Home / Romansa / Merajut Asa / 6. Hanya Prasangka?

Share

6. Hanya Prasangka?

Author: Kaia Karnika
last update Last Updated: 2020-10-12 15:27:57

Jovita baru saja menyelesaikan kelas pelatihan Public Speaking untuk para pejabat eselon1 III salah satu Kementerian di Balai Kartini, bersama dengan Monica dan dua yuniornya yang setia mendampingi. Seperti biasa, usai kelas beberapa peserta meminta foto bersama dan bertukar kartu nama dengan Jovita, baik laki-laki maupun perempuan.

"Heran ... perasaan yang bekas News Anchor tuh aku deh, tapi selalu orang maunya foto sama si Jovita ini, padahal muka dia bisa dihitung jari tampil di televisi," ledek Monica setelah orang-orang yang mengerumuni Jovita membubarkan diri.

Jovita tertawa kecil mendengar komentar Monica, temannya yang selalu bicara blakblakan dan senang berguyon.

"Seolah ketenaran Ibu tidak berarti, ya?" Maya tambah menggoda Monica.

"Iya. Sia-sia gitu dulu muka saya ada di televisi tiap hari," sahut Monica dengan mimik yang dibuat bersedih.

"Mungkin mereka dulu sudah pernah foto sama kamu, jadi tidak minta lagi sekarang. Lagi pula mukamu bertahun-tahun tidak berubah, tetap terlihat muda, nanti kalau mereka unggah dikira foto lama," balas Jovita.

"Jadi kalau aku kelihatan lebih tua, baru orang-orang mau foto sama aku?" Monica merengut.

"Bisa jadi, Bu. Soalnya Ibu umur 50 kelakuan 20, sih," canda Maya.

"Heh! Siapa bilang aku 50!" Bibir Monica makin mengerucut mengundang tawa Jovita, Maya, dan Hilda.

"Tapi tadi ada yang bertanya-tanya tentang Ibu, loh," ujar Hilda.

"Siapa? Tanya tentang apa?" selidik Monica seraya merapikan rambut pendeknya yang berpotongan pixie layered cut.

"Yah ... aku lupa namanya. Bapak-bapak gitu. Tanya tentang status Ibu, sifat Ibu," jawab Hilda.

"Serius?" Monica penasaran. Air mukanya mengundang tawa geli dari ketiga wanita lainnya.

"Kamu bilang Bu Monica masih single?" tanya Jovita.

"Iya, aku jawab jujur saja. Dia kayaknya langsung cari sosmed Ibu deh. Coba cek, Bu." Hilda menjawab sambil menahan tawa.

Monica langsung membuka sosmednya. Ia melihat satu permintaan pertemanan. "Ini orangnya, Hil?" Ia menyodorkan ponsel ke muka Hilda.

Hilda mengangguk. "Iya, benar, Bu."

Monica penasaran. Ia langsung menelusuri akun pria tersebut. "Ih, sudah punya istri, Hilda! Mana istrinya cantik banget."

"Kenapa sih lelaki sudah punya istri cantik masih ingin menggoda perempuan lain, Bu?" tanya Maya.

"Jangan tanya aku! Aku kan belum nikah!" omel Monica. "Tanya Bu Jo, tuh!"

Jovita tersentak, ia merasa tersudut. "Entah ya," jawabnya pelan.

"Apakah karena mereka tergoda yang lebih cantik?" Maya semakin penasaraan.

"Kayaknya tidak juga. Coba lihat Lady Diana, kurang cantik apa coba? Eh, si Charles malah milih Camilla yang begitu tampangnya, lebih tua pula. Kayaknya muka cantik tidak jaminan suami bakal setia deh. Memang kalau sudah ganjen, bakal begitu terus kali, ya," cerocos Monica.

Jovita kian tersudut. Kalimat yang dilontarkan Monica seolah menamparnya. Ada sembilu yang tiba-tiba mengiris dada.

Mendadak ia dihinggapi rasa penasaran dengan sosok si Aein ini. Apakah perempuan itu lebih cantik, lebih muda, lebih cerdas, atau justru sebaliknya.

"Yuk, kita pulang. Sudah beres semua barang-barang, kan?" Jovita mengalihkan pembicaraan.

Maya dan Hilda mengangguk. "Sudah, Bu," jawab mereka bersamaan.

"Kita jadi makan malam dulu?" tanya Monica. Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 7 malam.

"Boleh," jawab Jovita.

"Oke!" Monica menjawab dengan bersemangat.

"Kayaknya Ibu Jo tidak mungkin ikut deh," ucap Hilda.

"Loh, kenapa?" Jovita dan Monica sama bingungnya.

Hilda menggerakkan dagunya ke arah seorang pria yang berjalan mendekat. Ezra menjemput dengan menenteng drink tray Starbucks.

Jovita mendengkus. Kali ini ia tidak suka kejutan Ezra.

"Ah ... kekasih hati, pahlawan kami," canda Monica sambil menyapa Ezra dan langsung menyambar kopi yang disodorkan. "Kamu paling tahu kebutuhan wanita, Ez!"

"Tentu!" sahut Ezra seraya mengulas senyum.

"Tidak usah pakai senyum! Kamu kasih kopi saja sudah bikin hati berbunga, ditambah senyum makin belingsatan nanti hatiku!" seloroh Monica sambil melotot. Ia kemudian menoleh pada Jovita. "Batal nih, jadinya?"

"Oh ... apakah kalian ada agenda lain?" tanya Ezra.

"Tadinya kami rencana mau makan malam bersama," jawab Jovita. Ia berusaha tampil mesra seperti biasa di hadapan teman-temannya.

"Maaf, aku tidak tahu. Aku tidak keberatan jika kita makan bersama," sahut Ezra.

"Tidak! Aku tidak mau lihat kalian berdua bermesraan di depanku. Bikin iri, tahu!" sungut Monica.

Ezra tertawa melihat ekspresi Monica. "Makanya buruan cari dong. Jangan pilih-pilih, Monic."

"Heh! Bagaimana mau memilih kalau yang mau dipilih saja tidak ada!" Monica merengut sambil memukuli lengan Ezra.

Ezra terkekeh. "Ya sudah, kalau begitu aku makan malam romantis dengan istriku tersayang saja." Ia merangkul dan mencium pelipis Jovita.

Jovita melingkarkan tangan di pinggang Ezra, memberikan ekspresi senang atas ciuman suaminya, meski dalam hati ia teramat muak.

"Tuh, kan, kalian berdua memang menyebalkan! Sana ... jauh-jauh! Biar kami bertiga yang masih single ini tidak panas," omel Monica bergurau saat melihat kemesraan Jovita dan Ezra. "Sampai besok, Jo. Terima kasih kopinya, Ez!"

Jovita dan Ezra pun memisahkan diri dengan ketiga perempuan teman kerjanya itu.

"Aku sudah pesan tempat di Plan B Restaurant," ujar Ezra sambil menjalankan Lexus-nya. "Makanan Spanyol favoritmu."

"Aku ingin pulang," sahut Jovita. Ia kehilangan selera makan.

"Bukankah tadi pagi kamu minta kita makan malam bersama?"

"Tidak jadi." Jovita hanya ingin cepat memeluk anaknya, mengalihkan kekecewaannya. "Bukannya tadi kamu bilang mau latihan ke gim?"

"Tidak jadi karena kupikir kamu ingin makan malam bersama," jawab Ezra.

Jovita membuang muka, lebih memilih memandang kendaraan yang lalu-lalang dibanding melihat wajah suaminya.

Ezra melirik ke arah Jovita, berusaha meraih tangan istrinya.

Jovita menampik tangan Ezra.

"Honey, jangan salah sangka. Itu semua tidak seperti yang kauduga," pinta Ezra.

Jovita tidak berespons. Ia yakin bahwa penjelasan Ezra hanya penjelasan palsu untuk menutupi kebohongan.

Ezra melanjutkan penjelasannya. "Hanya kamu yang kucintai. Ia tidak ada artinya bagiku. Kami hanya saling mengobrol, tidak lebih."

Jovita bergeming. Ia sudah menduga isi penjelasan Ezra, pastilah sebuah penyangkalan.

Ezra meraih tangan Jovita, dikecupnya jemari lentik itu. "I love you so much."

Jovita menarik tangannya. "Kata yang sama kauucapkan untuk kekasihmu itu," sindirnya.

"Aku tidak sungguh-sungguh saat mengatakan itu padanya. Seperti kubilang tadi, bagiku dia hanya teman berbincang." Ezra berupaya meyakinkan istrinya.

"Jadi perkataan 'aku mencintaimu' dan panggilan sayang itu sekadar obrolan? Kalau tidak ada apa-apa di antara kalian, kamu tidak akan mengganti namanya menjadi Aein dan tidak perlu menghapus pembicaraan kalian. Kamu pikir aku anak kemarin sore?" omel Jovita. "Itu sebabnya sekarang kamu menjadi kasar denganku, bukan? Karena hatimu sudah terpaku olehnya dan aku hanya barang lama yang akan kamu singkirkan."

"Itu sama sekali tidak benar! Kamu dan Vanya adalah segalanya bagiku. Aku tidak pernah berpikir untuk menyingkirkanmu. Kalau itu tujuanku, maka aku tidak perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi seperti sekarang ini. Aku akan langsung meninggalkanmu." Ezra menoleh memandangi Jovita.

"Lalu mengapa kamu mengkhianatiku?"

"Aku tidak mengkhianatimu. Kami hanya sebatas teman berbincang." Ezra tetap teguh pada alasannya.

"Apakah aku tidak bisa menjadi teman berbincang bagimu?"

"Kadang pria membutuhkan sudut pandang lain. Kamu tetap teman berbincang paling menyenangkan bagiku. Kamu wanita tercerdas yang pernah kutemui," sanjung Ezra.

"Siapa dia dan di mana kamu mengenalnya?"

"Dia staf Legal salah satu perusahaan di gedung yang sama dengan kantorku. Kami tidak sengaja bertemu saat makan siang di kafetaria. Sama-sama berlatar belakang hukum membuat kami cepat akrab. Dia orang yang senang bercanda, sering memanggil orang dengan panggilan 'sayang' bukan kepadaku saja sehingga mungkin kamu menjadi salah sangka ketika dia memanggilku 'chagia' padahal dia juga melakukan itu ke pria lain," jelas Ezra dengan nada suara yang sangat terkendali.

"Apakah dia juga mengatakan 'saranghae' ke pria lain?"

"Sepertinya begitu. Aku menghapus pembicaraan sebelumnya karena ia berulang kali memanggilku 'chagia' sehingga aku khawatir kamu salah sangka. Ternyata benar kejadian seperti itu." Ezra mengelus pipi Jovita dengan punggung tangan kirinya.

Jovita tak bergerak, terlihat berusaha mencerna penjelasan suaminya.

"Aku berani bersumpah tidak ada apa-apa di antara kami, Honey. Kamu tidak tergantikan. Aku tidak mungkin mempertaruhkan kebahagiaan keluarga kita hanya untuk hal semacam itu," ucap Ezra lembut.

"Mengapa kamu mengganti namanya sebagai Aein. Siapa nama sebenarnya?" tanya Jovita.

"Namanya Airin, tapi dia memang menyebut dirinya sebagai Aein. Jadi itu bukan julukanku untuknya. Kamu saja yang terlalu cemburu." Ezra tertawa kecil. "Mungkin kamu terlalu banyak dikelilingi pria-pria hidung belang yang mencoba menggodamu, sehingga menganggapku juga melakukan hal yang sama. Aku bisa memahami itu, tapi aku bukan mereka, Honey. Kamu mengenal siapa diriku, bukan? Akan sangat menyakitkan bagiku apabila kamu tidak bisa memercayaiku dan menganggapku sama seperti pria macam itu."

Jovita mulai bimbang. Penjelasan Ezra sangat meyakinkan. Apakah dirinya terlalu berlebihan menyikapi perbincangan antara Ezra dan Aein? Apakah dirinya cemburu buta? Apakah dirinya terlalu berburuk sangka terhadap suaminya sendiri? Apakah upayanya meminta bantuan Bayu tidak lebih merupakan tindakan impulsif2 dan hanya akan merepotkan pria itu?

-----

1 Eselon: jenjang kepangkatan struktural, biasa dipakai di Lembaga/Instansi Pemerintahan.

2 Impulsif: cepat bertindak secara tiba-tiba menurut gerak hati.

Related chapters

  • Merajut Asa   7. Jejap

    Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu. Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal. Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah. "Baik, Pak. Besok

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   8. Sandiwara

    Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu. "Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi. "Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti. Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   9. Jeda

    Jovita melangkahkan kaki dari garbarata¹ ke dalam kabin pesawat berbadan besar Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant berpakaian biru tua dan ungu yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan headphone dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam 20 menit penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman. Senyum masam tercipta di bibir Jovita, teringat pertemuannya dengan Ezra pertama kali di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai Public Relations Manager usai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Sementara Ezra baru saja menyelesaikan kuliah paska sarjananya di Leiden University. Tidak sengaja bert

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   10. Jumpa Pertama

    Jovita menghempaskan badan ke tempat tidur. Penat di tubuhnya baru terasa setelah padatnya aktivitas Jumat kemarin yang dilanjutkan dengan penerbangan Sabtu dini hari ini. Ditambah lagi kecamuk perasaan tidak menentu yang sering hinggap sejak perilaku kasar dan perselingkuhan Ezra membuat tubuhnya seolah tidak pernah dalam kondisi prima. Jovita meraih ponselnya, melihat penunjuk waktu. Pukul 3 sore di Melbourne, berarti pukul 12 siang di Jakarta. Ia menghubungi Ezra. Satu kali, tidak diangkat. Dicobanya lagi hingga tiga kali, tidak juga diangkat. Rasa curiga dan gelisah dengan cepat berkelindan. Segera diteleponnya Ima, pengasuh Vanya untuk mengetahui keberadaan suaminya di akhir pekan itu. "Halo, Ima," sapa Jovita begitu ponselnya tersambung. "Halo, Bu," jawab Ima. "Vanya di mana? Sedang apa?" "Saya dan Vanya sedang di rumah Oma. Itu Vanya sedang berenang bersama Opa," sahut Ima menjelaskan mereka sedang berada di rumah oran

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   11. Sindrom Katak Rebus

    Bayangan benda di sepanjang jalan yang dilewati oleh Jovita Minggu pagi itu sudah sama tinggi dengan bendanya saat ia berada dalam kereta menuju Belgrave. Belgrave terletak di Dandenong Ranges - yang merupakan paru-paru bagi Melbourne - berjarak sekitar 40 kilometer dari Central Business District (CBD) Melbourne dan dapat ditempuh dalam waktu satu jam menggunakan kereta. Hanya tinggal Jovita sendiri dalam gerbong saat kereta berhenti di stasiun Belgrave yang merupakan ujung dari layanan jalur timur. Hawa Belgrave yang cukup dingin langsung terasa menusuk tulang begitu ia melangkahkan kaki ke luar dari gerbong. Penanda suhu di stasiun memperlihatkan angka 8 derajat Celcius. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh dan bergegas berjalan ke luar. Jovita mempercepat langkahnya saat menapaki ramp¹ menuju jembatan yang merupakan jalan keluar dari stasiun Belgrave. Dari atas jembatan, dilihatnya Agnes baru turun dari mobil Skoda Kodiaq hitam. Ia mempercepat langkahnya.

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   12. Pencerahan

    Agnes membuka pintu teras, lalu mengajak Jovita duduk di beranda yang menghadap ke kebun bunga di samping rumahnya. Udara segar akan bagus untuk menenangkan hati sahabatnya. "Apa yang harus kulakukan, Nes?" Jovita memandang ke depan dengan tatapan kosong, menyiratkan keputusasaan. "Sebelum memikirkan apa yang harus kamu lakukan, ada beberapa hal yang perlu kamu yakini terlebih dahulu. Ini sangat penting untuk membantumu menyiapkan langkah. Pertama, kamu bukan penyebab perlakuan buruk Ezra dan kamu tidak bisa disalahkan atas tindakan yang diambilnya. Apa pun alasannya, semua murni keputusan Ezra untuk berselingkuh dan juga melakukan tindak kekerasan kepadamu. Ini yang sangat mendasar. Banyak korban yang sulit melangkah ke luar karena merasa dirinya turut berkontribusi pada perilaku pasangan," papar Agnes. Jovita mengembuskan napas dengan berat. "Aku sudah sempat berpikir seperti itu, bahwa Ezra menjadi kasar karena ulahku. Aku menjadi sangat berhati-hati bersi

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   13. Sekeping Puzzle

    Dengan masih menahan sedikit nyeri di kaki, Jovita memasuki Dock 37 Bar & Kitchen di hotel Pan Pacific yang diinapinya untuk menikmati sarapan. Ia melirik arloji, belum jam 7 pagi, tapi restoran sudah cukup ramai. Tampaknya berbagai kegiatan seminar di Melbourne Convention & Exhibition Center (MCEC) menyebabkan okupansi hotel ini juga meningkat. Kepalanya menoleh ke kanan kiri mencari meja yang kosong. "Kamu bisa duduk di sini jika tidak ada tempat kosong," ujar seorang pria yang duduk persis di samping posisinya berdiri. Jovita menoleh, dahinya berkerut. Penampilan Joseph berbeda dengan dua hari kemarin. Jauh lebih rapi sehingga membuatnya nyaris tidak mengenali pria itu walaupun tadi sempat melihat ke arahnya sekilas. "Terima kasih, maaf aku tidak melihatmu barusan," sahutnya sedikit berbohong sambil meletakkan tas di atas meja. "Bagaimana kakimu?" tanya Joseph lalu menyeruput kopinya. "Jauh lebih baik. Terima kasih,"jawab Jovita. Ia kemudia

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   14. Makna Peristiwa

    Jarum di arlojinya menunjukkan pukul 4 sore saat Jovita selesai berbincang untuk melakukan pendekatan dengan salah satu penulis ternama Personal Branding. Sesi seminar di dalam ruangan sudah separuh jalan, membuatnya sungkan untuk masuk. Ia pun memutuskan untuk keluar dari area MCEC, mencari udara segar di pinggir sungai Yarra. Bangku panjang di South Wharf Promenade pinggir sungai Yarra menjadi pilihan Jovita untuk beristirahat. Hasil terjemahan puisi dari Amelia telah masuk. Ia pun mempersiapkan langkah selanjutnya. Dear Amelia, Terima kasih banyak atas terjemahan puisinya, kekasih saya sangat senang, dia bilang puitis sekali. Katanya puisi ini mampu mengobati kerinduannya karena sudah sebulan kami tidak bisa berjumpa. Kebahagiaan ini tentu tidak akan saya dapatkan tanpa bantuanmu. Terima kasih banyak. Salam,Lydia Jovita membaca ulang konsep surat balasannya, lalu mengirim ke Amelia. Ia harus

    Last Updated : 2020-11-05

Latest chapter

  • Merajut Asa   97. Menyatukan Hati

    "Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.

  • Merajut Asa   96. Permintaan

    "Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.

  • Merajut Asa   95. Kehangatan Keluarga

    Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba

  • Merajut Asa   94. Buah Hati

    "Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d

  • Merajut Asa   93. Kesepakatan Baru

    Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri

  • Merajut Asa   92. Bucket List

    Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang

  • Merajut Asa   91. Sahabat Masa Kecil

    "Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo

  • Merajut Asa   90. Sekakmat

    "Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil

  • Merajut Asa   89. Blessing in Disguise

    Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me

DMCA.com Protection Status