjadi basi."Ish ... aku kesal sekali, Mas! Padahal masakan yang aku buat sangatlah enak. Kenapa tidak ada yang membelinya sih?""Sabar, La! Ini hari pertama loh." Dimas mengingatkan."Mas, memang hari pertama. Tapi kan ... masa Pak Ari saja yang membeli makanan buatan aku. Yang lain ... yang datang hanya melirik tanpa berniat membeli.""Apa kita kurang promosi saja? Mungkin harganya bisa di kasih murah, La.""Mas ... mau murah segimana sih?""Ya misalkan dari harga sepuluh ribu gitu.""HAH! Sepuluh ribu?" Laila tercengang mendengarkan ide dari Dimas."Iya. Namanya juga promosi.""Tapi kan kita pasti rugi, Mas. Aku capek loh kerja ... masa satu porsi cuma sepuluh ribu sih?" protes Laila yang tak rela kalau dia tak bisa meraup untung banyak akan barang yang ia jual."Mas tahu. Dengan harga sepuluh ribu, kita berikan saja nasi uduk seperti yang sego kucing itu loh." Dimas mencoba memberikan