Share

7. Jejap

Author: Kaia Karnika
last update Last Updated: 2020-10-12 15:34:02

Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu.

Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal.

Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah.

"Baik, Pak. Besok akan saya tindak lanjuti permintaan Bapak. Selamat malam, selamat beristirahat." Jovita memberikan sinyal ingin menyudahi pembicaraan tersebut.

Dengan berat hati Donny terpaksa menyelesaikan percakapannya.

"Siapa?" tanya Ezra seraya mencium dahi istrinya.

"Calon klien," sahut Jovita. Ia mencopot dasi Ezra.

"Jam segini telepon urusan pekerjaan?" Ezra melirik arlojinya, pukul 10 malam.

"Seharian ini aku sibuk. Dia berusaha meneleponku tapi aku tidak sempat mengangkatnya. Baru bisa tersambung barusan," jelas Jovita sambil membuka kancing baju suaminya.

"Bukankah calon klien biasanya ditangani oleh Rania. Mengapa kamu yang harus mengurusinya?"

"Dia peserta seminarku di Ritz-Carlton dua minggu lalu. Belum sempat kualihkan ke Rania."

"Ah ... itu pasti modus."

Jovita mengerutkan dahi. "Maksudmu?"

"Hanya alasannya untuk berbincang denganmu," dengkus Ezra.

"Kurasa tidak juga. Dia baru menyampaikan keinginannya, aku pun masih mengeksplorasi apa yang sebenarnya dibutuhkan." Jovita berusaha memberikan penjelasan agar Ezra tidak berpikir yang aneh-aneh walaupun dalam hati membenarkan kecurigaan suaminya terhadap Donny.

"Kamu ahli komunikasi, seharusnya bisa membaca maksud tersirat dari pria." Nada suara Ezra mulai meninggi.

Jovita tidak ingin suasana meruncing, memilih untuk mencairkan suasana. "Kamu cemburu ya, Bear?" Ia memeluk dan menciumi dagu suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

"Tentu saja! Siapa yang tidak tergoda dengan wanita sepertimu. Cantik, pintar, dan seksi. Puluhan pria rela mengantri di belakangku." Ezra membalas pelukan dan ciuman istrinya.

"Mandilah dahulu. Badanmu masih bau rokok," pinta Jovita saat Ezra berusaha membuka kancing piyamanya.

Ezra menuruti permintaan istrinya, segera beranjak ke kamar mandi.

Jovita membuka tas kerja Ezra, mencari ponselnya. Sejak penjelasan Ezra seminggu lalu tentang hubungannya dengan Airin yang katanya sebatas teman mengobrol, Jovita rutin memeriksa perbincangan mereka di ponsel. Sesuai kesepakatan, Ezra tidak lagi mengunci ponselnya dan memperbolehkan Jovita untuk mengecek setiap saat. Ezra seolah ingin membuktikan bahwa kecurigaan istrinya itu tidak beralasan.

Tidak pernah ada percakapan lagi antara Ezra dan Airin yang ditemukan Jovita. Bahkan, kontak Aein atau Airin pun sudah terhapus. Jovita justru semakin bingung, apakah harus lega atau harus curiga. Namun, pilihan terbaik baginya adalah menampilkan sikap percaya pada Ezra.

Beberapa menit kemudian, Ezra sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Tubuhnya yang hanya ditutupi handuk menguarkan aroma sabun mandi yang sangat disukai Jovita, wangi bunga magnolia. Ia mengambil bingkisan dari kantong belanja, sebuah kotak kado berwarna emas.

"Untukmu," ujar Ezra sambil menyodorkan kotak tersebut.

Jovita menerima dengan muka berbinar, kian hari Ezra kian memanjakannya dengan berbagai hadiah. Ada rasa bahagia bercampur waswas. Sebuah chemise¹ sutra berwarna emas terlihat saat kotak dibuka. Jovita mengangkat gaun tidur pendek dengan belahan dada rendah dan renda cantik tersebut.

"Pakailah, kamu pasti terlihat sangat seksi," bisik Ezra di telinga Jovita.

Lagi-lagi rasa berkelindan di hati Jovita, antara senang dan takut. Keromantisan dan hasrat seksual Ezra yang menggelora akhir-akhir ini merupakan sebuah ambiguitas² baginya. Bisa diartikan sebagai bentuk kecintaan, tapi juga dapat menjadi upaya menutupi kesalahan.

"Apa lagi yang kautunggu?" tanya Ezra melihat istrinya tidak segera mematuhi permintaannya barusan.

Jovita beranjak ke kamar mandi, tidak punya pilihan selain memenuhi keinginan suaminya. Di depan cermin kamar mandi, ia memperhatikan chemise yang memperjelas lekuk dada dan pinggangnya. Entah mengapa, bukan perasaan bangga karena tubuhnya yang terlihat seksi dengan balutan chemise itu, tapi justru perasaan risi dan jejap³ memenuhi ruang hatinya.

Ia menghela napas, berusaha menghibur diri bahwa itu dilakukan demi menyenangkan suami. Ia lalu membalikkan badan, berjalan ke arah pintu kamar mandi. Dilihatnya celana panjang Ezra yang tersampir di keranjang baju kotor. Ia mendengkus, suaminya itu sering bersikap sembarangan, meletakkan segala sesuatunya dengan berantakan.

Diambilnya celana panjang berwarna biru tua itu. Ia merogoh saku untuk memastikan tidak ada sampah atau benda lain tertinggal sebelum dimasukkan ke keranjang baju kotor. Tangannya terhenti saat meraba saku celana. Sebuah benda berbungkus plastik tertinggal. Diambilnya benda itu.

Seluruh persendian tubuh Jovita seolah terlepas saat menyaksikan benda di genggamannya. Sebuah kondom. Buat apa Ezra mengantongi benda ini? Lagi pula, selama berhubungan dengannya, Ezra tidak pernah mengenakan pengaman karena mereka memang berencana untuk memberikan adik bagi Vanya.

Emosi Jovita membuncah, tanpa pikir panjang menghambur ke luar kamar mandi. Dihampirinya Ezra yang sedang berbaring di tempat tidur memegang ponsel. Dilemparnya kondom itu ke badan suaminya sekuat tenaga.

Ezra terkesiap. "Ada apa, Honey?"

"Dasar pengkhianat!" maki Jovita. "Kebohongan apa lagi yang sekarang akan kaukatakan?"

Ezra mengambil benda yang dilempar Jovita. Ia tersenyum, lalu berdiri mendekati istrinya sambil berkata, "Ini tadi dibagikan sebagai sampel. Mungkin sesekali kita coba pakai ini?"

Napas Jovita memburu. Penjelasan Ezra membuat dirinya seolah-olah perempuan tolol yang dengan mudah dicekoki kebohongan.

Ezra tidak memedulikan ekspresi istrinya, libidonya telanjur memuncak melihat Jovita dalam balutan chemise. Direngkuhnya tubuh Jovita, menciumi leher jenjang di hadapannya. "Kamu terlihat seksi dengan baju ini."

Jovita tak sudi dicumbu. "Go fuck your bitch!" Didorongnya tubuh Ezra, lalu memutar badan, berusaha menjauh dari suaminya. Berjuta rasa jijik menghinggapinya.

Ezra menarik rambut Jovita yang tergerai, lalu dengan satu tangan mencengkeram leher belakang istrinya. "Jadi sekarang kamu berani membangkang?"

Jovita menjerit kesakitan. Ia meronta, berupaya membebaskan diri. "Lepaskan!"

Ezra menghentakkan cengkeramannya, melempar Jovita ke atas tempat tidur. "Kenapa sekarang sulit membuatmu patuh?"

Jovita merasa dirinya dalam bahaya, kaki dan tangannya berupaya memukuli dan menendangi Ezra, berteriak sekuat tenaga.

Ezra kian beringas. Dengan mudah menangkis perlawanan Jovita, balas memukuli lengan dan tubuh istrinya. "Kamu pikir kamu hebat sekarang? Berani sama suami? Seenaknya menuduh suami?"

Jovita menghentikan upaya perlawanan. Dialihkannya energi untuk menahan pukulan Ezra yang bertubi-tubi.

Pukulan Ezra terhenti kala gagang pintu bergerak. Wajah polos Vanya menyembul di sela pintu yang terbuka. "Mommy ..." panggilnya sambil mengucek mata.

Ezra bergegas menuju pintu. "Ada apa, Sayang? Kamu mimpi buruk?" Tadi ia sudah melihat Vanya tertidur lelap di kamarnya

"Aku takut," jawab Vanya dengan suara serak dan kesadaran yang sepertinya belum penuh.

"Kenapa?" tanya Ezra lembut.

Jovita segera mengambil kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dengan sisa-sisa tenaga meraih robe⁴ linen di sisi tempat tidur, buru-buru dikenakannya. "Yuk, Mommy temani tidur." Ia menggendong Vanya, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, membendung sembilu yang menusuk ulu hatinya. Ia tahu Ezra tidak mungkin menghajarnya di depan anak mereka.

Ezra mendengkus kesal, terpaksa menahan hasrat sekaligus amarahnya malam ini.

Jovita menahan air matanya agar tidak menetes, tak mau anaknya mengetahui laranya. Malam ini, Vanya menyelamatkannya dari penyiksaan Ezra, tapi entah bagaimana ia dapat melewati malam-malam selanjutnya. Perasaan tidak berdaya dan tidak berharga menyergap, teramat berat bergelayut di hatinya.

***

Jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, mentari masih malu-malu mengintip dari ufuk timur. Jovita sudah mematut diri di depan cermin, bersiap untuk menjalani rangkaian kegiatannya walau hati dan tubuhnya terasa remuk redam. Celana chinos, kemeja lengan panjang ditambah lilitan syal yang menutupi leher menjadi pilihannya hari itu untuk menyembunyikan memar di sekujur tubuhnya. Setelah memastikan tidak ada sedikit pun bekas hajaran Ezra terlihat, ia memasukkan seluruh keperluan hari itu ke dalam tas Chanel-nya secepat mungkin. Ia ingin pergi sebelum suaminya terbangun.

Upayanya tidak berhasil. Ezra sudah duduk di pinggir tempat tidur saat Jovita membalikkan tubuh. Ketakutan menyergap dirinya. Setelah semalam dilewati dengan menjadikan Vanya sebagai tameng, ia tak tahu bagaimana menghadapi suaminya pagi ini.

"Sudah mau pergi?" tanya Ezra memandangi istrinya.

"Ya," jawab Jovita lirih.

Ezra berjalan menghampiri istrinya.

Jovita merasakan bulu kuduk berdiri dan dada berdegup kencang. Seumur hidup belum pernah merasakan ketakutan semacam ini.

Ezra berdiri di hadapan Jovita, memegang kedua lengan istrinya.

"Ouch!" jerit Jovita tertahan. Ezra menyentuh persis di bekas pukulannya semalam.

"Sakit?" tanya Ezra lembut.

Jovita mengangguk lemah. Tidak bisa memprediksi kelanjutan perilaku Ezra.

"Maafkan aku. Kamu memprovokasiku semalam hingga aku lepas kendali," pinta Ezra. Ia mencium dahi Jovita, kemudian memeluknya.

Ingin rasanya Jovita melepaskan diri dari pelukan Ezra, tapi menyadari bahwa itu bisa berujung pemukulan lagi. Bersikap patuh tampaknya adalah jalan teraman.

"Say something, Honey," bisik Ezra lirih kala menyadari istrinya tidak berespons terhadap pelukan dan permintaan maafnya.

Jovita mendesah. "Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Yang jelas aku tidak sanggup terus-terusan kamu sakiti."

Ezra melonggarkan pelukannya, memegangi wajah istrinya dengan kedua tangan, memandangi mata almond Jovita. "Aku berjanji akan memperbaiki semua. Semua akan baik-baik saja. Aku terpaksa bersikap kasar karena kamu lagi-lagi menuduhku. Berhentilah menyangsikanku."

Jovita terdiam, seolah mati rasa. Ia tidak bisa memercayai janji Ezra, tapi juga tidak dapat memuntahkan semua kekesalannya.

"Bagaimana jika hari ini kamu izin dari kantor? Beristirahatlah untuk memulihkan diri. Aku temani dirimu, kubatalkan semua janjiku," usul Ezra.

Usulan yang jelas tidak mau diterima Jovita karena itu sama saja membuka peluang penyiksaan. Ia menggeleng. "Banyak yang harus kukerjakan."

"Apakah kamu ada janji dengan pria yang meneleponmu semalam?" tuduh Ezra, mencoba mencari celah kesalahan Jovita.

Jovita kembali menggelengkan kepala. "Aku seharian di kantor. Ada rapat untuk program tahun depan." Ia menahan geram yang nyaris terluapkan.

"Kalau begitu, kita makan siang bersama?" Ezra mengangkat dagu Jovita.

Jovita terpaksa mengangguk, memberi persetujuan kendati hatinya sama sekali tidak mau melakukannya. Menolak permintaan Ezra sudah pasti hanya akan menjadikannya samsak hidup.

-----

¹ chemise: gaun tidur yang membentuk lekuk tubuh.

² ambiguitas: bermakna dua.

³ jejap: jijik.

robe: jubah penutup tubuh.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fadhilah
banyak banget koinya Thor ...... Baca novel ini kaya merasuk ke relung hati dan rasa sakit yg dirasakan jo sekarang bisa aku rasakan,,meskipun aku gak pernah kdrt...
goodnovel comment avatar
Deasy Arianty
koq ga bjsa lanjut baca, bonus ny banyak... semua ga bisa dibuka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Merajut Asa   8. Sandiwara

    Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu. "Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi. "Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti. Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   9. Jeda

    Jovita melangkahkan kaki dari garbarata¹ ke dalam kabin pesawat berbadan besar Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant berpakaian biru tua dan ungu yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan headphone dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam 20 menit penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman. Senyum masam tercipta di bibir Jovita, teringat pertemuannya dengan Ezra pertama kali di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai Public Relations Manager usai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Sementara Ezra baru saja menyelesaikan kuliah paska sarjananya di Leiden University. Tidak sengaja bert

    Last Updated : 2020-10-12
  • Merajut Asa   10. Jumpa Pertama

    Jovita menghempaskan badan ke tempat tidur. Penat di tubuhnya baru terasa setelah padatnya aktivitas Jumat kemarin yang dilanjutkan dengan penerbangan Sabtu dini hari ini. Ditambah lagi kecamuk perasaan tidak menentu yang sering hinggap sejak perilaku kasar dan perselingkuhan Ezra membuat tubuhnya seolah tidak pernah dalam kondisi prima. Jovita meraih ponselnya, melihat penunjuk waktu. Pukul 3 sore di Melbourne, berarti pukul 12 siang di Jakarta. Ia menghubungi Ezra. Satu kali, tidak diangkat. Dicobanya lagi hingga tiga kali, tidak juga diangkat. Rasa curiga dan gelisah dengan cepat berkelindan. Segera diteleponnya Ima, pengasuh Vanya untuk mengetahui keberadaan suaminya di akhir pekan itu. "Halo, Ima," sapa Jovita begitu ponselnya tersambung. "Halo, Bu," jawab Ima. "Vanya di mana? Sedang apa?" "Saya dan Vanya sedang di rumah Oma. Itu Vanya sedang berenang bersama Opa," sahut Ima menjelaskan mereka sedang berada di rumah oran

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   11. Sindrom Katak Rebus

    Bayangan benda di sepanjang jalan yang dilewati oleh Jovita Minggu pagi itu sudah sama tinggi dengan bendanya saat ia berada dalam kereta menuju Belgrave. Belgrave terletak di Dandenong Ranges - yang merupakan paru-paru bagi Melbourne - berjarak sekitar 40 kilometer dari Central Business District (CBD) Melbourne dan dapat ditempuh dalam waktu satu jam menggunakan kereta. Hanya tinggal Jovita sendiri dalam gerbong saat kereta berhenti di stasiun Belgrave yang merupakan ujung dari layanan jalur timur. Hawa Belgrave yang cukup dingin langsung terasa menusuk tulang begitu ia melangkahkan kaki ke luar dari gerbong. Penanda suhu di stasiun memperlihatkan angka 8 derajat Celcius. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh dan bergegas berjalan ke luar. Jovita mempercepat langkahnya saat menapaki ramp¹ menuju jembatan yang merupakan jalan keluar dari stasiun Belgrave. Dari atas jembatan, dilihatnya Agnes baru turun dari mobil Skoda Kodiaq hitam. Ia mempercepat langkahnya.

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   12. Pencerahan

    Agnes membuka pintu teras, lalu mengajak Jovita duduk di beranda yang menghadap ke kebun bunga di samping rumahnya. Udara segar akan bagus untuk menenangkan hati sahabatnya. "Apa yang harus kulakukan, Nes?" Jovita memandang ke depan dengan tatapan kosong, menyiratkan keputusasaan. "Sebelum memikirkan apa yang harus kamu lakukan, ada beberapa hal yang perlu kamu yakini terlebih dahulu. Ini sangat penting untuk membantumu menyiapkan langkah. Pertama, kamu bukan penyebab perlakuan buruk Ezra dan kamu tidak bisa disalahkan atas tindakan yang diambilnya. Apa pun alasannya, semua murni keputusan Ezra untuk berselingkuh dan juga melakukan tindak kekerasan kepadamu. Ini yang sangat mendasar. Banyak korban yang sulit melangkah ke luar karena merasa dirinya turut berkontribusi pada perilaku pasangan," papar Agnes. Jovita mengembuskan napas dengan berat. "Aku sudah sempat berpikir seperti itu, bahwa Ezra menjadi kasar karena ulahku. Aku menjadi sangat berhati-hati bersi

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   13. Sekeping Puzzle

    Dengan masih menahan sedikit nyeri di kaki, Jovita memasuki Dock 37 Bar & Kitchen di hotel Pan Pacific yang diinapinya untuk menikmati sarapan. Ia melirik arloji, belum jam 7 pagi, tapi restoran sudah cukup ramai. Tampaknya berbagai kegiatan seminar di Melbourne Convention & Exhibition Center (MCEC) menyebabkan okupansi hotel ini juga meningkat. Kepalanya menoleh ke kanan kiri mencari meja yang kosong. "Kamu bisa duduk di sini jika tidak ada tempat kosong," ujar seorang pria yang duduk persis di samping posisinya berdiri. Jovita menoleh, dahinya berkerut. Penampilan Joseph berbeda dengan dua hari kemarin. Jauh lebih rapi sehingga membuatnya nyaris tidak mengenali pria itu walaupun tadi sempat melihat ke arahnya sekilas. "Terima kasih, maaf aku tidak melihatmu barusan," sahutnya sedikit berbohong sambil meletakkan tas di atas meja. "Bagaimana kakimu?" tanya Joseph lalu menyeruput kopinya. "Jauh lebih baik. Terima kasih,"jawab Jovita. Ia kemudia

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   14. Makna Peristiwa

    Jarum di arlojinya menunjukkan pukul 4 sore saat Jovita selesai berbincang untuk melakukan pendekatan dengan salah satu penulis ternama Personal Branding. Sesi seminar di dalam ruangan sudah separuh jalan, membuatnya sungkan untuk masuk. Ia pun memutuskan untuk keluar dari area MCEC, mencari udara segar di pinggir sungai Yarra. Bangku panjang di South Wharf Promenade pinggir sungai Yarra menjadi pilihan Jovita untuk beristirahat. Hasil terjemahan puisi dari Amelia telah masuk. Ia pun mempersiapkan langkah selanjutnya. Dear Amelia, Terima kasih banyak atas terjemahan puisinya, kekasih saya sangat senang, dia bilang puitis sekali. Katanya puisi ini mampu mengobati kerinduannya karena sudah sebulan kami tidak bisa berjumpa. Kebahagiaan ini tentu tidak akan saya dapatkan tanpa bantuanmu. Terima kasih banyak. Salam,Lydia Jovita membaca ulang konsep surat balasannya, lalu mengirim ke Amelia. Ia harus

    Last Updated : 2020-11-05
  • Merajut Asa   15. Celah Pintu

    Tiiing! Suara nyaring berbunyi yang kemudian diikuti oleh terbukanya pintu lift di lantai 6. Tiga orang telah berada di dalam lift tersebut, dua wanita kaukasia paruh baya dan seorang pria berjas. Joseph. "Morning." Jovita melangkah masuk ke dalam lift seraya mengukir senyum di heart-shaped lips-nya. Dua wanita tersebut membalas sapaan Jovita. Joseph tidak berespons. "Hi, Joe," sapa Jovita khusus untuk pria yang tidak mau membalas tegurannya barusan. "Hi," balas Joseph datar. Dalam hati ia menerka sebentar lagi perempuan ini pasti akan memulai b**a-basinya. "Di lantai berapa kamu menginap?" Jovita membuka percakapan. Joseph tersenyum, dugaannya tidak meleset. "Delapan," jawabnya singkat. Dalam hati kembali menebak, pasti perempuan ini akan melanjutkan dengan pembicaraan tentang seminarnya kemarin. "Sepertinya presentasimu kemarin sukses," sanjung Jovita. Senyum Joseph kian lebar, pred

    Last Updated : 2020-11-05

Latest chapter

  • Merajut Asa   97. Menyatukan Hati

    "Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.

  • Merajut Asa   96. Permintaan

    "Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.

  • Merajut Asa   95. Kehangatan Keluarga

    Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba

  • Merajut Asa   94. Buah Hati

    "Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d

  • Merajut Asa   93. Kesepakatan Baru

    Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri

  • Merajut Asa   92. Bucket List

    Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang

  • Merajut Asa   91. Sahabat Masa Kecil

    "Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo

  • Merajut Asa   90. Sekakmat

    "Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil

  • Merajut Asa   89. Blessing in Disguise

    Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me

DMCA.com Protection Status