"Ya Bu. Dimas harus bagaimana?" Dimas pun terlihat sudah tak berani untuk melawan Hesti. Apalagi membela Nani maupun Laila di depan Hesti.
"Kamu gak perhatikan istri kamu ini? HAH! Kasihan dong Laila. Sudah kaki luka, eh malah kalian tinggal begitu saja."
Dimas diam. Kepalanya juga sudah sakit mendengar ocehan dari Nani.
"Bu ... bisa kita bicara baik-baik dulu bertiga?" pinta Dimas sambil memijit kepalanya yang pening.
"Apa?"
"Hmm ... di kamar Laila saja ya."
Tiga orang itu pun berjalan pelan ke dalam kamar Laila.
"Apa yang mau kamu bicarakan Dimas?"
"Uhm ... Hesti mengatakan uhmm ..." Dimas ragu. Tapi Hesti juga sudah memaksa tadi pagi. Suka atau pun tidak, Dimas pun tak bisa melawan Hesti.
"Apa? Jangan buat aku penasaran!" tegas Nani.
"Mulai bu-bulan depan. Uhm ... Hesti tidak akan mengirimkan uang untuk ibu seperti biasanya."
"HAH! Kenapa begitu? Lalu, bagaimana ibu harus hidup, Dim?" Nani panik.
"Ya sudah, kalau ibu kamu tetap pada pendiriannya Aku pun begitu." tegas Hesti."Hes ... jangan begitu dong. Ibu aku kan juga ibu kamu. Masa kamu tega begitu.""Gak mas ... aku bukannya tega. Tapi aku juga sudah terlalu lama tega kepada diriku sendiri. Aku ingin senang-senang. Menikmati uang yang aku hasilkan. Selama ini, aku tak menikmati hasil dari apa yang aku kerjakan. Boleh dong kalau aku egois?""Hes ... jangan begitu.""Kalau Mas mau memberikan uang untuk keluarganya mas, maka cari kerjaan tambahan. Uang suami adalah uang istri! Uang istri adalah uang istri! Kenapa juga sekarang ini uang istri jadi uang suami?" bentak Hesti lebih sengit lagi kepada Dimas.Dimas tertegun mendengar bentakan Hesti."Mas, selama ini aku sudah banyak mengalah. Aku sudah tak bisa lagi. Bagaimana pun, aku harus mengurusi masa depan aku, masa depan kita! Kalau kamu ingin mencari uang tambahan agar bisa membiayai keluargamu, maka carilah pekerjaan itu."
Nani yang mendengar keributan antara Dimas dan Hesti segera keluar dari kamar."Ada apa ini?" tanya Nani saat bertemu Hesti yang membawa sebuah koper besar dan keluar dari kamar.Hesti menarik nafas dalam-dalam dan menatap lekat ke arah Nani."Bu ... terima kasih selama ini sudah menjadi mertua aku. Terima kasih sudah telah memasukkan pelakor yang bernama Laila ini ke dalam rumah tangga aku. Semoga ibu bahagia karena mulai hari ini, aku sudah bukan istri dari Dimas!" tegas Hesti memberikan ucapan sarkas kepada Nani."A-apa maksudnya, Hes?""Ibu tak perlu pura-pura. Aku tahu segalanya. Laila bukan sepupu dari Dimas." Hesti mencoba mengatur emosinya agar tidak berteriak kepada Nani yang menurutnya sudah keterlaluan. "Jadi, tak perlu seolah-olah kaget. Ini juga kan yang kalian mau? Aku keluar dari rumah ini. Jadi ... cita-cita kalian sudah tercapai. Silahkan menikmati rumah ini walaupun hanya sementara.""Sementara?""Ya ...
"Gak usah curiga. Biasa saja. Anggap saja ini balasan untuk Dimas dan si sepupu atas apa yang mereka lakukan kepada kamu." tukas Arga dengan santainya."Terserahlah. Aku gak peduli juga.""Oh ya, sampai kapan kamu mau tinggal di hotel?""Uhm ... nanti aku mau cari kost.""Bagaimana kalau di apartemen aku saja.""Apartemen yang mana nih?""Itu yang di Gatot Subroto. Kan kosong tuh.""Buset ... IPL nya aja udah mahal banget, Ar. Males.""Haha ... udah tenang aja. IPL aku yang tanggung. Kamu tinggal bayar lisrik sama air.""Uang sewanya berapa?""Gratis lah.""Koq bisa gratis? Kamu gak niat macam-macam kan?""Woi ... jangan pikiran negatif sama aku. Aku ini bestie kamu sekalian bos kamu. Kita ini udah berteman selama sepuluh tahun loh. Anggap saja fasilitas kantor.""Haha ... kalau fasilitas kantor, kenapa gak dikasih dari dulu aja? Jadinya aku gak usah kontrak rumah atau beli rumah." kekeh Hesti
"Kamu aneh-aneh saja." kekeh Hesti sambil memukul pelan bahu Arga."Dih ... siapa yang tahu lagi." Arga mencoba berkelit."Gak lah. Aku butuh menenangkan diri. Menyelesaikan perceraian aku dan ... having fun a little bit." jawab Hesti tanpa ragu. Hatinya masih sakit. Baginya, mencari pria baru bukanlah menyelesaikan masalah. Tapi malah menambah masalahnya saat ini.Wanita itu butuh menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri."Hmm ... terus kalau misalkan nih ... Dimas mau kembali lagi sama kamu, apakah kamu mau kembali sama dia?""Tentu saja tidak, Ferguso! Sudah sangat cukup untuk Dimas dan keluarganya. Ternyata yah ... selama ini mereka begitu tidak tahu terima kasih kepadaku. Padahal aku sudah sangat berusaha membuat mereka semua bahagia.""Dan ... kamu mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri." tambah Arga."Dulu sih gak merasa begitu ya. Tapi sekarang, ya aku merasa begitu. Aku menyesal karena terlalu cinta sama Dimas. Bahkan memberikan segalanya untuk Dimas dan keluarganya sampai
"Mas ... jangan keluar di dalam, nanti aku bisa hamil!" tukas Laila sambil mendesah karena hampir sampai ke puncak kenikmatan bersama Dimas."Kamu ... ah ..." Dimas seperti sudah tak mendengarkan apa yang diminta oleh Laila, bahkan ia mengeluarkan cairan sp*manya di dalam rahim Laila. Pria itu pun luluh lantah di atas tubuh Laila."Ya elah, Mas. Kenapa dikeluarkan di dalam. Bagaimana kalau aku hamil?" protes Laila dengan nafasnya yang tersengal-sengal.Pria itu menaikkan wajahnya dan menatap wajah cantik Laila yang sudah basah dengan keringat. Ia menatap lembut kepada wanita itu."Ya ... kalau kamu hamil gak apa dong. Kamu kan istri aku. Kita ini sudah menikah loh. Kita tuh halal banget," bujuk Dimas.Pria itu pun turun dari tubuh indah Laila dan terlentang, di sebelahnya seolah puas dengan apa yang baru ia lakukan dengan Laila."Mas ..." Lalia memiringkan tubuhnya lalu memeluk erat Dimas yang berada di sebelahnya itu."Mas .. aku mau tanya dong""Apa itu, Sayang?" Dimas mencium lembu
"Dengar koq, Sayang. Tapi buat apa ngontrak rumah? Menghabiskan uang saja. Ini kan juga rumah kita." kilah Dimas yang tak mau mengeluarkan uang tambahan untuk mengontrak rumah."Ih ... mas gitu banget. Mas gak tahu sih rasanya kalau lagi bersama dengan Mbak Hesti. Aku tuh merasa rendah banget loh. Bukan berasa nyonya rumah" tambah Laila merengek kepada Dimas.Dimas menarik nafas dalam-dalam,"Mas buktikan dong cintanya mas kepada Laila. Koq Mas diam saja sih?" Laila menggoyang-goyangkan tubuh Dimas karena pria itu belum menjawab apa yang dia inginkan."Memang kamu mau bukti apa sih, Cantiknya Mas?" Dimas masih mencoba bersabar kepada Laila. Terus terang, ia tak bisa berkonsentrasi kalau sudah membahas tentang uang."Satu, aku minta pindah rumah. Terserah mau kontrak atau tidak. Kedua, aku mau Mas memberitahu ke Mbak Hesti segera tentang pernikahan kita. Sampai kapan mas mau tutupi?" tegas Laila."Iya, kamu sabar dulu. Nanti baru aku ceraikan dia. Please jangan bahas itu dulu! Belum wa
"Aku hari ini tinggal di hotel dan aku sangat butuh konsultasi dengan kamu. Please datang! Aku blank!""Tentang apa?""Perceraian?""Hah! Hesti yang bucin terhadap Dimas malah bicara perceraian? Apa tidak salah?" Arga heran bukan main."Tak perlu banyak bicara, Ar. Datang ke hotel X sekarang ya. Aku butuh bantuan kamu.""Ok. Hmm ... berikan waktu tiga puluh menit. Aku mau mandi dulu. Gerah sekali.""Sip. Thanks, Ar. Sorry merepotkan kamu.""No prob! Kamar nomor berapa?""7801""Ok. Aku siap-siap dulu."Hesti pun menutup sambungan telepon dengan Arga.Sesuai dengan janjinya Arga, pengacara tampan, bos dan juga merupakan teman baik dari Hesti itu sampai di hotel dan di kamar Hesti tepat tiga puluh menit kemudian."Ada apa?" tanya Arga yang baru sampai di depan pintu kamar Hesti."Masuk dulu."Arga menanggukkan kepalanya lalu mengikuti Hesti ke dalam kamar."Duduk, Ar."Arga pun duduk di salah satu ranjang di kamar Hesti."Hmm ... aku ingin bercerai dengan Mas Dimas." tukas Hesti dengan
Keesokan harinya, Hesti pulang ke rumah dengan senyuman mengembang penuh sandiwara. Ia harus bermain sandiwara secantik mungkin agar Dimas tidak mengetahui perubahan perilakunya nanti.Ini hari sabtu. Memang seharusnya Dimas tak pergi ke kantor."Assalamualaikum!" sapa Hesti yang baru saja membuka pintu rumahnya."Wa'alaikumsalam!" balas Dimas yang memang sedang bersantai di ruang tamu sambil menonton siaran televisi kesukaannya itu.Hesti dengan senyuman, langsung berjalan ke arah Dimas dan mencium tangan pria itu. Ya, sandiwara menjadi istri berbakti begitu lah."Mas ..." panggil Hesti manja."Ya, ada apa, Hes?" Tatapan Dimas masih terarah ke televisi. Ia bahkan tak terlalu menggubris kedatangan Hesti."Besok kan hari minggu terus ada libur tahun baru, apakah kamu mau jalan-jalan?" tawar Hesti."Jalan kemana? Apa kamu tak lelah? Ini saja kamu baru pulang dari luar kota loh. Aku rasa lebih baik kamu istirahat saja sih di rumah." Dimas heran dengan ajakan Hesti."Aku kangen banget sam
"Kamu aneh-aneh saja." kekeh Hesti sambil memukul pelan bahu Arga."Dih ... siapa yang tahu lagi." Arga mencoba berkelit."Gak lah. Aku butuh menenangkan diri. Menyelesaikan perceraian aku dan ... having fun a little bit." jawab Hesti tanpa ragu. Hatinya masih sakit. Baginya, mencari pria baru bukanlah menyelesaikan masalah. Tapi malah menambah masalahnya saat ini.Wanita itu butuh menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri."Hmm ... terus kalau misalkan nih ... Dimas mau kembali lagi sama kamu, apakah kamu mau kembali sama dia?""Tentu saja tidak, Ferguso! Sudah sangat cukup untuk Dimas dan keluarganya. Ternyata yah ... selama ini mereka begitu tidak tahu terima kasih kepadaku. Padahal aku sudah sangat berusaha membuat mereka semua bahagia.""Dan ... kamu mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri." tambah Arga."Dulu sih gak merasa begitu ya. Tapi sekarang, ya aku merasa begitu. Aku menyesal karena terlalu cinta sama Dimas. Bahkan memberikan segalanya untuk Dimas dan keluarganya sampai
"Gak usah curiga. Biasa saja. Anggap saja ini balasan untuk Dimas dan si sepupu atas apa yang mereka lakukan kepada kamu." tukas Arga dengan santainya."Terserahlah. Aku gak peduli juga.""Oh ya, sampai kapan kamu mau tinggal di hotel?""Uhm ... nanti aku mau cari kost.""Bagaimana kalau di apartemen aku saja.""Apartemen yang mana nih?""Itu yang di Gatot Subroto. Kan kosong tuh.""Buset ... IPL nya aja udah mahal banget, Ar. Males.""Haha ... udah tenang aja. IPL aku yang tanggung. Kamu tinggal bayar lisrik sama air.""Uang sewanya berapa?""Gratis lah.""Koq bisa gratis? Kamu gak niat macam-macam kan?""Woi ... jangan pikiran negatif sama aku. Aku ini bestie kamu sekalian bos kamu. Kita ini udah berteman selama sepuluh tahun loh. Anggap saja fasilitas kantor.""Haha ... kalau fasilitas kantor, kenapa gak dikasih dari dulu aja? Jadinya aku gak usah kontrak rumah atau beli rumah." kekeh Hesti
Nani yang mendengar keributan antara Dimas dan Hesti segera keluar dari kamar."Ada apa ini?" tanya Nani saat bertemu Hesti yang membawa sebuah koper besar dan keluar dari kamar.Hesti menarik nafas dalam-dalam dan menatap lekat ke arah Nani."Bu ... terima kasih selama ini sudah menjadi mertua aku. Terima kasih sudah telah memasukkan pelakor yang bernama Laila ini ke dalam rumah tangga aku. Semoga ibu bahagia karena mulai hari ini, aku sudah bukan istri dari Dimas!" tegas Hesti memberikan ucapan sarkas kepada Nani."A-apa maksudnya, Hes?""Ibu tak perlu pura-pura. Aku tahu segalanya. Laila bukan sepupu dari Dimas." Hesti mencoba mengatur emosinya agar tidak berteriak kepada Nani yang menurutnya sudah keterlaluan. "Jadi, tak perlu seolah-olah kaget. Ini juga kan yang kalian mau? Aku keluar dari rumah ini. Jadi ... cita-cita kalian sudah tercapai. Silahkan menikmati rumah ini walaupun hanya sementara.""Sementara?""Ya ...
"Ya sudah, kalau ibu kamu tetap pada pendiriannya Aku pun begitu." tegas Hesti."Hes ... jangan begitu dong. Ibu aku kan juga ibu kamu. Masa kamu tega begitu.""Gak mas ... aku bukannya tega. Tapi aku juga sudah terlalu lama tega kepada diriku sendiri. Aku ingin senang-senang. Menikmati uang yang aku hasilkan. Selama ini, aku tak menikmati hasil dari apa yang aku kerjakan. Boleh dong kalau aku egois?""Hes ... jangan begitu.""Kalau Mas mau memberikan uang untuk keluarganya mas, maka cari kerjaan tambahan. Uang suami adalah uang istri! Uang istri adalah uang istri! Kenapa juga sekarang ini uang istri jadi uang suami?" bentak Hesti lebih sengit lagi kepada Dimas.Dimas tertegun mendengar bentakan Hesti."Mas, selama ini aku sudah banyak mengalah. Aku sudah tak bisa lagi. Bagaimana pun, aku harus mengurusi masa depan aku, masa depan kita! Kalau kamu ingin mencari uang tambahan agar bisa membiayai keluargamu, maka carilah pekerjaan itu."
"Ya Bu. Dimas harus bagaimana?" Dimas pun terlihat sudah tak berani untuk melawan Hesti. Apalagi membela Nani maupun Laila di depan Hesti."Kamu gak perhatikan istri kamu ini? HAH! Kasihan dong Laila. Sudah kaki luka, eh malah kalian tinggal begitu saja."Dimas diam. Kepalanya juga sudah sakit mendengar ocehan dari Nani."Bu ... bisa kita bicara baik-baik dulu bertiga?" pinta Dimas sambil memijit kepalanya yang pening."Apa?""Hmm ... di kamar Laila saja ya."Tiga orang itu pun berjalan pelan ke dalam kamar Laila."Apa yang mau kamu bicarakan Dimas?""Uhm ... Hesti mengatakan uhmm ..." Dimas ragu. Tapi Hesti juga sudah memaksa tadi pagi. Suka atau pun tidak, Dimas pun tak bisa melawan Hesti."Apa? Jangan buat aku penasaran!" tegas Nani."Mulai bu-bulan depan. Uhm ... Hesti tidak akan mengirimkan uang untuk ibu seperti biasanya.""HAH! Kenapa begitu? Lalu, bagaimana ibu harus hidup, Dim?" Nani panik.
Dimas benar-benar bingung saat ini. Ia tak bisa memilih. Ia butuh uang dari Hesti tapi juga ia masih suka bersama dengan Laila sebagai istri keduanya, namanya juga baru bulan pertama pernikahan, masih hangat-hangatnya mereguk madu."Biar aku pikir dulu." tukas Dimas yang sudah tak bisa berpikir lagi atas permintaan dari Hesti.Hesti mengedikkan bahunya."Terserah. Yang pasti, tidak akan ada uang yang keluar dari dompet aku untuk memberikannya kepada keluargamu atau pun Laila."Dimas tak bisa membantah. Bagaimana pun, itu uangnya Hesti juga."Ya sudah, kita kembali ke hotel saja." putus Hesti.Dimas menganggukkan kepalanya. Mereka pun segera kembali ke hotel.*"La ..." panggil Nani kepada menantu keduanya itu."Iya, bu." Laila masih terus berada di kamar. Kakinya masih sangat sakit kalau digunakan untuk berjalan."Bagaimana selama ini sikap Hesti sama kamu? Apa kamu sudah bilang sama Hesti kalau kamu istri keduanya Dimas?" Nani penasaran."Masih baik sih, Bu. Aku dan Mas Dimas belum b
Hesti pergi dengan Dimas, mereka berjalan-jalan di kota Jakarta dengan mobil. Anggap saja Hesti ingin melepaskan penat walaupun untuk sesaat dan dengan orang yang salah. Tujuannya bukan untuk nostagia atau membuat Dimas untuk mencintai dirinya lagi. Tapi hanya untuk mengerjai Laila dan Nani yang berada di rumahnya serta membuat adu domba antara Dimas dan Laila.Kurang kerjaan sih, tapi anggap saja itu membuat Hesti bahagia untuk sementara waktu. "Kita mau menginap di hotel untuk berapa lama, ya?" tanya Dimas."Memangnya kenapa, Mas? Apa kamu mau cepat pulang ke rumah? Apakah kamu sudah tidak betah untuk jalan-jalan bersama aku untuk menghabiskan tahun baru?" tanya Hesti dengan sangat sinis kepada Dimas."Tidak... Terserah kamu saja." Dimas tak berani bertanya lagi. Ia takut jika ia salah mengatakan apapun kepada Hesti."Mas, bagaimana menurut kamu kalau aku resign?""HAH! Kenapa resign?" Dimas sangat kaget dengan ucapan Hesti tiba-tiba."Ya. Aku lelah saja harus kerja terus.""Lalu,
"Sabar, Sayang. Jangan emosi. Mas minta maaf karena sudah ada janji dengan orang tuanya Laila. Keluarga mas itu berhutang banyak terhadap keluarganya Laila." Hesti menarik nafas dalam-dalam. "Mas tahu gak sih ... " "Apa?" Hesti menghela nafas lelah. "Terkadang aku cemburu dengan Laila." "Cemburu kenapa?" "Karena ... jadi dia enak banget. Gak perlu kerja, tapi sudah dapat uang bulanan. Sementara aku ... aku kerja keras." "Laila kan belum ada penghasilan. Lagian dia baru satu bulan di Jakarta, Hes. Wajar kalau dia belum ada penghasilan. Lagian ... dia juga lulusan SMA. Agak susah untuk mendapatkan pekerjaan." kilah Dimas. "Tapi .. dia sama sekali tak mencari pekerjaan, Mas. Diam terus di rumah." protes Hesti. "Harusnya tuh dia usaha cari kerjaan. Bukan diam di Rumah terus. Kan bisa jadi pelayan, jadi apa saja bisa. Yang penting mau usaha!" tegas Hesti
Wajah Hesti terlihat sangat serius saat ini. Bahkan terlihat sangat khawatir. Namanya juga sandiwara untuk meledek Dimas sekaligus mengancam pria itu."Hmm ... kemarin ini di kantor ada yang ketahuan selingkuh, Mas. Terus ... suaminya itu ternyata selingkuh sama adik sepupunya sendiri. Parah kan tuh, Mas."Dimas menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dibicarakan oleh Hesti seperti menyindir dirinya saja. Langsung kena pada sasaran."Mas gak seperti teman kau di kantor itu lah. Mas sangat cinta sama kamu." kilah Dimas mencoba menenangkan Hesti dengan kebohongan lainnya."Aku jadi parno, Mas. Uhm ... bagaimana kalau Laila keluar saja dari rumah kita? Nanti aku bantu carikan pekerjaan untuk dia." usul Hesti. "Aku gak mau kejadian sama teman kantor aku itu menimpa rumah tangga kita. Aku bisa sangat sedih kalau mas melakukan seperti itu dengan Laila.""Laila itu sepupu aku dan aku tak pe