Lexus ES 250 Ezra memasuki halaman besar kediaman orang tua Jovita di bilangan Pondok Indah, salah satu perumahan elit di Jakarta. Rumah bergaya modern mediterranean yang menempati lahan seluas hampir 500 meter persegi itu terlihat lengang. Jovita menduga ayahnya pasti belum kembali dari aktivitasnya sore itu. Kemungkinan di rumah hanya ada ibunya.
"Hai, Mama," sapa Jovita begitu dilihatnya ibunya yang sedang merangkai bunga di ruang keluarga. Ia mencium tangan ibunya.
"Oh ... hai, Jov," sahut Yulia, ibu Jovita. Ia terkejut melihat anaknya sudah tiba sebelum magrib.
"Hai, Ma. Selamat ulang tahun perkawinan," ucap Ezra sambil memberikan buket bunga mawar merah. Ia pun menyalami dan mencium tangan ibu mertuanya.
"Ah ... terima kasih, Ezra. Bunganya cantik sekali." Yulia menghirup wangi bunga favoritnya. "Tumben kalian sudah datang jam segini. Mana Vanya?" Ia menanyakan kehadiran cucunya, anak perempuan Jovita.
"Saya mohon maaf sebesar-besarnya, Ma. Kami tidak bisa ikut makan malam, ada undangan mendadak dengan klien besar. Saya menyempatkan diri pulang cepat dan langsung menjemput Jovita, belum sempat mengambil Vanya di rumah." Ezra mengungkapkan penyesalannya.
Yulia berusaha tersenyum, meskipun dalam hati menahan rasa kecewa. Ia tidak mau dianggap sebagai ibu mertua yang tidak peduli dengan kesibukan mantunya. "Tidak apa-apa, Ez. Kalian sudah menyempatkan diri datang sekarang saja, Mama sudah senang."
"Papa belum pulang?" tanya Jovita. Ia duduk berselonjor di sofa.
"Sekitar sepuluh menit lalu telepon, katanya sudah dalam perjalanan pulang," sahut Yulia. Ia lalu memanggil asisten rumah tangganya untuk membuatkan minuman bagi anak dan mantunya. "Terima kasih cheese cake-nya. Papamu pasti suka." Ia kemudian meminta asisten rumah tangga meletakkan kue itu di meja makan.
"Ezra yang belikan tadi, Ma," ucap Jovita.
Yulia tersenyum. Menantunya ini sangat tahu apa yang menjadi kesukaan mertuanya.
"Kita tunggu Papa saja ya, Honey," usul Ezra. Ia duduk di samping Jovita, meletakkan kaki istrinya di atas pangkuan dan memijatnya.
Jovita mengangguk, menyetujui saran Ezra sekaligus menikmati pijatan suaminya. Dua jam berdiri dengan stiletto1 membuat kakinya nyeri.
"Ada mobil Davina di depan. Dia sudah pulang?" Jovita menanyakan tentang Davina, adik perempuannya.
"Sudah. Sejak pulang tadi siang, tidak keluar dari kamar," sahut ibunya.
"Bertengkar lagi dengan Damian?" Jovita memandangi ibunya. Sudah setahun ini rumah tangga Davina dan Damian dipenuhi dengan pertengkaran. Adiknya itu bahkan memutuskan untuk tinggal di rumah orang tuanya sejak sebulan lalu, berpisah dari suaminya.
"Entahlah. Adikmu kan tidak pernah mau bercerita tentang hal semacam itu. Mama juga tidak berani ikut campur," jawab Yulia. "Pernah sekali bertanya, dia langsung jawab 'jangan samakan aku sama Kak Jov yang pernikahannya sempurna'. Ya sudah, semenjak itu Mama tidak pernah mau tanya-tanya lagi."
"Mungkin sedang sensitif saja, Ma," bujuk Ezra. "Bukan salah Mama."
Yulia tersenyum. Betapa ia sangat bahagia memiliki Ezra sebagai menantunya. Dalam hati berandai-andai bila Damian juga memiliki sifat seperti Ezra, pasti Davina pun akan bahagia bersamanya.
Langkah kaki terdengar memasuki area ruang tamu.
"Itu pasti Papa," terka Yulia yang sudah hafal tekanan langkah suaminya.
Tidak lama seorang pria berusia 65 dengan senyum lebar muncul di ruang keluarga. Irwan Hengkara, pemilik ANARA Grup, perusahaan yang bergerak di bidang property developer.
"Jovita dan Ezra sudah datang, ya?" tanyanya memastikan. Ia melihat Lexus milik Ezra terparkir di halaman.
"Sehat, Pa?" Ezra bangkit dari duduknya dan mencium tangan bapak mertuanya.
Irwan menepuk pundak menantu kesayangannya. "Sehat. Mana Vanya?" Ia celingukan mencari cucu perempuannya.
"Kami belum sempat menjemputnya, Pa. Mohon maaf sekali kami tidak bisa ikut makan malam, ada undangan mendadak dari klien besar malam ini." Ezra mengulang permintaan maaf kepada mertuanya.
Irwan tersenyum, walaupun hatinya masygul. Ia berusaha memahami kesibukan menantunya yang merupakan pengacara muda dengan karir meroket. Teringat dahulu ia pun sering kali meninggalkan acara penting keluarga demi kelancaran bisnisnya.
"Makan malam dengan kami bisa diulang lain waktu, tapi makan malam dengan klien besar itu peluang yang tidak boleh dilewatkan," ujar Irwan, menghibur istri dan dirinya sendiri.
"Terima kasih atas pengertiannya, Pa ... Ma," ucap Ezra. "Saya sudah berusaha menggeser jadwal, tapi beliau sangat padat jadwalnya."
Irwan dan Yulia tersenyum, menganggukkan kepala, memberi tanda bahwa mereka dapat memahami situasi Ezra.
"Klien untuk kasus individu atau korporasi?" tanya Jovita.
"Individu," sahut Ezra.
"Tentang?" Jovita kembali mengajukan pertanyaan.
"Penipuan dan pencemaran nama baik."
"Klien besar berarti orang ternama, dong?" tanya Jovita lagi.
Ezra mengangguk sambil memandangi istrinya berusaha menduga maksud di balik semua pertanyaan tersebut.
"Kalau begitu pasti pembicaraannya sangat rahasia. Aku sebaiknya tidak usah ikut, khawatir membuat dia merasa tidak nyaman dengan kehadiranku. Lagi pula Damian tidak mungkin datang makan malam sekarang karena masih bertengkar. Kasihan Mama Papa hanya ditemani Davina merayakan ulang tahu perkawinannya. Aku akan minta Joko mengantar Vanya ke sini." Jovita dengan cepat mengambil kesempatan. Ia sengaja melakukannya di hadapan kedua orang tuanya, tahu bahwa Ezra tidak mungkin berkelit dalam situasi ini.
Yulia memandangi Ezra dengan wajah berbinar, seolah berharap mantunya itu mengabulkan permintaan Jovita.
Ezra memaki dalam hati. Jovita selalu jeli melihat peluang untuk memaksakan keinginan. Ia merasa terjepit. Dengan berat hati akhirnya mengangguk.
"Aaaah ... thank you, Bear." Jovita menjerit kegirangan. Ia menciumi pipi suaminya, lalu meraih ponsel menelepon Joko - sopir pribadi mereka - untuk mengantarkan Vanya ke rumah kakek neneknya.
"Kalau begitu, aku pamit dulu sekarang, khawatir terlambat menemui klien." Ezra segera pergi sebelum emosinya terbaca oleh Irwan dan Yulia.
"Sampai nanti, Bear." Jovita tersenyum sumringah sembari melambaikan tangan saat Ezra berjalan ke luar. Jovita terlalu girang, tak dilihatnya wajah Ezra yang mulai berang.
***
Jovita sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca buku Resonate: Present Visual Stories that Transform Audiences karangan Nancy Duarte - seorang penulis dan pembicara publik ternama dari Amerika - saat ponselnya yang tergeletak di samping nakas bergetar.
Lengkung tipis terbentuk di bibirnya saat melihat pesan masuk yang dikirim oleh Hilda, sebuah foto yang diambil dari belakang saat ia dan Ezra berjalan berangkulan bersama. Ia segera membalas pesan, mengucapkan terima kasih karena Hilda berinisiatif mengambil momen tersebut dan mengirimkan padanya. Yuniornya ini memang penuh perhatian.
Disuntingnya foto tadi ke dalam warna sepia2. Sebuah kutipan disematkan di bawah foto "For me, our love story is the best one in this world" sebelum diunggah ke akun sosial medianya. Dalam sekejap puluhan respons dari para pengikutnya bermunculan. Komentar berisi kekaguman atas keromantisan mereka mengisi kolom yang tersedia. Jovita mengembuskan napas, tersenyum bahagia. Perkawinannya memang sempurna.
Pintu kamar terbuka, Ezra masuk dengan dasi yang sudah bergeser dari posisi seharusnya, lengan panjang kemeja tergulung hinga ke siku. Meski kusut, namun pria itu masih terlihat memesona di mata Jovita.
"Bagaimana makan malamnya, Bear?" tanya Jovita. Ia beringsut dari tempat tidur, menghampiri suaminya, hendak membantu membuka dasi.
"Bagaimana menurutmu?" Ezra balik bertanya dengan nada ketus.
Jovita memandangi wajah Ezra. Rahang pria itu mengeras. Ia yakin penolakannya untuk ikut menemani makan malam bersama klien pasti menjadi alasan kekesalan suaminya.
"Maafkan aku tadi sore. Aku ..."
Plaaaak! Tamparan keras mendarat di pipi Jovita sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Tamparan yang membuatnya jatuh tersungkur.
Jovita terperanjat. Baru kali ini Ezra bersikap kasar. Baru kali ini ada orang yang menyakiti fisiknya, dan orang itu adalah pria yang teramat dicintainya. Ada rasa perih di dada yang melebihi rasa panas di pipinya, ternyata kehidupan perkawinannya tidak sesempurna yang dibayangkan.
-----
1. Stiletto : hak sepatu tinggi berbentuk lancip dan panjang.
2. Sepia : warna kecokelatan, campuran dari merah, hijau, dan biru, sering disebut juga sebagai reddish-brown color.Mentari pagi menembus vitrage putih yang terbentang di jendela kamar rumah bertingkat dua bergaya modern minimalis di kawasan elite Patal Senayan, Jakarta. Pancaran sinar matahari membuat suhu di kamar menjadi lebih hangat mengimbangi semburan pendingin ruangan. Kehangatan yang mampu menggugah semangat Jovita untuk menyambut hari. Ia berdiri di depan meja riasnya, mematut pakaian, mengafirmasi diri, bersiap untuk menjalani rangkaian aktivitasnya hari ini. Berbalut pencil dress berlengan panjang, tubuh semampai Jovita yang memiliki tinggi 173 cm, terlihat memesona. Busana berwarna hitam yang menutupi hingga bawah lututnya memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sebuah ikat pinggang kecil yang dililitkan menonjolkan lekuk tubuh bak gitar Spanyol. Rambut sedada berwarna nutty mocha - perpaduan cokelat dan sedikit nuansa oranye kemerahan - dengan ujung yang bergelombang natural, menegaskan professional-looks pada tampilannya. Ezra y
Jovita sedang mengompres matanya saat Ezra masuk kamar sepulangnya dari bekerja. Ia melirik jam di dinding, pukul 10.30 malam. Biasanya Ezra baru pulang jam 11 malam. Tumpukan kasus yang harus ditangani dan kemacetan ibu kota menjadi penyebabnya. "Kenapa matamu?" tanya Ezra lembut sambil menurunkan pengompres di mata istrinya. "Tadi pagi," jawab Jovita singkat. Ia sendiri tidak ingin menyinggung hal semacam itu lagi, mengingatkan pada cela dalam pernikahannya. Ezra mengamati dan menciumi mata istrinya. "I'm so sorry." "It's okay. Jangan diulangi, please," pinta Jovita lirih. Ezra tersenyum. "Aku janji, tapi kamu juga jangan menantangku, okay?" Jovita mengangguk, walau dalam hati juga bertekad tidak akan tinggal diam apabila disakiti lagi. "Apakah kamu ke dokter?" tanya Ezra sambil membuka kemejanya. "Tidak. Aku tidak mau urusan menjadi panjang," sahut Jovita. Ezra tersenyum le
Jovita berkaca di depan cermin dengan perasaan yang tidak dapat diidentifikasikannya. Ia belum menemukan kosa kata yang sesuai untuk menggambarkan apa yang dirasakan saat ini. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Seperti ada yang mengimpit dada sekaligus membuatnya seolah tak dapat berpijak. Satu hal yang bisa ia identifikasikan dengan jelas hanyalah bahwa suaminya berkhianat, melanggar sumpah suci perkawinan mereka, menghancurkan kepercayaan yang telah ia titipkan selama ini. Pagi ini, ia sengaja bersiap pergi lebih cepat dari biasanya, menghindari konflik dengan Ezra yang dapat berujung dengan kekerasan fisik. Disiapkannya semua keperluan Ezra hari itu. Dasi yang senada dengan kemeja, celana panjang, pakaian dalam, hingga kaus kaki. Ia mengamati isi lemari suaminya, mencari apakah ada hal baru yang berbeda dari seleranya selama ini. Tidak ada sesuatu yang berbeda. Ezra terlihat menggeliat, terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah, melirik ke arah
Jovita baru saja menyelesaikan kelas pelatihan Public Speaking untuk para pejabat eselon1 III salah satu Kementerian di Balai Kartini, bersama dengan Monica dan dua yuniornya yang setia mendampingi. Seperti biasa, usai kelas beberapa peserta meminta foto bersama dan bertukar kartu nama dengan Jovita, baik laki-laki maupun perempuan. "Heran ... perasaan yang bekas News Anchor tuh aku deh, tapi selalu orang maunya foto sama si Jovita ini, padahal muka dia bisa dihitung jari tampil di televisi," ledek Monica setelah orang-orang yang mengerumuni Jovita membubarkan diri. Jovita tertawa kecil mendengar komentar Monica, temannya yang selalu bicara blakblakan dan senang berguyon. "Seolah ketenaran Ibu tidak berarti, ya?" Maya tambah menggoda Monica. "Iya. Sia-sia gitu dulu muka saya ada di televisi tiap hari," sahut Monica dengan mimik yang dibuat bersedih. "Mungkin mereka dulu sudah pernah foto sama kamu, jadi tidak minta
Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu. Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal. Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah. "Baik, Pak. Besok
Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu. "Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi. "Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti. Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."
Jovita melangkahkan kaki dari garbarata¹ ke dalam kabin pesawat berbadan besar Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant berpakaian biru tua dan ungu yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan headphone dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam 20 menit penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman. Senyum masam tercipta di bibir Jovita, teringat pertemuannya dengan Ezra pertama kali di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai Public Relations Manager usai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Sementara Ezra baru saja menyelesaikan kuliah paska sarjananya di Leiden University. Tidak sengaja bert
Jovita menghempaskan badan ke tempat tidur. Penat di tubuhnya baru terasa setelah padatnya aktivitas Jumat kemarin yang dilanjutkan dengan penerbangan Sabtu dini hari ini. Ditambah lagi kecamuk perasaan tidak menentu yang sering hinggap sejak perilaku kasar dan perselingkuhan Ezra membuat tubuhnya seolah tidak pernah dalam kondisi prima. Jovita meraih ponselnya, melihat penunjuk waktu. Pukul 3 sore di Melbourne, berarti pukul 12 siang di Jakarta. Ia menghubungi Ezra. Satu kali, tidak diangkat. Dicobanya lagi hingga tiga kali, tidak juga diangkat. Rasa curiga dan gelisah dengan cepat berkelindan. Segera diteleponnya Ima, pengasuh Vanya untuk mengetahui keberadaan suaminya di akhir pekan itu. "Halo, Ima," sapa Jovita begitu ponselnya tersambung. "Halo, Bu," jawab Ima. "Vanya di mana? Sedang apa?" "Saya dan Vanya sedang di rumah Oma. Itu Vanya sedang berenang bersama Opa," sahut Ima menjelaskan mereka sedang berada di rumah oran
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me