Mentari pagi menembus vitrage putih yang terbentang di jendela kamar rumah bertingkat dua bergaya modern minimalis di kawasan elite Patal Senayan, Jakarta. Pancaran sinar matahari membuat suhu di kamar menjadi lebih hangat mengimbangi semburan pendingin ruangan. Kehangatan yang mampu menggugah semangat Jovita untuk menyambut hari. Ia berdiri di depan meja riasnya, mematut pakaian, mengafirmasi diri, bersiap untuk menjalani rangkaian aktivitasnya hari ini.
Berbalut pencil dress berlengan panjang, tubuh semampai Jovita yang memiliki tinggi 173 cm, terlihat memesona. Busana berwarna hitam yang menutupi hingga bawah lututnya memperlihatkan kakinya yang jenjang. Sebuah ikat pinggang kecil yang dililitkan menonjolkan lekuk tubuh bak gitar Spanyol. Rambut sedada berwarna nutty mocha - perpaduan cokelat dan sedikit nuansa oranye kemerahan - dengan ujung yang bergelombang natural, menegaskan professional-looks pada tampilannya.
Ezra yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengamati penampilan Jovita sejenak, lalu memeluknya dari belakang. "You look more beautiful everyday." Ia menciumi tengkuk istrinya.
Jovita tersenyum. Sudah seminggu ini, sejak kejadian penamparan pertama, Ezra terlihat amat menyesal. Ia bersikap sangat manis, selalu membawakan berbagai makanan kesukaan Jovita tiap pulang kerja, memberikan cincin berlian, menyempatkan diri makan siang bersama di sela kesibukan, bahkan pernah sekali mereka melanjutkan dengan check-in hotel untuk sekadar melampiaskan hasrat yang tiba-tiba menggelora. Berulang kali, Ezra pun menyampaikan penyesalannya telah menyakiti fisik Jovita. Kondisi lelah akibat tumpukan kasus menjadi dalih mengapa Ezra khilaf melakukannya. Alasan yang dengan mudah dimaklumi dan diterima oleh Jovita.
"Bagaimana jika akhir pekan ini kita pergi berdua saja?" usul Ezra menghirup aroma citrus yang menguar dari rambut istrinya.
"Mau ke mana, Bear?" tanya Jovita sambil menyandarkan tubuhnya di dada bidang Ezra.
"Terserah kamu, Bali, Lombok, Belitung, Singapore. Mana saja yang kauinginkan." Ezra menciumi pipi istrinya.
"Akhir pekan ini aku sudah janji menemani Vanya ke toko buku. Lagi pula seminggu ini kita selalu pulang malam, kasihan Vanya jika harus ditinggal," tolak Jovita dengan halus.
Ezra terlihat kecewa.
Jovita membaca ekspresi Ezra, tak ingin suaminya kembali kesal. "Kalau bulan depan, bagaimana?"
"Bulan depan?" Ezra membelalakkan mata.
"Bulan ini kegiatanku padat sekali. Sudah pasti akan pulang malam saat Vanya sudah tidur. Rasanya aku hanya bisa membayar kebersamaan dengannya di akhir pekan. Jadwal bulan depan masih bisa kuatur," usul Jovita.
"Jadi, sekarang aku tidak lebih penting dari pekerjaanmu?" rajuk Ezra.
Jovita memutar tubuh, mengalungkan tangan di leher Ezra, memandangi mata indah beriris gelap di hadapannya. "Oh, Bear, jangan berkata seperti itu. Kamu tahu betapa berartinya kamu dan Vanya bagiku, tapi komitmen pekerjaan tentu tidak dengan mudah kuabaikan. Kamu juga tahu usaha kerasku merintis semua ini."
"Kurasa membatalkan satu atau dua seminarmu bukan hal sulit, kamu bisa meminta rekanmu menggantikan. Itu jika aku memang masih prioritas dalam hidupmu." Ezra mulai merajuk.
Jovita tertawa kecil. Kedua tangannya meremas gemas pipi Ezra. "Kamu kadang lebih kekanakkan dibanding Vanya."
"Oh ya? Jadi ada pria lain yang lebih dewasa?" tukas Ezra, nada suaranya meninggi.
"Bear! Kenapa kamu ngomong gitu, sih?"
"Menurutmu kenapa?"
Jovita menggeleng-gelengkan kepala. Mood Ezra sangat mudah berubah akhir-akhir ini.
"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu." Jovita mendengkus. Ia tidak mau merusak paginya dengan kejadian semacam ini. Ada seminar yang harus diisi siang nanti, tidak ingin mood-nya kacau. Ia membalikkan tubuh, kembali menghadap cermin, meneruskan kegiatannya berdandan.
"Tidak ada waktu untuk melayani suami maksudmu? Tapi ada waktu untuk melayani orang lain?" Ezra menarik pundak Jovita dengan kasar, memaksanya kembali berhadapan.
"Bear, sakit!" Jovita memegangi pundaknya yang ditarik paksa. Ia berupaya mendorong tubuh atletis Ezra yang mengimpitnya. "Aku mau kerja!"
Usahanya tidak berhasil. Fisik Ezra yang lebih besar dan rutin berlatih resistance¹ jelas bukan tandingan Jovita.
Ezra mencekal kedua tangan Jovita, kemudian melempar tubuh istrinya ke arah lemari pakaian.
Jovita menjerit kesakitan kala tubuhnya membentur lemari jati. Ia tidak mau mengalami penyiksaan kedua kalinya. "Sekali lagi kamu menyakiti tubuhku, aku ..."
"Apa? Apa yang mau kamu lakukan?" tantang Ezra. Ia maju mendekati Jovita dan langsung menampar pipi istrinya.
Jovita tidak terima. Ia membalas tamparan Ezra sekuat tenaga.
Ezra kian beringas, melayangkan tinju ke wajah istrinya.
Jovita jatuh terjerembap, wajahnya menyentuh lantai. Ia syok, tapi dengan cepat menguasai diri, berusaha memikirkan tindakan agar tidak kembali menjadi samsak.
"Berengsek! Cukup sudah! Kamu keluar dari rumah ini atau aku dan Vanya yang pergi!" ancam Jovita. Ia bergegas bangkit, ingin segera menjauh dari suaminya.
Ezra meraih tangan Jovita, menahannya untuk tidak pergi. "Maafkan aku."
"Jangan sentuh aku!" Jovita berusaha menepis tangan Ezra, muak dengan permintaan maafnya.
Ezra tidak menyerah, menarik tangan Jovita dan merengkuh tubuhnya. "Maafkan aku, Honey," pintanya lirih sembari menciumi kepala istrinya.
Jovita luluh. Ia terisak dalam dekapan suaminya. "Kamu menyakiti aku, Bear."
Ezra menciumi wajah Jovita. "I'm so sorry. Aku lepas kendali. Kamu seharusnya tidak menantangku." Ia mengulum bibir Jovita, nafsunya menggelora. Ia mendorong tubuh istrinya ke atas ranjang, ingin melampiaskan libidonya.
"Bear, aku harus segera pergi," tolak Jovita saat Ezra menyingkap roknya.
"Let's make it quick." Ezra tidak dapat menahan birahinya. "Untuk yang ini, kamu harus melayani, bukan?"
Jovita tak kuasa menolak, tidak ingin kembali menjadi sasaran amukan Ezra.
***
Bunyi gesekan daun-daun pepohonan nan rindang yang tertiup angin semilir, gemericik air di sungai buatan yang mengalir di bawah beberapa area duduk berbentuk bulat seperti carousel² terbuat dari rotan berwarna cokelat, menciptakan tropical vibes ala Bali di antara impitan gedung-gedung menjulang. jimBARan Outdoor Lounge Ayana MidPlaza Jakarta memang menjadi oase di tengah hiruk pikuk kota yang mampu menghadirkan ketenangan tersendiri bagi Jovita. Ketenangan yang sangat dibutuhkan untuk membantunya mengendalikan gejolak emosi sebelum tampil di acara seminar dua jam mendatang. Matahari pun seolah berempati dengan kegundahannya, sehingga tidak terlalu menunjukkan keperkasaannya siang itu.
Kejadian pagi tadi masih terus diputar oleh memori emosi Jovita. Ini kali kedua dia mendapat kekerasan fisik dari Ezra, perlakuan yang lebih kasar dari sebelumnya. Berbagai rasa berkecamuk di dada Jovita, rasa yang sulit sekali diidentifikasinya. Satu hal yang ia tahu hanya bahwa ini adalah sebuah cela dalam hidupnya. Cela yang harus disimpannya rapat-rapat, tapi tak ayal membuat jiwa bebasnya berontak menggugat.
Tidak pernah ada kata kalah atau gagal dalam hidup Jovita. Semua fase kehidupannya berjalan teramat mulus. Terlahir di keluarga berada, dianugerahi otak brilian dan wajah rupawan membuat hidup menjadi terlalu mudah baginya. Selalu menempati peringkat pertama sejak SD hingga SMA, membuatnya dengan mudah mendapat tempat di universitas negeri ternama tanpa tes. Lulus dengan predikat cumlaude (dengan pujian) dan taraf ekonomi kelas atas memudahkannya untuk meneruskan kuliah di UniMelb yang masuk dalam jajaran 50 besar dunia.
Tidak hanya prestasi akademik, area nonakademik pun menjadi ajang unjuk kebolehannya. Pemain bola basket andalan, aktivis organisasi kemahasiswaan, hingga wajah yang pernah menghiasi sampul salah satu majalah terpopuler di tanah air menjadi rentetan prestasi Jovita. Ditambah lagi dengan deretan pria-pria yang mengagumi paras dan tubuhnya. Pujian datang bertubi-tubi, sanjungan menghampiri tiada henti. Semua kegemilangan yang tanpa disadari membentuk sebuah konsep diri "Aku adalah yang terbaik dari yang terbaik" dan perlahan menyeretnya dalam sebuah tuntutan untuk senantiasa tampil sempurna. Belum pernah sekali pun dalam hidupnya, Jovita merasakan arti kekalahan dan kegagalan. Dialah sang juara, pemenang kompetisi kehidupan.
Perlakuan Ezra dua kali ini adalah sebuah tamparan keras, tidak saja dalam arti denotatif, tapi juga konotatif. Situasi yang menimbulkan disonansi³ dalam irama kehidupannya. Ingin rasanya Jovita menceritakan kekalutannya ini pada seseorang, tapi itu berarti akan mempertontonkan boroknya, menodai kesempurnaannya. Penilaian buruk orang lain jauh lebih menakutkan daripada perlakuan buruk Ezra.
Jovita meneguk gelas kedua classsic lemonade-nya. Ia sama sekali tidak merasa lapar meski perutnya belum diisi oleh asupan makanan sedikit pun. Selera makannya hilang sekejap. Light lobster bisque - sup krim lembut kaya aroma yang terbuat dari campuran daging lobster, safron, kacang fava, mushroom, dan disajikan dengan roti sourdough⁴ - sejak tadi tidak disentuhnya. Rasa gusar mengalahkan rasa lapar.
Jemarinya membuka aplikasi sosial media, mengamati berbagai unggahan dari orang-orang yang diikuti, mencoba mengalihkan kegusarannya. Tak ada yang menarik karena pikirannya masih terlalu kalut. Gerakan jemarinya berhenti pada unggahan Agnes, teman dekatnya sejak SMP hingga SMA yang kini berdomisili di Melbourne. Agnes mengunggah foto seorang wanita Australia sebagai sebuah memorabilia. Ada lambang pita putih yang ditempelkan di pojok bawah.
Jovita tergelitik untuk membaca keterangan foto itu. Tentang seorang wanita korban kekerasan rumah tangga yang meninggal setahun lalu dan imbauan untuk bertindak menghentikan kekerasan pada wanita. Dadanya terasa berhenti berdetak. Gejolak rasa kembali membuncah, pikirannya mengembara.
"Hai, di sini kamu rupanya," tegur Rania, salah satu rekannya sesama pendiri Stariffic yang juga akan mengisi sesi seminar siang ini bersamanya. Rania adalah mantan penyiar radio ternama ibu kota, memiliki suara dan wajah yang sama indahnya. "Kamu langsung dari rumah ke sini?"
Jovita tersentak dari lamunannya, lalu mengangguk. "Tadi ada keperluan di sekolah Vanya sebentar, setelah itu langsung ke sini."
Rania duduk di kursi rotan dengan bantalan duduk berwarna biru, bersebelahan dengan Jovita. Ia melihat sup yang sepertinya sama sekali tidak tersentuh di meja. "Kok tidak dimakan?"
"Awalnya ingin, tapi lalu hilang selera."
"Kenapa? Tidak cemas kan? Mana pernah Jovita cemas mau manggung," seloroh Rania. Ia memang tidak pernah melihat temannya ini demam panggung.
Jovita tersenyum. "Tidak apa-apa, hanya rasanya tidak lapar."
Rania memandangi Jovita, ada yang sedikit berbeda dengan temannya ini. Jovita yang selalu ceria, hari ini tampak sedikit muram. Saat mengamati, ia melihat kornea mata temannya memerah. "Kenapa matamu, Jo?"
Jovita tersentak. Ia segera mengambil tempat bedak, ingin melihat apa yang terjadi pada matanya. Rasanya ia sudah menutupi bekas pukulan Ezra dengan concealer⁵. Betapa terkejutnya saat melihat bercak-bercak merah pada bagian putih matanya.
Jovita mengembuskan napas. Luka itu jelas akibat pukulan Ezra.
"Aku tadi terpeleset di rumah saat keluar kamar mandi, mukaku membentur lantai, tapi tidak menyangka jadi begini." Jovita memberikan penjelasan palsu. "Kelihatan jelaskah, Ni?
Rania menggeleng. "Kalau dari jauh sih tidak kentara, Jo. Nanti kamu periksakan saja ke dokter."
Jovita mengangguk, tapi dalam hati menolak saran temannya.
Aturan di keluarga Ezra - keluarga Satria Dharmawan - terkait reputasi sangat ketat. Ada daftar nama dokter yang sudah ditetapkan karena dijamin akan menjaga nama baik, tidak boleh pergi ke sembarang dokter. Untuk menemui dokter pilihan keluarga itu, Jovita lebih sungkan karena akan diketahui oleh mertuanya dan interogasi panjang sudah pasti harus dijalani.
"Tidak ada rasa perih atau sakit?" Rania cemas akan kondisi temannya, khawatir akan memengaruhi performanya di panggung nanti.
Jovita menggeleng. "Sama sekali tidak, makanya aku kaget saat kamu bilang tadi."
"Semoga bukan masalah serius," harap Rania.
"Kuharap begitu," sahut Jovita tersenyum. Sekilas ia melihat Hilda meniti jembatan kayu menuju tempatnya duduk. Kemungkinan pertanda sesinya akan segera dimulai.
"Sudah akan dimulai, Hil?" tanya Jovita begitu yuniornya itu mendekat.
"20 menit lagi, Bu," sahut perempuan yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Jovita dan berkulit putih bersih itu.
"Oke," sahut Jovita sambil merapikan barang bawaannya. "Oh ya, Hilda, coba kamu lihat jadwalku bulan depan. Sepertinya ada beberapa pelatihan yang kamu sudah sering mendampingiku, mungkin sudah saatnya kamu mencoba mengisi sebagai trainer utama. Bulan ini kita lakukan dulu secara tandem, aku akan membimbingmu. Tidak usah khawatir. Aku percaya pada kemampuanmu."
Hilda tersenyum, antara senang dan cemas. Senang karena mendapat kesempatan, cemas karena harus menggantikan Jovita yang sangat piawai.
Rania menangkap emosi Hilda, berusaha membesarkan hati yuniornya. "Semua selalu ada kata pertama kali, Hil. Semua juga pernah dalam posisimu, cemasnya luar biasa. Nanti lambat laun akan terbiasa." Ia lalu menoleh ke arah Jovita. "Kamu ada rencana apa bulan depan?"
"Mau cuti. Bulan ini aku dan Ezra padat sekali, selalu pulang malam. Sekali-kali curi waktu buat berduaan dong," ujar Jovita.
"Biar lebih mesra? Kurang mesra apa lagi sih?" goda Rania.
Jovita tergelak, tapi hatinya terasa perih. "Yuk, kita masuk, Ni," ajaknya mengalihkan rasa teriris yang tiba-tiba muncul. Ia beranjak dari duduknya, ingin memoles wajahnya terlebih dahulu di kamar kecil. Ia harus memastikan wajahnya tidak terlihat seperti wanita yang baru saja dipukuli suaminya.
-----
¹ olahraga resistance : olahraga anaerobic, menggunakan beban untuk meningkatkan ketahanan otot sehingga otot semakin kuat.
² carousel : komidi putar, berbentuk bundar.³ disonansi : sesuatu yang kurang seimbang, kurang pas, kurang konsisten.⁴ roti sourdough : roti fermentasi dengan rasa agak asam.⁵ concealer : kosmetik yang digunakan untuk menyamarkan noda di wajah.Jovita sedang mengompres matanya saat Ezra masuk kamar sepulangnya dari bekerja. Ia melirik jam di dinding, pukul 10.30 malam. Biasanya Ezra baru pulang jam 11 malam. Tumpukan kasus yang harus ditangani dan kemacetan ibu kota menjadi penyebabnya. "Kenapa matamu?" tanya Ezra lembut sambil menurunkan pengompres di mata istrinya. "Tadi pagi," jawab Jovita singkat. Ia sendiri tidak ingin menyinggung hal semacam itu lagi, mengingatkan pada cela dalam pernikahannya. Ezra mengamati dan menciumi mata istrinya. "I'm so sorry." "It's okay. Jangan diulangi, please," pinta Jovita lirih. Ezra tersenyum. "Aku janji, tapi kamu juga jangan menantangku, okay?" Jovita mengangguk, walau dalam hati juga bertekad tidak akan tinggal diam apabila disakiti lagi. "Apakah kamu ke dokter?" tanya Ezra sambil membuka kemejanya. "Tidak. Aku tidak mau urusan menjadi panjang," sahut Jovita. Ezra tersenyum le
Jovita berkaca di depan cermin dengan perasaan yang tidak dapat diidentifikasikannya. Ia belum menemukan kosa kata yang sesuai untuk menggambarkan apa yang dirasakan saat ini. Sesuatu yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Seperti ada yang mengimpit dada sekaligus membuatnya seolah tak dapat berpijak. Satu hal yang bisa ia identifikasikan dengan jelas hanyalah bahwa suaminya berkhianat, melanggar sumpah suci perkawinan mereka, menghancurkan kepercayaan yang telah ia titipkan selama ini. Pagi ini, ia sengaja bersiap pergi lebih cepat dari biasanya, menghindari konflik dengan Ezra yang dapat berujung dengan kekerasan fisik. Disiapkannya semua keperluan Ezra hari itu. Dasi yang senada dengan kemeja, celana panjang, pakaian dalam, hingga kaus kaki. Ia mengamati isi lemari suaminya, mencari apakah ada hal baru yang berbeda dari seleranya selama ini. Tidak ada sesuatu yang berbeda. Ezra terlihat menggeliat, terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajah, melirik ke arah
Jovita baru saja menyelesaikan kelas pelatihan Public Speaking untuk para pejabat eselon1 III salah satu Kementerian di Balai Kartini, bersama dengan Monica dan dua yuniornya yang setia mendampingi. Seperti biasa, usai kelas beberapa peserta meminta foto bersama dan bertukar kartu nama dengan Jovita, baik laki-laki maupun perempuan. "Heran ... perasaan yang bekas News Anchor tuh aku deh, tapi selalu orang maunya foto sama si Jovita ini, padahal muka dia bisa dihitung jari tampil di televisi," ledek Monica setelah orang-orang yang mengerumuni Jovita membubarkan diri. Jovita tertawa kecil mendengar komentar Monica, temannya yang selalu bicara blakblakan dan senang berguyon. "Seolah ketenaran Ibu tidak berarti, ya?" Maya tambah menggoda Monica. "Iya. Sia-sia gitu dulu muka saya ada di televisi tiap hari," sahut Monica dengan mimik yang dibuat bersedih. "Mungkin mereka dulu sudah pernah foto sama kamu, jadi tidak minta
Jovita sedang menikmati sisa hari di malam itu dengan menyelami paparan langkah-langkah membangun Personal Branding yang disajikan secara komprehensif dalam buku Personal Branding in the Digital Age tulisan Francine Beleyi, seorang Digital Content & Brand Strategist, ketika ponselnya berdering. Deretan angka yang belum tersimpan di kontaknya tertera di layar. Suara seorang pria yang belum terlalu akrab di telinganya terdengar di ujung sambungan telepon. Donny Sadana, pria yang berusaha menggodanya di seminar dua minggu lalu. Jovita sebenarnya malas meladeni klien di luar jam kerja, tapi demi kepentingan bisnis terpaksa disingkirkannya keengganan itu. Ia berusaha tetap bersikap ramah terhadap pria yang semula berkata ingin mengundangnya untuk berbicara mengenai Etiket Bisnis, tapi kenyataannya malah mengajak bicara mengenai banyak hal. Pintu kamar terbuka, Ezra - yang baru pulang dari kerja - masuk dengan senyum terulas di wajah. "Baik, Pak. Besok
Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu. "Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi. "Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti. Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."
Jovita melangkahkan kaki dari garbarata¹ ke dalam kabin pesawat berbadan besar Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant berpakaian biru tua dan ungu yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan headphone dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam 20 menit penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman. Senyum masam tercipta di bibir Jovita, teringat pertemuannya dengan Ezra pertama kali di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai Public Relations Manager usai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Sementara Ezra baru saja menyelesaikan kuliah paska sarjananya di Leiden University. Tidak sengaja bert
Jovita menghempaskan badan ke tempat tidur. Penat di tubuhnya baru terasa setelah padatnya aktivitas Jumat kemarin yang dilanjutkan dengan penerbangan Sabtu dini hari ini. Ditambah lagi kecamuk perasaan tidak menentu yang sering hinggap sejak perilaku kasar dan perselingkuhan Ezra membuat tubuhnya seolah tidak pernah dalam kondisi prima. Jovita meraih ponselnya, melihat penunjuk waktu. Pukul 3 sore di Melbourne, berarti pukul 12 siang di Jakarta. Ia menghubungi Ezra. Satu kali, tidak diangkat. Dicobanya lagi hingga tiga kali, tidak juga diangkat. Rasa curiga dan gelisah dengan cepat berkelindan. Segera diteleponnya Ima, pengasuh Vanya untuk mengetahui keberadaan suaminya di akhir pekan itu. "Halo, Ima," sapa Jovita begitu ponselnya tersambung. "Halo, Bu," jawab Ima. "Vanya di mana? Sedang apa?" "Saya dan Vanya sedang di rumah Oma. Itu Vanya sedang berenang bersama Opa," sahut Ima menjelaskan mereka sedang berada di rumah oran
Bayangan benda di sepanjang jalan yang dilewati oleh Jovita Minggu pagi itu sudah sama tinggi dengan bendanya saat ia berada dalam kereta menuju Belgrave. Belgrave terletak di Dandenong Ranges - yang merupakan paru-paru bagi Melbourne - berjarak sekitar 40 kilometer dari Central Business District (CBD) Melbourne dan dapat ditempuh dalam waktu satu jam menggunakan kereta. Hanya tinggal Jovita sendiri dalam gerbong saat kereta berhenti di stasiun Belgrave yang merupakan ujung dari layanan jalur timur. Hawa Belgrave yang cukup dingin langsung terasa menusuk tulang begitu ia melangkahkan kaki ke luar dari gerbong. Penanda suhu di stasiun memperlihatkan angka 8 derajat Celcius. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh dan bergegas berjalan ke luar. Jovita mempercepat langkahnya saat menapaki ramp¹ menuju jembatan yang merupakan jalan keluar dari stasiun Belgrave. Dari atas jembatan, dilihatnya Agnes baru turun dari mobil Skoda Kodiaq hitam. Ia mempercepat langkahnya.
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me