Hesti langsung berdiri dan menatap ke arah Dimas."Apa sih yang kamu bicarakan? Gak ngaca?" balas Hesti menghina Dimas. "Apa kamu sedang hilang ingatan, HAH!""Dia ..." tunjuk Dimas ke arah Arga."Dia ARGA! Bos aku! Bukankah kamu sudah tahu?""Bos kamu ... selama ini jadinya kamu itu sering keluar kota sama bos kamu karena kamu selingkuh sama dia kan? Kamu tidur sama dia kan? Makanya kamu dengan mudah untuk cerai sama aku," tuduh Dimas yang sudah seperti kehilangan akal saja.PLAK!Hesti langsung menampar keras pipi dari Dimas."Jaga bicaramu! Hubungan aku dengan ARGA bukan seperti hubungan perselingkuhan kamu dengan Laila! Mengaku sebagai sepupu, dibawa ke rumah dan ternyata istri kedua kamu. Aku bukan tukang main belakang seperti kamu!" balas Hesti menyerang Dimas."Pria itu wajar untuk poligami!" Dimas membela diri. "Sudah ... jangan bertengkar di sini! Ini tempat umum. Jangan membuka aib di sini! Malu ... banyak orang yang melihat kita," tukas Arga yang mencoba melerai pertengkar
"Apa salah saya, Pak? Kenapa saya dipecat begitu? Sa-saya sudah bekerja lama loh, Pak di perusahaan ini." Dimas benar-benar tak mengerti. Semua yang didengar hanya seperti mimpi buruk untuk Dimas saja."Maaf, Pak Dimas. Mungkin anda sudah mendengar adanya pengurangan karyawan yang kurang performance untuk perusahaan ... jadi dengan berat hati, salah satu yang dirumahkan adalah anda.""Pak Beno, tolong saya. Saya masih harus membayar cicilan rumah dan yang lain-lainnya. Kalau saya tidak bekerja di sini. Lalu saya harus bayar dengan apa semua itu?" "Maaf, Pak Dimas. Saya juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu anda."Kepala Dimas sungguh sakit saat ini. Kenapa setelah memberikan talak kepada Hesti, kesialannya terus bertambah?"Pak, bisa tolong minta ke atasan untuk mempertimbangkan saya sekali lagi? Atau .. mungkin bisa melihat performa saya di bulan ini. Saya mohon, Pak. Perusahaan ini adalah satu-satunya tempat saya untuk mencari nafkah." pinta Dimas sampai menangis tersedu-sed
"Entah ... ayo kita jalan saja ke rumah." Dimas mengedikkan bahunya.Laila pun segera membantu Dimas dengan segala barang belanjaannya."Ngapain kamu di sini, Hes? Terus bawa pria yang berumur lagi." ejek Dimas.Hesti mengerenyitkan dahinya saat mendengar suara dari Dimas."Ini Pak Andre. Dia calon pembeli rumah ini." tukas Hesti dengan santainya.Pak Andre pun menganggukkan kepalanya."Bagaimana Pak Andre?" tanya Hesti."Dari depan sih lumayan suka. Belum cek dari dalam.""Ah ya, baik ... ayo masuk dulu untuk melihat." ajak Hesti tanpa peduli terhadap Dimas dan Laila."Hei ... jangan sembarangan kamu ya! Aku yang membeli rumah ini. Kamu gak berhak menjualnya."Dimas menaruh semua barangnya di balkon rumahnya dan terdengar menantang Hesti. Ia menghalangi jalannya Hesti dan Pak Andre untuk masuk ke dalam rumahnya."Haha ... sembarangan gimana sih? Jelas-jelas DP rumah ini ada andil aku juga. Bahk
Kring! Telepon berbunyi dengan sangat kencang. Hesti menatap malas ke arah ponselnya. Arga yang mendengar suara bunyi pun Hesti pun mengerenyitkan dahinya. "Kenapa tidak diangkat?""Yang menghubungi aku itu adalah orang yang menyebalkan. Malas untuk bicara dengannya. Lebih baik kerja sama. Menjawab teleponnya itu sama saja menghabiskan tenaga aku.""Apa yang menelepon itu adalah mantan suamimu?" tebak Arga. Hesti menganggukkan kepalanya. "Memangnya ada apa? Jangan-jangan dia ingin membicarakan tentang perceraian kalian?""Tadi pagi aku pergi ke rumah." jelas Hesti dengan santai seperti tak ada masalah apapun. "Untuk apa?""Aku ke sana untuk menawarkan rumah lama agar bisa over kredit. Jadi aku membawa Pak Andra untuk melihat rumahku itu.""Kenapa tiba-tiba kamu mau menjual rumah? Terus bagaimana tanggapan Pak Andra?" Arga penasaran. "Ya kalau tidak dijual dia terlalu enak dong untuk menempati rumah yang juga merupakan hasil jerih payah aku bersama dengan istri keduanya itu. Tid
"Nanti cari rumah kontrakan atau apartemen saja yang murah untuk sementara waktu."Laila tak berani bertanya lagi.Setelahnya, Dimas, Hesti dan Pak Andra pun pergi ke bank untuk menyelesaikan permohonan over kredit."Hes ... transfer uangnya kepadaku. Aku butuh sewa rumah.""Iya ..."Hesti mengeluarkan ponselnya dan dia mengirimkan uang sebanyak dua ratus juta untuk Dimas. "Sudah aku kirim."Dimas langsung mengecek di ponselnya dan tersenyum karena uang di tabungannya sudah bertambah begitu banyak. Ya walaupun pastinya masih ada kerugian karena uang cicilannya selama satu tahun malah jadi diskon untuk Pak Andra membeli rumahnya."Kapan mau jual mobil?""Lagi cari pembeli dengan harga tinggi.""Gak usah lama-lama. Rumah saja yang mahal sudah bisa kamu dapatkan pembeli. Masa mobil yang lebih murah gak dapat? Kebanyakan alasan.""Kamu cari saja yang mau beli mobil. Nanti beritahu kepada aku kalau ada yang
"Terus kamu maunya gimana?""Begini loh, Mas ... kamu kan sudah tak ada pekerjaan. Jadi, uang yang tersisa gak terlalu banyak. Jangan memberikan ibu uang yang banyak sekali." tukas Laila meyakinkan Dimas."Terus ... aku harus kasih ibu berapa? Ratna itu harus sekolah. Tak mungkin aku tak memberikan uang kepada ibu.""Uang sekolah Ratna berapa?""Mungkin dua ratus ribu.""Lah ... empat juta buat apa?" Laila heran sendiri."Ya aku mana tahu. Mungkin untuk kebutuhan hidup. Belanja atau apa gitu.""Aneh banget sih. Di kampung mana ada yang semahal itu? Harus banget dengan empat juta.""Aku mana tahu perjanjian ibu dengan Hesti sih." protes Dimas yang ia sendiri tak mengerti kenapa ibunya harus meminta uang sebanyak itu terhadap dirinya."Sudah. Kita berikan saja ibu uang satu juta. Jadinya sisanya kita yang pegang.""Tapi, nanti ibu bagaimana?""Mas ... ingat kamu tidak kerja loh. Kita benar-benar harus berhema
"Antara menyesal dan tidak menyesal sih. Mau bagaimana lagi? Katanya Mbah Dukun yang terkenal itu, kalau misalkan Dimas menikah sama Laila, maka dia bisa kaya banget. Nah kalau sama Hesti, malah Dimas akan sangat sial. Bisa miskin seumur hidup. Tentu saja ibu lebih memilih kalau Dimas tuh menikah sama Laila daripada Hesti. Kalau mas kamu kaya, kan kita juga kecipratan. Kamu mengerti dong, Rat." tukas Nani begitu percaya diri.Ratna menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tak mengerti dengan pola pikir dari sang ibu yang telah melahirkannya itu."Terus terang saja ya, Bu. Ratna sama sekali gak percaya dengan masalah perdukunan. Yang Ratna mengerti hanya kenyataan saja yang ada di depan mata. Percuma juga bilangnya kalau misalkan Mas Dimas akan sangat kaya. Tapi sekarang saja sudah terasa sangat menderita. Dari punya rumah dan pekerjaan yang ok, tiba-tiba hilang pekerjaan dan tak punya rumah. Jadi darimana ibu bisa bilang mas Dimas bisa kaya sih?""Kamu masa gak ngerti istilah berakit-r
"Bisa sih. Masih ada satu tempat yang baru kemarin dikosongkan oleh tenant.""Wah ..." Laila langsung tersenyum senang."Jadi, Laila mau menyewa di sini?""Iya, Pak. Berapa harga sewanya?""Satu juta per bulan.""Sebentar ya, Pak Ari. Aku tanya dulu."Laila langsung berjalan ke arah Dimas yang sedang duduk di depan mini market sambil makan goreng pisang."Mas, di tempat ini ada tempat jualan yang kosong.""Kamu mau di sini, La? Gak jadi di ruko?""Gak, Mas. Di sini saja. Biaya per bulannya satu juta.""Hmm ... kamu sudah tanya?""Sudah. Mas ok gak kalau aku jualan di sini?""Apa kamu gak masalah jualan di sini?""Gak masalah, Mas. Kita mulai dari kecil saja. Kalau laku, ya kita bisa pindah ke tempat lain.""Ya sudah.""Ayo kita ketemu sama store manager-nya."Dimas menganggukkan kepalanya. Setelah pembicaraan dengan store manager, akhirnya mereka tanda tangan surat perjanjian sewa tempat di mini market tersebut. Rencananya, besok mereka akan mulai jualan."Semoga usaha kita sekarang b
Sungguh, Dimas sama sekali tak menyangka kalau Laila akan berkata seperti itu kepadanya. Padahal dulu, Laila begitu menurut kepada dirinya.Laila pun segera pergi dari hadapan Dimas. Bahkan makanan yang hendak ia sediakan untuk Dimas saja tak ia pedulikan. Wanita itu segera keluar dari unit apartemen dan membawa serta tote bag-nya."Andaikan aku masih sama Hesti, pasti dia gak akan begini. Pasti dia akan sangat peduli dengan kesehatan ibu. Hadeh ... apa aku salah pilih istri? Kenapa terasa sangat sial sih?" gerutu Dimas setelah Laila pergi meninggalkannya sendirian di dalam unit apartemen.*Laila yang sudah sampai lobi apartemen langsung menghubungi Ari. Dia sangat kesal dengan Dimas dan rasanya ingin pergi begitu saja untuk mencari angin segar."Halo, Mas Ari.""Hei ... cantik. Ada apa ini?""Laila lagi bete banget. Mas Ari ada dimana?""Di mini market dong. Ini kan shift nya mas.""Hmm ... Laila butuh temen nih. Mas A
"Hes ..." panggil Dimas tiba-tiba saat melihat Heni yang sedang meminum kopi di sebuah cafe saat sore hari. Sendirian.Hesti langsung melihat ke arah orang yang memanggil dirinya."Ada apa?" tanya Hesti dengan dahi mengerut."Uhm ... apakah kamu sendirian?"Hesti mengangguk pelan."Boleh aku duduk di sini?"Hesti mengangguk pelan saja. Dimas langsung duduk di depan Hesti dan tersenyum. Sudah beberapa hari sejak persidangan, ia tak bertemu dengan Hesti. Anehnya adalah Hesti semakin cantik saja. Hatinya pun bergetar karena melihat Hesti yang cantik.Hesti seolah tak peduli dengan Dimas. Dia menyeruput kopinya sambil bermain ponsel, tanpa peduli dengan Dimas."Kamu ... apa kabar?" "Baik." jawab Hesti singkat tanpa mau bertanya kebalikannya kepada Dimas."Hmm ... Hes. Aku sudah dapat pekerjaan baru."Hesti mengangguk, tapi tetap tak peduli. Ia tetap memperhatikan ponselnya."Hmm ... gajinya sih gak sebesar yang kantor lama. Tapi, lumayanlah untuk hidup.""Ya. Syukuri saja apa yang kamu
Bab 39Hari ini, Dimas sudah berada di sebuah perusahaan swasta untuk interview kerja dan negosiasi gaji.“Pak, apa tidak bisa gajinya dinaikkan? Uhm … saya sudah berpengalaman selama sepuluh tahun dan juga di dalamnya saya juga pernah menjadi supervisor loh, Pak.”“Maaf, Pak Dimas. Hanya segini yang bisa kami tawarkan. Kami sangat menghargai pengalaman Pak Dimas, tapi memang begitu lah. Kami belum bisa untuk membayar gaji yang sangat tinggi seperti Pak Dimas mau.”Dimas agak bingung juga. Ini sudah terlalu banyak perusahaan yang ia datangi untuk interview kerja dan negosiasi gaji. Semua gajinya hanya di UMR Jakarta saja, sekitar lima juta. Hanya perusahaan ini yang berani memberikannya sekitar enam juta rupiah. Satu juta yang berbeda juga lumayan, bukan?“Kan sekarang banyak pengangguran juga, Pak Dimas. Jadi … ““Pak, kalau saya pindah ke bagian lain? Gak usah bagian back office, bagaimana?”“Maksudnya, Pak?”“Kalau menjadi sales motor bagaimana, Pak? Di sini kan jualan motor.”“Ah
"Aku sedang menawari kamu. Bagaimana kalau kita berdua menikah saja?" tanya Arga dengan wajah yang sangat meyakinkan kepada Hesti. Ia sangat ingin mengetahui jawaban dari Hesti dan sangat mengharapkan kalau Hesti akan sangat setuju dengan permintaannya itu."Astaga, Ar ... apa kamu gak punya opsi lain selain aku? Yang masih gadis gitu?" Hesti bingung. "Aku tuh udah janda loh. Malah masih masa perceraian. Gak cocok banget buat dampingin kamu." "Hmm ... aku rasa kamu sngat cocok dengan aku. Kayaknya di antara semua, kamu yang paling mengerti aku. Terus kalau masalah janda tuh ... bagi aku gak ada masalah. Semua orang punya masa lalu koq."Arga mencoba tenang untuk bicara dengan Hesti. Padahal di dalam hatinya sudah seperti genderang ditabuh dengan kencang. "Gila ah. Aku gak ikut-ikutan sama frustasinya kamu. Kamu lebih baik cari wanita lain untuk kamu nikahi. Kita tetap jadi teman saja, Ar." tegas Hesti."Koq gitu? Memangnya aku jelek banget sampai kamu gak mau sama aku?" Protes Arga.
"Sebenarnya bukan mencintainya, karena aku sudah ada perasaan dengan wanita lain." jelas Arga. "Serius? Siapa wanita itu? Aku jadi penasara. Apakah aku kenal?" "Kenapa memberondong banyak pertanyaan kepadaku? Mana yang harus aku jawab duluan?" Hesti langsung terkekeh. Anggap saja dirinya terlalu kepo untuk urusan pribadi dari Arga. "Aku hanya penasaran sih. Apakah aku mengenalnya?" "Kenal." "Hmm ... apakah dia ada di kantor ini?" tanya Hesti lagi yang semakin penasaran saja. "Kepo!" "Haha ... kenapa aku bisa gak sadar ya kalau kamu suka sama wanita." "Sialan! Apa maksudmu, Hes?" "Aku pikir setelah kamu berpisah dengan Erika, kamu gak berhubungan dengan wanita mana pun." "Hmm ... memang tidak secara langsung sih. Anggap saja aku mencintai dalam diam." "Duh ... kasihan sekali sih kamu. Padahal kamu sangat sukses loh. Pasti banyak wanita yang bertekuk lutut kalau kamu mau memberikan hatimu kepada mereka." "Sayangnya, wanita yang aku suka malah suka sama pria lain. Bahkan men
Setelah pulang ke unit apartemen, Laila langsung merapikan semua barang. Ia sangat lelah dan langsung membersihkan tubuhnya yang penuh dengan keringat. "Hmm ... apa aku terima saja Mas Ari ya? Tapi ... bagaimana kalau ketahuan sama Mas Dimas?" tanya Laila kepada dirinya sendiri. Sebenarnya, Laila agak takut kalau berselingkuh dari Dimas. Namun, adrenalin saat ia bersama Dimas berselingkuh di belakang Hesti seperti menggodanya saja. "Apa coba bilang sama Ari untuk backstreet saja karena Mas Dimas galak? Toh mereka semua mengira kalau Mas Dimas itu adalah kakak aku."Krek! "Laila!" panggil Dimas yang baru saja pulang ke unit apartemen. "Ya, mas. Aku lagi mandi!" balas Laila sambil sedikit teriak. "Ok"Tak ada tanggapan lain dari Dimas. Tak lama kemudian, Laila pun keluar dari kamar mandi. "Gimana jualan hari ini, La?""Habis sih.""Dengan strategi sepuluh ribu?" Dimas tersenyum bahagia. "Gak dong! Aku sudah naikkan jadi dua puluh ribu dan ... memang ludes semua. Mereka suka sama
“Ya coba kamu pikirkan saja, La.” “Iya, terima kasih mas atas usulnya.” “Sama-sama. Kan aku mau kamu maju usahanya. Jangan bawa kakak kamu lagi ya. Kasihan banget dari kemarin dagangan sepi karena bawa kakak kamu yang terlihat tak bersahabat itu.” “Iya, Mas. Aku gak akan bawa lagi Mas Dimas ke sini.” “Bagus. Aku masuk dulu ya.” “Iya, Mas.” Setelah mendengarkan semua teknik marketing dari Ari, Laila pun mulai memberanikan diri. Ia melepaskan dua kancing dari kemeja yang ia gunakan. “Udah cukup seksi belum sih ya? Duh … semoga dagangan ini cepat habis.” Tukas Laila. Dan memang hasilnya adalah banyak pria yang saat mampir ke mini market langsung membeli makanan Laila. Bukan sepuluh ribu, Laila sudah menaikkannya menjadi dua puluh ribu dan para lelaki itu pun tanpa penawaran langsung membeli saja semua yang ditawarkan oleh Laila. Laila pun tersenyum. Semua barang dagangannya habis tanpa tersisa. Tak lama kemudian, Ari pun keluar dari mini market. “Wah … kamu seksi bang
"Gak ada hubungannya, Sayang! Aku tetap harus menyelesaikan masalah persidangan dengan Hesti. Kamu tenang saja, aku gak akan balik lagi koq sama Hesti." Dimas berusaha menenangkan istri keduanya itu."Janji ya, Mas!""Iya."Laila langsung memeluk erat tubuh Dimas.*Keesokan harinya."Sayang, aku pergi dulu ya.""Iya, hati-hati, Mas."Dimas pun segera keluar dari unit apartemennya dan pergi menuju ke lobi utama. Ia sudah memesan mobil untuk pergi ke pengadilan.Sementara itu, Laila berbenah untuk segera jualan lagi di depan mini market. *PengadilanDimas melihat Hesti. Wanita yang pernah mengisi hidupnya itu terlihat sangat cantik dan mempesona. Bahkan setelah berpisah dari Dimas, Hesti malah semakin terlihat terawat. Tak terlihat kesedihan atau penderitaan karena diceraikan oleh Dimas.“He-hesti …” sapa Dimas saat duduk di samping Hesti di dalam ruang pengadilan.“Ya.” Jawab Hesti singkat.“Apa kabarmu?”“Sangat baik.”Bahkan Hesti sangat tak berniat untuk bertanya kepada Dimas, pr
"Kenapa, Sayang? Wajahmu seperti sedang kesal." tanya Dimas saat melihat raut wajah dari Laila. "Itu ... mas lihat saja mantan istri mas itu." tunjuk Laila ke arah Hesti yang sedang mengantri di warung nasi uduk di seberang warung Laila."Hesti ....""Ya, dia itu turun dari mobil bagus banget. Mas lihat kan yang mobil merah itu." tambah Laila.Dimas mengangguk pelan."Ish ... kenapa sih nasib dia baik banget. Lepas dari mas malah ketemu pria yang kaya banget. Mobilnya aja bagus banget."Dimas memperhatikan dengan sungguh-sungguh mobil mewah yang ditumpangi oleh Hesti."Itu sih harusnya mobil bosnya Hesti. Memang orangnya kaya banget." balas Dimas."Pacar barunya kali, bukan bosnya. Two in one, Mas." ejek Laila.Wajah Dimas mengeras. Terbersit curiga sekaligus cemburu terhadap keadaan Hesti saat ini. Hanya saja, Dimas tak berani berkomentar macam-macam karena ada Laila di dekatnya."Duh .. ini yang beli kemana sih, Mas? Kita nih udah dari pagi loh, tapi gak ada yang beli terus."Dimas