"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?"
"Seminggu yang lalu," jawab Jovita.
Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk.
"Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm.
"Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata.
Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
Tepuk tangan meriah menggema di ballroom hotel The Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, bersamaan dengan tampilnya seorang wanita muda bertubuh semampai, berkulit kuning langsat, dan berwajah menawan di podium. Setelah moderator acara mempersilakannya, perempuan itu mulai membawakan materi bertajuk "Effective Communication in Digital Era" bagi jajaran pimpinan puncak dari berbagai perusahaan di Indonesia. Tutur kata sistematis, materi bernas¹, bahasa tubuh penuh keyakinan, sisipan humor cerdas, serta penampilan memesona dari perempuan itu menjadi sebuah harmoni yang berhasil menghipnotis para hadirin. Jovita Hengkara, adalah sosok pembicara publik yang selalu tampil tanpa cela di usianya yang masih muda. Dua orang panitia penyelenggara yang duduk di dekat pintu masuk ballrom berbisik pada Hilda dan Maya, yunior Jovita yang selalu mengikuti tiap kali perempuan itu tampil guna menyerap semua pembelajaran. "Melihat Bu Jovita itu antar
Lexus ES 250 Ezra memasuki halaman besar kediaman orang tua Jovita di bilangan Pondok Indah, salah satu perumahan elit di Jakarta. Rumah bergaya modern mediterranean yang menempati lahan seluas hampir 500 meter persegi itu terlihat lengang. Jovita menduga ayahnya pasti belum kembali dari aktivitasnya sore itu. Kemungkinan di rumah hanya ada ibunya. "Hai, Mama," sapa Jovita begitu dilihatnya ibunya yang sedang merangkai bunga di ruang keluarga. Ia mencium tangan ibunya. "Oh ... hai, Jov," sahut Yulia, ibu Jovita. Ia terkejut melihat anaknya sudah tiba sebelum magrib. "Hai, Ma. Selamat ulang tahun perkawinan," ucap Ezra sambil memberikan buket bunga mawar merah. Ia pun menyalami dan mencium tangan ibu mertuanya. "Ah ... terima kasih, Ezra. Bunganya cantik sekali." Yulia menghirup wangi bunga favoritnya. "Tumben kalian sudah datang jam segini. Mana Vanya?" Ia menanyakan kehadiran cucunya, anak perempuan Jovita. "Saya mohon maaf sebesar-b
Mentari pagi menembus vitrage putih yang terbentang di jendela kamar rumah bertingkat dua bergaya modern minimalis di kawasan elite Patal Senayan, Jakarta. Pancaran sinar matahari membuat suhu di kamar menjadi lebih hangat mengimbangi semburan pendingin ruangan. Kehangatan yang mampu menggugah semangat Jovita untuk menyambut hari. Ia berdiri di depan meja riasnya, mematut pakaian, mengafirmasi diri, bersiap untuk menjalani rangkaian aktivitasnya hari ini. Berbalut pencil dress berlengan panjang, tubuh semampai Jovita yang memiliki tinggi 173 cm, terlihat memesona. Busana berwarna hitam yang menutupi hingga bawah lututnya memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sebuah ikat pinggang kecil yang dililitkan menonjolkan lekuk tubuh bak gitar Spanyol. Rambut sedada berwarna nutty mocha - perpaduan cokelat dan sedikit nuansa oranye kemerahan - dengan ujung yang bergelombang natural, menegaskan professional-looks pada tampilannya. Ezra y
Jovita sedang mengompres matanya saat Ezra masuk kamar sepulangnya dari bekerja. Ia melirik jam di dinding, pukul 10.30 malam. Biasanya Ezra baru pulang jam 11 malam. Tumpukan kasus yang harus ditangani dan kemacetan ibu kota menjadi penyebabnya. "Kenapa matamu?" tanya Ezra lembut sambil menurunkan pengompres di mata istrinya. "Tadi pagi," jawab Jovita singkat. Ia sendiri tidak ingin menyinggung hal semacam itu lagi, mengingatkan pada cela dalam pernikahannya. Ezra mengamati dan menciumi mata istrinya. "I'm so sorry." "It's okay. Jangan diulangi, please," pinta Jovita lirih. Ezra tersenyum. "Aku janji, tapi kamu juga jangan menantangku, okay?" Jovita mengangguk, walau dalam hati juga bertekad tidak akan tinggal diam apabila disakiti lagi. "Apakah kamu ke dokter?" tanya Ezra sambil membuka kemejanya. "Tidak. Aku tidak mau urusan menjadi panjang," sahut Jovita. Ezra tersenyum le
Jovita berkaca di depan cermin dengan perasaan yang tidak dapat diidentifikasikannya. Ia belum menemukan kosa kata yang sesuai untuk menggambarkan apa yang dirasakan saat ini. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Seperti ada yang mengimpit dada sekaligus membuatnya seolah tak dapat berpijak. Satu hal yang bisa ia identifikasikan dengan jelas hanyalah bahwa suaminya berkhianat, melanggar sumpah suci perkawinan mereka, menghancurkan kepercayaan yang telah ia titipkan selama ini. Pagi ini, ia sengaja bersiap pergi lebih cepat dari biasanya, menghindari konflik dengan Ezra yang dapat berujung dengan kekerasan fisik. Disiapkannya semua keperluan Ezra hari itu. Dasi yang senada dengan kemeja, celana panjang, pakaian dalam, hingga kaus kaki. Ia mengamati isi lemari suaminya, mencari apakah ada hal baru yang berbeda dari seleranya selama ini. Tidak ada sesuatu yang berbeda. Ezra terlihat menggeliat, terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah, melirik ke arah
Jovita baru saja menyelesaikan kelas pelatihan Public Speaking untuk para pejabat eselon1 III salah satu Kementerian di Balai Kartini, bersama dengan Monica dan dua yuniornya yang setia mendampingi. Seperti biasa, usai kelas beberapa peserta meminta foto bersama dan bertukar kartu nama dengan Jovita, baik laki-laki maupun perempuan. "Heran ... perasaan yang bekas News Anchor tuh aku deh, tapi selalu orang maunya foto sama si Jovita ini, padahal muka dia bisa dihitung jari tampil di televisi," ledek Monica setelah orang-orang yang mengerumuni Jovita membubarkan diri. Jovita tertawa kecil mendengar komentar Monica, temannya yang selalu bicara blakblakan dan senang berguyon. "Seolah ketenaran Ibu tidak berarti, ya?" Maya tambah menggoda Monica. "Iya. Sia-sia gitu dulu muka saya ada di televisi tiap hari," sahut Monica dengan mimik yang dibuat bersedih. "Mungkin mereka dulu sudah pernah foto sama kamu, jadi tidak minta
Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu. Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal. Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah. "Baik, Pak. Besok
Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu. "Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi. "Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti. Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me