Jovita berkaca di depan cermin dengan perasaan yang tidak dapat diidentifikasikannya. Ia belum menemukan kosa kata yang sesuai untuk menggambarkan apa yang dirasakan saat ini. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Seperti ada yang mengimpit dada sekaligus membuatnya seolah tak dapat berpijak. Satu hal yang bisa ia identifikasikan dengan jelas hanyalah bahwa suaminya berkhianat, melanggar sumpah suci perkawinan mereka, menghancurkan kepercayaan yang telah ia titipkan selama ini.
Pagi ini, ia sengaja bersiap pergi lebih cepat dari biasanya, menghindari konflik dengan Ezra yang dapat berujung dengan kekerasan fisik. Disiapkannya semua keperluan Ezra hari itu. Dasi yang senada dengan kemeja, celana panjang, pakaian dalam, hingga kaus kaki. Ia mengamati isi lemari suaminya, mencari apakah ada hal baru yang berbeda dari seleranya selama ini. Tidak ada sesuatu yang berbeda.
Ezra terlihat menggeliat, terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah, melirik ke arah jam di atas nakas, lalu beranjak.
"Morning, Honey," sapa Ezra begitu melihat Jovita yang telah rapi dan siap beraktivitas. Ia menghampiri istrinya. "Kamu sudah akan berangkat jam segini?" Ia memeluk dan mencium dahi Jovita.
Jovita mendadak merasa muak dan jijik dengan semua kemesraan yang berusaha diumbar Ezra.
"Ya, aku harus mempersiapkan kelas pagi," sahut Jovita, berusaha menjaga agar suaranya tidak bergetar karena menahan emosi. Ia segera merapikan tempat tidur, mengalihkan energi dan fokusnya.
"Apakah jadwalmu padat hari ini?" tanya Ezra.
"Lumayan."
"Apa saja?"
"Seharian ini aku ada kelas public speaking untuk pejabat pemerintah," jelas Jovita. "Apa saja kegiatanmu hari ini?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Jovita, pertanyaan yang selama ini belum pernah diajukannya. Ia terlalu percaya bahwa Ezra setiap hari hanya berjibaku dengan urusan klien.
"Hanya ada sidang pagi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan bertemu dengan klien yang akan mengajukan banding," jawab Ezra. Tebersit rasa kaget karena Jovita menanyakan akivitasnya hari ini, hal yang tidak pernah dilakukan istrinya. "Tadinya aku ingin mengajakmu makan siang, tapi ternyata kamu padat sekali."
Jovita tersentak. Ia baru menyadari mengapa Ezra selalu menanyakan aktivitasnya setiap hari. Pertanyaan yang selama ini dianggapnya sebagai bentuk kepedulian, bisa jadi itu adalah cara suaminya untuk mencari celah agar bisa memadu kasih dengan si Aein itu.
"Kalau begitu kita makan malam bersama saja, setelah aku selesai di Kementerian," usul Jovita yang sebenarnya hanya merupakan b**a-basi.
"Ah, I can't, Honey. Aku mau ke gim. Sudah seminggu ini absen," sahut Ezra sambil membuka kaosnya, memperlihatkan lekuk otot perutnya. Ia melangkah menuju kamar mandi.
Jovita kembali tersentak. Ia ingat betul, tiga hari lalu, Ezra beralasan berlatih di gym sehingga pulang larut, sedangkan barusan berkata sudah seminggu tidak berlatih. Pembohong memang sering melupakan kata yang pernah dilontarkan. Kekesalannya memuncak. Ia segera mengambil tas Balenciaga-nya.
"Aku pergi dulu." Jovita membuka pintu kamar. "Sampai nanti, Chagia!" pamitnya dengan sindiran. Ia lalu menutup pintu, bergegas turun ke lantai bawah.
Ezra terperanjat mendengar kata yang disebut Jovita untuknya barusan. Sejenak dipastikan pendengarannya. Ia segera menghambur ke pintu, menuruni tangga, berusaha mengejar istrinya.
Di lantai bawah, terlihat istrinya setengah berlari menuju Mercedes-Benz GLA 200-nya yang sudah siap di depan pintu depan rumahnya. "Honey!" panggilnya seraya berlari mengejar.
Jovita bergegas masuk mobil. "Jalan sekarang, Pak!" perintahnya kepada Joko yang segera dipatuhi oleh sopir pribadinya itu. Dadanya bergemuruh penuh amarah. Ia memejamkan mata, bayangan kehancuran rumah tangga menari-nari di pelupuknya.
Getaran ponsel memaksa Jovita mengambil alat komunikasi itu dari tasnya. Tulisan "Bear" terpampang. Dibiarkannya ponsel itu mati dengan sendirinya. Berulang kali Ezra berupaya menghubungi, tapi tetap dibiarkan. Ia melemparkan pandangan ke luar jendela mobilnya. Matanya mengamati jalan Gerbang Pemuda yang pagi itu masih lengang, tapi pikirannya jelas tidak ditujukan ke pemandangan yang dilihatnya. Ia kemudian teringat sesuatu dan segera mengetik sebuah pesan di ponsel. Setelah menunggu jawaban beberapa menit, sebuah pesan balasan masuk. Lengkung tipis tercipta di bibir Jovita.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, Jovita sudah berada di Stariffic Public Speaking School yang terletak di salah satu gedung perkantoran kawasan strategis Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta Selatan. Stariffic adalah lembaga yang didirikan Jovita 5 tahun silam bersama tiga temannya, yaitu Albert, Rania, dan Monica.
Setelah meraih gelar Master di bidang Global Media Communication, Jovita diterima dalam program Management Trainee salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang fast moving consumer good¹. Management Trainee (MT) adalah sebuah program yang dirancang oleh perusahaan untuk membekali karyawan baru agar lebih siap dalam menjalankan pekerjaannya sekaligus mendidik calon pemimpin perusahaan di masa mendatang. Program MT di perusahaan Jovita berlangsung selama 30 bulan yang dirotasi ke 5 fungsi berbeda. Di setiap fungsi, para peserta program ini harus membuat proyek yang dievaluasi oleh manajemen. Jovita menunjukkan performa yang cukup menonjol dibanding rekan-rekannya di setiap fungsi yang dimasukinya. Setelah dinyatakan lolos dari program MT, ia langsung mengisi posisi sebagai Public Relation Manager, sebuah pekerjaan yang sangat disukainya karena mampu mengekplorasi segenap potensi diri.
Jovita dengan berat hati mengundurkan diri dari pekerjaan yang baru digelutinya selama 3 tahun itu setelah menikah dengan Ezra. Kendati sangat mencintai pekerjaannya, ia ingin lebih leluasa membagi waktu untuk karir dan rumah tangga. Salah satu seniornya semasa kuliah S1 - yang pernah sama-sama aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa - Albert Gontha, mengajaknya untuk mendirikan lembaga pelatihan Public Speaking. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Jovita. Albert pun menggandeng dua temannya, yaitu Rania yang saat itu berprofesi sebagai penyiar radio dan Monica yang terkenal sebagai News Anchor², untuk merintis Stariffic.
Jovita menghempaskan tubuh di kursi kerjanya. Ia memejamkan mata sejenak, kemudian bangkit dan berjalan menuju sisi ruangannya yang terbuat dari kaca stopsol³. Di depan dinding kaca yang menyajikan pemandangan kepadatan ibukota, ia berdiri tegak, kedua tangannya memegang pinggang, mengangkat dagu, dan mengatur napasnya. Superman pose, sebuah sikap yang diyakini meningkatkan kepercayaan diri. Jovita sangat memerlukannya untuk menjalani hari ini.
Ketukan pintu dari Agus, pesuruh kantor, menghentikan aktivitasnya.
"Bu Jo, tamu Ibu sudah datang," ujar Agus seraya membuka pintu setelah melihat anggukan kepala Jovita yang memperbolehkannya masuk. "Saya antar ke sini?"
"Oh, boleh, Gus." Jovita berjalan ke arah mejanya kembali. "Tadi Pak Joko sudah memberikan bubur ayam kepadamu?"
"Sudah, Bu."
"Nanti tolong bawakan dua ke sini, selebihnya dibagi-bagi buat yang lain. Kamu jangan lupa ambil satu, ya."
Agus tersenyum lebar mendapatkan rejeki sarapan pagi. Jovita adalah orang yang paling sering memberikan sarapan gratis buat para staf. "Terima kasih, Bu. Apakah perlu dibuatkan teh atau kopi buat tamunya, Bu?"
"Boleh, nanti ditanyakan saja dia maunya minum apa."
"Baik, Bu. Saya panggil sekarang ya, Bu."
Jovita mengangguk. Ia lalu merapikan rambut dan bajunya setelah Agus menutup pintu.
Tidak berapa lama, Agus kembali bersama seorang pria berkacamata dan mengenakan setelan jas berwarna gelap.
"Pagi, Bu Jovita," sapa pria itu begitu ia memasuki ruangan. Seorang pria dengan postur padat berisi dan sedikit lebih tinggi dibanding Jovita. Wajahnya dihiasi senyum sejak memasuki ruangan itu.
"Pagi, Pak Bayu. Akhirnya bapak pejabat ini bisa punya waktu untuk main ke kantorku," sambut Jovita. Ia mengulurkan tangannya. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik." Pria yang dipanggil Bayu itu menyambut uluran tangan Jovita. "Bagaimana denganmu?"
"Baik," jawab Jovita. Ia kemudian mempersilakan Bayu duduk di arm chair berwarna hijau tua yang terletak di salah satu sudut ruangan berdekatan dengan jendela.
Mata Bayu menyapu seluruh ruangan Jovita yang didesain bergaya minimalis dengan kombinasi warna putih dan sage green atau hijau keabu-abuan, menghadirkan kesan simpel, natural, dan menenangkan. Meja kerja terbuat dari akrilik dengan kursi kerja berwarna hijau yang ergonomis⁴, berhadapan dengan dua buah kursi berwarna sama, tapi berukuran lebih kecil. Sebuah lukisan kontemporer berukuran besar menggantung di dinding berwarna sage green persis di belakang posisi kursi kerja Jovita. Keberadaan tanaman hias memberikan efek rileks. Foto dan dekorasi minimalis diletakkan bersama dengan beberapa buku mengenai Komunikasi dan Public Speaking di sebuah rak putih. Dua buah arm chair berwarna hijau tua – salah satunya yang ia duduki – berada di sudut ruangan dengan dinding kaca di sebelah kanan. Meja kecil yang terbuat dari akrilik berada di tengah kedua kursi.
"Ruangan kerja ternyaman yang pernah kumasuki." Bayu berdecak kagum. "Benar-benar mencerminkan seleramu, Jo."
"Rumah kedua harus dibuat senyaman mungkin," sahut Jovita dengan senyum lebar.
Almarhum ayah Bayu, Idris, adalah mantan sopir pribadi keluarga Hengkara. Idris telah bekerja sejak kedua orang tua Jovita menikah hingga akhir hayatnya. Bagi Irwan – ayah Jovita – Idris bukan hanya berperan sebagai sopir, tetapi juga orang kepercayaannya. Ketiga anak lelaki Idris, yaitu Bayu, Reza, dan Gilang, juga sering bermain bersama Jovita dan Davina, sehingga hubungan antara mereka terjalin layaknya saudara. Irwan bahkan membiayai sekolah ketiganya hingga ke perguruan tinggi. Gilang, anak bungsu Idris, saat ini merupakan salah satu General Manager di ANARA Grup milik Irwan.
Bayu berusia tiga tahun lebih tua dari Jovita. Bayu yang tidak memiliki adik perempuan dan Jovita yang tidak punya kakak, membuat keduanya merasa saling melengkapi. Bayulah yang mengajari Jovita mengendarai sepeda hingga mobil, berenang, dan bermain bola basket. Saat ini Bayu bekerja sebagai Staf Ahli di Badan Intelijen Negara.
Agus masuk kembali ke ruangan membawa dua bubur ayam dan dua teh hangat.
"Bubur Senopati?" tanya Bayu dengan wajah sumringah.
"Tepat sekali!"
"Memang kamu sudah bisa makan ini?" tanya Bayu lagi. Ia teringat dulu mengajak Jovita makan bubur ayam ini dan berakhir dengan diare yang diderita perempuan itu.
Jovita tergelak. "Dulu aku diare karena baru pulang dari Melbourne langsung kamu ajak sarapan ini. Kalau sekarang hampir seminggu sekali ini jadi sarapan wajib, jadi perutku sudah kebal."
"Aku selalu tertawa mengingat kejadian itu setiap kali makan bubur ini."
Tawa keduanya memenuhi ruangan mengingat peristiwa tersebut.
"Bagaimana kabar Sarah dan anak-anak?" Jovita menanyakan kabar istri Bayu.
"Baik, sehat semua. Tadi Sarah menitipkan salam untukmu." Bayu memandangi Jovita, lalu bertanya. "Bagaimana kabar Ezra dan Vanya?"
"Baik." Jovita menjawab dengan cepat sambil mengaduk buburnya. "Terima kasih sudah mau datang ke sini meski baru tadi pagi kukontak."
Bayu mengangguk. Ia tentu akan melakukan apa pun permintaan keluarga Hengkara, utang budinya terlalu besar kepada keluarga itu. "Kebetulan jam 9 nanti aku ada rapat di Polda Metro Jaya, jadi searah dengan ke sini. Lagi pula aku belum pernah mengunjungi kantormu ini."
Jovita tersenyum lebar.
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Bayu.
Jovita tertawa. "Tidak perlu b**a-basi lebih lama kamu bisa tahu bahwa aku memerlukan bantuanmu."
"Itulah yang membuat kita semua akrab selama ini, bukan? Saling membantu." Bayu tersenyum lebar.
Jovita mengeluarkan secarik kertas kecil bertuliskan serangkaian nomor. Ia kemudian menyodorkan kepada Bayu. "Aku perlu tahu tentang orang ini, tapi hanya ini yang kupunya."
Bayu mengamati deretan angka di kertas itu, lalu memandangi Jovita. "Sudah berapa lama?"
Jovita tercengang. "Maksudmu?"
"Sudah berapa lama Ezra menjalin hubungan dengannya?" Bayu menguraikan pertanyaannya. Ia tersenyum melihat Jovita tampak terkejut karena kesimpulannya. "Hal yang membuat seorang wanita cemas biasanya adalah perselingkuhan suami."
"Entah. Aku baru tahu semalam," sahut Jovita.
"Sejak kapan Ezra melakukan tindak kekerasan padamu?"
Jovita kembali terperanjat. Sepertinya ia sudah menutupi semua bekas pukulan Ezra. "Bagaimana kamu tahu?"
Bayu tersenyum. "Ada bercak merah di mata kirimu, pendarahan subkonjungtiva yang salah satunya disebabkan pemukulan. Riasan di bawah mata kirimu itu sedikit lebih tebal dibanding yang kanan, kamu berupaya menutupi memar akibat pukulannya. Saat aku menanyakan kabar Ezra, kamu langsung mengaduk bubur, padahal kamu tidak pernah menyukai bubur yang dicampur, itu menggambarkan keresahanmu dengan hubungan kalian."
Jovita berdecak kagum. Ia sering lupa dengan keahlian Bayu mencermati detil. "Aku lupa bahwa aku bicara dengan intel," ucapnya terbahak.
"Kamu tidak bisa menganggap remeh tindak kekerasan, Jo!" Bayu memperingatkan.
"Dua kali ia memukulku. Lalu kutemukan ini semalam," ujar Jovita lirih. "Dia mulai memukul seminggu yang lalu."
Bayu menghela napas. "Klise. Selingkuh dilanjutkan dengan KDRT. Lambat laun tindakan kekerasannya akan lebih parah dan lebih sering. Kamu harus waspada."
Jovita mengangguk. "Semua masih seperti kepingan puzzle bagiku. Aku belum mendapat gambaran apa yang sesungguhnya terjadi."
"Aku akan mengabarkan semua yang kudapat segera." Bayu melipat kertas itu dan memasukkannya ke saku.
"Terima kasih, Bay. Aku sebenarnya tidak mau memanfaatkan posisimu, tapi aku tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa. Kamu adalah orang pertama dan satu-satunya yang kuberitahu tentang hal ini. Aku tidak mungkin menceritakan hal semacam ini kepada siapa pun. Kamu tahu orang seperti apa mertuaku." Jovita mengungkapkan kesungkanannya meminta bantuan Bayu. Namun, hanya Bayu satu-satunya orang yang dapat dipercaya. Hubungan antara mereka yang sudah seperti kakak adik membuatnya lebih nyaman mengungkapkan masalahnya.
"Aku justru senang kamu langsung memintaku. Tidak perlu merasa sungkan. Aku ingin kamu mengabariku juga bila ada hal yang tidak biasa," ucap Bayu. Sejak dahulu, ia selalu berusaha melindungi Jovita dan Davina, terutama dari para lelaki nakal yang berusaha mendekati kedua perempuan yang sudah seperti adik kandungnya sendiri.
"Ini saatnya kamu mengatakan 'Kubilang juga apa' bukan?" Jovita tersenyum masam. Ia teringat Bayu pernah memperingatinya tentang beberapa perilaku Ezra saat ia memutuskan menerima lamarannya.
Bayu tersenyum. Dahulu ia mengetahui bahwa Ezra mencampakkan tunangannya demi mendapatkan Jovita. Sewaktu menjalin hubungan dengan Jovita, Ezra sempat menjalin hubungan dekat dengan wanita lain, tapi kemudian diakhiri dengan melamar Jovita. Ia - yang dalam bekerja dididik untuk memprediksi perilaku - mengendus pola perilaku negatif pada Ezra dan segera memperingatkan Jovita. Akan tetapi, Jovita yang telanjur jatuh hati pada Ezra - yang memang secara fisik menjadi magnet bagi kaum hawa – menolak untuk melihat bukti dan prediksi yang berusaha dipaparkannya.
"Aku tidak akan berkata seperti itu. Kamu pasti punya pertimbangan lain saat menerima lamarannya. Sudah takdir Tuhan juga kalian bersatu. Hal yang penting sekarang adalah memikirkan solusi ke depan," hibur Bayu.
Jovita mengembuskan napas, menyandarkan punggung ke kursi. Saat dahulu Bayu mengungkapkan pola perilaku Ezra, ia justru mengartikan bahwa dirinyalah pemenang persaingan. Tidak saja sewaktu Ezra mencampakkan tunangannya, tapi juga ketika suaminya itu sempat berpaling ke wanita lain kala mereka berpacaran dan kemudian justru memutuskan untuk melamarnya. Ia melihat itu sebagai tanda bahwa dia adalah wanita terbaik pilihan Ezra. Ia mengabaikan kecenderungan Ezra untuk tidak setia dan mudah pindah ke lain wanita. Perilaku yang kembali ditunjukkan Ezra sekarang.
-----
¹ Fast moving consumer goods: produk-produk yang dapat terjual secara cepat dengan harga yang relatif murah dan biasanya merupakan kebutuhan sehari-hari.
² News Anchor: jurnalis radio/TV yang membawakan materi berita dan harus berimprovisasi memberikan komentar dalam siaran langsung. Tugasnya tidak sebatas membacakan berita, tapi juga terlibat dalam penulisan dan/atau penyuntingan berita bagi program mereka sendiri.
³ Kaca stopsol: jenis kaca yang sering digunakan pada konstruksi bangunan, terutama gedung perkantoran atau bangunan tinggi.
⁴ Ergonomis: bersifat nyaman dan aman.
Jovita baru saja menyelesaikan kelas pelatihan Public Speaking untuk para pejabat eselon1 III salah satu Kementerian di Balai Kartini, bersama dengan Monica dan dua yuniornya yang setia mendampingi. Seperti biasa, usai kelas beberapa peserta meminta foto bersama dan bertukar kartu nama dengan Jovita, baik laki-laki maupun perempuan. "Heran ... perasaan yang bekas News Anchor tuh aku deh, tapi selalu orang maunya foto sama si Jovita ini, padahal muka dia bisa dihitung jari tampil di televisi," ledek Monica setelah orang-orang yang mengerumuni Jovita membubarkan diri. Jovita tertawa kecil mendengar komentar Monica, temannya yang selalu bicara blakblakan dan senang berguyon. "Seolah ketenaran Ibu tidak berarti, ya?" Maya tambah menggoda Monica. "Iya. Sia-sia gitu dulu muka saya ada di televisi tiap hari," sahut Monica dengan mimik yang dibuat bersedih. "Mungkin mereka dulu sudah pernah foto sama kamu, jadi tidak minta
Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu. Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal. Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah. "Baik, Pak. Besok
Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu. "Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi. "Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti. Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."
Jovita melangkahkan kaki dari garbarata¹ ke dalam kabin pesawat berbadan besar Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant berpakaian biru tua dan ungu yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan headphone dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam 20 menit penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman. Senyum masam tercipta di bibir Jovita, teringat pertemuannya dengan Ezra pertama kali di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai Public Relations Manager usai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Sementara Ezra baru saja menyelesaikan kuliah paska sarjananya di Leiden University. Tidak sengaja bert
Jovita menghempaskan badan ke tempat tidur. Penat di tubuhnya baru terasa setelah padatnya aktivitas Jumat kemarin yang dilanjutkan dengan penerbangan Sabtu dini hari ini. Ditambah lagi kecamuk perasaan tidak menentu yang sering hinggap sejak perilaku kasar dan perselingkuhan Ezra membuat tubuhnya seolah tidak pernah dalam kondisi prima. Jovita meraih ponselnya, melihat penunjuk waktu. Pukul 3 sore di Melbourne, berarti pukul 12 siang di Jakarta. Ia menghubungi Ezra. Satu kali, tidak diangkat. Dicobanya lagi hingga tiga kali, tidak juga diangkat. Rasa curiga dan gelisah dengan cepat berkelindan. Segera diteleponnya Ima, pengasuh Vanya untuk mengetahui keberadaan suaminya di akhir pekan itu. "Halo, Ima," sapa Jovita begitu ponselnya tersambung. "Halo, Bu," jawab Ima. "Vanya di mana? Sedang apa?" "Saya dan Vanya sedang di rumah Oma. Itu Vanya sedang berenang bersama Opa," sahut Ima menjelaskan mereka sedang berada di rumah oran
Bayangan benda di sepanjang jalan yang dilewati oleh Jovita Minggu pagi itu sudah sama tinggi dengan bendanya saat ia berada dalam kereta menuju Belgrave. Belgrave terletak di Dandenong Ranges - yang merupakan paru-paru bagi Melbourne - berjarak sekitar 40 kilometer dari Central Business District (CBD) Melbourne dan dapat ditempuh dalam waktu satu jam menggunakan kereta. Hanya tinggal Jovita sendiri dalam gerbong saat kereta berhenti di stasiun Belgrave yang merupakan ujung dari layanan jalur timur. Hawa Belgrave yang cukup dingin langsung terasa menusuk tulang begitu ia melangkahkan kaki ke luar dari gerbong. Penanda suhu di stasiun memperlihatkan angka 8 derajat Celcius. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh dan bergegas berjalan ke luar. Jovita mempercepat langkahnya saat menapaki ramp¹ menuju jembatan yang merupakan jalan keluar dari stasiun Belgrave. Dari atas jembatan, dilihatnya Agnes baru turun dari mobil Skoda Kodiaq hitam. Ia mempercepat langkahnya.
Agnes membuka pintu teras, lalu mengajak Jovita duduk di beranda yang menghadap ke kebun bunga di samping rumahnya. Udara segar akan bagus untuk menenangkan hati sahabatnya. "Apa yang harus kulakukan, Nes?" Jovita memandang ke depan dengan tatapan kosong, menyiratkan keputusasaan. "Sebelum memikirkan apa yang harus kamu lakukan, ada beberapa hal yang perlu kamu yakini terlebih dahulu. Ini sangat penting untuk membantumu menyiapkan langkah. Pertama, kamu bukan penyebab perlakuan buruk Ezra dan kamu tidak bisa disalahkan atas tindakan yang diambilnya. Apa pun alasannya, semua murni keputusan Ezra untuk berselingkuh dan juga melakukan tindak kekerasan kepadamu. Ini yang sangat mendasar. Banyak korban yang sulit melangkah ke luar karena merasa dirinya turut berkontribusi pada perilaku pasangan," papar Agnes. Jovita mengembuskan napas dengan berat. "Aku sudah sempat berpikir seperti itu, bahwa Ezra menjadi kasar karena ulahku. Aku menjadi sangat berhati-hati bersi
Dengan masih menahan sedikit nyeri di kaki, Jovita memasuki Dock 37 Bar & Kitchen di hotel Pan Pacific yang diinapinya untuk menikmati sarapan. Ia melirik arloji, belum jam 7 pagi, tapi restoran sudah cukup ramai. Tampaknya berbagai kegiatan seminar di Melbourne Convention & Exhibition Center (MCEC) menyebabkan okupansi hotel ini juga meningkat. Kepalanya menoleh ke kanan kiri mencari meja yang kosong. "Kamu bisa duduk di sini jika tidak ada tempat kosong," ujar seorang pria yang duduk persis di samping posisinya berdiri. Jovita menoleh, dahinya berkerut. Penampilan Joseph berbeda dengan dua hari kemarin. Jauh lebih rapi sehingga membuatnya nyaris tidak mengenali pria itu walaupun tadi sempat melihat ke arahnya sekilas. "Terima kasih, maaf aku tidak melihatmu barusan," sahutnya sedikit berbohong sambil meletakkan tas di atas meja. "Bagaimana kakimu?" tanya Joseph lalu menyeruput kopinya. "Jauh lebih baik. Terima kasih,"jawab Jovita. Ia kemudia
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me