"Dengar koq, Sayang. Tapi buat apa ngontrak rumah? Menghabiskan uang saja. Ini kan juga rumah kita." kilah Dimas yang tak mau mengeluarkan uang tambahan untuk mengontrak rumah.
"Ih ... mas gitu banget. Mas gak tahu sih rasanya kalau lagi bersama dengan Mbak Hesti. Aku tuh merasa rendah banget loh. Bukan berasa nyonya rumah" tambah Laila merengek kepada Dimas.
Dimas menarik nafas dalam-dalam,
"Mas buktikan dong cintanya mas kepada Laila. Koq Mas diam saja sih?" Laila menggoyang-goyangkan tubuh Dimas karena pria itu belum menjawab apa yang dia inginkan.
"Memang kamu mau bukti apa sih, Cantiknya Mas?" Dimas masih mencoba bersabar kepada Laila. Terus terang, ia tak bisa berkonsentrasi kalau sudah membahas tentang uang.
"Satu, aku minta pindah rumah. Terserah mau kontrak atau tidak. Kedua, aku mau Mas memberitahu ke Mbak Hesti segera tentang pernikahan kita. Sampai kapan mas mau tutupi?" tegas Laila.
"Iya, kamu sabar dulu. Nanti baru aku ceraikan dia. Please jangan bahas itu dulu! Belum waktunya."
"Nanti itu kapan, Mas?" desak Laila. "Nanti kalau aku hamil gimana? Masa jawaban Mas nanti? Kalau perutku besar, bagaimana? Aku malu lah, Mas. Nanti anakku dikatakan sebagai anak haram dan aku tak rela untuk itu loh."
"Uhm ... kamu sabar saja. Mas pasti akan menceraikan Hesti. Tapi sebelumnya, Mas harus merencanakan dengan matang agar nanti setelah bercerai dari Hesti, mas tidak mengalami kerugian apapun. Kalau mas rugi, kan kamu juga ikutan rugi, Sayang."
"Rugi apa sih?" Laila penasaran.
"Nanti saja, jangan dibahas. Kamu tak perlu memikirkan, biar mas saja yang ambil alih caranya ya."
"Benar ya, Mas! Mas janji untuk segera menceraikan Mbak Hesti? Aku sudah tak betah untuk tinggal bersama dia. Aku mau punya rumah sendiri, Mas. Kalau bisa, dia ditendang saja dari rumah ini. Toh dia sama sekali tak berguna untuk mas, kan?"
Dimas bingung dan kehabisan kata-kata. "Iya, Sayang."
Hanya itu yang bisa Dimas katakan kepada Laila untuk menenangkan istri sirinya itu.
"Jangan bohongin Laila ya, Mas! Bohong itu dosa."
"Iya, Cantiknya Mas. Aku akan pastikan itu. Sekarang, boleh main lagi gak? Sebelum Hesti pulang dari tugas luar kotanya. Katanya nanti malam, dia mau pulang ke rumah. Mas sudah tak tahan nih. Satu ronde lagi yah."
"Tapi ... Mas gak boleh bercinta sama Mbak Hesti ya kalau dia pulang!" rajuk Laila.
"Iya. Kan sudah satu bulan juga, semenjak aku nikah sama kamu. Mas gak pernah sentuh Hesti koq. Cuma kamu yang mas sentuh selama satu bulan ini. Percaya deh sama Mas." bujuk Dimas dimana hasrat bercintanya sudah di ubun-ubun.
Namanya juga wanita yang baru, tentu lebih menggoda dan menyenangkan daripada yang lama. Apalagi ditambah dengan adrenalin takut ketahuan oleh istri pertama. Rasanya begitu menggebu-gebu.
"Bagus. Gitu dong, Mas! Artinya mas itu setia banget sama aku." Laila puas. "Gak boleh sentuh Mbak Hesti lagi! Haram hukumnya buat Mas!" tegas Laila mengingatkan Dimas.
"Hehe ... tentu, Sayang. Kamu yang paling halal buat mas! Gak ada wanita lain yang halal untuk Mas. Hesti sudah menjadi haram untuk disentuh sama Mas. Mas janji." balas Dimas dengan penuh bujuk dan rayu.
"Oh ya, Mas."
"Kenapa lagi?" Padahal Dimas sudah turn on untuk bermain dengan penuh gairah dengan Laila. Malah wanita itu terus bicara.
Waktu adalah uang. Kalau Hesti datang, bisa-bisa Dimas harus menunggu waktu lagi untuk bercinta dengan Laila, setidaknya menunggu Hesti pergi kerja.
Apalagi mulai besok sudah liburan natal dan tahun baru. Kantor Hesti dan Dimas sudah pasti liburan juga.
"Gak apa ..."
"Ya udah, main lagi yuks!"
Laila pun mengangguk dan Dimas dengan sepenuh hati membuat wanita muda itu mendesah di atas tempat tidurnya. Di atas ranjang pernikahan milik Hesti dan Dimas.
Dan ... tanpa disangka oleh Dimas dan Laila yang sedang mengadu desah dan peluh, Hesti berada di depan pintu yang sedikit terbuka. Wanita itu melihat adegan panas antara suaminya dan wanita yang dikatakan sebagai sepupu oleh suaminya itu.
Apakah Hesti menangis?
Tidak ... Dia merekam semua kegiatan yang dilakukan oleh Dimas dan Laila.
Untuk apa?
Sebagai bukti di pengadilan kalau ia mau cerai dengan Dimas yang tukang selingkuh dan tukang bohong itu.
"Sebelum kamu bahagia, aku buat kamu hancur duluan bersama pelakor itu, Mas!" Hesti tersenyum sinis.
Ia pergi dari rumah dan tinggal di hotel. Ia harus mendinginkan kepalanya dan membuat strategi untuk menghancurkan Dimas dan Laila yang telah membohongi dirinya itu.
Hesti pun segera mengirimkan pesan kepada Dimas.
Hesti : Mas, sorry aku tak jadi pulang. Pesawatnya tiba-tiba delay. Besok baru aku pulang ke rumah.
Lama sekali tak dijawab. Mungkin sekitar satu jam kemudian. Mungkin juga Dimas masih sibuk bercinta dengan Laila, si istri baru yang menyebalkan itu. Dua orang pendusta dan tukang selingkuh.
Ting!
Tiba-tiba saja ponsel Hesti berbunyi pada pukul sebelas malam.
Dimas : Iya. Tak apa. Take your time. Kerja itu penting.
Hesti tersenyum kecut melihat balasan dari Dimas. Lalu, ia menarik nafas panjang. Ingin menangis, tapi rasanya air mata itu tiba-tiba kering. Hesti bukan wanita yang cengeng. Ia adalah pejuang. Dan sebagai seorang pejuang, ia akan membalas apa yang dilakukan oleh Dimas kepadanya.
"Aku kuat" Hesti mendoktrin dirinya sendiri. Ia langsung menghubungi teman baiknya sekaligus sang bos untuk berkonsultasi.
"Halo ..."
"Yes, Hesti. Ada apa?"
"Arga, apakah sekarang kamu sedang sibuk?"
"Gak sih. Ini baru sampai rumah."
"Bisa gak kamu ke hotel x?"
"Hotel? Ada apa dengan hotel? Bukannya tadi aku mengantarkan kamu ke rumah? Katanya kamu rindu suami kamu. Koq sekarang bisa ada di hotel sih?" Arga jadi heran sendiri.
"Aku hari ini tinggal di hotel dan aku sangat butuh konsultasi dengan kamu. Please datang! Aku blank!""Tentang apa?""Perceraian?""Hah! Hesti yang bucin terhadap Dimas malah bicara perceraian? Apa tidak salah?" Arga heran bukan main."Tak perlu banyak bicara, Ar. Datang ke hotel X sekarang ya. Aku butuh bantuan kamu.""Ok. Hmm ... berikan waktu tiga puluh menit. Aku mau mandi dulu. Gerah sekali.""Sip. Thanks, Ar. Sorry merepotkan kamu.""No prob! Kamar nomor berapa?""7801""Ok. Aku siap-siap dulu."Hesti pun menutup sambungan telepon dengan Arga.Sesuai dengan janjinya Arga, pengacara tampan, bos dan juga merupakan teman baik dari Hesti itu sampai di hotel dan di kamar Hesti tepat tiga puluh menit kemudian."Ada apa?" tanya Arga yang baru sampai di depan pintu kamar Hesti."Masuk dulu."Arga menanggukkan kepalanya lalu mengikuti Hesti ke dalam kamar."Duduk, Ar."Arga pun duduk di salah satu ranjang di kamar Hesti."Hmm ... aku ingin bercerai dengan Mas Dimas." tukas Hesti dengan
Keesokan harinya, Hesti pulang ke rumah dengan senyuman mengembang penuh sandiwara. Ia harus bermain sandiwara secantik mungkin agar Dimas tidak mengetahui perubahan perilakunya nanti.Ini hari sabtu. Memang seharusnya Dimas tak pergi ke kantor."Assalamualaikum!" sapa Hesti yang baru saja membuka pintu rumahnya."Wa'alaikumsalam!" balas Dimas yang memang sedang bersantai di ruang tamu sambil menonton siaran televisi kesukaannya itu.Hesti dengan senyuman, langsung berjalan ke arah Dimas dan mencium tangan pria itu. Ya, sandiwara menjadi istri berbakti begitu lah."Mas ..." panggil Hesti manja."Ya, ada apa, Hes?" Tatapan Dimas masih terarah ke televisi. Ia bahkan tak terlalu menggubris kedatangan Hesti."Besok kan hari minggu terus ada libur tahun baru, apakah kamu mau jalan-jalan?" tawar Hesti."Jalan kemana? Apa kamu tak lelah? Ini saja kamu baru pulang dari luar kota loh. Aku rasa lebih baik kamu istirahat saja sih di rumah." Dimas heran dengan ajakan Hesti."Aku kangen banget sam
"Soalnya kan aku kerja dan menghasilkan uang bersama dengan Mas Dimas. Jadi kalau ada kamu tuh ... Ada yang masak, membersihkan rumah ... Wah komplit deh. Nah kalau aku pulang kerja, jadi aku tidak terlalu lelah untuk beres-beres seperti dulu sebelum ada kamu. Mau makan tinggal makan dan masih hangat karena kamu membuatnya."Maksudnya adalah Hesti menyindir kalau Laila menjadi ART tanpa bayaran di rumah Hesti. Itu point nya.Laila tersenyum miris dengan ucapan dari Hesti. Pastinya dia agak sakit hati."Iya, Mbak.""Ah ya, besok aku mau honeymoon sama Mas Dimas. Tolong jaga rumah ya! Kalau kamu mu keluar, jangan lupa kunci pintu! Jangan sampai ada kucing garong masuk mencari ikan asin busuk.""Mbak ada-ada saja. Mana ada kucing garong mencari ikan asin busuk?" kekeh Laila dan sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud oleh Hesti. Hanya saja ia pura-pura bodoh."Hehe ... itu cuma istilah, La. Lagian ... di rumah ini gak ada yang berharga sama sekali sih. Jadi santai saja kalau mau meninggalk
"Mas ..." panggil Hesti kepada suaminya itu dengan sangat mesra dan manja. Bahkan membuat Laila jijik sendiri saat mendengarnya. Wanita muda itu kesal setengah mati."Kenapa?" tanya Dimas begitu datar. Ia menjaga perasaan Laila untuk tidak bermesraan dengan Hesti, apalagi di rumah. Ia bisa melihat kalau Laila kesal dengan yang dilakukan oleh Hesti sekarang. Hanya saja, Dimas tak bisa berbuat banyak terhadap Hesti.Bagaimana pun, Hesti masih menjadi istri sah Dimas."Ih ... koq gak panggil sayang sih?" protes Hesti manja sambil memeluk erat leher Dimas saat berada di meja makan bersama dengan Laila.CUP!Hesti mencium pipi Dimas dengan sengaja di hadapan Laila. Dimas aneh sendiri karena Hesti tiba-tiba berubah manja."Kangen deh sama Mas."Hesti terus mencium pipi Dimas bertubi-tubi, seakan ia sangat mencintai Dimas.Ekspres
"Mbak Hesti ... hoooh ... hoooh ..." Nafas Laila tersengal-sengal karena lelah."Kenapa dengan Hesti?""Dia buang kasur dan ranjang. Sekalian seprai, bantal dan guling.""Hah ... terus kenapa kamu yang ngos-ngosan?" Dimas heran."Mbak Hesti suruh aku dan bapak tukang rongsokan untuk angkut kasur dan ranjang. Aku capek, Mas.""Astaga ..." Dimas menggelengkan kepalanya atas ulah Hesti."Marahin gih, Mas masa dia ngerjain aku begini amat." protes Laila. Ia sangat berharap kalau Dimas bisa memarahi Hesti hingga wanita itu kapok untuk mengerjai Laila lagi.Dimas langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya yang kini kosong."Hesti! Kenapa kamu buang ranjang dan kasur kita? Apa maksud kamu?" bentak Dimas kesal.Laila pun menguping di belakang pintu kamar Dimas."Gak ada maksud apa-apa, Mas. Cuma
Dimas langsung sadar dari buaian Hesti."Aduh ... kenapa?"Hesti langsung membuka pintu dan ditemukan kaki dan tangan Laila terjepit di pintu kayunya yang cukup berat itu.Dimas pun dengan sigap melihat keadaan Laila, wajahnya memerah karena tertangkap basah telah bermesraan dengan Hesti."Kenapa kamu bisa ada di belakang pintu sih, La? Aduh ... " Hesti pura-pura panik melihat keadaan Laila."Aw ... sakit banget. Rasanya tangan dan kaki aku ada yang patah, Mas." rintih Laila yang sangat kesakitan. "Sakit banget Mas."Terlihat sih jari-jari Laila memerah dan kakinya, entahlah bagaimana. Hesti tak peduli sama sekali."Kita ke rumah sakit ya, La. Ok kan, Hes?" Dimas meminta persetujuan kepada Hesti karena semua uang yang besar memang dipegang oleh Hesti.Dimas hanya mendapatkan uang jajan saja dari Hesti. Uang jajan yang cukup
"Ya karena dia yang pegang uang. Dia yang pegang gaji aku. Biasanya aku hanya diberikan uang jajan saja oleh Hesti. Kalau kurang baru minta."Memang Laila baru satu bulan menikah dengan Dimas. Makanya dia tak tahu apa-apa tentang keuangan Dimas. Ia percaya saja dengan bujuk rayu ibu mertua dan juga Dimas untuk menikahinya. Sekarang Laila merasa lebih terjebak lagi.Suaminya tak pegang kuasa akan keuangan. Lalu bagaimana Laila bisa foya-foya untuk menikmati gaji dari Dimas?"Apa gak bisa dipindahkan untuk transfer gaji kepada Mas sendiri?""Nanti Hesti curiga.""Ish ... makanya mas tuh harus bilang kepada Mbak Hesti kalau kita sudah menikah.""Nanti ya. Kita fokus dulu sama luka kamu. Semoga saja cepat sembuh.""Ish ... ini tuh gara-gara mas.""Kenapa gara-gara Mas?" Dimas heran."Karena tadi aku mau mende
"Maaf La, Mas gak bisa nolak Hesti. Benar-benar maaf. Nanti kalau Mas pulang dari Malaysia, mas kasih kamu oleh-oleh ya. Mas janji .... mas akan kasih kamu oleh-oleh yang mahal."Laila pun mencebikkan bibirnya. Suaminya malah meninggalkan dirinya. Hanya diiming-imingi oleh oleh-oleh mahal.*Pada malam harinya, Ibu Nani pun datang ke rumah Hesti dan Dimas."Kalian mau kemana sih?" tanya Nani penasaran karena melihat Hesti dan Dimas sudah membawa koper masing-masing."Kami mau ke Malaysia, Bu.""Loh, kamu bilang besok, Dim.""Iya, Bu. Uhm ... Hesti menyuruh untuk tinggal di hotel dulu karena tak ada kasur di kamar kami.""Lah, kalau tidak ada kasur di kamar kalian, terus ibu tidur dimana?" protes Bu Nani."Di kamar Laila, Bu." balas Hesti dengan santai."Kamar Laila? Kasurnya kan kecil .
Kring!Ponsel Dimas sudah berbunyi dan panggilan itu berasal dari Ratna."Kenapa, Rat?""Mas, kapan datang ke sini?""Duh ... mas susah nih. Mas baru keterima kerja. Susah juga kalau mas harus pulang kampung. Bisa-bisa mas dipecat, Rat.""Terus ... gimana dengan Mbak Laila?" suara Ratna mulai meninggi."Hmm ... Laila juga baru mulai usaha warung nasi uduknya. Mana bisa ditinggal. Kami kan sewa tempat. Rugi dong, Rat kalau mesti tutup." Dimas memberikan alasan.Ratna pun mulai jengkel dengan kakaknya."Mas ... yang benar saja. Masa aku sendirian untuk merawat ibu? Aku gak bisa, Mas. Sekolah aku gimana?""Mas juga gak bisa bantu banyak, dek."Terdengar Ratna menarik nafas dalam-dalam."Sudah tiga hari aku gak sekolah, Mas. Bisa-bisa aku dikeluarkan dari sekolah." balas Ratna. "Duh ... gimana ya, Rat? Mas juga bingung.""Andaikan mas masih sama Mbak Hesti. Pasti gak akan begini jadinya. Mbak Hesti lebih baik. Kalian sangat egois dan tak sayang kepada ibu.""Dek ... mas sudah dalam prose
"Maksudnya gimana, Ar?" Marni cukup kaget dengan ucapan dari Arga yang sangat tiba-tiba itu. Apalagi Hesti yang membulatkan kedua matanya setelah mendengar ucapan dari Arga."Aku nikah sama Hesti saja, Ma. Gak usah cari wanita lain." balas Arga dengan sangat santai dan tersenyum ke arah Hesti serta Marni."Arga ... gila kamu ya." tukas Hesti kesal kepada sahabatnya itu."Benar tuh apa yang dikatakan sama Hesti. Dia kan sudah ada suami. Kamu mau jadi pebinor apa?" tanya Marni yang menurutnya, Arga sangat tak masuk akal."Hesti dalam proses cerai, Ma. Jadi ... kalau aku sama Hesti. Kan bisa saja. Gak melanggar hukum koq. Nanti kita berdua nikahnya pas dia udah dalam status cerai."Marni langsung mengarahkan pandangan kepada Hesti. "Hes ... kamu dalam proses cerai? Kenapa kamu cerai, Hes? Bukannya kamu cinta banget sama Dimas?"Marni sungguh terkejut."Hmm ... iya, Tante. Aku sedang dalam proses cerai. Uhmm ... Dimas selingku
"Hes ... menurut kamu, apa ini udah cukup untuk ulang tahun mama?" tanya Arga."Uhm ... kayaknya udah cukup deh. Kan ini brand yang disukai sama mama kamu. Lumayan banyak lah.""Heheh ... takutnya kurang sih.""Kalau kurang, kasih mentahannya aja sama mama kamu, Ar.""Haha ... kamu bisa saja sih. Ya sudah, ayo ke rumah mama dulu. Sebentar lagi ulang tahun mama mau dimulai.""Eh, tapi apa gak salah ya? Harusnya tuh kamu bawa pasangan loh. Masa kamu bawanya aku sih?" Hesti bingung."Gak salah koq. Kamu kan kenal sama mama. Terus masalahnya dimana?" tanya Arga heran. Padahal biasanya juga Hesti bersama dengan Arga untuk menghadiri ulang tahun mamanya Arga."Iya juga sih. Cuma ... mama kamu kan mintanya untuk ketemu dengan calon menantu. Masa kamu bawa teman lagi, teman lagi.""Hadeh ... calon menantunya kan kamu. Ya jadinya kamu yang dibawa lah sama aku.""Sembarangan banget sih kalau ngomong, Ar.""Terserah deh mau percaya apa gak. Yuks brangkat. Nanti telat ke resto."Hesti pun mengang
Sungguh, Dimas sama sekali tak menyangka kalau Laila akan berkata seperti itu kepadanya. Padahal dulu, Laila begitu menurut kepada dirinya.Laila pun segera pergi dari hadapan Dimas. Bahkan makanan yang hendak ia sediakan untuk Dimas saja tak ia pedulikan. Wanita itu segera keluar dari unit apartemen dan membawa serta tote bag-nya."Andaikan aku masih sama Hesti, pasti dia gak akan begini. Pasti dia akan sangat peduli dengan kesehatan ibu. Hadeh ... apa aku salah pilih istri? Kenapa terasa sangat sial sih?" gerutu Dimas setelah Laila pergi meninggalkannya sendirian di dalam unit apartemen.*Laila yang sudah sampai lobi apartemen langsung menghubungi Ari. Dia sangat kesal dengan Dimas dan rasanya ingin pergi begitu saja untuk mencari angin segar."Halo, Mas Ari.""Hei ... cantik. Ada apa ini?""Laila lagi bete banget. Mas Ari ada dimana?""Di mini market dong. Ini kan shift nya mas.""Hmm ... Laila butuh temen nih. Mas A
"Hes ..." panggil Dimas tiba-tiba saat melihat Heni yang sedang meminum kopi di sebuah cafe saat sore hari. Sendirian.Hesti langsung melihat ke arah orang yang memanggil dirinya."Ada apa?" tanya Hesti dengan dahi mengerut."Uhm ... apakah kamu sendirian?"Hesti mengangguk pelan."Boleh aku duduk di sini?"Hesti mengangguk pelan saja. Dimas langsung duduk di depan Hesti dan tersenyum. Sudah beberapa hari sejak persidangan, ia tak bertemu dengan Hesti. Anehnya adalah Hesti semakin cantik saja. Hatinya pun bergetar karena melihat Hesti yang cantik.Hesti seolah tak peduli dengan Dimas. Dia menyeruput kopinya sambil bermain ponsel, tanpa peduli dengan Dimas."Kamu ... apa kabar?" "Baik." jawab Hesti singkat tanpa mau bertanya kebalikannya kepada Dimas."Hmm ... Hes. Aku sudah dapat pekerjaan baru."Hesti mengangguk, tapi tetap tak peduli. Ia tetap memperhatikan ponselnya."Hmm ... gajinya sih gak sebesar yang kantor lama. Tapi, lumayanlah untuk hidup.""Ya. Syukuri saja apa yang kamu
Bab 39Hari ini, Dimas sudah berada di sebuah perusahaan swasta untuk interview kerja dan negosiasi gaji.“Pak, apa tidak bisa gajinya dinaikkan? Uhm … saya sudah berpengalaman selama sepuluh tahun dan juga di dalamnya saya juga pernah menjadi supervisor loh, Pak.”“Maaf, Pak Dimas. Hanya segini yang bisa kami tawarkan. Kami sangat menghargai pengalaman Pak Dimas, tapi memang begitu lah. Kami belum bisa untuk membayar gaji yang sangat tinggi seperti Pak Dimas mau.”Dimas agak bingung juga. Ini sudah terlalu banyak perusahaan yang ia datangi untuk interview kerja dan negosiasi gaji. Semua gajinya hanya di UMR Jakarta saja, sekitar lima juta. Hanya perusahaan ini yang berani memberikannya sekitar enam juta rupiah. Satu juta yang berbeda juga lumayan, bukan?“Kan sekarang banyak pengangguran juga, Pak Dimas. Jadi … ““Pak, kalau saya pindah ke bagian lain? Gak usah bagian back office, bagaimana?”“Maksudnya, Pak?”“Kalau menjadi sales motor bagaimana, Pak? Di sini kan jualan motor.”“Ah
"Aku sedang menawari kamu. Bagaimana kalau kita berdua menikah saja?" tanya Arga dengan wajah yang sangat meyakinkan kepada Hesti. Ia sangat ingin mengetahui jawaban dari Hesti dan sangat mengharapkan kalau Hesti akan sangat setuju dengan permintaannya itu."Astaga, Ar ... apa kamu gak punya opsi lain selain aku? Yang masih gadis gitu?" Hesti bingung. "Aku tuh udah janda loh. Malah masih masa perceraian. Gak cocok banget buat dampingin kamu." "Hmm ... aku rasa kamu sngat cocok dengan aku. Kayaknya di antara semua, kamu yang paling mengerti aku. Terus kalau masalah janda tuh ... bagi aku gak ada masalah. Semua orang punya masa lalu koq."Arga mencoba tenang untuk bicara dengan Hesti. Padahal di dalam hatinya sudah seperti genderang ditabuh dengan kencang. "Gila ah. Aku gak ikut-ikutan sama frustasinya kamu. Kamu lebih baik cari wanita lain untuk kamu nikahi. Kita tetap jadi teman saja, Ar." tegas Hesti."Koq gitu? Memangnya aku jelek banget sampai kamu gak mau sama aku?" Protes Arga.
"Sebenarnya bukan mencintainya, karena aku sudah ada perasaan dengan wanita lain." jelas Arga. "Serius? Siapa wanita itu? Aku jadi penasara. Apakah aku kenal?" "Kenapa memberondong banyak pertanyaan kepadaku? Mana yang harus aku jawab duluan?" Hesti langsung terkekeh. Anggap saja dirinya terlalu kepo untuk urusan pribadi dari Arga. "Aku hanya penasaran sih. Apakah aku mengenalnya?" "Kenal." "Hmm ... apakah dia ada di kantor ini?" tanya Hesti lagi yang semakin penasaran saja. "Kepo!" "Haha ... kenapa aku bisa gak sadar ya kalau kamu suka sama wanita." "Sialan! Apa maksudmu, Hes?" "Aku pikir setelah kamu berpisah dengan Erika, kamu gak berhubungan dengan wanita mana pun." "Hmm ... memang tidak secara langsung sih. Anggap saja aku mencintai dalam diam." "Duh ... kasihan sekali sih kamu. Padahal kamu sangat sukses loh. Pasti banyak wanita yang bertekuk lutut kalau kamu mau memberikan hatimu kepada mereka." "Sayangnya, wanita yang aku suka malah suka sama pria lain. Bahkan men
Setelah pulang ke unit apartemen, Laila langsung merapikan semua barang. Ia sangat lelah dan langsung membersihkan tubuhnya yang penuh dengan keringat. "Hmm ... apa aku terima saja Mas Ari ya? Tapi ... bagaimana kalau ketahuan sama Mas Dimas?" tanya Laila kepada dirinya sendiri. Sebenarnya, Laila agak takut kalau berselingkuh dari Dimas. Namun, adrenalin saat ia bersama Dimas berselingkuh di belakang Hesti seperti menggodanya saja. "Apa coba bilang sama Ari untuk backstreet saja karena Mas Dimas galak? Toh mereka semua mengira kalau Mas Dimas itu adalah kakak aku."Krek! "Laila!" panggil Dimas yang baru saja pulang ke unit apartemen. "Ya, mas. Aku lagi mandi!" balas Laila sambil sedikit teriak. "Ok"Tak ada tanggapan lain dari Dimas. Tak lama kemudian, Laila pun keluar dari kamar mandi. "Gimana jualan hari ini, La?""Habis sih.""Dengan strategi sepuluh ribu?" Dimas tersenyum bahagia. "Gak dong! Aku sudah naikkan jadi dua puluh ribu dan ... memang ludes semua. Mereka suka sama