Tiiing! Suara nyaring berbunyi yang kemudian diikuti oleh terbukanya pintu lift di lantai 6. Tiga orang telah berada di dalam lift tersebut, dua wanita kaukasia paruh baya dan seorang pria berjas. Joseph.
"Morning." Jovita melangkah masuk ke dalam lift seraya mengukir senyum di heart-shaped lips-nya.
Dua wanita tersebut membalas sapaan Jovita. Joseph tidak berespons.
"Hi, Joe," sapa Jovita khusus untuk pria yang tidak mau membalas tegurannya barusan.
"Hi," balas Joseph datar. Dalam hati ia menerka sebentar lagi perempuan ini pasti akan memulai b**a-basinya.
"Di lantai berapa kamu menginap?" Jovita membuka percakapan.
Joseph tersenyum, dugaannya tidak meleset. "Delapan," jawabnya singkat. Dalam hati kembali menebak, pasti perempuan ini akan melanjutkan dengan pembicaraan tentang seminarnya kemarin.
"Sepertinya presentasimu kemarin sukses," sanjung Jovita.
Senyum Joseph kian lebar, pred
Penampilan Melissa Benson - seorang pembicara dari Australia yang inspiratif - di panggung Goldfields Theater memukau Jovita. Perempuan kelahiran Arizona, Amerika itu kehilangan penglihatan di awal usia 20 tahun, sehingga terpaksa mengerahkan segenap potensi diri untuk menghadapi tantangan hidup. Berbagai upaya luar biasa telah dikerahkannya hingga akhirnya ia bisa menularkan optimisme bagi banyak orang seperti sekarang ini. Ponsel Jovita bergetar, sebuah pesan masuk. Ia hanya melirik untuk mengetahui asal pengirim karena tidak ingin fokusnya terganggu. Sejak tadi, ia memilih untuk mengabaikan semua pesan. Namun, begitu dilihatnya pengirim pesan adalah Bayu, ia tak bisa menahan diri untuk langsung membukanya. Ezra kemarin datang ke unit Amelia jam setengah dua siang. Isi pesan dari Bayu. Konsentrasi Jovita buyar seketika. Itu berarti selang beberapa saat setelah ia menelepon Ezra yang mengaku hendak masuk ruang sidang. Suaminya jelas-jelas berbohong.
Begitu melangkah masuk ke Dock 37 Bar & Kitchen, mata Jovita menyapu ke sekeliling ruangan. Mencari Joseph, Thomas, atau Edda. Berusaha menemukan orang yang dikenal untuk berbincang sambil menikmati sarapan bersama. Suasana restoran pagi ini lebih lengang dari dua hari kemarin. Ia melirik arloji, hampir pukul 7. Biasanya Joseph sudah datang sekitar jam ini, sedangkan Thomas dan Edda sedikit lebih siang. "Mencariku?" tegur seorang pria dari arah belakang Jovita. Aroma kayu bercampur rempah menguar dari tubuhnya. Jovita tersenyum lebar sambil menoleh. Suara dan wangi parfum pria itu sudah terekam di memorinya. "Mencari orang yang sudah bisa memaklumi kebiasaan b**a-basiku." Joseph menciptakan lengkungan tipis di bibir. Ia menunjuk ke salah satu meja di sudut resto. Terdapat empat kursi yang masing-masing berada di tiap sisi meja. Ia mempersilakan Jovita berjalan terlebih dahulu. "Bagaimana cara menjaga kesehatan otak kita agar tidak mudah pikun?" ta
Usai sesi seminar berakhir, Jovita segera melesat ke kamarnya, mengganti pakaian dan sepatu olahraga. Ia tidak mau menghabiskan sore ini dengan meratapi keberengsekan Ezra di tepi sungai. Saran Joseph untuk berolahraga merupakan cara yang lebih baik untuk memanfaatkan waktu dan mengalihkan pikiran. "Hanya dibutuhkan tekad untuk mewujudkannya, bukan?" celetuk seorang pria ketika Jovita melangkahkan kaki masuk ke lift. Joseph sudah berada di dalam lift dengan pakaian olahraga. "Aku merasa harus menghormati orang yang memberi jawaban atas pertanyaanku," sahut Jovita dengan senyum merekah. "Kamu hendak berolahraga di gimnasium?" Joseph menggeleng. "Sore ini sepertinya cerah, mungkin aku akan menyusuri sungai Yarra." "Apakah kamu sudah pernah mengunjungi Royal Botanic Gardens?" tanya Jovita. Tiba-tiba terlintas di kepalanya untuk berolahraga di sana. "Belum. Kamu akan ke sana?" Joseph ganti bertanya. Jovita mengangguk. "Kamu bisa pergi bers
Antrean panjang peserta seminar terlihat memenuhi area eksebisi di depan Goldfields Theater. Keynote speaker penutup acara seminar, Nick Vujicic mampu memukau hadirin dan membuat mereka rela berbaris demi mendapat tanda tangan dan foto bersama sosok inspiratif itu. Nick adalah motivator berkewarganegaraan Australia Amerika yang mengidap tetra-amelia syndrome - sebuah kelainan langka yang membuat bayi terlahir tanpa lengan dan kaki. Perjuangan hidup Nick yang jauh dari kata mudah menggugah peserta untuk turut memiliki semangat bangkit dari keterpurukan. Jovita melongok ke deret di depannya, menghitung berapa orang lagi yang harus dinanti untuk dapat berbincang sejenak dengan Nick. Masih sekitar dua puluh orang, tiap orang rata-rata menghabiskan waktu 3 menit, sehingga ia harus menunggu sekitar satu jam dalam barisan yang sudah mengular ini. Ia mengembuskan napas berat, kalau saja bukan Nick Vujicic yang fenomenal dan potensial untuk kolaborasi bisnis, sudah pasti ia
Pukul 7 malam, mereka berempat telah berada di Charcoal Lane Restaurant. Tempat makan yang menyajikan makanan asli Australia ini berlokasi di daerah Fitzroy yang terkenal sebagai pusat wisata kuliner Melbourne. Daging kanguru dan walabi, serta ikan barramundi menjadi menu andalan restoran ini. Kesan simpel hadir dalam balutan interior restoran yang didominasi oleh warna hitam putih. Lantai parquet1 dan dekorasi lampu-lampu besar terbuat dari rotan menciptakan kehangatan yang membuat pengunjung betah berlama-lama menyantap sajian restoran tersebut. Mereka berempat duduk mengelilingi meja yang berada tidak jauh dari bar. "Apakah kamu pernah ke sini sebelumnya?" tanya Thomas kepada Jovita yang duduk di sisi kirinya. "Pernah satu kali, temanku Agnes yang mengajakku ke sini dua tahun lalu. Dua hari lalu, aku dan Joseph makan malam bersamanya di restoran Indonesia," sahut Jovita. Ada nyeri di dada mengingat momen dua tahun lalu bersama Ezra di s
Melangkah ke luar dari konter imigrasi Bandara Soekarno Hatta, sekujur tubuh Jovita dipenuhi keringat dingin. Sejak di pesawat, kepalanya terasa nyeri sebelah, ulu hatinya pun seperti ditusuk-tusuk. Obat pereda sakit yang diberikan oleh pramugari sama sekali tidak membantu. Seingatnya, ia belum pernah merasa tidak keruan seperti ini. Tidak hanya fisik, tapi juga emosi. Baru kali ini, pulang menjadi momen yang meresahkan baginya. Sambil mengambil bagasi, ia berpikir keras bagaimana menghadapi Ezra. Pikiran yang terus memenuhi otaknya selama penerbangan. Ia harus menahan diri, berpura-pura tidak tahu tentang perselingkuhan Ezra hingga saat yang telah direncanakannya. Namun juga tidak sudi jika lelaki itu menyentuh tubuhnya, sesuatu yang pasti dilakukan suaminya. Kali ini tampaknya ia akan mengalami kesulitan bermain peran, tidak seperti yang biasa dilakukannya saat mengisi seminar atau berhadapan dengan banyak orang. "Mommy!" panggil seorang anak perempuan yan
"Aku belum bisa menjemputmu siang ini, masih ada sidang. Bagaimana jika pulang agak sore dari rumah sakit, aku akan menjemputmu selesai dari pengadilan," ujar Ezra saat siang itu Jovita meneleponnya. Jovita sengaja memberi tahu secara mendadak kepulangannya kepada Ezra, meski sudah sejak kemarin mendapat informasi dari Dokter Yasmin. Ia punya rencana yang sudah disusunnya sendiri. "It's okay, Bear. Joko akan ke sini sekalian menjemput Vanya pulang sekolah. Mungkin kami mampir ke toko buku sebentar sesuai janjiku pada Vanya. Lagi pula jam sidangmu kan tidak bisa dipastikan kapan selesainya," sahut Jovita. Memang itu yang diinginkannya, pulang tanpa Ezra. "Astaga, Honey! Kamu baru keluar dari rumah sakit, apakah tidak bisa ditunda ke toko bukunya?" protes Ezra. "Kasihan Vanya. Dia kan belum bisa paham kondisi kita, aku tidak mau dia merasa diabaikan dan dinomorduakan," sindir Jovita halus. "Lagi pula dokter bilang aku sudah se
Jovita mengatur napas saat mendengar mendengar suara kunci pintu dibuka. Suara riang seorang perempuan yang dibuat kekanak-kanakan menyapa berbarengan dengan terbukanya pintu, "Chagia, kamu ..." Perempuan itu tak sanggup meneruskan kalimat, wajahnya pucat seketika begitu melihat sosok yang berdiri di mulut pintu. "Aku istri Chagia-mu," sahut Jovita dengan senyum terulas di bibir. Ia berusaha tenang meski ritme jantungnya melonjak cepat. Amelia mematung. Jovita mengamati perempuan di hadapannya. Tubuh Amelia lebih kecil darinya, setinggi rata-rata wanita Indonesia sekitar 158-159 cm dan berat badan yang sepertinya tidak mencapai 50 kg. Wajah bulat perempuan ini dipoles riasan yang sedikit berlebihan sehingga membuatnya terlihat lebih tua dari usia seharusnya
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me