Home / Romansa / Merajut Asa / 1. Kesempurnaan

Share

Merajut Asa
Merajut Asa
Author: Kaia Karnika

1. Kesempurnaan

Author: Kaia Karnika
last update Last Updated: 2020-10-12 14:00:34

Tepuk tangan meriah menggema di ballroom hotel The Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, bersamaan dengan tampilnya seorang wanita muda bertubuh semampai, berkulit kuning langsat, dan berwajah menawan di podium. Setelah moderator acara mempersilakannya, perempuan itu mulai membawakan materi bertajuk "Effective Communication in Digital Era" bagi jajaran pimpinan puncak dari berbagai perusahaan di Indonesia.

Tutur kata sistematis, materi bernas¹, bahasa tubuh penuh keyakinan, sisipan humor cerdas, serta penampilan memesona dari perempuan itu menjadi sebuah harmoni yang berhasil menghipnotis para hadirin. Jovita Hengkara, adalah sosok pembicara publik yang selalu tampil tanpa cela di usianya yang masih muda.

Dua orang panitia penyelenggara yang duduk di dekat pintu masuk ballrom berbisik pada Hilda dan Maya, yunior Jovita yang selalu mengikuti tiap kali perempuan itu tampil guna menyerap semua pembelajaran.

"Melihat Bu Jovita itu antara kagum dan iri, ya," bisik Wati, salah satu panitia bertumbuh gempal.

"Iya, pintar, cantik, ramah, dan jago banget bicara di depan orang banyak," imbuh Sri, panitia lain yang berkulit sawo matang.

"Bu Jovita memang luar biasa, Bu. Salah satu aset perusahaan yang paling berharga," jawab Hilda. Ia sudah berulang kali mendengar pujian semacam itu dari mulut orang-orang yang terpukau dengan penampilan Jovita. Sanjungan yang semakin membuat nyali Hilda dan Maya ciut untuk dapat mengikuti sepak terjang Jovita.

"Dia sudah menikah?" tanya Wati penasaran.

"Sudah, Bu. Sudah punya satu putri umurnya sekitar 4 tahun," sahut Maya.

"Berapa umurnya Bu Jovita?" Wati kian dilanda rasa ingin tahu.

"Kalau tidak salah tahun ini 33 tahun." Maya berusaha mengingat tahun kelahiran seniornya itu.

"Ya ampun, kok tidak kelihatan, masih seperti kepala 2." Wati semakin iri.

"Suaminya pasti ganteng banget," terka Sri. "Bu Jovita cakep begitu, pasti dapatnya juga pria tampan."

"Cakep banget, Bu. Anak pejabat terkenal, Satria Dharmawan," sahut Hilda menyebut nama salah satu pejabat penting di negara ini yang cukup terkenal karena menduduki jabatan strategis di pemerintahan.

"Wah ... ya pasti ganteng. Pak Satria sudah tua saja masih terlihat tampan, istrinya juga cantik banget kan, ya?" timpal Sri.

Hilda dan Maya mengangguk bersamaan.

"Bu Jovita juga dari keluarga berada seperti suaminya?" Wati kembali menggali kehidupan perempuan yang sedang beraksi di panggung.

Maya mengangguk, lalu menjelaskan, "Bapaknya Bu Jovita juga pengusaha. Irwan Hengkara, salah satu pengusaha pribumi yang sukses."

"Kadang kalau lihat orang macam Bu Jovita, jadi merasa Tuhan tidak adil. Semua dikasih ke dia, aku cuma disisain sedikit," keluh Wati bergurau yang disambut tawa kecil dari tiga orang lainnya.

Setelah satu jam memaparkan materi dan dilanjutkan dengan satu jam tanya jawab yang penuh dengan antusiasme dari hadirin, akhirnya sesi Jovita berakhir. Tepuk tangan meriah kembali menggema memenuhi penjuru ballroom berbarengan dengan turunnya Jovita dari panggung. Beberapa peserta seminar menghampiri, sekadar bertukar kartu nama atau meminta foto bersama.

Hilda dan Maya sudah sangat terbiasa melihat pemandangan itu. Dibanding pembicara lain dari Stariffic Public Speaking School - lembaga pelatihan di bidang komunikasi yang didirikan oleh Jovita dan teman-temannya - perempuan itu adalah bintang yang paling bersinar. Bukan hanya karena kemampuan public speaking-nya yang mumpuni, tetapi juga penampilannya yang menawan dan sikapnya yang santun. Permintaan terhadap dirinya untuk menjadi pembicara selalu melampaui rekan-rekannya yang notabene adalah mantan penyiar, presenter, dan public figure terkenal.

Seorang pria berusia kepala empat mendekati Jovita yang masih dikelilingi banyak orang. Ia memperkenalkan diri seraya menyodorkan kartu namanya. "Donny Sadana," ucapnya dengan senyum yang menawan.

Jovita selintas melirik jabatan Donny di kartu nama, Direktur Pengembangan Bisnis salah satu perusahaan multinasional.

"Saya juga dulu nongkrongnya di Balsem, loh," ujar Donny. Balsem adalah singkatan dari Balik Semak, sebuah kantin yang terletak dekat Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Indonesia, kampus di mana Jovita meraih gelar Sarjana Komunikasi-nya. Latar belakang pendidikan Jovita yang sempat dibacakan oleh moderator diingat betul oleh Donny karena dijadikan amunisi untuk berbasa-basi.

Jovita tersenyum. Ia sudah sangat mengenal langkah para pria seperti Donny yang memanfaatkan tahta untuk memikat wanita. Namun, sebagai representasi lembaga dan demi menjaga reputasinya, ia tetap berusaha menyikapi dengan santun. "Oh ... Bapak dari FISIP juga?" tanyanya.

Donny sumringah, merasa strateginya mengakrabkan diri berhasil. "Bukan, hanya sering main ke situ saja."

"Kalau zaman saya namanya berubah jadi Takor, Pak. Taman Korea, kemudian sekarang berubah lagi jadi Next Level of Balsem," sahut Jovita berusaha bersikap ramah.

"Wah ... sudah berubah banyak ya. Jadi berasa tua deh saya," ucap Donny.

Jovita hafal betul makna kalimat terakhir itu. "Tidak kelihatan tua, kok, Pak," ujarnya sengaja memakan umpan Donny.

"Ah ... bisa saja, Bu Jovita. Boleh saya minta kartu nama?"

"Tentu, Pak." Jovita menyodorkan kartu namanya.

"Master-nya ambil di mana?" tanya Donny sambil mengamati apakah ada nomor ponsel Jovita tertera di kartu nama tersebut. Senyum terkembang saat menemukan informasi yang diinginkannya. "Tadi saya tidak menyimak karena sambil mengurusi kerjaan via ponsel." Penjelasan tambahan yang merupakan kebohongan karena sebenarnya Donny ingat betul informasi tentang kampus di mana Jovita menempuh pendidikan paska sarjananya.

"UniMelb, University of Melbourne, Pak. Saya ambil Global Media Communication," jawab Jovita lengkap.

"Di Parkville, ya? Saya dulu ambil master-nya di Monash University, kampus Caulfield." Donny kembali mengedepankan kesamaan mereka. "Kalau Monash yang di Parkville untuk jurusan farmasi kalau tidak salah."

"Ya ampun, dunia sempit ya, Pak." Jovita tertawa dalam hati. Pria hidung belang macam ini sangat senang jika dianggap memiliki banyak kesamaan.

"Penampilan Anda tadi sangat luar biasa," sanjung Donny, pandangannya tidak lepas menatap wajah oval dan sepasang mata almond Jovita. "Suatu saat bersedia mengisi di kantor saya, ya."

"Dengan senang hati, Pak Donny." Jovita mengulas senyum di heart-shaped lips-nya, bibir dengan lekuk yang sempurna. Senyum yang membuat dada Donny dipenuhi desiran.

"Boleh kita foto bersama?" Donny menyerahkan ponselnya kepada panitia yang sejak tadi membantu mengambil foto para peserta dan Jovita.

Jovita mengangguk, memenuhi keinginan Donny.

"Terima kasih banyak, Bu Jovita," ucap Donny sambil menyodorkan tangannya hendak menyalami Jovita.

Jovita menyambut uluran tangan itu. Saat berjabat tangan, ia merasakan ujung jari Donny menggelitik telapak tangannya, memberikan sebuah isyarat. Isyarat yang sering sekali didapatnya saat pria menunjukkan ketertarikan dan memiliki niat khusus padanya.

"Sama-sama. Terima kasih juga, Pak Donny. Sukses selalu," sahut Jovita tenang. Ia tidak membalas kegenitan Donny, tapi juga tidak bersikap antipati.

Usai Donny berlalu, beberapa pria berniat serupa pun bergantian memperkenalkan diri. Kerumunan itu baru bubar setelah moderator memperkenalkan pemateri sesi selanjutnya.

"Silakan istirahat dulu sambil menikmati kudapan, Bu Jovita," ajak Wati sembari tangannya mempersilakan perempuan itu berjalan ke luar ballroom.

"Terima kasih banyak, Bu Wati," sahut Jovita dengan senyum yang tetap mengembang. Bibirnya seperti tidak pernah berhenti membentuk lengkungan.

Di dekat pintu, Hilda dan Maya telah berdiri menanti.

"Penampilan keren as always, Bu," sanjung Hilda begitu Jovita melintas di dekatnya.

"Terima kasih, Hilda," jawab Jovita. "Suatu saat pun kamu bisa menaklukan panggung." Ia memotivasi yuniornya sembari berjalan bersama ke luar ruangan.

Di luar ballroom, Jovita, kedua yuniornya, dan dua panitia perempuan tadi menikmati kudapan dan teh hangat sambil berbincang-bincang. Wati dan Sri secara terbuka mengungkapkan kekagumannya terhadap penampilan Jovita di atas panggung.

"Halo, semua," sapa seorang dari belakang Jovita. Seorang pria berkulit cokelat, bertubuh tinggi atletis, dengan penampilan yang maskulin dan wajah rupawan.

Jovita menoleh ke sumber suara dengan wajah terkejut, tidak menduga kehadiran lelaki itu di sini.

"Sore, Pak Ezra," sahut Hilda dan Maya berbarengan membalas sapaan Ezra, suami Jovita.

Ezra menyodorkan drink tray² yang berisi empat buah gelas berukuran grande³, berlogo Starbucks kepada Hilda. Perempuan itu langsung menerima pemberian Ezra dengan sumringah dan membaginya kepada Maya, Wati, dan Sri.

Ezra kemudian melingkarkan tangan di pinggang Jovita. "Semua berjalan lancar, Honey?" tanyanya sembari mengecup kepala istrinya.

"Hai, Bear," sahut Jovita seraya memeluk pinggang Ezra. Ia terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan "Bear" menggambarkan sosok yang nyaman untuk dipeluk dan menggemaskan. "Lancar, dong. Berkat doamu tadi pagi."

Wati dan Sri yang masih mengagumi ketampanan dan kebaikan Ezra membawakan kopi untuk mereka, semakin iri dengan kemesraan pasangan di hadapannya itu.

"Kami duluan, Bu," pamit Jovita kepada Wati dan Sri. Ia kemudian berkata pada Hilda dan Maya, "Aku langsung pulang, ya. Tidak kembali ke kantor lagi."

"Baik, Bu," sahut kedua yuniornya berbarengan dengan Wati dan Sri yang turut memberikan izin bagi Jovita untuk meninggalkan tempat.

Kedua pasangan serasi itu pun berlalu. Ezra merangkul pundak Jovita yang kemudian menyandarkan kepala di pundaknya.

"Ya ampun, mesra banget, sih," ucap Wati pelan. Matanya masih memandang pasangan yang berjalan menjauh itu.

"Pak Ezra ganteng banget, lebih cakep dari bapaknya," ujar Sri. "Kayak bintang film, ya."

"Ganteng, baik, sayang sama istri," timpal Wati dengan rasa iri yang kian membuncah. Ia menoleh pada Maya. "Kerjanya apa si Pak Ezra itu?"

"Pengacara, Bu. Cukup terkenal, kok." Maya tersenyum. Hal seputar Jovita dan keluarganya sudah sering ditanyakan oleh para peserta seminar atau pelatihan, bahkan panitia seperti kedua wanita ini. Ia dan Hilda pun sudah menghafal semua tentang kehidupan pribadi Jovita sebagai antisipasi.

"Ganteng, baik, sayang sama istri, anak pejabat, karir sukses, dan kaya. Paket lengkap, Wat," ujar Sri. "Aku yang tidak suka kopi saja sampai minum pemberiannya, tersihir sama Pak Ezra."

Ketiga orang lain terbahak mendengar ucapan Sri. Semua sepakat, baik Jovita maupun Ezra sama-sama dapat membuat orang lain tersihir.

***

"Ada kegiatan di seputar Mega Kuningan? Kok bisa jemput aku?" tanya Jovita sembari meneguk Caramel Macchiato - minuman favoritnya - yang dibelikan Ezra.

"Kenapa? Keberatan kujemput? Ada acara yang terganggu?" Ezra berbalik bertanya sambil menjalankan Lexus ES 250 silver miliknya. Ada nada kesal di suaranya.

Jovita menggeleng. "Sama sekali tidak keberatan, dong. Justru senang dijemput suami tersayang." Ia berusaha tidak tersinggung dengan pertanyaan Ezra, menduga suaminya sedang dalam mood buruk karena urusan pekerjaan.

Ezra tidak berkomentar, terlihat fokus dengan jalanan di hadapannya.

"Nanti malam kita jadi ke rumah Mama, kan," ujar Jovita mengingatkan rencana makan malam memperingati ulang tahun perkawinan kedua orang tuanya.

"Aku ada undangan makan malam dengan klien besar. Jadi, kita ke rumah orang tuamu sekarang saja. Aku sudah belikan cheese cake kesukaan Papa dan buket mawar merah favorit Mama," sahut Ezra.

"Kalau begitu, boleh aku tetap makan malam di rumah Mama? Kamu kan ada acara makan malam dengan klien," pinta Jovita. Ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah jauh-jauh hari merencanakan makan malam bersama.

"Kamu ikut denganku makan malam!" tegas Ezra. Nada suaranya mencerminkan bahwa ia tidak mau bernegosiasi.

"But, Bear ...," rajuk Jovita. "Aku bahkan tidak kenal siapa klienmu, aku tidak akan bisa mengikuti pembicaraan kalian."

"Tidak ada tapi-tapian!" Nada suara Ezra meninggi.

Jovita diam. Tidak ada gunanya membujuk Ezra jika ia sudah bertitah seperti itu. Namun, bukan Jovita jika menyerah begitu saja. Ia memutar otak, mencari rencana lain agar bisa tetap menghadiri acara ulang tahun pernikahan orang tuanya dan menghindari jamuan makan klien Ezra.

***

-----

¹. Bernas : berisi, banyak isinya

². Drink tray : tatakan gelas untuk membawa beberapa gelas sekaligus, biasanya terbuat dari bahan kertas daur ulang.

³. Grande : ukuran sedang di kedai kopi Starbucks.

Related chapters

  • Merajut Asa   2. (Un) Perfect Life

    Lexus ES 250 Ezra memasuki halaman besar kediaman orang tua Jovita di bilangan Pondok Indah, salah satu perumahan elit di Jakarta. Rumah bergaya modern mediterranean yang menempati lahan seluas hampir 500 meter persegi itu terlihat lengang. Jovita menduga ayahnya pasti belum kembali dari aktivitasnya sore itu. Kemungkinan di rumah hanya ada ibunya. "Hai, Mama," sapa Jovita begitu dilihatnya ibunya yang sedang merangkai bunga di ruang keluarga. Ia mencium tangan ibunya. "Oh ... hai, Jov," sahut Yulia, ibu Jovita. Ia terkejut melihat anaknya sudah tiba sebelum magrib. "Hai, Ma. Selamat ulang tahun perkawinan," ucap Ezra sambil memberikan buket bunga mawar merah. Ia pun menyalami dan mencium tangan ibu mertuanya. "Ah ... terima kasih, Ezra. Bunganya cantik sekali." Yulia menghirup wangi bunga favoritnya. "Tumben kalian sudah datang jam segini. Mana Vanya?" Ia menanyakan kehadiran cucunya, anak perempuan Jovita. "Saya mohon maaf sebesar-b

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   3. Rahasia

    Mentari pagi menembus vitrage putih yang terbentang di jendela kamar rumah bertingkat dua bergaya modern minimalis di kawasan elite Patal Senayan, Jakarta. Pancaran sinar matahari membuat suhu di kamar menjadi lebih hangat mengimbangi semburan pendingin ruangan. Kehangatan yang mampu menggugah semangat Jovita untuk menyambut hari. Ia berdiri di depan meja riasnya, mematut pakaian, mengafirmasi diri, bersiap untuk menjalani rangkaian aktivitasnya hari ini. Berbalut pencil dress berlengan panjang, tubuh semampai Jovita yang memiliki tinggi 173 cm, terlihat memesona. Busana berwarna hitam yang menutupi hingga bawah lututnya memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sebuah ikat pinggang kecil yang dililitkan menonjolkan lekuk tubuh bak gitar Spanyol. Rambut sedada berwarna nutty mocha - perpaduan cokelat dan sedikit nuansa oranye kemerahan - dengan ujung yang bergelombang natural, menegaskan professional-looks pada tampilannya. Ezra y

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   4. Dunia Runtuh

    Jovita sedang mengompres matanya saat Ezra masuk kamar sepulangnya dari bekerja. Ia melirik jam di dinding, pukul 10.30 malam. Biasanya Ezra baru pulang jam 11 malam. Tumpukan kasus yang harus ditangani dan kemacetan ibu kota menjadi penyebabnya. "Kenapa matamu?" tanya Ezra lembut sambil menurunkan pengompres di mata istrinya. "Tadi pagi," jawab Jovita singkat. Ia sendiri tidak ingin menyinggung hal semacam itu lagi, mengingatkan pada cela dalam pernikahannya. Ezra mengamati dan menciumi mata istrinya. "I'm so sorry." "It's okay. Jangan diulangi, please," pinta Jovita lirih. Ezra tersenyum. "Aku janji, tapi kamu juga jangan menantangku, okay?" Jovita mengangguk, walau dalam hati juga bertekad tidak akan tinggal diam apabila disakiti lagi. "Apakah kamu ke dokter?" tanya Ezra sambil membuka kemejanya. "Tidak. Aku tidak mau urusan menjadi panjang," sahut Jovita. Ezra tersenyum le

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   5. Rahasia Terungkap

    Jovita berkaca di depan cermin dengan perasaan yang tidak dapat diidentifikasikannya. Ia belum menemukan kosa kata yang sesuai untuk menggambarkan apa yang dirasakan saat ini. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Seperti ada yang mengimpit dada sekaligus membuatnya seolah tak dapat berpijak. Satu hal yang bisa ia identifikasikan dengan jelas hanyalah bahwa suaminya berkhianat, melanggar sumpah suci perkawinan mereka, menghancurkan kepercayaan yang telah ia titipkan selama ini. Pagi ini, ia sengaja bersiap pergi lebih cepat dari biasanya, menghindari konflik dengan Ezra yang dapat berujung dengan kekerasan fisik. Disiapkannya semua keperluan Ezra hari itu. Dasi yang senada dengan kemeja, celana panjang, pakaian dalam, hingga kaus kaki. Ia mengamati isi lemari suaminya, mencari apakah ada hal baru yang berbeda dari seleranya selama ini. Tidak ada sesuatu yang berbeda. Ezra terlihat menggeliat, terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah, melirik ke arah

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   6. Hanya Prasangka?

    Jovita baru saja menyelesaikan kelas pelatihan Public Speaking untuk para pejabat eselon1 III salah satu Kementerian di Balai Kartini, bersama dengan Monica dan dua yuniornya yang setia mendampingi. Seperti biasa, usai kelas beberapa peserta meminta foto bersama dan bertukar kartu nama dengan Jovita, baik laki-laki maupun perempuan. "Heran ... perasaan yang bekas News Anchor tuh aku deh, tapi selalu orang maunya foto sama si Jovita ini, padahal muka dia bisa dihitung jari tampil di televisi," ledek Monica setelah orang-orang yang mengerumuni Jovita membubarkan diri. Jovita tertawa kecil mendengar komentar Monica, temannya yang selalu bicara blakblakan dan senang berguyon. "Seolah ketenaran Ibu tidak berarti, ya?" Maya tambah menggoda Monica. "Iya. Sia-sia gitu dulu muka saya ada di televisi tiap hari," sahut Monica dengan mimik yang dibuat bersedih. "Mungkin mereka dulu sudah pernah foto sama kamu, jadi tidak minta

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   7. Jejap

    Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu. Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal. Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah. "Baik, Pak. Besok

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   8. Sandiwara

    Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu. "Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi. "Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti. Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   9. Jeda

    Jovita melangkahkan kaki dari garbarata¹ ke dalam kabin pesawat berbadan besar Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant berpakaian biru tua dan ungu yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan headphone dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam 20 menit penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman. Senyum masam tercipta di bibir Jovita, teringat pertemuannya dengan Ezra pertama kali di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai Public Relations Manager usai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Sementara Ezra baru saja menyelesaikan kuliah paska sarjananya di Leiden University. Tidak sengaja bert

    Last Updated : 2020-10-12

Latest chapter

  • Merajut Asa   97. Menyatukan Hati

    "Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.

  • Merajut Asa   96. Permintaan

    "Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.

  • Merajut Asa   95. Kehangatan Keluarga

    Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba

  • Merajut Asa   94. Buah Hati

    "Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d

  • Merajut Asa   93. Kesepakatan Baru

    Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri

  • Merajut Asa   92. Bucket List

    Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang

  • Merajut Asa   91. Sahabat Masa Kecil

    "Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo

  • Merajut Asa   90. Sekakmat

    "Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil

  • Merajut Asa   89. Blessing in Disguise

    Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me

DMCA.com Protection Status