"Soalnya kan aku kerja dan menghasilkan uang bersama dengan Mas Dimas. Jadi kalau ada kamu tuh ... Ada yang masak, membersihkan rumah ... Wah komplit deh. Nah kalau aku pulang kerja, jadi aku tidak terlalu lelah untuk beres-beres seperti dulu sebelum ada kamu. Mau makan tinggal makan dan masih hangat karena kamu membuatnya."
Maksudnya adalah Hesti menyindir kalau Laila menjadi ART tanpa bayaran di rumah Hesti. Itu point nya.
Laila tersenyum miris dengan ucapan dari Hesti. Pastinya dia agak sakit hati.
"Iya, Mbak."
"Ah ya, besok aku mau honeymoon sama Mas Dimas. Tolong jaga rumah ya! Kalau kamu mu keluar, jangan lupa kunci pintu! Jangan sampai ada kucing garong masuk mencari ikan asin busuk."
"Mbak ada-ada saja. Mana ada kucing garong mencari ikan asin busuk?" kekeh Laila dan sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud oleh Hesti. Hanya saja ia pura-pura bodoh.
"Hehe ... itu cuma istilah, La. Lagian ... di rumah ini gak ada yang berharga sama sekali sih. Jadi santai saja kalau mau meninggalkan rumah." kekeh Hesti.
Laila pun tersenyum tipis saja saat menanggapi Hesti.
"Doakan aku cepat punya anak ya sama Mas Dimas. Duh lucu kali ya kalau punya anak. Uhm ... Nanti kamu bantu urus anakku ya. Nanti aku pasti akan sibuk sekali di kantor, jadi tak sempat urus anak. Kamu mau membantu aku, bukan?"
"Iya, Mbak."
"Nanti aku gaji deh kalau sampai aku punya anak dan harus kamu urus."
Laila tak berani membantah walaupun dalam hatinya mengumpat kepada Hesti.
"Ah ya, La. Apa kamu gak berniat mencari kerja? Masa mau diam di rumah saja? Apa tidak bosan?" tanya Hesti sambil mengunyah tempe goreng buatan Laila.
"Mau kerja apa, Mbak? Aku cuma lulusan SMA. Pasti susah mencari kerja."
'Ya ... lebih mudah untuk jadi selingkuhan orang daripada mencari kerja kan, La? Hanya tinggal bermain di atas ranjang sebagai pemuas nafsu suami orang, terus sudah dapat uang. Memang pada dasarnya mental pel*cur!' umpat Hesti di dalam hati. Ia muak dengan Laila.
"Banyak lah pekerjaan. Asal mau cari, pasti dapat. Daripada diam di rumah terus."
"Nanti ... Laila cari deh, Mbak."
"Haduh ... Asyiknya ada Laila ... Ada yang masak enak! Ayo sajikan di depan. Mas Dimas pasti lapar juga."
Laila mengangguk pelan.
"Hmm ... Kamu aja deh yang sajikan ke depan ya. Aku mau mandi dulu. Capek ... Baru pulang kerja. Case yang aku tangani banyak sekali. Hehe ... maklum, cari uang yang banyak untuk bayar cicilan rumah dan mobil. Jadi kerja harus lebih keras lagi."
*
Hesti dengan sengaja mengungkit tentang cicilan. Kalau dari perkiraan Arga, Dimas memang tak jujur tentang masalah keuangannya kepada Laila. Nah ini bisa jadi bumerang bagi Laila dan Dimas.
Hesti tinggal menikmatinya saja.
"I-iya, Mbak."
Laila mengangguk menurut. Hesti pun pergi dari hadapan Laila. Wanita itu berjalan ke dalam kamar.
Sementara Dimas yang melihat kepergian Hesti ke kamar, ia langsung berjalan menuju ke dapur. Ia harus menenangkan hatinya Laila.
"Sayang ... "
"Mas! Kenapa sih kamu mau pergi dengan dia?" Laila mulai menangis.
"Sssttt jangan kencang-kencang kalau bicara, Sayang. Nanti Hesti dengar dan curiga."
"Tapi mas masa mau honeymoon sama dia? Terus aku ditinggalkan? Kalian hanya berdua. Mas juga bilang cinta sama Mbak Hesti! Mas bilang kalau mas itu hanya cinta sama aku." protes Laila.
"Sayang ... Aku janji gak akan menyentuh dia sama sekali. Tadi .. aku tuh bilang cinta sama dia hanya karena terpaksa. Dia terus memaksa dan aku tak bisa mengatakan kalau aku tak mencintai dia. Bisa-bisa dia marah."
"Tapi bagaimana pun kamu itu suaminya dia. Mana mungkin kamu gak menyentuh dia? Kenapa Mas sepertinya takut sekali kala Mbak Hesti marah sih?"
"Habis bagaimana? Dia sudah beli tiket dan aku tak tahu sama sekali. Bukan takut, Sayang. Tapi terpaksa."
"Batalkan!"
"Jangan dong, Sayang. Itu tiketnya pasti lumayan mahal."
"Tapi aku gak ikut ... Mas gak kasihan aku sendirian?"
"Bertahan ya, Sayang. Cuma empat hari koq."
"Hix ... Tadi mbak Hesti malah mengatakan suruh mendoakannya agar cepat punya anak. Artinya dia sudah punya rencana untuk buat anak bersama dengan Mas di Malaysia. Aku jadinya bagaimana?"
Dimas menarik nafas dalam-dalam. Bingung juga bagaimana menenangkan Laila.
"Tidak ... Mas janji tak akan menyentuhnya sama sekali. Mas janji ... tak akan buat anak dengan Hesti."
"Mas ... Dia juga begitu sombong kepadaku." adu Laila.
"Sombong apa?"
"Dia itu ... Hix .. Bilangnya dia yang kerja cari uang bersama kamu, sementara aku di rumah. Kerjain semua pekerjaan rumah. Bahkan dia juga bilang, kalau dia punya anak, maka aku yang disuruh jaga anaknya. Nanti dia bayar aku untuk jaga anak dia dan mas."
"Duh ... Sabar ya. Biasanya Hesti tak seperti itu. Mungkin ... Mungkin dia cuma memuji kamu karena kamu bisa banyak hal. Dia gak terlalu bisa masak dan lain-lain. Uhm ... Dia cuma pinter cari uang saja."
"Mas ... Apa jangan-jangan mas belum menceraikan Mbak Hesti sampai sekarang karena dia pintar cari uang?" Laila tambah kesal.
Dimas gelagapan.
"Mas ... Jawab!"
Dimas semakin gelagapan saja.
"Tadi Mbak Hesti mengatakan dia harus cari uang terus dengan mas Dimas karena harus membayar cicilan rumah dan mobil. Apa itu benar? Rumah ini masih cicil?" Laila memberondong pertanyaan.
"I-iya, sayang ... Rumah ini masih cicil. Cicilannya masih agak lama. Kalau mas sendiri yang cicil, gaji mas juga tidak cukup."
"Hah! Kenapa Mas gak bilang dari awal?" Laila begitu terkejut dengan pengakuan Dimas yang baru ia dengar saat ini, bukan saat Dimas dan ibunya melamar ke orang tua Laila.
Ibunya Dimas malah mengatakan kalau rumah dan mobil, semua milik Dimas. Terus juga Dimas punya jabatan yang sangat tinggi, sayang saja istrinya mandul dan hendak diceraikan oleh Dimas. Makanya Laila mau dinikahkan dengan Dimas, menjadi istri siri bagi Dimas.
"Ya ... Makanya mas minta kamu sabar."
Mata Laila sudah berair. Ia merasa sangat dibohongi oleh Dimas dan ibunya. "Memang cicilan rumah ini berapa tahun lagi?"
"Rumah ini baru cicil selama satu tahun, La."
"Sisa berapa tahun lagi cicilannya?"
"Masih ada empat belas tahun untuk dicicil." aku Dimas jujur meskipun sangat berat. Apalagi melihat Laila menangis. Dimas sangat tidak tega.
"Hah ... Artinya sabarnya aku tuh harus empat belas tahun?" Laila benar-benar shock.
"Semoga tak selama itu. Kalau aku sudah naik gaji dan bunga bank tidak floating. Aku pasti akan segera melunasinya dan menceraikan Hesti."
"Gaji mas sebenarnya berapa?" tanya Laila tambah kesal.
"Sepuluh juta."
"Ok ... Lumayan besar. Terus cicilan rumah ini berapa?"
"Delapan juta."
"Sisa dua juta?"
"Aku harus memberikan kepada ibu dan ... uang sekolah Ratna."
"Sebanyak dua juta itu?" Laila membulatkan kedua matanya.
"Empat juta."
"Hah ... Dua juta dari dari mbak Hesti?"
Dimas mengangguk pelan.
"Lalu untuk listrik dan lain-lain di rumah ini?"
"Hesti yang bayar."
"Mobil? Apa sudah lunas?"
Dimas menggelengkan kepalanya.
"Siapa yang bayar cicilan mobil?"
"Hesti"
"Masih berapa lama lagi cicilan mobil?"
"Uhm .. Dua tahun."
"Astaga ... Orang Jakarta tuh kenapa sih? Koq doyan mencicil? Bukan pakai uang cash saja?"
"Sssttt jangan bicara kencang. Takutnya Hesti dengar."
"Ini jadinya kapan mas mau ceraikan Mbak Hesti? Bisa-bisa aku hamil dan melahirkan, tapi kalian belum cerai."
"Sabar ya, Sayang. Mas pasti tanggung jawab koq."
"Harusnya mas mengatakannya sebelum kita nikah. Koq jadi begini sih?" Laila kesal.
Padahal tanpa mereka sadari, Hesti memang mendengarnya sedari tadi. Ia tidak mandi.
'Time to play, Laila! Baru tahu kan Dimas seperti apa? Kamu pikir dia sangat kaya? Rumah bagus begini, dua lantai. Memang kamu pikir dia yang bayar sendiri? Naif! Tunggu kejutan dari aku! Dasar pasangan selingkuh!'
"Mas ..." panggil Hesti kepada suaminya itu dengan sangat mesra dan manja. Bahkan membuat Laila jijik sendiri saat mendengarnya. Wanita muda itu kesal setengah mati."Kenapa?" tanya Dimas begitu datar. Ia menjaga perasaan Laila untuk tidak bermesraan dengan Hesti, apalagi di rumah. Ia bisa melihat kalau Laila kesal dengan yang dilakukan oleh Hesti sekarang. Hanya saja, Dimas tak bisa berbuat banyak terhadap Hesti.Bagaimana pun, Hesti masih menjadi istri sah Dimas."Ih ... koq gak panggil sayang sih?" protes Hesti manja sambil memeluk erat leher Dimas saat berada di meja makan bersama dengan Laila.CUP!Hesti mencium pipi Dimas dengan sengaja di hadapan Laila. Dimas aneh sendiri karena Hesti tiba-tiba berubah manja."Kangen deh sama Mas."Hesti terus mencium pipi Dimas bertubi-tubi, seakan ia sangat mencintai Dimas.Ekspres
"Mbak Hesti ... hoooh ... hoooh ..." Nafas Laila tersengal-sengal karena lelah."Kenapa dengan Hesti?""Dia buang kasur dan ranjang. Sekalian seprai, bantal dan guling.""Hah ... terus kenapa kamu yang ngos-ngosan?" Dimas heran."Mbak Hesti suruh aku dan bapak tukang rongsokan untuk angkut kasur dan ranjang. Aku capek, Mas.""Astaga ..." Dimas menggelengkan kepalanya atas ulah Hesti."Marahin gih, Mas masa dia ngerjain aku begini amat." protes Laila. Ia sangat berharap kalau Dimas bisa memarahi Hesti hingga wanita itu kapok untuk mengerjai Laila lagi.Dimas langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya yang kini kosong."Hesti! Kenapa kamu buang ranjang dan kasur kita? Apa maksud kamu?" bentak Dimas kesal.Laila pun menguping di belakang pintu kamar Dimas."Gak ada maksud apa-apa, Mas. Cuma
Dimas langsung sadar dari buaian Hesti."Aduh ... kenapa?"Hesti langsung membuka pintu dan ditemukan kaki dan tangan Laila terjepit di pintu kayunya yang cukup berat itu.Dimas pun dengan sigap melihat keadaan Laila, wajahnya memerah karena tertangkap basah telah bermesraan dengan Hesti."Kenapa kamu bisa ada di belakang pintu sih, La? Aduh ... " Hesti pura-pura panik melihat keadaan Laila."Aw ... sakit banget. Rasanya tangan dan kaki aku ada yang patah, Mas." rintih Laila yang sangat kesakitan. "Sakit banget Mas."Terlihat sih jari-jari Laila memerah dan kakinya, entahlah bagaimana. Hesti tak peduli sama sekali."Kita ke rumah sakit ya, La. Ok kan, Hes?" Dimas meminta persetujuan kepada Hesti karena semua uang yang besar memang dipegang oleh Hesti.Dimas hanya mendapatkan uang jajan saja dari Hesti. Uang jajan yang cukup
"Ya karena dia yang pegang uang. Dia yang pegang gaji aku. Biasanya aku hanya diberikan uang jajan saja oleh Hesti. Kalau kurang baru minta."Memang Laila baru satu bulan menikah dengan Dimas. Makanya dia tak tahu apa-apa tentang keuangan Dimas. Ia percaya saja dengan bujuk rayu ibu mertua dan juga Dimas untuk menikahinya. Sekarang Laila merasa lebih terjebak lagi.Suaminya tak pegang kuasa akan keuangan. Lalu bagaimana Laila bisa foya-foya untuk menikmati gaji dari Dimas?"Apa gak bisa dipindahkan untuk transfer gaji kepada Mas sendiri?""Nanti Hesti curiga.""Ish ... makanya mas tuh harus bilang kepada Mbak Hesti kalau kita sudah menikah.""Nanti ya. Kita fokus dulu sama luka kamu. Semoga saja cepat sembuh.""Ish ... ini tuh gara-gara mas.""Kenapa gara-gara Mas?" Dimas heran."Karena tadi aku mau mende
"Maaf La, Mas gak bisa nolak Hesti. Benar-benar maaf. Nanti kalau Mas pulang dari Malaysia, mas kasih kamu oleh-oleh ya. Mas janji .... mas akan kasih kamu oleh-oleh yang mahal."Laila pun mencebikkan bibirnya. Suaminya malah meninggalkan dirinya. Hanya diiming-imingi oleh oleh-oleh mahal.*Pada malam harinya, Ibu Nani pun datang ke rumah Hesti dan Dimas."Kalian mau kemana sih?" tanya Nani penasaran karena melihat Hesti dan Dimas sudah membawa koper masing-masing."Kami mau ke Malaysia, Bu.""Loh, kamu bilang besok, Dim.""Iya, Bu. Uhm ... Hesti menyuruh untuk tinggal di hotel dulu karena tak ada kasur di kamar kami.""Lah, kalau tidak ada kasur di kamar kalian, terus ibu tidur dimana?" protes Bu Nani."Di kamar Laila, Bu." balas Hesti dengan santai."Kamar Laila? Kasurnya kan kecil .
Rumah ..."Laila ..." panggil Nani yang merasa sangat tak nyaman untuk tidur berdua dengan Laila di ranjang single."Ya, bu. Kenapa?" Laila pun membuka kedua matanya."Kamu bisa tidur di lantai gak?""Kenapa, Bu?""Rasanya ibu encok banget tidur sempit-sempitan sama kamu.""Kan aku lagi sakit, Bu. Tangan sama kaki aku sakit banget." Laila menolak. Tapi tak berani kurang ajar terhadap Nani."Duh ... kamu kan masih muda, La. Ibu kan sudah tua. Ini kalau ibu gak bisa tidur dengan nyaman. Nanti ibu bisa sakit loh. Kalau darah tinggi ibu kumat, bisa gawat kan." keluh Nani.Laila kesal setengah mati. Sofa di depan tidak bisa digunakan untuk tidur. Ranjang Hesti sudah tak ada. Bahkan bantal, guling serta selimut pun tak ada.Mungkin ada, tapi lemarinya dikunci oleh Hesti. Jadi Laila tak bisa mengambil apapun.
Wajah Hesti terlihat sangat serius saat ini. Bahkan terlihat sangat khawatir. Namanya juga sandiwara untuk meledek Dimas sekaligus mengancam pria itu."Hmm ... kemarin ini di kantor ada yang ketahuan selingkuh, Mas. Terus ... suaminya itu ternyata selingkuh sama adik sepupunya sendiri. Parah kan tuh, Mas."Dimas menarik nafas dalam-dalam. Apa yang dibicarakan oleh Hesti seperti menyindir dirinya saja. Langsung kena pada sasaran."Mas gak seperti teman kau di kantor itu lah. Mas sangat cinta sama kamu." kilah Dimas mencoba menenangkan Hesti dengan kebohongan lainnya."Aku jadi parno, Mas. Uhm ... bagaimana kalau Laila keluar saja dari rumah kita? Nanti aku bantu carikan pekerjaan untuk dia." usul Hesti. "Aku gak mau kejadian sama teman kantor aku itu menimpa rumah tangga kita. Aku bisa sangat sedih kalau mas melakukan seperti itu dengan Laila.""Laila itu sepupu aku dan aku tak pe
"Sabar, Sayang. Jangan emosi. Mas minta maaf karena sudah ada janji dengan orang tuanya Laila. Keluarga mas itu berhutang banyak terhadap keluarganya Laila." Hesti menarik nafas dalam-dalam. "Mas tahu gak sih ... " "Apa?" Hesti menghela nafas lelah. "Terkadang aku cemburu dengan Laila." "Cemburu kenapa?" "Karena ... jadi dia enak banget. Gak perlu kerja, tapi sudah dapat uang bulanan. Sementara aku ... aku kerja keras." "Laila kan belum ada penghasilan. Lagian dia baru satu bulan di Jakarta, Hes. Wajar kalau dia belum ada penghasilan. Lagian ... dia juga lulusan SMA. Agak susah untuk mendapatkan pekerjaan." kilah Dimas. "Tapi .. dia sama sekali tak mencari pekerjaan, Mas. Diam terus di rumah." protes Hesti. "Harusnya tuh dia usaha cari kerjaan. Bukan diam di Rumah terus. Kan bisa jadi pelayan, jadi apa saja bisa. Yang penting mau usaha!" tegas Hesti
"Antara menyesal dan tidak menyesal sih. Mau bagaimana lagi? Katanya Mbah Dukun yang terkenal itu, kalau misalkan Dimas menikah sama Laila, maka dia bisa kaya banget. Nah kalau sama Hesti, malah Dimas akan sangat sial. Bisa miskin seumur hidup. Tentu saja ibu lebih memilih kalau Dimas tuh menikah sama Laila daripada Hesti. Kalau mas kamu kaya, kan kita juga kecipratan. Kamu mengerti dong, Rat." tukas Nani begitu percaya diri.Ratna menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tak mengerti dengan pola pikir dari sang ibu yang telah melahirkannya itu."Terus terang saja ya, Bu. Ratna sama sekali gak percaya dengan masalah perdukunan. Yang Ratna mengerti hanya kenyataan saja yang ada di depan mata. Percuma juga bilangnya kalau misalkan Mas Dimas akan sangat kaya. Tapi sekarang saja sudah terasa sangat menderita. Dari punya rumah dan pekerjaan yang ok, tiba-tiba hilang pekerjaan dan tak punya rumah. Jadi darimana ibu bisa bilang mas Dimas bisa kaya sih?""Kamu masa gak ngerti istilah berakit-r
"Terus kamu maunya gimana?""Begini loh, Mas ... kamu kan sudah tak ada pekerjaan. Jadi, uang yang tersisa gak terlalu banyak. Jangan memberikan ibu uang yang banyak sekali." tukas Laila meyakinkan Dimas."Terus ... aku harus kasih ibu berapa? Ratna itu harus sekolah. Tak mungkin aku tak memberikan uang kepada ibu.""Uang sekolah Ratna berapa?""Mungkin dua ratus ribu.""Lah ... empat juta buat apa?" Laila heran sendiri."Ya aku mana tahu. Mungkin untuk kebutuhan hidup. Belanja atau apa gitu.""Aneh banget sih. Di kampung mana ada yang semahal itu? Harus banget dengan empat juta.""Aku mana tahu perjanjian ibu dengan Hesti sih." protes Dimas yang ia sendiri tak mengerti kenapa ibunya harus meminta uang sebanyak itu terhadap dirinya."Sudah. Kita berikan saja ibu uang satu juta. Jadinya sisanya kita yang pegang.""Tapi, nanti ibu bagaimana?""Mas ... ingat kamu tidak kerja loh. Kita benar-benar harus berhema
"Nanti cari rumah kontrakan atau apartemen saja yang murah untuk sementara waktu."Laila tak berani bertanya lagi.Setelahnya, Dimas, Hesti dan Pak Andra pun pergi ke bank untuk menyelesaikan permohonan over kredit."Hes ... transfer uangnya kepadaku. Aku butuh sewa rumah.""Iya ..."Hesti mengeluarkan ponselnya dan dia mengirimkan uang sebanyak dua ratus juta untuk Dimas. "Sudah aku kirim."Dimas langsung mengecek di ponselnya dan tersenyum karena uang di tabungannya sudah bertambah begitu banyak. Ya walaupun pastinya masih ada kerugian karena uang cicilannya selama satu tahun malah jadi diskon untuk Pak Andra membeli rumahnya."Kapan mau jual mobil?""Lagi cari pembeli dengan harga tinggi.""Gak usah lama-lama. Rumah saja yang mahal sudah bisa kamu dapatkan pembeli. Masa mobil yang lebih murah gak dapat? Kebanyakan alasan.""Kamu cari saja yang mau beli mobil. Nanti beritahu kepada aku kalau ada yang
Kring! Telepon berbunyi dengan sangat kencang. Hesti menatap malas ke arah ponselnya. Arga yang mendengar suara bunyi pun Hesti pun mengerenyitkan dahinya. "Kenapa tidak diangkat?""Yang menghubungi aku itu adalah orang yang menyebalkan. Malas untuk bicara dengannya. Lebih baik kerja sama. Menjawab teleponnya itu sama saja menghabiskan tenaga aku.""Apa yang menelepon itu adalah mantan suamimu?" tebak Arga. Hesti menganggukkan kepalanya. "Memangnya ada apa? Jangan-jangan dia ingin membicarakan tentang perceraian kalian?""Tadi pagi aku pergi ke rumah." jelas Hesti dengan santai seperti tak ada masalah apapun. "Untuk apa?""Aku ke sana untuk menawarkan rumah lama agar bisa over kredit. Jadi aku membawa Pak Andra untuk melihat rumahku itu.""Kenapa tiba-tiba kamu mau menjual rumah? Terus bagaimana tanggapan Pak Andra?" Arga penasaran. "Ya kalau tidak dijual dia terlalu enak dong untuk menempati rumah yang juga merupakan hasil jerih payah aku bersama dengan istri keduanya itu. Tid
"Entah ... ayo kita jalan saja ke rumah." Dimas mengedikkan bahunya.Laila pun segera membantu Dimas dengan segala barang belanjaannya."Ngapain kamu di sini, Hes? Terus bawa pria yang berumur lagi." ejek Dimas.Hesti mengerenyitkan dahinya saat mendengar suara dari Dimas."Ini Pak Andre. Dia calon pembeli rumah ini." tukas Hesti dengan santainya.Pak Andre pun menganggukkan kepalanya."Bagaimana Pak Andre?" tanya Hesti."Dari depan sih lumayan suka. Belum cek dari dalam.""Ah ya, baik ... ayo masuk dulu untuk melihat." ajak Hesti tanpa peduli terhadap Dimas dan Laila."Hei ... jangan sembarangan kamu ya! Aku yang membeli rumah ini. Kamu gak berhak menjualnya."Dimas menaruh semua barangnya di balkon rumahnya dan terdengar menantang Hesti. Ia menghalangi jalannya Hesti dan Pak Andre untuk masuk ke dalam rumahnya."Haha ... sembarangan gimana sih? Jelas-jelas DP rumah ini ada andil aku juga. Bahk
"Apa salah saya, Pak? Kenapa saya dipecat begitu? Sa-saya sudah bekerja lama loh, Pak di perusahaan ini." Dimas benar-benar tak mengerti. Semua yang didengar hanya seperti mimpi buruk untuk Dimas saja."Maaf, Pak Dimas. Mungkin anda sudah mendengar adanya pengurangan karyawan yang kurang performance untuk perusahaan ... jadi dengan berat hati, salah satu yang dirumahkan adalah anda.""Pak Beno, tolong saya. Saya masih harus membayar cicilan rumah dan yang lain-lainnya. Kalau saya tidak bekerja di sini. Lalu saya harus bayar dengan apa semua itu?" "Maaf, Pak Dimas. Saya juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu anda."Kepala Dimas sungguh sakit saat ini. Kenapa setelah memberikan talak kepada Hesti, kesialannya terus bertambah?"Pak, bisa tolong minta ke atasan untuk mempertimbangkan saya sekali lagi? Atau .. mungkin bisa melihat performa saya di bulan ini. Saya mohon, Pak. Perusahaan ini adalah satu-satunya tempat saya untuk mencari nafkah." pinta Dimas sampai menangis tersedu-sed
Hesti langsung berdiri dan menatap ke arah Dimas."Apa sih yang kamu bicarakan? Gak ngaca?" balas Hesti menghina Dimas. "Apa kamu sedang hilang ingatan, HAH!""Dia ..." tunjuk Dimas ke arah Arga."Dia ARGA! Bos aku! Bukankah kamu sudah tahu?""Bos kamu ... selama ini jadinya kamu itu sering keluar kota sama bos kamu karena kamu selingkuh sama dia kan? Kamu tidur sama dia kan? Makanya kamu dengan mudah untuk cerai sama aku," tuduh Dimas yang sudah seperti kehilangan akal saja.PLAK!Hesti langsung menampar keras pipi dari Dimas."Jaga bicaramu! Hubungan aku dengan ARGA bukan seperti hubungan perselingkuhan kamu dengan Laila! Mengaku sebagai sepupu, dibawa ke rumah dan ternyata istri kedua kamu. Aku bukan tukang main belakang seperti kamu!" balas Hesti menyerang Dimas."Pria itu wajar untuk poligami!" Dimas membela diri. "Sudah ... jangan bertengkar di sini! Ini tempat umum. Jangan membuka aib di sini! Malu ... banyak orang yang melihat kita," tukas Arga yang mencoba melerai pertengkar
"Kamu ini bicara apa sih? Kenapa ibu datang terus kamu main tuduh saja?" Nani sewot terhadap bentakan dari Dimas.Dimas yang kesal pun segera keluar dari rumah. Ia bingung sekarang harus berbuat apa. Tak ada uang, harus menunggu awal bulan.Nani yang masih bingung dengan ocehan dari Dimas pun segera menaruh barang belanjaannya di dapur. Lalu ia berjalan kearah kamar Laila yang terlihat tertutup."La!" panggil Nani ke pintu kamar dari Laila.Tak ada jawaban."Buka, La."Kemudian, pintu kamar pun terbuka. Terlihat wajah Laila yang sendu dan penuh tangisan."Kenapa kamu, La?""Mas Dimas jahat bu ....""Kenapa? Kenapa pas ibu datang, Dimas terlihat sangat emosi?""Aku memintanya untuk mencari pekerjaan tambahan. Kami kekurangan uang dan tentu saja harus ada uang tambahan, Bu.""Lantas?""Mas Dimas malah membandingkan aku dengan Mbak Hesti. Aku tak terima. Aku tak suka dibandingkan begitu dengan Mbak Hesti, Bu!" adu Laila penuh emosi.Nani mengangguk-angguk pelan."Aku bosan terus dibandin
"Kamu aneh-aneh saja." kekeh Hesti sambil memukul pelan bahu Arga."Dih ... siapa yang tahu lagi." Arga mencoba berkelit."Gak lah. Aku butuh menenangkan diri. Menyelesaikan perceraian aku dan ... having fun a little bit." jawab Hesti tanpa ragu. Hatinya masih sakit. Baginya, mencari pria baru bukanlah menyelesaikan masalah. Tapi malah menambah masalahnya saat ini.Wanita itu butuh menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri."Hmm ... terus kalau misalkan nih ... Dimas mau kembali lagi sama kamu, apakah kamu mau kembali sama dia?""Tentu saja tidak, Ferguso! Sudah sangat cukup untuk Dimas dan keluarganya. Ternyata yah ... selama ini mereka begitu tidak tahu terima kasih kepadaku. Padahal aku sudah sangat berusaha membuat mereka semua bahagia.""Dan ... kamu mengorbankan kebahagiaan kamu sendiri." tambah Arga."Dulu sih gak merasa begitu ya. Tapi sekarang, ya aku merasa begitu. Aku menyesal karena terlalu cinta sama Dimas. Bahkan memberikan segalanya untuk Dimas dan keluarganya sampai