"Aku hari ini tinggal di hotel dan aku sangat butuh konsultasi dengan kamu. Please datang! Aku blank!"
"Tentang apa?"
"Perceraian?"
"Hah! Hesti yang bucin terhadap Dimas malah bicara perceraian? Apa tidak salah?" Arga heran bukan main.
"Tak perlu banyak bicara, Ar. Datang ke hotel X sekarang ya. Aku butuh bantuan kamu."
"Ok. Hmm ... berikan waktu tiga puluh menit. Aku mau mandi dulu. Gerah sekali."
"Sip. Thanks, Ar. Sorry merepotkan kamu."
"No prob! Kamar nomor berapa?"
"7801"
"Ok. Aku siap-siap dulu."
Hesti pun menutup sambungan telepon dengan Arga.
Sesuai dengan janjinya Arga, pengacara tampan, bos dan juga merupakan teman baik dari Hesti itu sampai di hotel dan di kamar Hesti tepat tiga puluh menit kemudian.
"Ada apa?" tanya Arga yang baru sampai di depan pintu kamar Hesti.
"Masuk dulu."
Arga menanggukkan kepalanya lalu mengikuti Hesti ke dalam kamar.
"Duduk, Ar."
Arga pun duduk di salah satu ranjang di kamar Hesti.
"Hmm ... aku ingin bercerai dengan Mas Dimas." tukas Hesti dengan ekspresi datarnya, seperti sudah hilang perasaan terhadap Dimas dan ingin menghancurkan Dimas sesegera mungkin.
"Alasannya?"
"Dia berselingkuh. Dan aku sudah punya bukti dia berselingkuh. Aku ada video dia di ranjang dengan Laila." Hesti terlihat sangat tegar walaupun hatinya sangat sakit oleh pengkhianatan Dimas.
"Hah! Laila? Bukankah kamu mengatakan kalau Laila itu sepupunya Dimas? Koq bisa jadi Dimas itu selingkuh dengan sepupunya sendiri? Apa tidak salah?" Arga lebih bingung lagi dengan cerita dari Hesti.
"Ternyata bohong. Semua itu adalah kebohongan besar yang diciptakan untuk membohongi aku dan sialnya ... aku memang tertipu." Hesti menggelengkan kepalanya penuh rasa kesal karena dibohongi.
"Terus, Laila itu siapa?"
"Istri kedua bajingan itu. Hmm ... kalau dari percakapan mereka, mereka itu baru satu bulan menikah."
Sabar ... tarik nafas, Hes."
"Tarik nafas sampai kentut pun percuma. Aku sudah sabar dan bisa mengendalikan diri koq."
"Hehe .. bagus. Uh ... pasti dua orang itu lagi hot banget ya di ranjang. Pengantin baru ... Hidup hanya mereka berdua, yang lain ngontrak."
"YES! Gila ... aku keluar kota, bekerja keras dan mereka asyik-asyik bercinta di atas ranjang pengantinku? Ranjang pengantinku! Seperti mereka tertawa di atas kebodohanku yang terlalu percaya akan hubungan mereka yang sepupu itu!" tukas Hesti penuh emosi.
"Sudah aku peringatkan sebelumnya, bukan? Kalau ada wanita muda di rumah selain anak atau ibu kamu, maka wanita itu patut dicurigai. Apalagi kamu sering tugas keluar kota."
"Ya ... sayangnya aku tak mendengar himbauan kamu itu. Aku pikir bajingan itu begitu mencintai aku sampai tak mungkin rasanya untuk dia berselingkuh. Apalagi dengan sepupu dia sendiri. Mereka memang pintar berbohong atau ... Aku yang terlalu bodoh karena mencintai Dimas?"
Ingin rasanya Hesti mengutuk dirinya sendiri yang terlalu naif dan percaya akan ketulusan cinta dari Dimas.
"Kamu yang terlalu mencintai Dimas, Hes. Segala yang berlebihan memang tak bagus. Lagipula ... namanya juga kucing diberikan ikan asin. Pasti langsung dicaplok dong. Mana ada kucing yang menolak ikan asin?"
Hesti tersenyum miris. Rumah tangga yang ia bangun dari nol bersama dengan Dimas harus berakhir hanya karena hasrat dan syahwat suaminya itu.
"Yap ... begitulah suamiku yang sialan itu."
"Lantas, apa yang mau kamu lakukan?"
"Ya ... aku mau cerai! Aku tak suka untuk dimadu. Lebih baik berpisah saja."
"Hmm ... begitu ya. Eh ya ... tadi kamu memergoki mereka bercinta, bukan? Terus apakah kamu melakukan seperti adegan film? Kamu memaki mereka? Menjambak Laila?" Arga penasaran.
"Aku bukan artis dari film ikan terbang, Arga!" Hesti memutarkan kedua bola matanya.
"Haha ... aku pikir, kalau wanita sedang emosi karena dikhianati, maka ia langsung bersikap impulsif dan agresif."
Hesti merotasikan matanya lagi. "Kamu terlalu banyak nonton sinetron!"
"Haha ... tidak sih. Kan memang biasanya seperti itu. Seperti rumah tangga yang biasa kita hadapi di pengadilan. Ribut karena pelakor dan harta gono-gini. Bahkan mengorbankan anak."
"Aku tidak begitu dan untungnya ... aku belum punya anak dengan Dimas. Tuhan memang tahu yang terbaik untuk hidupku. Tak mengandung anak dari pria sialan tukang selingkuh itu."
Arga mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh ya, apa mertuamu tahu tentang hal ini?"
Hesti menghela nafas kasar. Rasanya ia juga ingin memaki mertuanya yang selama ini jahat kepada dirinya. Entah apa salah Hesti, yang past mertuanya itu sangat tak suka kepada dirinya. Bahkan Hesti aneh sendiri.
"Pasti tahu lah. Mereka itu kan satu daerah. Belum lagi, ibunya Dimas sendiri yang ikut mengantarkan Laila ke Jakarta dan tinggal bersamaku. Kalau dipikir-pikir, mereka memang pintar sandiwara. Mertuaku yang tecinta itu mengatakan, tolong rawat dan berbaik hati kepada Laila. Jangan sampai kurang makan dan kurang segalanya. Haha... " Hesti tertawa miris akan dirinya sendiri.
"Pathetic! Mereka bekerja sama untuk membodohi kamu."
"Sangat!"
"Tapi apa tujuannya juga bohong kepada kamu?"
"Mengambil harta atau entahlah apalagi yang hendak dia ambil dari aku dan pernikahan kami." Hesti tersenyum miris.
"Bukannya Dimas bekerja juga? Kenapa mau ambil harta kamu?"
"Kalau dari ucapan dia sih ... Dia mengatakan akam membereskan segalanya agar nanti, saat kami bercerai, dia tidak rugi sama sekali."
Arga menarik nafas dalam-dalam.
"Dimas sudah tidak tertolong."
"Begitulah" Hesti mengedikkan bahunya.
"Jadi, apa yang hendak kamu lakukan, Hes? Apa mau langsung menceraikan Arga saja? Maksudku ... langsung membuat surat pengajuan cerai agar bisa ke KUA langsung?"
"Aku ingin bercerai, tapi ingin membuat dia menderita dulu sebelum bercerai." Hesti menggelengkan kepalanya. Ia berubah pikiran karena terpikir dari mertuanya, ucapan Dimas dan kelakuan Dimas bersama dengan Laila. Terlalu mudah rasanya kalau mereka hanya bercerai.
Hesti yang akan banyak dirugikan oleh perceraian ini.
"Aku ingin membuatnya hancur berkeping-keping sampai miskin. Baru setelah itu, aku ceraikan dia."
"Waduh ... koq jadi gaya psikopat begitu sih, Hes. Aku ngeri."
"Ar ... kamu kan pengacara. Bisa bantu aku kah?"
"Bayar gak?" goda Arga.
"Bayar!"
"Haha ... mau dibantu apa?" Arga pun terkekeh geli sendiri mendengar jawaban Hesti yang sangat ketus.
"Pindahkan aset semua ke atas nama aku?"
"Hmm ... kamu ada surat pisah harta sebelum menikah?"
Hesti menggelengkan kepalanya.
"Artinya nanti tetap kalau ke nama kamu tuh ... jadinya harta gono-gini. Harta yang kamu miliki setelah menikah, tetap akan dibagi rata."
Hesti diam sebentar, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Arga. Ia bahkan lupa tentang hukum di Indonesia tentang harta gono-gini dan hukum tentang pisah harta.
Mungkin saat menikah dulu dengan Dimas, dia terlalu buru-buru dan berpikir kalau pernikahannya akan menjadi selamanya. Bukan seperti sekarang ini.
Hesti pikir, pernikahan mereka akan terjadi karena saling mencintai satu sama lain. Tapi ternyata Hesti salah besar.
"Uhm .. Rumahku ... "
"Bukannya masih cicil? Masih lama kan cicilannya?"
Hesti mengangguk pelan. Setelah tiga tahun menikah dan mengontrak rumah, akhirnya mereka bisa membeli rumah dengan cara cicil. Tentu saja DP rumah dari Hesti lebih besar daripada Dimas.
Selama itu pula Hesti dan Dimas memutuskan untuk tak punya anak dulu sebelum keadaan ekonomi stabil. Eh malah Dimas selingkuh di saat mereka sudah mulai stabil.
"Daripada sibuk pindahkan aset dan berujung tetap tidak untung di kamu, kenapa kamu tak membuat hidup mereka sengsara dulu? Bermain yang cantik begitu? Atau kalau kamu sudah sangat kesal kepadanya dan tak mau mempermainkan mereka, ya sudah, kamu bisa jual rumah yang kamu tempati itu. Nanti hasilnya bagi dua dengan suami kamu."
Hesti diam lagi.
"Kalau begitu, Aku ingin menjebak dan menyengsarakan mereka, Ar." Hesti membulatkan tekad.
"Tapi, apakah kamu bisa menguatkan hati agar bisa bermain secara profesional dengan sandiwara dua orang yang ada di rumah kamu itu?" Arga memastikan hati dari Hesti.
"Aku akan mencobanya! Semoga aku bisa dan kuat, Ar."
"Aku punya ide untuk bermain dengan dua orang jahat itu." Arga tersenyum, ia memiliki ide yang cukup licik untuk menyengsarakan dua orang jahat itu.
Keesokan harinya, Hesti pulang ke rumah dengan senyuman mengembang penuh sandiwara. Ia harus bermain sandiwara secantik mungkin agar Dimas tidak mengetahui perubahan perilakunya nanti.Ini hari sabtu. Memang seharusnya Dimas tak pergi ke kantor."Assalamualaikum!" sapa Hesti yang baru saja membuka pintu rumahnya."Wa'alaikumsalam!" balas Dimas yang memang sedang bersantai di ruang tamu sambil menonton siaran televisi kesukaannya itu.Hesti dengan senyuman, langsung berjalan ke arah Dimas dan mencium tangan pria itu. Ya, sandiwara menjadi istri berbakti begitu lah."Mas ..." panggil Hesti manja."Ya, ada apa, Hes?" Tatapan Dimas masih terarah ke televisi. Ia bahkan tak terlalu menggubris kedatangan Hesti."Besok kan hari minggu terus ada libur tahun baru, apakah kamu mau jalan-jalan?" tawar Hesti."Jalan kemana? Apa kamu tak lelah? Ini saja kamu baru pulang dari luar kota loh. Aku rasa lebih baik kamu istirahat saja sih di rumah." Dimas heran dengan ajakan Hesti."Aku kangen banget sam
"Soalnya kan aku kerja dan menghasilkan uang bersama dengan Mas Dimas. Jadi kalau ada kamu tuh ... Ada yang masak, membersihkan rumah ... Wah komplit deh. Nah kalau aku pulang kerja, jadi aku tidak terlalu lelah untuk beres-beres seperti dulu sebelum ada kamu. Mau makan tinggal makan dan masih hangat karena kamu membuatnya."Maksudnya adalah Hesti menyindir kalau Laila menjadi ART tanpa bayaran di rumah Hesti. Itu point nya.Laila tersenyum miris dengan ucapan dari Hesti. Pastinya dia agak sakit hati."Iya, Mbak.""Ah ya, besok aku mau honeymoon sama Mas Dimas. Tolong jaga rumah ya! Kalau kamu mu keluar, jangan lupa kunci pintu! Jangan sampai ada kucing garong masuk mencari ikan asin busuk.""Mbak ada-ada saja. Mana ada kucing garong mencari ikan asin busuk?" kekeh Laila dan sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud oleh Hesti. Hanya saja ia pura-pura bodoh."Hehe ... itu cuma istilah, La. Lagian ... di rumah ini gak ada yang berharga sama sekali sih. Jadi santai saja kalau mau meninggalk
"Mas ..." panggil Hesti kepada suaminya itu dengan sangat mesra dan manja. Bahkan membuat Laila jijik sendiri saat mendengarnya. Wanita muda itu kesal setengah mati."Kenapa?" tanya Dimas begitu datar. Ia menjaga perasaan Laila untuk tidak bermesraan dengan Hesti, apalagi di rumah. Ia bisa melihat kalau Laila kesal dengan yang dilakukan oleh Hesti sekarang. Hanya saja, Dimas tak bisa berbuat banyak terhadap Hesti.Bagaimana pun, Hesti masih menjadi istri sah Dimas."Ih ... koq gak panggil sayang sih?" protes Hesti manja sambil memeluk erat leher Dimas saat berada di meja makan bersama dengan Laila.CUP!Hesti mencium pipi Dimas dengan sengaja di hadapan Laila. Dimas aneh sendiri karena Hesti tiba-tiba berubah manja."Kangen deh sama Mas."Hesti terus mencium pipi Dimas bertubi-tubi, seakan ia sangat mencintai Dimas.Ekspres
"Mbak Hesti ... hoooh ... hoooh ..." Nafas Laila tersengal-sengal karena lelah."Kenapa dengan Hesti?""Dia buang kasur dan ranjang. Sekalian seprai, bantal dan guling.""Hah ... terus kenapa kamu yang ngos-ngosan?" Dimas heran."Mbak Hesti suruh aku dan bapak tukang rongsokan untuk angkut kasur dan ranjang. Aku capek, Mas.""Astaga ..." Dimas menggelengkan kepalanya atas ulah Hesti."Marahin gih, Mas masa dia ngerjain aku begini amat." protes Laila. Ia sangat berharap kalau Dimas bisa memarahi Hesti hingga wanita itu kapok untuk mengerjai Laila lagi.Dimas langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya yang kini kosong."Hesti! Kenapa kamu buang ranjang dan kasur kita? Apa maksud kamu?" bentak Dimas kesal.Laila pun menguping di belakang pintu kamar Dimas."Gak ada maksud apa-apa, Mas. Cuma
Dimas langsung sadar dari buaian Hesti."Aduh ... kenapa?"Hesti langsung membuka pintu dan ditemukan kaki dan tangan Laila terjepit di pintu kayunya yang cukup berat itu.Dimas pun dengan sigap melihat keadaan Laila, wajahnya memerah karena tertangkap basah telah bermesraan dengan Hesti."Kenapa kamu bisa ada di belakang pintu sih, La? Aduh ... " Hesti pura-pura panik melihat keadaan Laila."Aw ... sakit banget. Rasanya tangan dan kaki aku ada yang patah, Mas." rintih Laila yang sangat kesakitan. "Sakit banget Mas."Terlihat sih jari-jari Laila memerah dan kakinya, entahlah bagaimana. Hesti tak peduli sama sekali."Kita ke rumah sakit ya, La. Ok kan, Hes?" Dimas meminta persetujuan kepada Hesti karena semua uang yang besar memang dipegang oleh Hesti.Dimas hanya mendapatkan uang jajan saja dari Hesti. Uang jajan yang cukup
"Ya karena dia yang pegang uang. Dia yang pegang gaji aku. Biasanya aku hanya diberikan uang jajan saja oleh Hesti. Kalau kurang baru minta."Memang Laila baru satu bulan menikah dengan Dimas. Makanya dia tak tahu apa-apa tentang keuangan Dimas. Ia percaya saja dengan bujuk rayu ibu mertua dan juga Dimas untuk menikahinya. Sekarang Laila merasa lebih terjebak lagi.Suaminya tak pegang kuasa akan keuangan. Lalu bagaimana Laila bisa foya-foya untuk menikmati gaji dari Dimas?"Apa gak bisa dipindahkan untuk transfer gaji kepada Mas sendiri?""Nanti Hesti curiga.""Ish ... makanya mas tuh harus bilang kepada Mbak Hesti kalau kita sudah menikah.""Nanti ya. Kita fokus dulu sama luka kamu. Semoga saja cepat sembuh.""Ish ... ini tuh gara-gara mas.""Kenapa gara-gara Mas?" Dimas heran."Karena tadi aku mau mende
"Maaf La, Mas gak bisa nolak Hesti. Benar-benar maaf. Nanti kalau Mas pulang dari Malaysia, mas kasih kamu oleh-oleh ya. Mas janji .... mas akan kasih kamu oleh-oleh yang mahal."Laila pun mencebikkan bibirnya. Suaminya malah meninggalkan dirinya. Hanya diiming-imingi oleh oleh-oleh mahal.*Pada malam harinya, Ibu Nani pun datang ke rumah Hesti dan Dimas."Kalian mau kemana sih?" tanya Nani penasaran karena melihat Hesti dan Dimas sudah membawa koper masing-masing."Kami mau ke Malaysia, Bu.""Loh, kamu bilang besok, Dim.""Iya, Bu. Uhm ... Hesti menyuruh untuk tinggal di hotel dulu karena tak ada kasur di kamar kami.""Lah, kalau tidak ada kasur di kamar kalian, terus ibu tidur dimana?" protes Bu Nani."Di kamar Laila, Bu." balas Hesti dengan santai."Kamar Laila? Kasurnya kan kecil .
Rumah ..."Laila ..." panggil Nani yang merasa sangat tak nyaman untuk tidur berdua dengan Laila di ranjang single."Ya, bu. Kenapa?" Laila pun membuka kedua matanya."Kamu bisa tidur di lantai gak?""Kenapa, Bu?""Rasanya ibu encok banget tidur sempit-sempitan sama kamu.""Kan aku lagi sakit, Bu. Tangan sama kaki aku sakit banget." Laila menolak. Tapi tak berani kurang ajar terhadap Nani."Duh ... kamu kan masih muda, La. Ibu kan sudah tua. Ini kalau ibu gak bisa tidur dengan nyaman. Nanti ibu bisa sakit loh. Kalau darah tinggi ibu kumat, bisa gawat kan." keluh Nani.Laila kesal setengah mati. Sofa di depan tidak bisa digunakan untuk tidur. Ranjang Hesti sudah tak ada. Bahkan bantal, guling serta selimut pun tak ada.Mungkin ada, tapi lemarinya dikunci oleh Hesti. Jadi Laila tak bisa mengambil apapun.
"Hes ..." panggil Dimas tiba-tiba saat melihat Heni yang sedang meminum kopi di sebuah cafe saat sore hari. Sendirian.Hesti langsung melihat ke arah orang yang memanggil dirinya."Ada apa?" tanya Hesti dengan dahi mengerut."Uhm ... apakah kamu sendirian?"Hesti mengangguk pelan."Boleh aku duduk di sini?"Hesti mengangguk pelan saja. Dimas langsung duduk di depan Hesti dan tersenyum. Sudah beberapa hari sejak persidangan, ia tak bertemu dengan Hesti. Anehnya adalah Hesti semakin cantik saja. Hatinya pun bergetar karena melihat Hesti yang cantik.Hesti seolah tak peduli dengan Dimas. Dia menyeruput kopinya sambil bermain ponsel, tanpa peduli dengan Dimas."Kamu ... apa kabar?" "Baik." jawab Hesti singkat tanpa mau bertanya kebalikannya kepada Dimas."Hmm ... Hes. Aku sudah dapat pekerjaan baru."Hesti mengangguk, tapi tetap tak peduli. Ia tetap memperhatikan ponselnya."Hmm ... gajinya sih gak sebesar yang kantor lama. Tapi, lumayanlah untuk hidup.""Ya. Syukuri saja apa yang kamu
Bab 39Hari ini, Dimas sudah berada di sebuah perusahaan swasta untuk interview kerja dan negosiasi gaji.“Pak, apa tidak bisa gajinya dinaikkan? Uhm … saya sudah berpengalaman selama sepuluh tahun dan juga di dalamnya saya juga pernah menjadi supervisor loh, Pak.”“Maaf, Pak Dimas. Hanya segini yang bisa kami tawarkan. Kami sangat menghargai pengalaman Pak Dimas, tapi memang begitu lah. Kami belum bisa untuk membayar gaji yang sangat tinggi seperti Pak Dimas mau.”Dimas agak bingung juga. Ini sudah terlalu banyak perusahaan yang ia datangi untuk interview kerja dan negosiasi gaji. Semua gajinya hanya di UMR Jakarta saja, sekitar lima juta. Hanya perusahaan ini yang berani memberikannya sekitar enam juta rupiah. Satu juta yang berbeda juga lumayan, bukan?“Kan sekarang banyak pengangguran juga, Pak Dimas. Jadi … ““Pak, kalau saya pindah ke bagian lain? Gak usah bagian back office, bagaimana?”“Maksudnya, Pak?”“Kalau menjadi sales motor bagaimana, Pak? Di sini kan jualan motor.”“Ah
"Aku sedang menawari kamu. Bagaimana kalau kita berdua menikah saja?" tanya Arga dengan wajah yang sangat meyakinkan kepada Hesti. Ia sangat ingin mengetahui jawaban dari Hesti dan sangat mengharapkan kalau Hesti akan sangat setuju dengan permintaannya itu."Astaga, Ar ... apa kamu gak punya opsi lain selain aku? Yang masih gadis gitu?" Hesti bingung. "Aku tuh udah janda loh. Malah masih masa perceraian. Gak cocok banget buat dampingin kamu." "Hmm ... aku rasa kamu sngat cocok dengan aku. Kayaknya di antara semua, kamu yang paling mengerti aku. Terus kalau masalah janda tuh ... bagi aku gak ada masalah. Semua orang punya masa lalu koq."Arga mencoba tenang untuk bicara dengan Hesti. Padahal di dalam hatinya sudah seperti genderang ditabuh dengan kencang. "Gila ah. Aku gak ikut-ikutan sama frustasinya kamu. Kamu lebih baik cari wanita lain untuk kamu nikahi. Kita tetap jadi teman saja, Ar." tegas Hesti."Koq gitu? Memangnya aku jelek banget sampai kamu gak mau sama aku?" Protes Arga.
"Sebenarnya bukan mencintainya, karena aku sudah ada perasaan dengan wanita lain." jelas Arga. "Serius? Siapa wanita itu? Aku jadi penasara. Apakah aku kenal?" "Kenapa memberondong banyak pertanyaan kepadaku? Mana yang harus aku jawab duluan?" Hesti langsung terkekeh. Anggap saja dirinya terlalu kepo untuk urusan pribadi dari Arga. "Aku hanya penasaran sih. Apakah aku mengenalnya?" "Kenal." "Hmm ... apakah dia ada di kantor ini?" tanya Hesti lagi yang semakin penasaran saja. "Kepo!" "Haha ... kenapa aku bisa gak sadar ya kalau kamu suka sama wanita." "Sialan! Apa maksudmu, Hes?" "Aku pikir setelah kamu berpisah dengan Erika, kamu gak berhubungan dengan wanita mana pun." "Hmm ... memang tidak secara langsung sih. Anggap saja aku mencintai dalam diam." "Duh ... kasihan sekali sih kamu. Padahal kamu sangat sukses loh. Pasti banyak wanita yang bertekuk lutut kalau kamu mau memberikan hatimu kepada mereka." "Sayangnya, wanita yang aku suka malah suka sama pria lain. Bahkan men
Setelah pulang ke unit apartemen, Laila langsung merapikan semua barang. Ia sangat lelah dan langsung membersihkan tubuhnya yang penuh dengan keringat. "Hmm ... apa aku terima saja Mas Ari ya? Tapi ... bagaimana kalau ketahuan sama Mas Dimas?" tanya Laila kepada dirinya sendiri. Sebenarnya, Laila agak takut kalau berselingkuh dari Dimas. Namun, adrenalin saat ia bersama Dimas berselingkuh di belakang Hesti seperti menggodanya saja. "Apa coba bilang sama Ari untuk backstreet saja karena Mas Dimas galak? Toh mereka semua mengira kalau Mas Dimas itu adalah kakak aku."Krek! "Laila!" panggil Dimas yang baru saja pulang ke unit apartemen. "Ya, mas. Aku lagi mandi!" balas Laila sambil sedikit teriak. "Ok"Tak ada tanggapan lain dari Dimas. Tak lama kemudian, Laila pun keluar dari kamar mandi. "Gimana jualan hari ini, La?""Habis sih.""Dengan strategi sepuluh ribu?" Dimas tersenyum bahagia. "Gak dong! Aku sudah naikkan jadi dua puluh ribu dan ... memang ludes semua. Mereka suka sama
“Ya coba kamu pikirkan saja, La.” “Iya, terima kasih mas atas usulnya.” “Sama-sama. Kan aku mau kamu maju usahanya. Jangan bawa kakak kamu lagi ya. Kasihan banget dari kemarin dagangan sepi karena bawa kakak kamu yang terlihat tak bersahabat itu.” “Iya, Mas. Aku gak akan bawa lagi Mas Dimas ke sini.” “Bagus. Aku masuk dulu ya.” “Iya, Mas.” Setelah mendengarkan semua teknik marketing dari Ari, Laila pun mulai memberanikan diri. Ia melepaskan dua kancing dari kemeja yang ia gunakan. “Udah cukup seksi belum sih ya? Duh … semoga dagangan ini cepat habis.” Tukas Laila. Dan memang hasilnya adalah banyak pria yang saat mampir ke mini market langsung membeli makanan Laila. Bukan sepuluh ribu, Laila sudah menaikkannya menjadi dua puluh ribu dan para lelaki itu pun tanpa penawaran langsung membeli saja semua yang ditawarkan oleh Laila. Laila pun tersenyum. Semua barang dagangannya habis tanpa tersisa. Tak lama kemudian, Ari pun keluar dari mini market. “Wah … kamu seksi bang
"Gak ada hubungannya, Sayang! Aku tetap harus menyelesaikan masalah persidangan dengan Hesti. Kamu tenang saja, aku gak akan balik lagi koq sama Hesti." Dimas berusaha menenangkan istri keduanya itu."Janji ya, Mas!""Iya."Laila langsung memeluk erat tubuh Dimas.*Keesokan harinya."Sayang, aku pergi dulu ya.""Iya, hati-hati, Mas."Dimas pun segera keluar dari unit apartemennya dan pergi menuju ke lobi utama. Ia sudah memesan mobil untuk pergi ke pengadilan.Sementara itu, Laila berbenah untuk segera jualan lagi di depan mini market. *PengadilanDimas melihat Hesti. Wanita yang pernah mengisi hidupnya itu terlihat sangat cantik dan mempesona. Bahkan setelah berpisah dari Dimas, Hesti malah semakin terlihat terawat. Tak terlihat kesedihan atau penderitaan karena diceraikan oleh Dimas.“He-hesti …” sapa Dimas saat duduk di samping Hesti di dalam ruang pengadilan.“Ya.” Jawab Hesti singkat.“Apa kabarmu?”“Sangat baik.”Bahkan Hesti sangat tak berniat untuk bertanya kepada Dimas, pr
"Kenapa, Sayang? Wajahmu seperti sedang kesal." tanya Dimas saat melihat raut wajah dari Laila. "Itu ... mas lihat saja mantan istri mas itu." tunjuk Laila ke arah Hesti yang sedang mengantri di warung nasi uduk di seberang warung Laila."Hesti ....""Ya, dia itu turun dari mobil bagus banget. Mas lihat kan yang mobil merah itu." tambah Laila.Dimas mengangguk pelan."Ish ... kenapa sih nasib dia baik banget. Lepas dari mas malah ketemu pria yang kaya banget. Mobilnya aja bagus banget."Dimas memperhatikan dengan sungguh-sungguh mobil mewah yang ditumpangi oleh Hesti."Itu sih harusnya mobil bosnya Hesti. Memang orangnya kaya banget." balas Dimas."Pacar barunya kali, bukan bosnya. Two in one, Mas." ejek Laila.Wajah Dimas mengeras. Terbersit curiga sekaligus cemburu terhadap keadaan Hesti saat ini. Hanya saja, Dimas tak berani berkomentar macam-macam karena ada Laila di dekatnya."Duh .. ini yang beli kemana sih, Mas? Kita nih udah dari pagi loh, tapi gak ada yang beli terus."Dimas
"Mas rasa tidak perlu untuk hal seperti itu, La. Kita jalani secara normal saja. Terus juga uang segitu banyak. Sayang banget kalau harus diberikan kepada Mbah Dikin." tolak Dimas halus."Tapi, Mas ... kalau mau usaha lancar ya harus dengan cara begini.""Mas tak mau, La. Uang dua ratus lima puluh juta itu satu-satunya milik kita loh. Jika diberikan kepada Mbah Dikin dan ternyata tetap tak laku, lalu kita bagaimana caranya bertahan hidup?" Dimas mencoba rasional."Mas ... percaya deh sama aku. Kita pasti bisa kaya raya kalau dengan bantuan dari Mbah Dikin.”“Maaf, La. Mas … sulit untuk percaya klenik seperti itu. Apa juga jaminannya kalau dengan memberikan uang sebanyak itu, maka kita bisa kaya.”“Tapi Mas, di kampung tuh banyak yang kaya loh dengan bantuan dari Mbah Dikin.” Tegas Laila yang terus mencoba meyakinkan Dimas.“Siapa?”“Itu … Bu RT.”“La, kalau Mbah Dikin itu bisa membuat kaya orang lain, kenapa dia tak bisa membuat dirinya sendiri kaya? Sepertinya Mbah Dikin ini hidup se